Entri Writchal #3
Tema: School, Comedy, Romance
“Ya ampun, ini semua tidak ada akhirnya…”
Renne bergumam kesal di tempatnya duduk. Seluruh isi kepalanya jenuh dan pusing memandangi seluruh berkas dan dokumen yang sedang ada di depannya.
“Renne, apa yang harus kulakukan dengan semua ini?” Seorang siswa lain yang membawa kardus berisi pita dan confetti mampir ke meja Renne.
“Uh, soal itu… sepertinya tadi kudengar di lantai tiga sebelah barat masih kekurangan dekorasi. Mungkin kamu bisa membawanya ke sana.”
“Siap laksanakan, komandan!” Siswa tersebut tersenyum dan memasang salut dengan riang. Renne hanya membalasnya dengan tersenyum.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Seisi sekolah masih ramai oleh para siswa yang sedang mempersiapkan festival sekolah yang akan datang dalam beberapa hari lagi.
Renne terus memimpin semua proses persiapan yang ada di sekolah dari awal sampai akhir. Semua persiapan ini sudah dimulai sejak seminggu yang lalu. Persiapan festival sekolah biasanya tidak sampai se-ekstensif ini, namun tahun ini memang cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Sudah hampir jam dua belas malam. Kebanyakan dari para siswa yang bersukarela untuk melakukan persiapan sejauh ini sudah mulai beristirahat di ruangan kelas—mereka lebih memilih untuk menginap di sekolah. Namun, tidak dengan Renne. Sebagai ketua OSIS, ia harus bekerja lebih keras lagi dari semuanya.
“Ren, kamu yakin tidak ingin tidur? Ini sudah hampir jam dua belas malam, lho.” Seorang siswi menghampiri Renne di mejanya.
“Heh. Berlaku juga untukmu.” Renne tersenyum lelah.
“Dari tadi, aku hanya berjalan-jalan melihat sekeliling saja, kok. Saat aku kembali ke sini, ternyata semua orang sudah tidur.”
“Berbohongmu jelek sekali. Lalu, apa berkas tebal yang sedang kamu bawa itu?” balas Renne sambil menyeringai.
“Mending kamu tidur saja, Ren. Kantung matamu sudah cukup parah. Biar aku yang mengurus sisanya.”
“Berapa kali harus kukatakan ini? Meskipun kamu Wakil Ketua, namun bukan berarti aku akan menyerahkan tanggung jawab ini kepadamu. Aku yang memulainya, dan aku akan menyelesaikannya apapun yang terjadi. Lalu, kantung matamu juga tak jauh bedanya denganku. Aku bahkan bisa melihat lubang hitam yang terbentuk di sana saking gelapnya,” sindir Renne.
“Hei!” Siswi itu meletakkan berkas yang dibawanya dengan cukup keras di atas meja Renne. “Kamu sudah kelewatan dengan itu. Aku hanya ingin membantumu agar kamu bisa mendapatkan jatah istirahat yang lebih banyak dari ini,” keluhnya dengan memasang wajah kecewa.
“Semua berkas ini berasal dari pihak sponsor dari luar yang sudah mendaftar. Mereka semua punya ketentuan mereka masing-masing dalam setiap dokumennya, jadi semua harus di-approve secepatnya.”
“Ya, maaf. Terima kasih, Ver.” Renne mulai membaca singkat berkas-berkas itu.
“Kuingatkan lagi. Itu tidak perlu untuk diselesaikan sekarang. Lakukan esok hari juga tidak ada masalah. Sungguh, aku tidak bercanda. Tolong tidurlah, belakangan ini kamu hanya tidur 2 jam dalam sehari. Itu sangat tidak baik untuk kesehatanmu.”
“Iya, iya. Aku mengerti.”
“Aku punya perasaan, kalau aku meninggalkanmu di sini sekarang, kamu takkan menuruti perkataanku. Oleh karena itu, aku akan menemanimu di sini sampai kamu tidur.”
“Apa—hei! Baik, baiklah, aku sungguh akan tidur sekarang.” Renne meregangkan badan bagian atasnya, kemudian meletakkan kepalanya di atas meja.
“Tidak, bukan tidur yang seperti ini!” Siswi itu memegang tangan Renne, memaksanya berdiri. “Di lantai satu lumayan banyak sleeping bag yang tidak terpakai. Kamu bisa memakai salah satunya. Ikut denganku sekarang.”
Tangannya tiba-tiba dipegang seperti ini, langsung membuat Renne salah tingkah. Ia tidak bisa melepaskannya, dan terpaksa harus keluar dari ruangan OSIS tempatnya bekerja sekarang.
Mereka berdua sampai di dalam sebuah kelas di lantai 1. Terlihat persiapan festival yang masih setengah jadi di dalam, dan para siswa yang sudah tertidur di lantai—dengan sleeping bag-nya masing-masing.
Siswi itu menunjuk ke sebuah sleeping bag yang menganggur. “Itu, ada satu yang tidak dipakai. Tidurlah di sana, aku yakin anak-anak lain tidak akan mempermasalahkannya.”
Renne menghela napas. “Huh… Baiklah.” Renne sedang lelah, ia enggan untuk memperpanjang semua ini dan memilih untuk menurut kali ini.
Renne menelentangkan tubuhnya di atas sleeping bag yang tidak terpakai itu, kemudian mulai memejamkan matanya.
Kalau dilihat kembali, memang selama ini Renne terus memaksakan dirinya agar festival sekolah ini berjalan dengan sukses. Setelah berhari-hari kurang tidur dan bekerja tanpa henti, akhirnya semua rasa lelah itu sudah mencapai puncaknya untuk momen ini. Ia langsung mendengkur hanya setelah beberapa detik memejamkan mata.
“Sungguh… kamu ini. Selalu saja memaksakan diri.” Siswi itu menatap wajah tidur Renne dengan tersenyum lembut.
“Eh… Verra? Kau masih bangun? Bolehkah ikut denganku sebentar? Kami perlu bantuan di lantai 2 bagian ujung setelah ini…”
“Uh? Baiklah, tunggu sebentar.”
Ya, namanya Verra. Sang wakil ketua OSIS di sekolah yang selalu menemani Renne di setiap pekerjaan OSIS yang mereka lakukan. Semua orang di sekolah tahu bahwa mereka berdua adalah pasangan ketua dan wakil yang sangat terampil dan serasi. Bahkan hingga mengurus sebuah event sekolah yang sebesar ini di penghujung masa SMA mereka ini, mereka berdua tetap mengerahkan segalanya untuk membuatnya sukses.
Beberapa hari sejak malam itu, dan sekarang adalah H-1 acara festival sekolah. Hampir semua persiapan sudah jadi, hanya tinggal sentuhan akhir saja yang tersisa. Berbeda dari sebelumnya, hari ini Renne memutuskan untuk akhirnya berpatroli sekeliling sekolah dengan Verra untuk memastikan semuanya benar-benar sudah siap. Namun, sebenarnya alasan ia berpatroli bukan hanya untuk itu. Ia cenderung terburu-buru di banyak tempat dan berfokus ke beberapa ruang kelas saja. Ia juga kelihatan tersenyum saat melewati ruangan kelas tertentu, dan itu membuat Verra kebingungan.
“Huh? Tumben kamu senyum-senyum sendiri. Memangnya ada apa?” tanya Verra sambil berjalan.
“Heh-heh. Bukan urusanmu,” jawab Renne sambil nyengir.
“Seperti bukan kamu saja.”
“Terserah apa katamu, aku tidak peduli.”
Verra memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Patroli terus berjalan, hingga malam hari tiba. Kebanyakan siswa yang menginap berhari-hari di sekolah akhirnya pulang ke rumah, untuk mempersiapkan diri mereka masing-masing untuk esok hari dengan penampilan yang terbaik.
Tak terkecuali untuk Renne. Ia sudah menginap di sekolah paling lama dari siapapun, yang berarti juga pulang ke rumah paling jarang. Ia akhirnya malam ini memutuskan untuk pulang juga. Ia sedang membereskan semua dokumen dan berkas yang masih berserakan di meja kerjanya sebelum pulang.
“Akhirnya kamu pulang juga, ya.” Verra memasuki ruangan tanpa mengetuk terlebih dahulu, seperti biasa.
“Kamu juga. Aku tidak berpikir kamu akan turun tangan sampai sejauh ini. Bukannya kamu membenci tema festival yang kuusulkan dulu?”
“Membenci? Tidak, kok. Aku tidak pernah mengatakannya. Aku hanya merasa sedikit kaget, saat kamu mengusulkannya…”
“Hmm, begitukah.” Renne akhirnya selesai membereskan semua berkasnya. “Kamu tidak pulang? Aku sudah selesai di sini.”
Verra hanya terdiam di tempatnya berdiri, tidak menjawab. Renne sedikit kebingungan, namun ia tidak terlalu memikirkannya.
Renne mengangkat tasnya. “Baiklah, kalau begitu aku duluan—”
“Tunggu sebentar.”
Renne terdiam di tempatnya berdiri. “Ada apa?”
“U-untuk festival sekolah kita yang terakhir ini… uh…”
Verra menundukkan kepalanya, rasa gugup mulai menguasainya. Renne yang kebingungan dengan situasi yang dihadapinya sekarang hanya mengangkat sebelah alis.
“P-persiapkan dirimu, oke.”
“O-oke…”
Setelah itu, Verra juga langsung mengemas barang miliknya dengan terburu-buru. Ia kemudian langsung meninggalkan ruangan tanpa berani menatap wajah Renne lagi, meninggalkannya sendirian di dalam.
Ada apa dengan si Verra itu? Dia terlihat aneh…
Meskipun berpikiran demikian, namun Renne tidak terlalu memikirkannya lagi lebih jauh. Ia memilih untuk lebih memikirkan soal esok hari yang akan datang.
…
“Ah! Maaf aku terlambat.”
“Ah-hah! Akhirnya si bodoh yang terakhir datang. Seperti dulu, kau selalu saja jadi yang terlambat kalau kumpul bersama seperti ini.”
“Hush, diam! Kalian semua rumahnya saling berdekatan, tahu. Aku yang paling jauh! Kalian sudah lupa?”
“Sudah, sudah. Mending kita percepat urusan kita kali ini. Mumpung kesempatannya pas.”
Tiga orang yang sedang berada di dalam ruangan saling diam. Suasana menjadi sedikit canggung.
Masing-masing dari mereka adalah Nabo, Torro, dan Balla. Semuanya adalah teman dekat sejak SD. Namun, saat SMA semuanya berubah. Masing-masing dari mereka sudah mulai sibuk dengan urusannya masing-masing, dan alasan yang membuat mereka bisa berkumpul bersama sudah mulai hilang. Ditambah lagi, kelompok mereka aslinya terdiri dari empat orang.
“Yah, kita bisa sering berkumpul bersama seperti ini setelah sekian lama. Bukankah itu hal yang bagus?” Nabo memulai diskusi.
“Tapi, ya, seperti biasa… kita kekurangan satu orang, kan?” jawab Torro.
“Yah, mau bagaimana lagi. Dia sejak awal memang sudah menjadi orang sibuk sejak masuk SMA.”
“Kau benar sekali.” Nabo menimpali. “Tapi terkait festival ini, aku sama sekali tidak menyangka ia akan melakukannya. Kupikir itu ide yang ceroboh, tapi aku pribadi juga sangat senang ketika mendengarnya.”
“Aku juga.”
“Kita semua sama, kok. Heh.”
“Yah, pokoknya begitulah. Besok adalah waktunya. Kita akan berdiskusi untuk yang terakhir kalinya. Ini akan menjadi festival yang hebat, camkan perkataanku!”
“Yo!”
“Pastinya!” Torro dan Balla menimpali dengan penuh semangat.
“Bagus. Lalu, terkait yang akan kita lakukan… aku sudah berbicara dengan Wakil Ketua OSIS soal ini. Ini adalah permintaan pribadi darinya, dan sebagai gantinya ia juga akan membantu kita. Semua anggota OSIS lainnya juga setuju dengan rencana ini. Jadi, kita akan…”
…
Hari yang ditunggu pun telah tiba. Renne bangun dengan segar, setelah tidur sangat pulas di malam sebelumnya. Ia mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan sebelumnya, kemudian becermin di kamarnya.
“Yah, tidak buruk,” begitu gumamnya sambil tersenyum.
Renne sampai di sekolah pada pagi buta. Rupanya sudah ada siswa lain yang datang mendahuluinya. Semuanya sedang bersiap untuk rangkaian festival yang akan dimulai pagi nanti. Semuanya berjalan dengan cukup biasa saja, namun ada satu hal yang benar-benar mengejutkannya.
“Yo. Sudah kuduga, pakaianmu payah, kawan!”
“Memang, dari dulu kau tidak pernah berubah, ya.”
“Kalau kau memang wibu, terima saja! Jangan setengah-setengah seperti ini.”
Renne sedang dihadang tiga orang di depan pintu ruang OSIS yang sudah mengenakan cosplay dan make-up. Situasi menjadi sedikit canggung. Semua anggota OSIS yang juga sedang berada di sekitar sana tidak mempedulikan suasana canggung di antara keempat orang ini.
“Nabo? Torro? Balla? Kalian semua… apa yang kalian lakukan di sini?”
“Ah, itu tidak penting. Yang lebih penting, lihatlah dirimu sekarang. Kau serius ingin mengikuti acara ini dengan kemeja putih polos seperti itu? Kau yang mengusulkan tema festival yang seperti ini, kan? Dasar payah!” Nabo menepuk pundak Renne dengan keras, tertawa.
“T-tunggu dulu, kenapa kalian bertiga tiba-tiba ada di sini? Ini masih pagi, acara belum dimulai…”
“Kau kaku sekali, Ren. Kita kawan lama, kan? Bagaimana?” Torro menyahuti.
Balla merogoh sesuatu dari salah satu tas yang mereka bawa. “Ya. Kami sudah tahu kau akan begini. Oleh karena itu, kami sudah menyiapkan apa yang kau perlukan untuk festival ini.”
Torro dan Balla bersama membuka bingkisan yang mereka bawa. Isinya adalah sebuah kostum karakter yang sangat ikonik. Renne sangat mengenali karakter itu.
“Ini, pakailah! Hanya kau yang pantas mengenakannya!”
Perasaan Renne sedang bercampur aduk sekarang. Ia tiba-tiba menghadapi semua kawan lamanya secara bersamaan sekarang, dan semuanya langsung berbicara akrab dengannya.
“M-maaf, aku merasa sedikit pusing. Tolong, tinggalkan ruangan ini. Aku dan yang lain masih harus menyiapkan banyak hal untuk hari ini…”
“Eh? Ketua pasti akan cocok memakai itu!”
“Ya, itu pasti akan terlihat hebat!”
Secara tiba-tiba, semua anggota OSIS lainnya yang sedang berada di sekitar langusng menanggapi. Renne jadi semakin bingung dengan situasi ini.
“Pakai! Pakai! Pakai!”
Semuanya langsung berseru bersahutan, meminta Renne untuk memakainya. Renne yang sedang pusing dan malas untuk berdebat lebih jauh, akhirnya dengan sedikit berat hati memakainya.
“Pastikan kau memakainya sepanjang hari, ya, Pak Ketua!” Nabo menepuk pundak Renne dengan cukup keras, mengagetkannya. “Semua orang pasti akan terkejut melihatmu.
“Dan ingat, jangan menahan diri. Festival ini adalah untuk semua orang, tak terkecuali kau sendiri. Nikmatilah, Ren!”
Nabo meninggalkan ruangan OSIS bersama dengan dua kawannya itu. Setelah kedatangan mereka bertiga, suasana di ruangan OSIS menjadi lebih meriah dari biasanya. Hanya Renne yang tidak tahu, namun semua anggota OSIS yang berada di sana semuanya sedang berusaha keras untuk menyembunyikan senyuman mereka.
Waktu yang ditunggu telah tiba. Pembukaan festival sekolah akan dimulai dengan pidato dari Ketua OSIS, yaitu Renne sendiri. Begitu ia mulai melangkah menuju mimbar di hadapan seluruh siswa, semuanya mulai berbisik-bisik dari tempat mereka masing-masing. Renne sempat menjadi sedikit lebih gugup dari biasanya karena ini, namun ia tetap menenangkan diri dan memulai pidatonya.
Pidato berjalan lancar seperti biasa. Namun, begitu ia memasuki kalimat penutup, ia langsung tercekat dan harus membacanya dua kali agar memastikan bahwa ia tidak salah melihat.
Aku tidak ingat menulis bagian ini. Siapa yang menulisnya, duh?!
Renne menengok ke kanan di balik panggung. Sekretaris OSIS hanya melempar senyuman dan berkedip, tidak berkata apapun. Renne hanya bisa menghela napas, mempersiapkan dirinya.
“Lalu, anu… jangan lupa semuanya, ONE PIECE IS REALLLL!!!!” Renne berseru sambil melempar tinju tinggi-tinggi ke udara.
Semua murid yang sedang mendengarkan pidato langsung tersenyum lebar dan bersemangat.
“YES, SENCHOOO!!!!”
Seluruh isi lapangan langsung menjadi riuh rendah dan penuh dengan semangat. Renne sama sekali tidak menyangka ini. Namun, ia tetap berusaha untuk tenang dan menyelesaikan tugasnya.
“Ehem, ehem. Dengan begitu, festival sekolah kita yang ke-XX akan dimulai! Kalian boleh bubar, dan nikmatilah sesuka hati kalian!”
Seluruh siswa pun langsung membubarkan diri, dan rangkaian kegiatan festival dimulai. Seluruh kelas mulai menjalankan kegiatan mereka masing-masing. Banyak perlombaan mulai diselenggarakan, mulai dari menyanyi, menari, teater dan sebagainya. Namun, semuanya tak lepas dari tema festival yang sedang dibawakan sekarang.
Ya, festival sekolah kali ini mengusung tema One Piece, sebuah seri manga yang sangat terkenal di seluruh dunia… yang juga secara tidak sengaja, adalah salah satu seri manga favorit dari Renne itu sendiri.
Awalnya, ia tidak pernah menunjukkan sisi dirinya yang seperti ini. Ia selalu berusaha untuk menjadi sosok Ketua OSIS yang bisa diandalkan oleh semuanya. Namun, semuanya sangat berbeda apabila dibandingkan dengan saat zaman SMP dulu.
Saat Renne ingin mengunjungi ruangan OSIS, ia kembali bertemu dengan ketiga orang yang ia temui tadi pagi. Ia mulai heran mengapa mereka bertiga bisa terus berkunjung di ruangan OSIS tanpa sepengetahuannya—padahal pekerjaan OSIS di dalam festival ini cukup terpisah dari para siswa lain di kelas dan jarang sekali siswa lain yang tidak berkepentingan untuk berkunjung ke dalam.
“Yo! Pidatomu tadi bagus sekali, Ren!” Nabo menyapa dengan riang.
Renne mengalihkan pandangannya. “Uh… iya. Terima kasih.”
“Kau kenapa? Dari tadi pagi kau selalu kelihatan murung seperti ini. Aku suka sekali di akhir tadi dengan punchline-nya. Kau memang fans One Piece paling akut yang pernah kukenal.” Nabo tersenyum bangga.
“Ya, tadi itu hebat sekali. Padahal manga-nya saja belum tamat, tapi kau sudah berani berteriak seperti itu,” sahut Balla.
“Kalau kataku, kau bisa membantu Oda-sensei untuk menyelesaikannya. Kau punya koleksi semua manga-nya dan kau hafal semua isinya dulu, dan aku cukup yakin sekarang itu tidak berubah.” Torro juga menanggapi.
“Hey, katakan sesuatu, dong. Kenapa kau seolah-olah tak mengenal kami semua seperti ini? Kita teman, kan?”
Renne masih terlalu gugup untuk menjawab.
“Ya, kita teman. Tidak ada yang namanya mantan teman. Nah sekarang, ayo kita semua menikmati festival ini bersama!” Nabo merangkul pundak Renne, berlagak akrab.
Pada akhirnya, mereka berempat mulai berkeliling ke semua kelas dan menikmati hal-hal menarik yang disajikan masing-masing kelas. Karena tema yang diusung kali ini adalah tema yang berasal dari manga One Piece, maka hampir semuanya tentu menggunakan atribut ataupun hal-hal yang berhubungan dengan dunia perbajak-lautan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tentu ide maid café, rumah hantu, dan sebagainya masih tetap digunakan di beberapa kelas, namun sensasinya sekarang menjadi sedikit lebih berbeda daripada sebelumnya dengan tema One Piece yang diusung kali ini. Maid-nya banyak yang ber-cosplay dari karakter perempuan dari manga One Piece tersebut, begitu juga dengan rumah hantunya.
Tanpa sadar, Renne sudah mulai bisa tertawa lepas dan lebih terbuka dengan tiga anak ini. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa semuanya bisa menjadi semenyenangkan ini. Tak hanya implementasi dari pada siswa yang kreatif dan luar biasa, namun semuanya juga dihubungkan dengan One Piece, yaitu serial manga favoritnya. Ia tak bisa berhenti tersenyum ketika berkeliling bersama ketiga orang itu.
Tak berasa, hari sudah menjelang sore dan hari pembuka festival sekolah akan segera berakhir. Renne, Nabo, Torro, dan Balde berjalan dengan santai di lorong-lorong sekolah sambil menyapa para siswa lain yang sedang membereskan semua peralatan yang digunakan.
“Bagaimana? Kau senang, Ren?” Nabo menyeringai ke arah Renne.
“Yah, aku tidak bisa bohong. Hari ini memang luar biasa. Aku tidak menyangka bisa merasa sesenang ini.” Renne tidak bisa menyembunyikan kepuasan hatinya.
“Mau bagaimanapun juga, kita semua ini tetap teman, kan?” Torro menimpali.
“Ya, aku juga tidak akan memaafkanmu jika kau sampai lupa akan kami.” Balla juga menambahkan.
Renne menggaruk kepalanya. “U-uh, soal itu… aku memang terlalu sibuk dengan pekerjaanku di OSIS. Aku minta maaf…”
Semuanya langsung terdiam dan situasi juga mendadak berubah canggung untuk sejenak. Ketiga kawan yang tadinya sering menyeletuk ke arah Renne kini juga terdiam—berkaca pada situasi mereka sendiri.
“Ngomong-ngomong, apa sebenarnya yang membuatmu berpikir untuk mengusungkan tema festival kali ini? Bukannya kau justru membeberkan fakta bahwa kau itu wibu? Bukannya kau tidak suka akan hal itu?” Nabo bertanya untuk memecah kecanggungan.
“Oh, soal itu, ya. Eng… sebenarnya…”
Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Renne langsung membelalakkan matanya. “Oh iya! Aku hari ini belum berpatroli sama sekali… aku harus melapor terlebih dahulu! M-maaf, kalian semua! Sampai ketemu lagi besok!”
“Hei, tunggu dulu!”
Renne pun langsung berlari meninggalkan ketiga kawannya itu sebelum mereka bisa menahannya. Nabo hanya bisa menepuk dahi sembari menyeringai.
“Dasar, si masokis yang menyebalkan. Heh.”
Ruang OSIS.
“Permisi!” Renne membuka pintunya dengan cukup keras. Di dalam hanya tersisa beberapa anggota OSIS yang sedang berberes—dan tentunya Verra juga masih ada di sana.
“Uh… maafkan aku! Seharian ini aku justru berkeliling dan bersenang-senang terlalu banyak… aku sampai jadi lupa total dengan tugas patroliku hari ini. Aku sungguh minta maaf…”
“Kamu tidak perlu minta maaf, kok, Ren.” Verra berkata sambil merapikan sisa-sisa berkas yang ada di atas meja.
“E-eh? Tapi…”
“Tentang bagian patrolimu, aku sudah menyerahkannya kepada anak lain, tenang saja. Semua baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti pada hari pertama ini,” jawab Verra dengan meyakinkan.
“Ta—”
“Tak perlu terus menyalahkan dirimu sendiri terus, Ren.” Verra langsung memotong sebelum membiarkan Renne kembali berbicara. “Semua murid di sekolah ini berhak untuk bersenang-senang dalam festival ini. Apabila kamu sendiri justru harus merasa terkekang dan tidak bisa bersenang-senang, justru saat itulah festival ini sendiri gagal dalam memenuhi tujuan utamanya. Bukankah begitu?”
Renne hanya bisa terdiam, tidak bisa membalas perkataan Verra.
“Jadi, bagaimana, kamu menikmati festival sekolahnya sejauh ini?”
“Ya. Aku sangat menyukainya.” Renne tersenyum dengan tulus.
Verra sedikit terkejut ketika melihat Renne tersenyum seperti itu. “Y-yah, kalau begitu aku juga bersyukur akan hal itu.”
“Tapi, untuk hari ini saja, ya. Sayangnya, untuk besok aku tidak bisa menemukan anak lain yang bisa menggantikan jadwal patrolimu. Jadi, sayangnya, besok kamu harus kembali untuk bekerja. Hehe.” Verra terkekeh kecil di akhir kalimatnya.
“Ya, aku benar-benar minta maaf untuk hari ini. Aku berjanji akan bekerja ekstra untuk mengganti kekosonganku hari ini.”
“Hei, sudah kubilang pekerjaanmu hari ini sudah dikerjakan oleh anak lain. Kamu tidak perlu menggantinya atau apapun itu.”
Renne kembali terdiam. Sekarang, ia mulai bisa paham atas seluruh nasihat Verra yang dikatakan kepadanya.
“Ya. Kalau begitu, aku akan berpatroli dan bersenang-senang dengan murid yang lainnya, bersama-sama menikmati festival ini sampai puas.”
Verra tersenyum puas ketika mendengar jawaban dari Renne itu. “Itulah jawaban yang ingin kudengar darimu sejak lama.”
…
Hari kedua festival sudah dimulai dari rangkaian festival yang akan berjalan selama satu minggu penuh. Berbeda dengan hari pertama, kini Renne sudah bersiap dengan cosplay yang sudah ia siapkan sendiri dari rumah. Dan tentunya ia menggunakan kostum dari karakter favoritnya, Monkey D. Luffy. Kali ini bukan pinjaman seperti kemarin—kostumnya jauh lebih bagus, dan ia juga bisa berdandan untuk tampil sebaik mungkin. Semua murid di dalam ruangan OSIS cukup terkesan dengan penampilan Renne di hari kedua ini.
“Tidak buruk juga. Kamu terlihat cocok,” celetuk Verra. Renne hanya bisa tersipu malu mendengar pujian itu.
Kali ini, Renne berusaha untuk lebih menikmati perhelatan festival sekolah yang ia pimpin ini. Ia ingin semuanya berjalan lancar, namun ia juga tidak ingin melewatkan segala kesenangan yang bisa ia dapatkan. Ia berpatroli, namun juga berusaha untuk mengikuti serangkaian kegiatan di kelas para siswa yang lain.
Di festival ini masih memiliki beragam aktivitas yang lain. Selain pelayanan yang diberikan masing-masing kelas, masih ada yang lain seperti perlombaan cosplay, kontes kecantikan, dan yang lain sebagainya. Renne menghadiri kontes kecantikan untuk sekarang—ia cukup penasaran dengan babak kualifikasi yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
“Yo, kawan? Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Tiga Sekawan itu menghampiri Renne ketika ia sedang menghadiri babak penyisihan kontes kecantikan pada hari itu.
“E-eh, aku sedang berpatroli…” jawab Renne dengan malu.
“Jangan bohong. Kau sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu, aku tahu.” Nabo menyeringai nakal, merangkul pundak Renne.
“Ya, kami tadi sempat berada di sini kemudian berjalan ke tempat-tempat lain. Lalu saat kami kembali lagi ke sini, kau masih ada di sini.” Torro menambahkan.
Renne memasang senyuman canggung. “Hm… kalian tidak salah juga. Ini semua cukup menarik dan menyenangkan.”
“Dasar fans One Piece harga mati. Tentu saja kau senang, Ren,” sahut Balla nakal.
Ketiga kawan itu tertawa, begitu juga dengan Renne.
“Ah, ya. Kau harus berpatroli, ya. Kemarin itu sepertinya sudah kelewatan. Kami minta maaf.” Nabo menjelaskan.
“T-tidak, bukan begitu!” Renne menjawab cepat. “Kemarin itu menyenangkan, kok. Aku sangat menikmatinya, dan kita semua akhirnya bisa bersama lagi dan bersenang-senang bersama… rasanya seperti aku bermimpi.”
“Tapi, kau tetap harus berpatroli. Ingat, kau itu Ketua OSIS, Ren!”
Renne menggumam. “Hmm… tidak apa. Mumpung kita sedang bersama dan ini adalah festival sekolah, aku ingin menghabiskannya bersama kalian semua. Bersama, seperti dulu lagi. Tenang saja, aku juga tahu apa yang harus aku lakukan dengan tugas patroliku. Ayo, semuanya!” Renne mengepalkan tangannya, meninju tinggi ke udara.
“Uwaah. Aku seperti melihat orang yang barusan kerasukan. Kau tidak apa, kawan?”
“Siswa teladan sekolah itu ternyata wibu tidak tertolong seperti ini, ya? Ya ampun, yang benar saja!”
“Kuingat, Monkey D. Luffy itu orangnya impulsif dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Sepertinya kau orang yang sama, ya?”
Tiga Sekawan itu bergantian bergurau dan menyindir Renne, namun Renne sama sekali tidak memikirkannya. Mereka semua kembali tertawa bersama, kemudian menikmati festival sekolah bersama-sama. Meskipun Renne masih mempunyai tugas patroli dan urusan OSIS yang harus ia lakukan juga, namun ia sekarang merasa lebih bebas dan bahagia dengan keberadaan kawan-kawan lama di sekitarnya dan atmosfer festival yang meriah ini.
Keseharian seperti ini terus berlanjut hingga hari terakhir festival. Setiap harinya selalu menyenangkan bagi Renne. Setelah waktu pulang selalu melelahkan, namun rasa senang itu bak menghapus segala keletihan yang ada. Renne benar-benar menikmati seluruh momen ini dengan sepenuh hati.
Hari terakhir festival.
Di hari terakhir, Renne sama sekali tidak bisa menemui tiga kawannya itu di manapun. Ia sudah berusaha mencari, namun tak satupun dari mereka yang menampakkan batang hidungnya—padahal teman-teman kelas mereka bilang bahwa mereka masuk sekolah. Renne sampai sempat tebersit dalam kepalanya bahwa semua ini bisa jadi adalah salahnya yang terkesan memaksa untuk terus bersama dengan ketiga kawannya itu belakangan ini. Namun, ia langsung menyingkirkan pemikiran negatif itu.
Festival ini adalah sesuatu yang harus kujalani dengan sepenuh hati. Tidak ada waktu untuk menambah emosi negatif dalam diriku. Kalau mereka memang menjauhiku sekarang, aku tinggal meminta maaf kepada mereka di lain hari.
Semua perlombaan memuncak pada hari terakhir ini, tak terkecuali perlombaan cosplay. Babak final dan penentuan pemenang, semuanya ada pada hari terakhir festival ini. Sungguh hari yang ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh siswa.
“Kulihat-lihat, kamu sudah benar-benar menjiwai festival kali ini, ya.” Suara Verra tiba-tiba muncul dari kerumunan siswa yang ingin menyaksikan penentuan pemenang lomba cosplay. Selama ini Verra tidak memakai kostum yang terlalu mencolok sepanjang festival—karena ia memang tidak berpartisipasi dalam kegiatan apapun selain pekerjaan OSIS.
“Oh, halo. Tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Ternyata kamu suka yang seperti ini juga, ya,” sapa Renne dengan tersenyum.
“Hmph. Itu harusnya kalimatku, tahu,” balas Verra sambil memasang senyum iseng. “Kamu tahu sesuatu, Ren?”
“Hm?”
“Aku sudah bilang sebelumnya, aku bukannya membenci ide tema yang kamu bawa untuk festival kali ini. Pada awalnya, aku hanya tidak paham, kenapa kamu memilih tema seperti ini. Padahal hal-hal berbau komik dan anime jepang seperti ini sangat tidak familiar di kalangan banyak orang, sehingga pada awalnya aku sempat bingung—juga sedikit cemas—bagaimana festival kali ini akan berjalan.
“Namun lihatlah sekarang. Semuanya berjalan lancar, dan aku bahkan berani bilang bahwa ini adalah festival terbaik yang diadakan di sekolah ini dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang. Para murid yang awalnya tidak tahu-menahu soal tema yang dibawakan, kamu dengan semangat menuntun mereka untuk mulai mencari tahu soal seri One Piece itu sendiri. Walhasil, banyak murid yang mulai tertarik, lalu mengikuti serinya, dan pada akhirnya menikmatinya dan semakin bersemangat terhadap festival sekolah ini.” Verra mengambil jeda sejenak.
“Dan, untuk pemenang lomba cosplay dalam festival sekolah tahun ini…”
“Tak berbeda denganku, yang pada awalnya tidak tahu apa-apa soal semua tema ala komik jejepangan ini. Semuanya terasa asing bagiku. Namun meskipun begitu, sekarang aku paham. Bahwa apapun itu, apabila sesuatu dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki passion, semangat, dan etos kerja yang bagus, hasilnya takkan mengkhianati semua proses yang telah dilalui. Lihatlah, aku bahkan tidak pernah tahu apa itu One Piece pada awalnya. Namun, untuk melihat festivalnya berjalan meriah, kemudian semua orang bersemangat dan bersenang-senang seperti ini…”
“Pemenangnya adalah… Suzy dari kelas 3-E!”
Riuh rendah langsung pecah di antara para penonton. Ketika sang pemenang lomba cosplay mulai menunjukkan diri dengan kostum meriah miliknya, semua pasang mata di sekitar langsung tertuju ke atas panggung.
“… semuanya terlihat begitu indah dan menyilaukan bagiku.” Verra mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lebar.
Renne tanpa sadar tersenyum dan pipinya memerah ketika melihat Verra begitu senang dengan festival sekolah yang ia pimpin ini.
Verra menghela napas dengan berat, ia mengepalkan kedua lengannya. “Fuhhhh. Baiklah. Kurasa sekarang adalah saatnya.”
Kemudian, Verra tiba-tiba mencengkeram tangan Renne, lalu kemudian langsung berlari ke belakang panggung.
“Eh? Eh? Ver, apa yang kamu—”
Sebelum Renne bisa bertanya lebih jauh, mereka berdua sudah di dalam tempat yang cukup gelap. Ia kebingungan dengan apa yang terjadi sekarang. Verra sudah masuk ke dalam sebuah bilik yang digunakan untuk ganti baju.
Renne menyadari keberadaan seorang anggota OSIS yang juga ia kenal sedang mengawasi di belakang panggung ini. “Hei, kau lihat barusan, kan? Verra menarikku seperti itu tiba-tiba, aneh sekali. Kau tahu sesuatu?”
Anak itu hanya mengangkat kedua bahu dan tersenyum. “Yaaah, mana aku tahu. Aku kan hanya mengurusi logistik perlombaan ini saja, aku tidak tahu apa-apa soal Wakil Ketua…”
Renne mendecak. Ia juga bertanya kepada beberapa anak OSIS lain di sekitar dan anak yang mengurus keperluan panggung, namun mereka semua juga tutup mulut soal itu. Renne lama-lama juga mulai merasa kesal.
Namun sebelum Renne sempat mengeluh, bilik ganti baju sudah dibuka kembali. Di dalam gelapnya kondisi belakang panggung sekarang, Renne masih kesulitan untuk melihat sekelilingnya.
“… Oh, oh, oh! Tapi, tunggu dulu. Kita punya sedikit kejutan. Aku tidak perlu memberi clue apapun untuk sekarang, jadi tunggu saja!”
Pembawa acara di panggung terdengar bersemangat di kalimat yang baru saja ia bawakan. Renne sedikit kebingungan. Kejutan? Tapi, semua orang di sini hanya diam saja. Mereka tidak seperti menyiapkan apapun…
“Ayo!” Renne mendengar suara Verra yang bersemangat, tangannya dipegang dan ia ditarik menuju ke panggung. Kembali lagi, Renne harus mengikuti arus tanpa sempat bertanya terlebih dahulu.
Renne harus sedikit mengerjap-ngerjap begitu keluar dari belakang panggung yang gelap secara tiba-tiba. Sekarang, ia sudah berada di atas panggung di hadapan semua penonton yang ada. Meskipun ia sudah terbiasa tampil di depan banyak orang, namun melakukannya tanpa persiapan seperti ini membuatnya sedikit gugup. Begitu melihat sekilas ke arah para penonton, ia bisa langsung mengenali beberapa wajah yang sangat ia kenal.
Mereka bertiga… kenapa mereka tiba-tiba ada di sini? Padahal aku tak bisa menemukan mereka sejak tadi pagi…
Perlahan Renne juga mulai menyadari bahwa sebelah tangannya masih dipegang oleh Verra—yang tak lama kemudian segera melepaskan genggamannya. Begitu menoleh ke sebelahnya, ia kehabisan kata-kata untuk sejenak.
Verra sedang berdiri di sebelah Renne dengan masih menggenggam tangannya erat, menatap seluruh penonton di depan mereka berdua. Ia sangat gugup dan wajahnya sangat merah, namun ia tetap menahannya. Kostum Boa Hancock yang sedang dikenakannya, benar-benar membuat Renne tak berkutik. Para penonton juga terkesima di hadapan sang Wakil Ketua OSIS yang menggunakan kostum karakter yang begitu ‘berani’, meskipun pada beberapa bagian yang memang benar-benar harus ditutupi dari penampilan karakter yang sebenarnya—kalau kalian mengetahui desain karakternya, kalian tahu bagian apa itu. Namun di lain itu semua, kostum yang sedang dikenakan Verra benar-benar mirip dan tidak terkesan setengah-setengah sama sekali. Renne yang merupakan fans berat serial One Piece benar-benar terkesan dengan Verra yang sedang ia lihat sekarang.
Meskipun mungkin memang, ada sesuatu yang lain yang membuatnya tak bisa memalingkan pandangannya untuk sekarang.
Pembawa acara memberikan mikrofon kepada Verra. Verra pun mulai menghela napas panjang, menenangkan dirinya yang sedang gemetaran karena gugup. Ia mulai mendekatkan mikrofon ke bibirnya.
“H-halo, semuanya! Y-yah, maaf kalau menyela acara untuk sejenak. Ehem, aku tidak ingin berbasa-basi di sini agar tidak berlama-lama.”
Begitu selesai berbicara, Verra mematikan dan kemudian meletakkan mikrofonnya di lantai panggung. Ia langsung menggenggam kedua tangan Renne, memaksanya untuk berhadapan dengannya. Renne yang masih kebingungan menjadi semakin salah tingkah.
“E-eh… Ver… ini…”
Renne bisa merasakan Verra menguatkan genggaman pada kedua tangannya.
“Renne… aku suka padamu! Jadilah pacarku!”
Begitu mendengar kalimat itu, Renne bisa merasakan seolah jantungnya hendak copot. Pernyataan cinta yang singkat, padat, dan jelas itu langsung diikuti oleh riuh rendah semua penonton yang menyaksikan, juga siulan-siulan nyaring yang antusias.
“AKHIRNYA!!!”
“UWAAAAAH!!!”
“WAKIL KETUA BENAR-BENAR MELAKUKANNYA! UWOOOHHH!!!”
Semua penonton benar-benar senang dan sangat puas dengan pengakuan Verra. Di tengah keributan semua penonton, Renne berusaha untuk berpikir dengan situasi yang ia hadapi.
Verra tiba-tiba menyatakan perasaannya kepadaku. Aku sudah sering melihatnya di antara murid yang lain, namun ini pertama kalinya bagiku. Bagaimana aku harus menjawabnya untuk sekarang?
Pikirkan. Aku sekarang ditonton oleh banyak orang di sini. Mereka semua tampak senang dengan situasi yang sekarang, dan aku juga harus menjawab dengan cepat. Lalu, soal pacaran ini, aku memang tidak terlalu mengerti seperti apa itu karena belum pernah menjalaninya. Namun, untuk sekarang, agar tidak mengecewakan para penonton yang sedang bergembira dan keberanian Verra, maka jawaban yang harus kuberikan adalah…
“Ahem!”
Keramaian penonton mendadak berhenti.
“Y-ya, baiklah… aku menerimanya.”
Renne sampai harus menutup kedua telinganya ketika mendengar respons para penonton setelah jawaban yang ia berikan. Seluruh sudut ruangan dipenuhi oleh teriakan-teriakan kegirangan. Bahkan Verra juga mulai tidak bisa menahannya setelah beberapa lama dan harus ikut menutup telinganya.
Keributan di perlombaan pun tak lama kemudian langsung dihentikan setelah beberapa guru yang berpatroli mulai berdatangan untuk mengecek situasi. Tentu saja, Renne dan Verra sebagai ketua dan wakil ketua OSIS yang dipanggil untuk ditanyai mengenai apa yang terjadi—dan tak lupa juga mendapatkan beberapa omelan—terutama terkait pernyataan cinta di atas panggung tadi. Untungnya, semua berakhir baik-baik saja dan keduanya hanya mendapat peringatan setelah Renne dan Verra meminta maaf berulang kali di depan para guru.
Dari ruang guru, mereka berdua beranjak menuju ke ruangan OSIS untuk menyelesaikan pekerjaan mereka berdua di hari terakhir ini. Informasi menyebar dengan cepat, dan banyak sekali murid-murid dari kelas lain sudah berusaha untuk bertanya-tanya kepada mereka berdua soal apa yang terjadi di panggung tadi. Namun, seiring mereka berdua berjalan, Verra hanya memasang wajah cuek—membuat semua murid lain enggan untuk bertanya yang macam-macam. Mereka berdua pun bisa terus berjalan menuju ruangan OSIS tanpa harus banyak mengurus keingintahuan banyak murid yang lain.
Sesampainya di ruang OSIS, situasinya menjadi sedikit berbeda dari yang biasanya. Semua yang berada di dalam tampak lebih sibuk dari biasanya, namun mereka tak bisa berhenti tersenyum—membuat aura di dalam ruang OSIS menjadi jauh lebih ceria dari biasanya.
“Maafkan aku, akibat dari semua persiapan untuk hari ini, banyak pekerjaan yang tertinggal dari jadwal. Aku harus segera membereskannya. Kalau ada yang ingin kamu tanyakan lebih jauh tentang yang tadi, tolong simpan semuanya untuk nanti.” Verra menjelaskan dengan nada datar sebelum Renne sempat bertanya—ia sudah kembali memasuki mode bekerjanya. Meskipun apa yang terjadi di panggung tadi masih berusaha ia cerna, namun ia juga setuju dengan perkataan Verra untuk membereskan segala pekerjaan yang ada untuk terlebih dahulu untuk sekarang. Dengan begitu, pekerjaan di dalam ruangan OSIS terus berjalan seperti biasa.
Seluruh rangkaian festival pun diakhiri dengan pidato dari Ketua OSIS, seperti biasa. Namun, untuk festival kali ini berbeda. Kabar menyebar dengan sangat cepat di dalam sekolah terkait dengan apa yang terjadi di antara Ketua dan Wakil Ketua OSIS di panggung lomba cosplay tadi. Begitu pidato Ketua OSIS selesai, tidak hanya tepuk tangan meriah yang terdengar, namun juga suara siulan dan teriakan antusias dari para siswa. Renne menjadi malu, dan memilih untuk cepat kembali ke belakang panggung.
“Kerja bagus.” Verra tersenyum di dalam remang begitu Renne berjalan kembali ke balik panggung.
Setelah itu, seluruh murid pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri. Seluruh anggota OSIS juga kembali untuk membereskan sisa-sisa festival hingga benar-benar tuntas. Meskipun harus pulang malam, namun seperti biasa, tak pernah ada yang protes ketika mereka melihat ketuanya yang selalu pulang paling terakhir dari yang lainnya.
Pukul sembilan malam. Semua anggota OSIS sudah selesai beberes dan sudah pulang semua. Menyisakan Renne dan Verra di dalam ruangan OSIS, berdua.
“Akhirnya… selesai juga.” Renne meregangkan sekujur tubuhnya di kursi kerjanya.
“Terima kasih atas kerja kerasnya.” Verra menyahut dari sudut ruangan.
“Dengan begini, ini akan jadi kali terakhir kita akan sibuk bekerja di sini, ya…” ujar Renne dengan tersenyum lemas.
“Ya, kamu benar sekali. Akhirnya aku tak perlu lagi pulang larut untuk menunggumu yang kerjanya lambat sekali seperti siput.”
“Hei, jangan begitu, dong! Kerjaku tidak lambat. Lagipula, aku juga tak pernah memintamu untuk pulang selarut ini. Aku bekerja seperti ini karena keinginanku sendiri.”
“Kalau bukan karena aku yang selalu membantumu seperti ini, kamu tak akan pernah pulang ke rumah. Kamu akan selalu menginap di ruangan ini, tenggelam dalam pekerjaanmu. Jadi berterima kasihlah karena itu.”
“Y-ya… terima kasih sudah selalu menemaniku, Ver.”
Verra langsung refleks membalikkan badan, pipinya memerah. “S-sama-sama.”
“Ngomong-ngomong, Ver. Sebelum pulang, aku ingin bertanya sesuatu. Ini tentang yang terjadi di panggung lomba cosplay tadi…”
Seketika itu juga, Verra langsung terperangah di tempatnya. Ia tahu ini akan terjadi, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia merapatkan bibirnya untuk sejenak, bersiap untuk…
Tok tok tok.
“Pakeeeeet!” Tiba-tiba ada suara dari luar ruangan.
“Oh, ya!” Renne langsung beranjak dari tempatnya untuk membukakan pintu. Namun, begitu terkejutnya Renne ketika semburan confetti langsung memenuhi wajahnya setelah ia membukakan pintu.
“Huahahaha! Kau ini memang lucu sekali, Ren.” Rupanya Tiga Sekawan yang berada di balik pintu. Mereka semua tertawa-tawa sementara Renne terus mengeluhkan wajahnya yang gatal karena tersembur confetti.
Nabo menutup pintu ruangan. “Ya ampun, ternyata kau selalu bekerja sampai malam begini, ya. Lalu, Wakil Ketua? Oh, kau masih di sini juga? Hm, berarti sesuai dengan rumor yang sering kudengar kalau pekerja OSIS kita tahun ini benar-benar workaholic semua. Memangnya kalian tidak tahu masa muda itu apa, hah?”
“Uh… huh? Kenapa kalian masih di sini?” tanya Renne.
“Ya, tentu saja. Kami awalnya ingin pulang bersama dengan kau, tapi seperti biasa, kau mencintai kerja rodi seperti ini lebih dari siapapun. Kami jadi harus menunggu sampai malam seperti ini.”
“Ya, itu benar!” Torro dan Balla mengiyakan dengan kompak.
“Sudahlah, aku tak ingin lama berbasa-basi di sini memarahimu. Yang penting sekarang, aku ingin mendengarkan cerita Wakil Ketua soal kejelasan siang tadi. Ayo, lanjutkan!”
“Lanjutkan! Lanjutkan! Cerita! Cerita!” Tiga Sekawan kompak berseru-seru, membuat Verra yang dari tadi diam semakin salah tingkah.
“B-baiklah… aku juga memang perlu menjelaskan tentang semua ini bagaimanapun juga. Maaf sudah sangat merepotkanmu untuk hari ini juga, Ren.”
Untuk sesaat, Renne bergumam dalam hatinya. Eh? Verra langsung mengiyakan begitu saja? Apabila denganku, biasanya ia selalu membalas perkataanku dengan mulut pedasnya. Seperti dugaanku, ia belakangan ini semakin sering bersikap aneh…
Verra pun akhirnya berterus terang soal apa yang terjadi tadi siang. Rupanya, selama ini ia sudah bersekongkol dengan Tiga Sekawan untuk menyiapkan semuanya pada hari ini. Verra memang serius menyukai Renne dan memang ingin menjadi pacarnya, dan itu sama sekali bukan kebohongan. Verra yang mengetahui beberapa hal tentang anime One Piece, karakter kesukaan Renne, dan yang lain sebagainya juga berasal dari informasi pemberian Tiga Sekawan.
“Jadi, bagaimana menurutmu soal kostum Boa Hancock yang dikenakan Wakil Ketua tadi, Ren? Hm?” tanya Nabo dengan usil.
“Uh… soal itu. Hmm.” Renne berhenti sejenak, membenarkan posisi kacamatanya dan memasuki mode fokus. “Menurutku sudah lumayan bagus. Pemilihan bahannya cukup sesuai, proporsinya juga tidak buruk. Aku pribadi cukup suka dengan wignya. Namun sayangnya, di beberapa bagian kostum ada yang warnanya kurang cocok dengan aslinya, lalu juga untuk bagian dadanya… yang tadi itu menurutku terlalu tertutup—”
“KYAAA!” Tangan Verra bergerak secepat kilat untuk menutup bibir Renne. “Tak perlu membahas sampai ke situ! Lagipula, itu juga termasuk peraturan berpakaian sekolah, jadi aku tetap harus menaatinya!”
Tiga Sekawan tertawa lepas. “Ya ampun, kau tak pernah berubah. Kalau sudah berbicara soal One Piece, kau selalu lebih tahu dari siapapun,” celetuk Torro.
“Benar sekali. Bahkan untuk berkomentar seperti itu terhadap Wakil Ketua, benar-benar tidak ada ampun untuk kesalahan,” timpal Balla.
Beberapa saat kemudian, Nabo menahan tawanya—berusaha mengembalikan topik pembicaraan. “Ngomong-ngomong, kau mengiyakan perkataan Wakil Ketua tadi siang. Walaupun begitu, apa kau benar-benar yakin? Kita sebentar lagi akan melewati ujian akhir, lalu lulus…”
Renne berpikir sejenak. “Hm… Sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini, namun jawabanku tadi siang itu sangat dipengaruhi oleh suasana di sana. Itu bukan jawabanku yang sebenarnya. Tapi, tunggu dulu!”
Renne mengangkat tangannya, menghentikan Nabo yang raut wajahnya langsung berubah masam setelah mendengar perkataan Renne tadi.
“Aku tahu itu egois, aku juga sebenarnya ingin menjawabnya dengan serius. Mau bagaimanapun juga, aku harus menghargai usaha Verra yang sudah begitu beraninya melakukan itu di depan semua orang.
“Jawabanku yang sebenarnya, aku masih belum tahu. Lagipula, kita tidak punya banyak waktu tersisa. Hanya beberapa minggu lagi menjelang ujian kelulusan, dan kita semua akan memasuki dunia perkuliahan. Aku hanya merasa, semuanya sudah agak terlambat…”
“Apa yang kau maksud, huh?” potong Nabo.
“Eh? Ada apa?”
“Kenapa kau harus sok dramatis soal itu? Tinggal masuk ke kampus yang sama, lalu urusan selesai, kan? Aku tahu kalian berdua mengincar kampus yang paling top, tapi kalian berdua juga penghuni tetap rangking 1 dan 2 di sekolah ini—seharusnya tak ada masalah. Dengan begitu, kalian bisa berpacaran dengan sepuasnya di sana. Ya, kan?”
Hanya dengan begitu, semua orang di dalam ruangan langsung terdiam dan saling menghindari tatapan mata. Torro dan Balla juga hanya bisa ber-oh pelan.
“Apa-apaan dengan kalian semua ini? Masa begitu saja tidak paham? Duh, kalian semua ini menyedihkan…” Nabo menepuk dahi.
“Jadi, bagaimana, Ren? Jawabanmu yang sebenarnya. Apakah kau benar ingin berpacaran dengannya? Atau—kuganti pertanyaanku agar semuanya jelas di sini.
“Apakah kau benar-benar menyukai Wakil Ketua?”
Renne sempat terdiam untuk sejenak untuk berpikir. Ia pun akhirnya memiliki jawabannya.
“Aku… jujur saja, aku sama sekali tidak berpengalaman soal ini semua—cinta, pacaran, atau apapun itu. Tapi, apabila Verra sudah serius dengan ini, maka aku juga akan berusaha untuk membalasnya semampuku. Aku sangat tahu soal Verra—ia sangat bisa diandalkan, tak pernah membosankan sebagai lawan bicara, dan selalu peduli dengan orang lain. Meskipun sekarang aku belum bisa mengatakan aku menyukai Verra dengan tulus, namun aku yakin Verra bisa mengajariku ke depannya tentang semua ini—rasa suka, cinta, atau apapun itu. Aku akan selalu menemaninya di tengah semua itu.”
Nabo kembali lagi menepuk dahinya. “Ya ampun, kaku sekali. Tinggal bilang ya, atau tidak, apa susahnya?”
“Bisa diandalkan… peduli dengan orang lain…”
Mendengar Verra yang bergumam seperti itu dengan wajah tersipu, Nabo hanya bisa menghela napas panjang. “Yah, kalian berdua memang cocok, sih. Terlampau cocok, malahan. Seperti sudah ditakdirkan atau apalah itu… terserah saja, lah.”
“E-eh, sepertinya aku ditelpon,” Verra mengambil gawai dari saku roknya, kemudian mengangkat telepon. Ia kemudian dibuat kaget, dan berulang kali mengucap minta maaf.
“Maaf semuanya, aku lupa kalau orang tuaku mengajakku untuk makan malam spesial di rumah setelah festival berakhir, namun aku malah melupakannya. Orang tuaku benar-benar marah sekarang. Aku harus segera pulang sekarang, terima kasih atas semuanya hari ini!” Verra buru-buru mengambil tasnya, meninggalkan ruangan OSIS sebelum sempat ada yang bertanya lebih lanjut.
“Hm. Terserah, lah. Dia sudah mendengar apa yang perlu ia dengar. Tidak ada masalah.” Nabo tersenyum tipis, diikuti oleh Renne yang tertawa kecil agak dipaksakan.
“Hei, Ren. Kami juga datang ke sini untuk mengatakan sesuatu kepadamu.”
“Hm?”
“Kami ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas festival sekolah yang sudah kau pimpin ini.” Nabo menundukkan kepalanya cukup dalam, diikuti dengan Torro dan Balla yang juga menunduk dan berterima kasih.
“A-apa? Ada apa? Kenapa tiba-tiba…”
“Tidak, kami serius. Kau masih ingat, kan, dulu? Saat SD dan SMP dulu kita selalu bersama, selalu berlagak bodoh bersama. Tidak—kami bertiga yang bodoh, dan kau adalah anak pintar yang rela bergaul dengan kita semua hanya karena kita semua sama-sama wibu. Namun, di SMA kali ini, kita semua jadi sangat jarang berkumpul bersama. Bahkan aku, Torro, dan Balla sudah saling tidak sapa selama berbulan-bulan. Kau sibuk dengan kehidupan OSIS-mu. Kita semua sibuk dengan urusan masing-masing. Aku tidak suka mengatakannya, namun mau tidak mau kita semua tumbuh dewasa. Kita bukan anak-anak lagi.”
Udara di dalam ruangan mendadak berubah berat. Renne agak tidak menyukai ini, namun ia tidak ingin merusak suasana yang serius ini untuk sekarang.
“Tapi, sejak kau dengan beraninya mengusulkan ide soal festival sekolah bertema One Piece ini, kami semua merasa seperti kembali menjadi anak kecil lagi. Semangat mengikuti festival, bisa kembali berkumpul bersama lagi dan bersenang-senang bersama. Kami ingin melihat kau mewujudkannya, karena kami semua tahu kau akan selalu melakukan hal yang sudah kau mulai dengan sepenuh hati. Dan hasilnya, festivalnya benar-benar luar biasa. Kami semua menikmatinya, bersenang-senang bersama.
“Dan jangan lupa, kita semua teman. Kita ini Empat Sekawan saat SMP dulu, dan julukan itu tidak perlu berubah untuk kapanpun. Sejujurnya, kami bertiga masih ingin kau untuk menikmati festival ini bersama lebih lama lagi, tapi apa boleh buat—kau memang punya banyak tugas yang harus dilakukan dalam OSIS, jadi ya, kami—tidak, aku minta maaf kalau sudah bertingkah menyebalkan ketika kau sedang menjalankan tugasmu selama beberapa hari belakangan ini.” Nabo kembali menundukkan kepalanya.
“Uh… aku juga minta maaf…” Torro dan Balla mengikuti.
“Eh… angkat kepala kalian! Kalian tidak perlu meminta maaf…,” ujar Renne sambil memegang pundak Nabo.
“Aku… juga minta maaf sudah putus kontak dengan kalian semua sejak bergabung dengan OSIS di tahun kedua dulu. Sebenarnya… aku juga ingin mengajak kita semua berkumpul bersama lagi untuk menikmati festival bersama, itu sebabnya aku memilih tema ini. Namun, ternyata, aku terlampau sibuk untuk bisa menikmati festival ini sepenuhnya. Oleh karena itu, aku juga sebenarnya sudah merasa sangat senang dan bersyukur ketika kalian sampai repot-repot untuk mengajakku berkeliling untuk lebih menikmati festival ini…”
“Tunggu dulu. Apa katamu? Kau sengaja memilih tema seperti itu untuk kami?”
“Uh… iya. Aku hanya berpikir… paling tidak kita semua bisa menikmati masa-masa akhir sekolah kita dengan bersenang-senang dengan hal yang kita sukai.”
Hening sejenak. Renne kebingungan. “Eh? Ada apa?”
“HUWAA!!! KAU MELAKUKAN INI SEMUA DEMI KAMI? KAU YANG TERBAIK, KAWAN…” Nabo berteriak sambil menepuk-nepuk punggung Renne dengan keras. Ia juga sedikit sesenggukan, begitu juga dengan Torro dan Balla.
“Maafkan aku sudah memutus hubungan dengan kalian semua…”
“Aku juga minta maaf… aku terlalu sibuk memikirkan diri sendiri…”
“Aku memang tidak punya teman di kelasku, namun aku juga begitu sombongnya melupakan kalian semua selama ini…”
Renne hanya bisa tersenyum takzim mendengar semua permintaan maaf temannya itu. Ia juga mulai menitikkan air mata dari pelupuknya.
“Kita semua… selalu berteman. Di masa lalu, sekarang, ataupun nanti.” Renne memeluk tiga kawannya itu dengan erat.
Setelah suasana emosional mereda untuk sejenak, Renne bertanya dari rasa penasarannya. “Ngomong-ngomong, Verra tadi bilang dia ‘bersekongkol’ dengan kalian? Untuk apa kalian melakukannya? Memangnya kalian sedekat itu dengannya, ya?”
Nabo kembali lagi menepuk dahinya. “Dasar. Rangking 1 sekolah tapi kepekaanmu buruk sekali.”
“Kepekaan? Huh?”
“Tidak ada orang di sekolah yang tidak tahu, bahwa Wakil Ketua menyukaimu. Semuanya sangat gemas melihat hubungan kalian yang tidak mengalami kemajuan sama sekali. Dengan kesempatan ini, tentunya kami mewakili semua siswa yang lain harus mulai bertindak, bahkan juga bekerja sama dengan Wakil Ketua itu sendiri untuk membuatmu sadar.”
“Eh??!! Serius?! Semua anak lain tahu??” ujar Renne dengan nada tidak percaya.
“Tentu saja! Kami bertiga harus menjadi comblang kalian berdua agar semua ini bisa terjadi. Kita semua tahu kau orangnya cinta mati dengan pekerjaan dan tak peka seperti ini, tapi kau masih punya perempuan yang suka denganmu! Speknya tinggi, lagi! Dasar! Padahal dasarnya kau juga wibu payah seperti kami! Menyebalkan, tahu!” Nabo langsung tiba-tiba meluapkan keluh kesahnya tepat di depan wajah Renne.
“Nabo benar! Dan kalian tentunya akan berpacaran lama di kuliah nanti… semakin mesra… kami semua juga ingin sekampus denganmu! Tapi otak kami semua tidak seencer kalian berdua! Kami harus benar-benar berusaha keras untuk masuk ke kampus yang kalian yang bagus, apalagi kampus top yang kalian berdua incar…”
“Terkutuk kau, wibu kok punya pacar!”
“Kami sebenarnya tidak ingin melakukan semua ini, tapi ini demi semua siswa yang lain juga yang ingin melihat kalian akhirnya berpacaran…”
“Eh, sudah, sudah!” Renne berusaha menghentikan ocehan semua temannya itu sebelum menjadi semakin parah. “Jujur saja, aku tidak terlalu mengerti apa yang kalian semua bicarakan. Mungkin kalian benar, aku orangnya tidak peka. Tapi, aku tidak akan melupakan kalian semua juga, kok! Meskipun kita berbeda kampus nanti, aku akan selalu terus berhubungan dengan kalian! Kalian semua teman berhargaku, dan aku juga tidak ingin kehilangan kalian…”
Setelah itu, ketiga teman Renne itu langsung kembali emosional lagi dan memeluk Renne dengan erat, membuatnya kewalahan.
“UWAAA!! Meskipun menyebalkan, tapi kau selalu menjadi yang terkeren dari kita berempat. Kau adalah kebanggaan kita!” Nabo seperti hendak kembali menangis lagi.
“Hm-hm.” Torro dan Balla hanya bisa mengangguk-angguk sambil merapatkan pelukannya masing-masing. Namun, Balla punya ide usil lain. Ia menggelitik bagian pinggang Renne yang sedang ia pegang dengan cukup keras, yang akhirnya juga diikuti oleh Nabo dan Torro.
“HEI! Hentikan! Ha… ha… geli… tapi sakit juga, tahu! Hei!”
Mereka semua pun tertawa-tawa lepas bersama, seperti yang dulu biasa mereka lakukan. Festival sekolah telah usai, dan dengan begitu sekarang tidak ada lagi yang akan pulang ke rumah masing-masing dengan rasa penyesalan yang masih tersisa.
Empat Sekawan telah resmi kembali bersama lagi.
Penulis: Mystyros