Redemption Trip to Holy Land

Entry Writchal #3
Tema: Mati


Di Levanṭīnīye, atau dahulu disebut disebut sebagai Levantinopel, Sultan, sekaligus kaisar Latin Timur Baru, Padishah Aḥmed Salajakoğlu, terlihat sangat frustasi dengan wajah yang diliputi oleh kemarahan. Para menteri dan bawahan Padishah paling terpercaya pun tidak berani memecah keheningan di ruang sidang Istana. Mereka takut tanpa sengaja menuang minyak dalam api yang sedang berkobar. Ketika Menteri Ekonomi Kesultanan, Jalāl ud-Dīn Pasha hendak memecah keheningan dengan memberanikan diri membuka pembicaraan dalam sidang istana, tiba-tiba Sultan Aḥmed langsung memotong pembicaraan.

“Jalāl ud-Dīn Pasha ! Apakah kamu memiliki kabar terbaru terkait putraku, Şehzade  Altaïr Çelebi?” Tanya Sultan dengan perlahan dengan penuh ketegasan.

Semua yang hadir di sidang Istana diam seribu bahasa, termasuk Jalāl ud-Dīn. Sultan yang merasa diabaikan itu pun terlihat berusaha menahan amarahnya. Suasana sidang istana sangat mengekang saat itu. Kemurkaan Sultan bisa saja menjadi akhir dari karir, atau bahkan kehidupan mereka. 

Sudah seminggu sejak jejak Şehzade  Altaïr Çelebi, yang tanpa izin dari Sultan, memimpin invasi ke Beylik Dulkadir di selatan, hilang tanpa jejak.  Kabar terakhir yang diterima Sultan dan Levanṭīnīye terkait adalah keberhasilan pasukan Şehzade  mengambil alih beylik, dan kabar kematian seluruh keluarga Bey Dulkadir, termasuk tunangan dan teman masa kecil Şehzade  dalam sebuah kudeta berdarah yang terjadi sebelum Invasi. Setelah itu  Şehzade   meninggalkan posnya dan menghilang tanpa jejak. Baik bawah maupun pasukannya tidak mengetahui keberadaan Şehzade   setelah itu. 

Bey, setara dengan duke, sebelumnya merupakan bawahan Sultan, sebelum perang saudara pecah dan banyak bey yang memerdekakan diri dari Kesultanan saat kekosongan kekuasaan. Namun kini kesultanan telah kembali pulih dan mulai mengintegrasi kembali wilayah-wilayah yang sempat memerdekakan diri. Salah satunya di Dulkadir. 

Suasana tegas di ruangan sidang istana kemudian dipecah dengan kedatangan seorang pejabat kesultanan yang masih muda. Dia belum genap kepala tiga, namun telah memperoleh kehormatan untuk menggunakan gelar “Pasha” dalam namanya.

“Salam Padishah, semoga Dewa yang Maha Tunggal selalu memberkahimu. Sebelumnya saya mohon maaf karena telah mengganggu jalannya sidang istana pagi ini dan yang paling penting terlambat untuk menghadiri sidang istana pagi ini.” Jelasnya sembari menundukkan kepala untuk menghormati Sultan. Berbeda dengan sebelumnya, Sultan yang sekarang terlihat sedikit lega dengan kehadiran Zaganos Pasha, dengan tenang membuka dialog dengan Pasha mudanya. 

“hmm…mmm…Zaganos Pasha, sebelumnya angkat kepalamu,….” Jawab sultan.

“Sebagai komandan pasukan Yeŋiçeri, disiplin merupakan hal yang mutlak. Jadi, apa yang menghambatmu, Zaganos Pasha ?” Lanjut Sultan setelah Zaganos Pasha kembali menegakkan kepalanya. 

“Ada kabar baik Padishah ! Kami berhasil melacak keberadaan Şehzade  . Setelah sidang ini saya akan berangkat sendiri untuk menjemputnya. ” Jawab Zaganos dengan sumringah.

Sultan juga terlihat lega dan lebih tenang dengan kabar ini, begitu juga menteri, pasha dan pejabat kesultanan lainnya. Ini merupakan kejelasan yang mereka tunggu sepanjang minggu ini. 

“Zaganos Pasha ! Mohon jelaskan dengan lebih detail terkait kabar tersebut, termasuk bagaimana Anda akan menjemput Şehzade  .” Sahut seorang Pasha senior dalam sidang.

“Ya, paparkan dengan lebih detail terkait kabar ini, Zaganos Pasha!” Sahut Sultan.

“Baik, Sultan Aḥmed!” Jawab Zaganos.


“Gluk…gluk….gluk……ahhhhhh!” 

Seorang pemuda yang mengenakan pakaian pengelana menghabiskan persediaan air minum yang dia miliki dalam perjalanan melintasi gurun. Namun hal itu bukan masalah berarti karena dia tidak jauh sebuah kota oasis, dan berencana mengisi kembali persediaannya disitu.

“Wah kelihatannya sangat nikmat sekali!” Suara dari seorang gadis terdengar di dekatnya.

“Percuma, aku tidak bisa membagi ini kepadamu. Lagian juga kamu tidak membutuhkannya juga bukan ?” Sahut si pemuda.

“HMNNNNNNN!” Gerutu gadis itu dengan muka masam dan kesal di wajahnya.

“Aku tahu itu!! Tapi kamu sepertinya sangat puas menikmatinya! Aku jadi iri tahu!” Sahut gadis itu dengan muka cemberut. 

Sementara si pemuda itu hanya tersenyum dan tertawa kecil melihat tingkah laku gadis itu. 

“Kau tidak berubahnya ya ….” Gumam si pemuda. 

Perlahan senyuman si pemuda itu itu perlahan menjadi senyuman getir. Si gadis masih memalingkan pandangan ke si pemuda itu ketika ia mencoba untuk mengusap kepala si gadis tersebut, seperti yang biasa dia lakukan di masa lalu. Namun dia sadar satu hal, si pemuda itu tidak bisa menyentuh gadis tersebut. Senyum si pemuda itu berubah menjadi raut wajah kesedihan yang menunjukan penyesalan yang mendalam. 

Di mata si pemuda, dia memang berbicara dan mengobrol dengan seorang gadis, namun dimata orang lain, dia seperti orang yang berbicara sendiri. Hal itu karena gadis yang ada bersamanya sebenarnya merupakan arwah dari seseorang yang telah meninggal. 

Hanım Fatma Abdul-Qadir, Putri Bey Muhammad Abdul-Qadir, Bey Dulkadir.  Memerdekaan diri ketika Kesultanan mengalami kekosongan kekuasaan, kemerdekaannya kini terancam oleh kebangkitan kesultanan yang berusaha kembali mengintegrasi Beylik-Beylik yang memerdekakan diri. Terkenal sebagai diplomat ulung, Muhammad Abdul-Qadir sukses mempertahankan kemerdekaan Beylik dengan permainan diplomatik antara dua kesultanan besar di perbatasannya, Yaitu Kesultanan Salajakiyah di utara dan Kesultanan Mamalik di selatan. Ketika kudeta terjadi di Dulkadir, ia merupakan satu-satunya bekas wilayah kesultanan Salajakiyah yang belum berhasil direbut kembali oleh kesultanan. Meskipun semua pencapaian ini telah berakhir dengan kematian tragis Muhammad dan keluarganya dalam kudeta, termasuk Fatma. 

….

“Hanım hati-hati!” 

Seorang pelayan memberikan peringatan kepada seorang gadis cilik yang berlarian di sekitar Kastil Pegunungan di Manisa, Kesultanan Salajakiyah.

“Hahahahha, coba tangkap aku bibi!” Jawab si gadis cilik itu.

Kesal karena orang tua terlalu sibuk untuk menitipkannya di tempat asing tanpa persetujuannya, gadis bernama Hanım Fatma ini menjadi gadis nakal. Dia selalu melanggar aturan di kastil, membangkang dan tidak pernah menuruti pelayan atau yang ada di kastil. Padahal kastil itu terletak tebing tinggi dan curam di Pegunungan Banteng sehingga sangat berbahaya untuk berkeliaran . Dan benar saja, Hanım terpeleset dan terjatuh ke jurang. 

KYYYYAAAAAHHHHHHH!!

Dalam kondisi kritis itu, Hanım dapat hanya melihat puncak kastil yang terlihat semakin menjauh. Dia tidak berani untuk melihat ke bawah. Dia ketakutannya. Dia berharap ada seseorang yang mau menyelamatkannya. Namun itu tidak mungkin. Dia merupakan gadis yang nakal, semua orang pasti membencinya. Hanım menutup matanya, dia ketakutan untuk melihat bagaimana dia akan meregang nyawa akibat kecerobohannya. 

Tiba-tiba dia merasakan seseorang merangkul tubuhnya. Hanım terkejut dan penasaran, namun ia terlalu takut untuk membuka matanya. Setelah mengalami beberapa kali hentakan dan benturan, kehilangan kesadarannya. Hal terakhir dia ingat, ia kesulitan bernafas sebelum tidak sadarkan diri.

Ketika siuman , orang pertama yang terlihat di ada di hadapannya, adalah seorang anak laki-laki dengan wajah dengan tubuh yang basah kuyup dan penuh luka. Dia terlihat kelelahan, dengan bilah pedang yang patah di dekatnya. Tidak jauh dari tempat mereka, terdapat sungai yang kemungkinan menjadi tempat mereka mendarat, karena Hanım juga mendapati pakaiannya yang dia kenakan juga basah kuyup. 

“Hanım Fatma,….kamu baik-baik saja?” Tanya anak laki-laki itu.

Hanım menganggukkan kepalanya.

“Huh! Merepotkan sekali. Saya sedikit panik ketika mendapatimu tidak sadarkan diri ketika berhasil membawamu ke tepian sungai. Yah…..beruntungnya kamu hanya, Arrggrrhh….pingsan…saja.” Lanjut anak laki-laki itu ketika dia tanpa sengaja mengerang kesakitan ketika menganti sikap duduknya.

Melihat kondisi penolongnya yang memprihatinkan, Hanım tidak kuasa menahan air matanya, Dia menangis sesegukan. Menurutnya semua tidak akan berakhir seperti ini jika dia lebih patuh terhadap penjaga dan pelayan yang ada di kastil. Jika dia tidak tidak terlalu nakal dan keras kepala, mungkin anak laki-laki itu tidak akan terluka separah ini. 

Anak laki-laki itu dengan susah payah karena menahan nyeri karena luka disekujur tubuhnya, ketika dia berusaha untuk menenangkan Hanım dengan mengusap kepalanya.

“Sudah-sudah!…….. Ini bukan sepenuhnya salahmu kok! Lagi pula,….. kamu menjadi keras kepala karena ……kesepian selama tinggal disini bukan, Hanım ….Fatma?”

Tangisan Hanım seketika berhenti ketika anak laki-laki itu dengan halus mengusap kepalanya. Dan mendengar pertanyaan anak laki-laki itu, Hanım mengangguk ringan seraya mengusap air mata yang masih mengalir dengan deras dari sudut-sudut matanya.Sejak tinggal di kasti dan berpisah dari keluarganya, Hanım memang merasa sangat kesepian. 

Mendengar jawaban Hanım, anak laki-laki itu pun tersenyum seraya melanjutkan kalimatnya. 

“Kalau begitu, kamu mau jadi teman saya tidak selama disini?  Saya berjanji tidak akan membuatmu kesepian lagi selama kamu tinggal di kastil ini. Sebelumnya perkenalkan, Saya Altaïr. Salam kenal!”

Kata anak laki-laki itu sebari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Namun bukan jabat tangan yang diperoleh Altaïr, melainkan pelukan erat dari Hanım. Pelukan ini cukup erat hingga menekan luka-luka pada tubuh Altaïr dan mengakibatkannya mengerang kesakitan. Erangan cukup keras untuk membantu penjaga dan pelayan kastil menemukan posisi mereka. Kemudian Altaïr dan Hanım segera memperoleh pertolongan.

Sejak kejadian tersebut, hubungan antara Altaïr dan Hanım Fatma menjadi semakin erat. Mereka selalu bermain dan menghabiskan waktu bersama ketika memungkinkan. Hanım Fatma masih merupakan gadis nakal dan keras kepala, meskipun kehadiran Altaïr membantu pelayan atau penjaga kastil mengendalikan kenakalannya. 

Beberapa tahun kemudian, Altaïr harus pergi untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah Tinggi Levanṭīnīye. Hal ini menyebabkan intensitas pertemuan atau waktu mereka untuk menghabiskan waktu bersama semakin sedikit. Namun, kebersamaan mereka baru benar-benar berakhir ketika Hanım Fatma dipanggil pulang ke Dulkadir oleh ayahnya. Meskipun pada awalnya sangat berat bagi mereka untuk berpisah, namun mereka sudah cukup dewasa untuk menyadari posisi mereka masing-masing, sebagai bangsawan penting baik di Dulkadir maupun di Salajakiyah. 

Setelah Hanım beranjak dari Kastil di Manisa, Altaïr banyak menghabiskan waktunya di Levanṭīnīye untuk menuntut ilmu untuk mempersiapkan dirinya menjadi Padishah Salajakiyah selanjutnya. Sedangkan Bey Dulkadir memanggil kembali Hanım Fatma untuk membantunya memperkuat posisi politiknya di Dulkadir. 


Memimpin tentara tanpa izin Sultan, untuk menginvasi negara lain, merupakan sebuah pelanggaran tingkat tinggi, bahkan untuk Şehzade   sekalipun. Apapun alasannya, Şehzade   harus dibawa ke sidang militer istana untuk mempertanggungjawabkan tindakan untuk menggunakan angkatan perang tanpa izin. 

Sultan memutuskan untuk tentara yang berpartisipasi dalam invasi ke Dulkadir, mendapatkan pengampunan penuh karena mereka hanya mengikuti perintah dari atasan mereka, Şehzade   Altaïr. Namun dengan satu catatan, mereka tidak berusaha untuk menyembunyikan keberadaan Şehzade   dan bersedia untuk kooperatif dan membantu pencarian dengan tidak menyembunyikan informasi terkait keberadaan Şehzade  . Namun, tidak ada satupun berhasil melacak keberadaan Şehzade  , Kecuali badan intelijen dibawah pasukan Yeŋiçeri, yang bernama Beksiçeri. 

Badan intelijen Beksiçeri, secara akurat selalu berhasil melacak posisi mereka melalui agen-agennya yang cakap. Namun semua kesempatan, kemungkinan mereka gagal meneruskan informasi terkait posisinya. Semua agen Beksiçeri yang berhasil melacaknya selalu langsung dihabisi oleh Şehzade  , yang kebetulan selalu berhasil mengkonfrontasi mereka. Şehzade   menjadi brutal sejak kehilangan tunangannya dan menghabisi siapapun yang berusaha untuk menghalanginya ke Tanah Suci. 

Hanya satu agen Beksiçeri yang Altaïr ampuni nyawanya untuk banyak alasan, bahkan setelah agen tersebut berhasil menemukan posisinya. Altaïr sadar waktunya semakin terbatas. Dia harus secepatnya segera sampai di Tanah Suci. Hal ini membuatnya kesulitan untuk tidur dan terus terjaga malam hampir di sepanjang malam. 

Hal itu juga terjadi di kota oasis tempat dia dan arwah Hanım beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. Altaïr masih terjaga, untuk mengantisipasi kedatangan agen Beksiçeri yang mungkin datang menyergap setelah dia membiarkan salah satu agennya meloloskan diri.

“Altaïr…Kamu harus beristirahat! Kita sudah melakukan perjalanan panjang melintasi gurun seharian. Apakah kamu tidak kelelahan?” Tanya Hanım

“Hanım, saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan saya.” Jawab Altaïr

Altaïr mencoba beranjak dari posisi duduknya ketika, tiba-tiba kehilangan keseimbangannya dan hampir saja terjatuh. 

“Upss!” ucap Alitair

“Altaïr!!” Teriak yang setengah berlari mendekati Altaïr. 

Meskipun segera memperoleh kembali keseimbangannya, Altaïr yang tanpa sengaja menunjukkan batasan tubuhnya. Kejadian ini membuat kekhawatiran Hanım padanya mencapai puncaknya. Dia tidak mampu lagi berbohong kelelahan dan kondisi tubuhnya yang mulai menurun. 

“Aku sudah Bilang bukan!” Kata Hanım dengan setengah berteriak. 

“Ah… Hanım…ugh…. ini hanya….” Balas Altaïr yang mencoba mengelak. 

“Cukup! Cukup Altaïr! Berhenti mengelak!” Bentak Hanım.

Altaïr terkejut hingga membisu. Sedangkan mata Hanım mulai berkata-kaca dan nafasnya sesegukan karena mulai menangis. Hanım kemudian menundukkan kepalanya, dan meletakkan kedua tangannya di dada. Kemudian melempar pandangannya kembali ke Altaïr. Dia menunjukkan matanya berkaca-kaca, dan meneteskan air mata kecemasan. 

“Bukan kali ini saja kamu terjaga seperti ini! Hampir disetiap malam!  Bahkan…bahkan sebelum kamu memutuskan untuk membubarkan agen itu hidup, kamu…kamu…kamu tidak bisa tidur nyenyak bukan. Aku merasakannya….aku merasakan bagaimana mimpi buruk itu terus menghantuimu! Aku benar bukan!” Lanjut Hanım.

Altaïr hanya terdiam mendengar Hanım memarahinya. Sudah lama sekali sejak terakhir Hanım memarahinya. 

“Hey! Katakanlah sesuatu! Şehzade   Altaïr!” Teriak Hanım.

Altaïr masih terdiam. Namun tiba-tiba ekspresinya berubah, dan dia tidak mampu menahan gelak tawa. Hal ini membuat Hanım kebingungan. 

“Kenapa kamu malah tertawa! Kalau kamu meninggal karena kelelahan….aku…aku. ….akan ” Lanjut Hanım dengan terbata-bata.

“Bukannya dengan itu saya bisa menyusulmu, (bertindak seakan-akan mampu menyentuh pipi Hanım) menyentuhmu, dan terus berada disampingmu…., bukan? hehehehe…” Balas Altaïr dengan setengah tertawa. 

“Itu tidak lucu, Altaïr! Berhenti bercanda tentang kematian! Terutama kematianmu! Kamu tahu…..kamu tahukan…… kalau bukan karena karena kematian, kita bisa…kita bisaa….” Lanjut Hanım 

Dengan spontan, Altaïr, meletakkan jari telunjuk di bibir Hanım untuk meminta berhenti melanjutkan kalimatnya. Hanım tanpa sadar mengikuti keinginan Altaïr dan berhenti berbicara. 

“Fatma sayang, kematian merupakan ketetapan dari Dewa. Menyalahkannya berarti sama saja dengan menyalahkan Dewa. Hal tersebut tidak pantas bukan sebagai hambanya!” Kata Altaïr. 

“Fatma !?? Tapi…..ta—-tapi….” Kata Hanım dengan menahan tangisannya yang hampir pecah.

Al….ta….ïr…aku….” Lanjut Hanım dengan masih berusaha menahan tangisannya.

Wajah Hanım yang sudah dibasahi air mata sudah menunjukkan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi menahan luapan kesedihan dan kepedihan yang sudah dia tahan sepanjang perjalanan. Sedangkan dalam bayangan Altaïr, terbesit kilasan ingatan masa lalu tentang bagaimana Hanım menangis dihadapannya untuk hal yang sepele. Namun ketika dia melihat arwah Hanım kembali akan menangis di hadapannya, dengan tubuh remajanya, bukan anak-anak lagi seperti dimasa lalu, Altaïr tidak kuasa menahan hasratnya pada Fatma. 

Tanpa keraguan sedikitpun, Altaïr dengan dalam melakukan hal seperti halnya dia mencium Hanım Fatma dengan dalam. Namun, tidak sedikitpun kehangatan, kelembutan dan wangi bibirnya mampu Altaïr rasakan. Hanya dinginnya malam, kekosongan dan kehampaan yang dia rasakan. Meskipun demikian, Altaïr tetap melakukan nya seakan-akan dia benar-benar dapat merasakan Fatma di bibirnya. 

Hanım yang tinggal arwahnya saja saat ini tanpa sadar melupakan kesedihan dan kepedihan yang tadinya memenuhi hatinya. Dia tidak mampu merasakan apapun. Benar benar tidak mampu merasakan apapun, baik dingin, panas, dan kehangatan, apalagi aroma dari Altaïr. Dan tanpa sadar dia juga tenggelam dalam ilusi kepalsuan yang mungkin serupa, atau bahkan sama dengan yang ilusi yang kini menipu Altaïr. Mereka hanyut terlalu dalam, dan kepalsuan yang mereka lakukan menjadi nyata.

Altaïr mendorong Fatma hingga terbaring diatas atas kasur tempatnya beristirahat. Dia akhirnya dapat menyentuh Fatma dan merasakan kehangatan tubuhnya malam itu. Mata mereka terpaut, dan memperhatikan wajah Hanım yang dia cintai sejak kecil dengan seksama. Wajah Fatma memerah karena malu diperhatikan oleh Altaïr. 

Keduanya tidak sadar, sejak kapan mereka saling jatuh cinta satu sama lain. Perasaan ini mulai tumbuh sejak mereka tinggal Di Manisa, dan semakin kuat sejak mereka berpisah. Dengan semakin faksi pro-Mamalik di Dulkadir, sejak aneksasi Beylik Haramian, kekuatan politik di Bey Dulkadir perlahan melemah. Ancaman oposisi yang semakin menguat, serta Sultan Aḥmed yang mengkhawatirkan pengaruh Mamalik yang semakin, menyebabkan Bey Muhammad dari Dulkadir memutuskan menerima tawaran pertunangan putrinya dengan Şehzade   Salajakiyah. Hal ini awalnya sangat ditentang oleh Şehzade  , mengingat masih lemahnya kekuatan militer Sultan di wilayah itu sejak banyak tentara yang dialihkan ke Haramian. Şehzade   mengkhawatirkan pembalasan dari oposisi pro-Mamalik di Dulkadir yang terancam. Bahkan Şehzade   mengumpulkan tentara secara rahasia yang berada langsung dibawah komandonya untuk disiagakan di sekitar Dulkadir.  

Dan benar saja, kudeta berdarah terjadi di Dulkadir. Meskipun dengan semua persiapan yang telah dilakukan , Şehzade   gagal menyelamatkan nyawa Hanım. Penyesalan yang menghantuinya terus menjadi mimpi buruk baginya. Dan sejak itu pula, hubungan dengan ayahnya menjadi semakin renggang.

Malam itu, Altaïr semakin dalam mencumbu Fatma. Tangannya mulai menjadi liar dan menjamah bagian tubuh sensitif Fatma. Fatma pun berusaha menahan desahan erostisnya, meskipun hal itu justru membuat Altaïr semakin bergairah. Mereka benar-benar hanyut aliran hasrat satu sama lainnya. 

Namun semua itu berakhir ketiak ilusi kepalsuan pada akhirnya itu pecah. Altaïr sadar bahwa sebenarnya tidak pernah menyentuh Fatma selama ini. Sensasi kehangatan dan kelembuatan yang dirasakannya sebelumnya kini kembali menjadi dingin dan penuh kehampaan. Keduanya tersadar dari khayalan mereka masing-masing, yang kebetulan paralel. Mereka telah tersadar dari kepalsuan yang mereka ciptakan dan kembali ke dunia nyata.

Mata mereka saling bertemu, dan kedua secara bersalaman memalingkan wajahnya satu sama lain. Mereka sudah kembali sadar, dan merasakan sangat malu dengan apa yang hampir mereka lakukan sebelumnya. Dan ketika mata mereka sekali lagi saling menatap, keduanya sadar bahwa kebersamaan mereka akan segera berakhir, cepat atau lambat. Pada akhirnya, mereka dapat mengungkapkan perasaaan cinta masing-masing dengan formal, yang menjadi simbolisasi perasaan cinta masing-masing yans selama bertahun-tahun terpendam. Terpendam hingga kematian memisahkan mereka. Kemudian mereka menghabiskan waktu untuk saling memeluk bertindak seakan-akan saling memeluk satu sama lain.  

Setelah perjalanan melintasi gurun yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Qaba, Qaba, merupakan tempat yang dahulu digunakan persinggahan dalam Migrasi Suci. Di sini terdapat kuil suci yang disebut Kuil Persinggahan. Yang berarti sekarang kami telah tiba di Tanah Suci. Atau setidak wilayah yang secara administratif merupakan bagian dari Tanah Suci. 

Tanah Suci sendiri merupakan sumber dari kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Disini, terdapat Kuil Hitam Agung yang merupakan tempat paling suci dalam kepercayaan ini. Secara administratif, wilayah Tanah Suci daerah otonomi khusus yang dipimpin oleh seorang Sharīf, dibawah kekuasaan dan perlindungan dari Kesultanan Mamalik, rival utama Kesultanan Salajakiyah.

Setibanya di Qaba, Altaïr pada akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Bayangan penyergapan dari agen-agen Beksiçeri bahkan korp Yeŋiçeri masih menghantui pikirannya. Namun, setidak kini mereka sudah tiba di Tanah Suci, tujuan mereka telah tercapai. Mereka menghabiskan waktu selama 2 malam di Qaba, dengan Altaïr, pada akhirnya bisa tidur dengan nyenyak di malam hari. 

Sebagai arwah, Hanım tidak merasakan lelah, lapar, dan batasan kemanusiaan lain. Meskipun demikian dia sangat khawatir dengan kondisi yang dialami oleh Altaïr selama perjalanan yang selalu diliputi paranoia dan kecemasan. Sehingga Hanım sangat lega ketika pada akhirnya bisa menghabiskan malamnya dengan tenang. Meskipun ketenangan mereka tidak berlangsung lama.

Selepanya dari Qaba, mereka tiba-tiba disergap dan dikepung gerombolan penunggang kuda. Awalnya Altaïr berpikir bahwa penunggang kuda tersebut merupakan penyamun, meskipun sebenarnya tidak terpikir dalam benaknya ada penyamun yang berani merampok ziarawan yang sedang berada di Tanah Suci, kecuali orang yang benar-benar gila. Dan, benar saja, dari potongan baju zirah yang digunakan , serta wajah bertopeng yang tersibak dari jubah penunggang kuda tersebut, mereka merupakan korp Yeŋiçeri. Dan Hanım, meskipun merupakan arwah, namun ia tidak dapat menyembunyikan ketakutannya. Dia bertindak seakan-akan mampu menyentuh pundak Altaïr dan berusaha bersembunyi di balik punggungnya. Altaïr pun tanpa sadar bertindak seakan-akan dia berusaha menyembunyikan Hanım dibelakangnya. Meskipun, sebenarnya gimmick yang mereka lakukan sebenarnya tidak ada gunanya.  

Setelah turun dari kudanya, penunggang kuda tersebut membuka jubah dan menunjukkan diri mereka sebagai bagian korp Yeŋiçeri. Mereka Beksiçeri Altaïr tidak mampu memastikan, karena hampir tidak ada batasan atau perbedaaan antara keduanya. Lebih mengejutkan lagi, Altaïr menemukan salh satu dari mereka tidak atau mungkin baru saja melepas topengnya. 

Rambut panjang kemerahan yang berkilauan memantulkan teriknya matahari di Tanah Suci, kulit kaukasoid dengan banyak bekas luka disekitar wajah dengan bekas luka di pipi kiri yang paling menonjol. Dan bola mata biru terang yang dalam bayangan menatap cerah dan bersinar, namun kini menatapnya dengan dingin dan kosong. Altaïr sangat mengenalnya, jauh sebelum ia jatuh cinta dengan Hanım.

“Charlotte…..” Sahut Altaïr dengan sangat getir.

Charlotte, membacakan secara singkat surat penangkapan dengan cap kesultanan di dalamnya.  Charlotte berusaha untuk memalingkan wajahnya dan menghindari kontak mata dengan Şehzade  . Setelah menunjukkan cap kesultanan sebagai bukti legalitas dokumen, dia kemudian membacanya secara singkat isi surat tersebut.

“Şehzade   Altaïr Çelebi Salajakoğlu, Anda ditangkap atas tuduhan penyalahgunaan kekuatan dan menggunakan angkatan bersenjata tanpa izin! Saya harap Anda dapat bersikap kooperatif! Hai ini akan meringankan dalam persidangan.”

Dengan tatapan kosong dan penuh kehampaan, Charlotte membacakan surat perintah penangkapan dengan lantang dan terasa dingin tanpa emosi sama sekali. Sepertinya mereka mereka orang asing satu dengan lainnya. 

“Apa yang mereka lakukan kepadamu,….Charlotte? sahut Altaïr dengan nada sedih.

Charlotte, merupakan agen Beksiçeri terakhir yang berhasil melacak dan berusaha menangkap Altaïr (charlotte tidak bisa melihat Hanım). Dia gagal dan ketika Altaïr berusaha menghabisinya, identitasnya terbongkar lebih dahulu. Hal ini sangat mengejutkan bagi Altaïr. Dia tidak mungkin menghabisinya, karena dia adalah teman masa kecil yang sangat berharga baginya saat masih tinggal di Istana. Dia kemudian melarikan diri bersama Hanım sebelum charlotte kembali siuman. 

Hanım menatap Charlotte dan Altaïr dengan penuh kebingungan. Apakah mereka sebelumnya saling mengenal? Sedangkan di samping charlotte, seseorang bergerak mendekati Altaïr seraya membuka topeng dan menunjukkan topengnya. Dibalik topeng itu, tampak perawakan yang sangat familiar di mata Altaïr dan Hanım.

“(H)Tuan Zaganos Pasha-(A)Ah….., Lama tidak jumpa,…. Guru.”Ucap Altaïr dan Hanım dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Akhirnya setelah cukup lama, kami bisa melacak mu. Sebenarnya, Beksiçeri telah berkali-kali menemukan keberadaan, sayangnya Şehzade   selalu tidak membiarkan agen-agen tersebut untuk kembali hidup-hidup. Beruntung, kami memiliki dan mengutus dia (sambil menepuk pundak Charlotte). Aku rasa mencegahnya masuk harem istana merupakan keputusan yang….”

Zaganos memulai percakapan.

“Apa yang selama ini kamu lakukan terhadap Charlotte, Sialan !!? Anda mencuci otaknya bukan !?” Potong Şehzade   seraya menarik bilah pedang yang tersimpan di pinggangnya. 

Melihat Şehzade   menarik pedang, dengan refleks, semua pasukan Yeŋiçeri yang mengepungnya seketika juga menarik pedang dan memasang posisi siap bertarung, dalam waktu yang hampir bersama. Kecuali Zaganos, bahkan Charlotte bersama pasukan Yeŋiçeri lainnya mengacungkan pedangnya ke arah Şehzade  . Situasi pun menjadi panas dan tegang. Zaganos Pasha, dengan wajah yang nampak sedikit kecewa, berusaha untuk mencairkan situasi dan meredakan ketegangan.

“Sigh…, memang tidak ada cara lain ya ?” gerutu Zaganos

“Komandan, mundurlah.” bisik Charlotte sebari berusaha untuk melindunginya.

“Baiklah…. Cukup! Yeŋiçeri! Turunkan senjata kalian” Ucap Zaganos lantang sebari menepuk pundak Charlotte dengan keras. Cukup keras hingga Charlotte terkejut.

“KYYYAAAAAAHHHHH”

Pasukan Zaganos termasuk Charlotte perlahan menurunkan pedang yang sebelumnya mereka acungkan ke Şehzade  . Sedangkan Şehzade   sendiri masih mengacungkan bilah pedangnya ke Zaganos, sebelum akhirnya ikut menurunkannya. Ketegangan yang terjadi sebelumnya perlahan mereka. Sedangkan Zaganos, justru dengan memegang pedang di pinggangnya melanjutkan narasinya.

“Sebagai komandan, aku tidak ingin bertanggung jawab memulai pertumpahan darah. Terutama di Tanah Suci. Alasanku menyergapmu disini juga untuk meminimalisir pertumpahan darah yang mungkin terjadi saat penangkapan. Tapi, memang pada akhirnya…(perlahan menarik pedang dipinggangnya)…penangkapan memang mengharuskan pertumpahan darah, Şehzade  .” Ucap Zaganos.

Melihat Zaganos menarik pedangnya, Altaïr kembali mengacungkan pedang yang sebelum diturunkan, ke leher Zaganos. Dan Zaganos juga melakukan hal yang serupa. Mereka pun memasang sikap siap masing-masing untuk bertarung.

“Begini perjanjiannya! Kamu menang, kamu akan mendapatkan penangguhan penangkapan selama 10 hari. Aku menang, kamu harus menyerahkan diri! Setuju?” Cetus Zaganos.

“Terdengar tidak adil ?” Balas Şehzade  

“Saya harus mengalahkanmu hidup-hidup. Sedangkan kamu tidak. Apakah masih kurang adil ?” Lanjut Zaganos

“Sigh….! Baiklah! Aku terima!” Sahut Şehzade   dengan lantang. 

Untuk meminimalisir pertumpahan darah, Zaganos Pasha memutuskan untuk menantang Şehzade   dalam duel pedang. Tantangan ini diterima oleh Şehzade   Altaïr, berikut dengan aturannya. Selama duel, Zaganos menitipkan komando pasukan Yeŋiçeri kepada Charlotte. Meskipun meragukan keputusan komandannya, namun, Zaganos memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Zaganos tahu kehormatan dan kebanggaan dinasti Salajakoğlu yang mengalir di nadi Şehzade  . Zaganos yakin bahwa Şehzade   pasti akan mengikuti apapun hasil dari duel ini, dan tidak melanggar maupun melarikan diri. Mendengar penjelasan, membuat Charlotte teringat potongan kenangan masa kecilnya saat bersama Şehzade  . Hal ini tanpa sadar membuatnya matanya berkaca-kaca.

Sedangkan, Hanım, dengan penuh kecemasan berusaha menghentikan Şehzade   dari pertarungan dengan Zaganos. Dia sangat takut sesuatu terjadi terhadap Şehzade  . Hanım masih mengingat bagaimana, Şehzade   selalu gagal mengalahkan Zaganos selama latihan di Kastil Manisa. 

Namun ketika Hanım menatap mata Şehzade  , dia sadar betapa kuatnya pendiriannya saat ini. Seperti masa lalu, Hanım tidak memiliki kemampuan untuk menggoyahkannya. Şehzade   secara spontan bertindak seakan akan dia sedang mencium Hanım. Masih, dalam delusi tentang bagaimana kehangatan dan kelembutan yang dimiliki Hanım. 

“Saya mencintaimu, Fatma!” bisik Şehzade  

“Altaïr, aku juga….! Oleh karena itu, kembali dengan selamat! Urusan kita di tanah suci belum selesaikan di Tanah Suci, bukan ?” balas Hanım dengan mata berkaca-kaca.

“Saya berjanji, Fatma !” lanjut Şehzade  

Dengan berat hati, Hanım melepaskan Altaïr, yang kemudian maju untuk bertarung melawan Zaganos. Sebelum memulai pertarungan, Zaganos sempat membuka percakapan singkat sebelum duel.

“Sepertinya ada sesuatu yang perlu aku beritahu sebelum duel” Kata Zaganos Pasha

“Lakukan dengan cepat! Saya tidak punya banyak waktu untuk mendengar ceramah dari Anda.” Balas Altaïr

“Sigh…..!.Jadi, kamu tahu alasan mengapa kami tidak segera menyergapmu ketika kami sebenarnya telah berhasil melacak lokasi mu? Itu karena Charlotte masih mencemaskan kondisi pada saat itu. Gadis itu tidak ingin menyergap orang yang kurang tidur, makan, dan kelelahan. Kami akhirnya membiarkan kamu dapat beristirahat di Qaba, dan baru menyergapmu dalam kondisi prima. Dia sepertinya masih sedikit mencemaskanmu” Jelas Zaganos.

“Aneh sekali. Logikanya harusnya anda menyergap seseorang tidak dalam kondisi fitnya bukan ?.” Sahut Altaïr.

Dan dengan demikian, Duel perang antara guru dan muridnya dimulai. Meskipun bukan merupakan keharusan, tetapi semua yang menonton duel ini sadar bahwa duel ini baru akan berakhir jika salah satu dari mereka terbunuh. Bahkan Zaganos yang sebenarnya harus menangkap Şehzade   hidup-hidup memancarkan aura untuk membunuh yang sama kuatnya dengan Şehzade  , yang sedang terbakar amarah karena Charlotte.

Şehzade   memulai inisiatif serangan dengan beberapa serangan beruntun. Semua berhasil ditangkis dengan mudah oleh Zaganos. Setelah rentetan serangan Şehzade   berakhir, Zaganos membalas dengan serangkaian serangan teratur yang sulit ditangkis oleh Şehzade  . Rentetan serangan balasan ini perlahan membuka pertahan Şehzade   dan memungkinkan Zaganos melancarkan serangan mematikan secara langsung terhadap Şehzade  .

Şehzade   berhasil menghindari serangan tersebut, namun serangan tersebut ternyata berhasil menggores bahu kiri Şehzade  , yang dia sadari dari robekan dan noda darah yang mengotori jubah yang Şehzade   dikenakan. Hal ini membuat Şehzade   terlihat sedikit panik. 

Memanfaatkan kebingungan lawannya, Zaganos mengambil inisiatif serangan. Rentetan serangan Zaganos mampu ditangkis oleh Şehzade  , namun hal itu membuat pertahanannya melonggar sebagaimana yang zaganos harapkan. Ketika pertahanannya terbuka , Şehzade   menangkis serangan dengan kekuatan yang berlebihan. Hal mengganggu ritme serangan Zaganos, yang membuatnya tidak mampu memanfaatkan cerah yang sudah susah payah dia ciptakan sebelumnya. Hal ini membuat kehilangan sedikit kekuatan untuk menangkis serangan kuat dari Şehzade  . Beruntungnya luka yang ditimbulkan tidak terlalu dalam karena Zaganos sempat membelokkan arah serangan. 

Meskipun memiliki keunggulan dalam teknik berpedang, namun zaganos kesulitan  untuk menangkis serangan Şehzade   yang masuk. Sedangkan Şehzade   hanya mengandalkan kekuatan kejut untuk mendobrak pertahanan Zaganos, karena tidak mampu mengimbangi teknik berpedangnya. Duel ini menjadi sangat berimbang. Tidak satupun pihak berhasil memanfaatkan keunggulan yang dimiliki untuk menekan lawannya. 

Sejam berlalu, setelah pertempuran pedang yang intens dengan jual beli serangan, dan saling memotong rentetan serangan masing-masing, serta melancarkan serangan balasan yang mematikan. Baik Şehzade   dan Zaganos sama-sama sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun belum ada satupun yang meraih keunggulan. Pada akhirnya, duel ini menjadi duel ketahanan, dimana Zaganos kurang diuntungkan dalam pertarungan semacam ini. Meskipun memiliki keuntungan karena menggunakan baju zirah di balik jubahnya, itu justru mengharuskan Zaganos harus secepatnya mengakhiri duel dengan melakukan serangan telak yang menentukan, sebelum tubuhnya tidak lagi cukup kuat melakukan serangan semacam itu. 

Sekali lagi, serangan demi serangan efektif dari Zaganos sukses membuka celah dalam pertahan Şehzade  . Dia berhasil menacing Şehzade   menggunakan serangan kuatnya ke tempat yang salah, membuatnya pertahanannya terbuka. Şehzade   bertindak cepat dengan menutup celah tersebut. Namun, hal itu membuat kehilangan kontrol terhadap bilah pedangnya, sehingga pedangnya terlempar cukup jauh. Melihat lawannya kehilangan senjatanya, Zaganos justru kehilangan fokus dan kesabarannya yang menjadi keunggulannya selama duel. Akibatnya, dia melakukan serangan yang terburu-buru. Dengan mudah serangannya terbaca dan mampu dihindari oleh Şehzade  . Dan Şehzade   tidak berhenti di situ.

Bencana dimulai ketika Şehzade   tanpa diduga memanfaatkan teknik gulat yang pernah dipelajarinya. Şehzade   menggenggam erat tangan Zaganos. Kemudian dia membanting Zaganos sebelah kiri dengan kekuatan yang luar biasa. Şehzade   membantingnya beberapa kali lagi, kekanan, kedepan, sebelum terakhir melemparnya ke belakang. Zaganos yang sedikit terkejut tidak mampu memberikan respons atau perlawanan yang berarti. Baju zirah yang digunakan Zaganos secara ironis memperparah dampak dari serangan tersebut. Perlu waktu beberapa detik sebelum zaganos mampu kembali bangkit setelah beberapa kali dibanting oleh Şehzade  . Sedangkan Şehzade   memanfaatkan kondisi lawannya untuk mengambil kembali bilah pedang yang terlempar sebelumnya. 

Dampak bantingan dari Şehzade   mengakibatkan kemampuan dan teknik berpedang Zaganos tidak sebaik sebelumnya. Meskipun mengambil inisiatif menyerang untuk menyembunyikannya, Şehzade   sangat merasakan kemampuan berpedang gurunya turun drastis semenjak membantingnya beberapa kali. Berusaha memanfaatkan momentum tersebut, Şehzade   berbalik mengambil inisiatif serangan. Rentetan serangan yang dilancarkan Şehzade   pada akhirnya berhasil membuka lebar pertahanan rapi yang dipertahankan oleh Zaganos sepanjang duel sebelumnya. Mengingat bahwa Zaganos menggunakan baju zirah Yeŋiçeri, Şehzade   memutuskan mengakhiri duel dengan menikam dada kiri Zaganos. 

Seketika, suasana hiruk-pikuk duel berubah menjadi tenang dan sunyi. Zaganos menjatuhkan bilah pedang yang digenggam dengan mantap sepanjang duel. Şehzade   merasakan darah Zaganos yang mengalir deras membasahi bilah pedang dan tangannya. Perlahan Şehzade   menarik bilah pedangnya, dan mengambil jarak dari Zaganos. Dia melihat luka tikaman yang terus mengeluarkan darah  di dada kiri Zaganos. Tangan kanan Zaganos menahan luka di dadanya, sedangkan tangan kirinya menahan mulutnya yang terus memuntahkan darah. Sedangkan Şehzade   berdiri dihadapannya seraya berusaha mengatur ritme nafasnya. 

Zaganos kemudian roboh berlutut,yang membuat Charlotte dan sebagian pasukan Yeŋiçeri di sekelilingnya berusaha menopang tubuhnya. Semua yang melihat kejadian itu sadar Zaganos yang sekarat itu sudah tidak tertolong lagi. Şehzade  , menahan dan menyembunyikan emosi yang dia rasakan saat itu. Setelah mengibaskan pedangnya, kemudian ia menyarungkan kembali pedang itu di pinggangnya. Şehzade   menghampiri Hanım yang sedang menangis melihat konklusi dari duel yang baru saja berakhir. 

Seolah-olah menepuk pundak Hanım, Şehzade   bertindak seakan-akan hendak menghiburnya. Kemudian Hanım merespons gimmick tersebut dengan memeluk Altaïr, dan menangis dalam pelukannya. sedangkan pasukan Yeŋiçeri di dekatnya membukakan jalan bagi Şehzade   untuk melanjutkan perjalanan. 

“Şehzade   Altaïr! Tunggu!” teriak Zaganos dengan sisa kekuatan yang masih dimilikinya. 

“Dia….gadis nakal itu……bersamamu….., bukan ? Urrgggh! ” Ucap Zaganos yang kembali muntah darah.

Şehzade   akhirnya sadar, selama ini, Zaganos, atau mungkin seluruh pasukannya menyadari gimmick yang selama ini dia lakukan dalam kepada Hanım, atau sikap yang menunjukan bahwa Şehzade   tidak sedang melakukan perjalanan sendirian.

“Sampaikan….urrggghh….salam….maafku…. Hanım….Fatma…. dari Dulkadir…Şeh….zade .” Kata Zaganos.

“Baiklah…guru! Dan…. Terima kasih atas untuk semuanya!” Sahut Şehzade .

Seakan tidak ingin melihat akhir hidup dari Zaganos, Şehzade   segera bergegas meninggalkan lokasi duel sebelumnya, dan melanjutkan perjalannya ke selatan, dengan tujuannya adalah Kuil Hitam Agung. Meskipun demikian, Şehzade   sempat sekali menengok kebelakang, dan mendapati air mata di wajah Charlotte yang sedang membantu menopang tubuh Zaganos. Şehzade   segera memalingkan kembali pandangannya ke depan, tanpa pernah sekalipun kembali menengok kebelakangnya lagi.


Tanah Suci, seperti namanya, merupakan tempat paling suci dalam Kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Sebagai saksi mata perjuangan awal yang beriku dalam penyebaran wahyu dan ajaran Dewa Yang Maha Satu, wilayah ini merupakan destinasi utama untuk ziarah religi. Semua penganut kepercayaan ini datang ke Tanah dari berbagai sudut dunia, untuk menjalani rangkaian ritual dogmatik  yang dipraktekkan dan dipertahankan sejak lebih dari 7 abad yang lalu. 

Pernah menjadi pusat kekuatan spiritual dan politik di masa lalu, kini Tanah Suci hanya menjadi pusat peribadatan dan spiritual para penganut kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Kini tanah suci secara bukanlah kekuasaan politik yang kuat apalagi Independen, setidaknya dalam nama. Sejak teokrasi, kekuatan politik yang berpusat di Tanah Suci tumbang, wilayah ini selalu jatuh di bawah perlindungan penguasa kuat dan religius yang terus berganti setiap waktunya. Bagi mereka, menguasai Tanah Suci merupakan suatu pencapaian yang paling prestisius yang mungkin penguasa dunia dapatkan dalam hidup, selain karena beberapa alasan duniawi untuk seperti lokasinya yang strategis sebagai pos perdagangan internasional. 

Meskipun selalu di bawah perlindungan penguasa dari luar, mereka lebih sering menjadi penguasa nominal saja, karena administrasi wilayah ini secara langsung kepada penguasa lokal , yang disebut Sharīf. Kekuasaan dan otonomi yang dimiliki oleh Sharīf Tanah Suci juga sangat dinamis, dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal ini bergantung kepada seberapa kuat kontrol penguasa pusat terhadap Sharīf. 

Penguasa Tanah Suci saat ini, Kesultanan Mamalik, secara administrasi menerapkan kontrol langsung terhadap Tanah Suci. Sharīf Tanah Suci merupakan utusan sekaligus perpanjangan tangan kekuasaan Sultan Mamalik di Tanah Suci. Namun dalam prakteknya, terkadang Sharīf ini memerintah layaknya penguasaan bawah, setara amir atau bey. Hal ini terkadang terjadi karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, dan pergolakan politik yang melemahkan kontrol pusat terhadap Sharīf yang berkuasa di Tanah Suci.

Namun demikian, Ketika Sultan Muzaffar Al-Ikhwan Burj berhasil menuntaskan pergolakan politik di Mamalik, ketika Şehzade  tiba di Tanah Suci, dia mendapati dirinya mampu bergerak lebih leluasa dibandingkan saat wilayah kekuasaan Mamalik lainnya. Sharīf di sana lebih seperti penjaga ketertiban umum daripada pejabat Kesultanan Mamalik. Hal ini diperparah dengan renggangnya hubungan Sharīf dengan Sultan yang berkuasa saat ini . Lemahnya kontrol Mamalik di Tanah Suci juga memungkinkan pasukan asing seperti Yeŋiçeri atau Beksiçeri dari Salajakiyah mampu beroperasi dengan bebas dan bertindak di luar wilayah yuridiksinya. Dan selama mereka tidak menggangu ziarawan dan ketertiban umum di Tanah Suci, Sharīf dan otoritas Tanah Suci tidak akan bertindak.  Hal itu pula yang mungkin menjadi alasan Zaganos baru bisa menyergapnya setelah memasuki wilayah Tanah Suci.

Ziarah ke Tanah Suci sendiri merupakan sebuah ibadah yang wajib dijalankan bagi setiap individu yang beriman kepada Dewa YMS. Dia akan berdosa jika mampu untuk melakukannya, namun memilih untuk mengabaikannya. Banyak rumor dan keajaiban yang dapat terjadi disini, mulai dari mata air suci yang tidak ada habisnya hingga rumor pasangan yang berziarah bersama akan bersama selamanya jika mereka memohon demikian kepada Dewa (Meskipun permohonan kepada Dewa lebih sering terkabul selama menjalani ibadah ziarah).

Pergi untuk berziarah bersama orang-orang yang dia sayangi merupakan hal yang sangat dia inginkan sedari kecil, agar permohonannya untuk bisa hidup bersama Şehzade  selamanya bisa terkabul. Keinginan sederhana yang tidak pernah tercapai, karena banyak hal, hingga kematian menjemputnya. Hal yangg mungkin menyebabkannya enggan untuk meninggalkan dunia dan melanjutkan perjalanan ke kehidupan setelah kematian. Şehzade  menuntunnya ke Tanah Suci dengan tujuan selain untuk mengabulkan keinginannya, juga untuk membuat Hanım bisa melanjutkan perjalan ke kehidupan setelah kematian, menyusul kedua orang tuanya. 

Namun sebenarnya, Şehzade  memiliki harapan tersendiri. Dia ingin memohon kepada dewa untuk dapat kembali lagi hidup bersama dengan Hanım. Şehzade  yakin bahwa permohonan selama ziarah ke Tanah Suci akan terkabul. Entah seberapa tidak masuk akalnya permohonannya itu, seperti menghidupkan orang mati. Untuk memenuhi harapan itu. bahkan Şehzade  rela untuk menentang ayahnya, menyalahgunakan wewenang dan melarikan diri dari tanggung jawab, menjadi buronan, dan pada akhirnya membunuh guru dan bawahan favorit ayahnya, Zaganos Pasha, hanya karena Zaganos berusaha menghalangi  perjalanannya ke Tanah Suci. Meskipun demikian, ia tidak menyesal sama sekali. Şehzade  sangat mencintai Hanım, dan dia akan rela melakukan apapun jika memang ada secercah harapan untuk dapat kembali bersama Hanım.

Akan tetapi, perlahan Şehzade  melihat bahwa dirinya semakin sulit melihat keberadaan Hanım. Arwah Hanım menjadi semakin pudar setelah mereka memasuki tanah suci. Hal ini semakin kentara ketika mereka sudah semakin dekat dengan Kuil Hitam Agung. Selain semakin, sulit untuk dirasakan keberadaannya, Arwah Hanım juga hampir tidak terlihat lagi dalam pandangan nya. Arwahnya semakin transparan, seakan menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini baru terjadi sejak keduanya tiba di Tanah Suci, dan Şehzade  baru saja menyadarinya. Şehzade  mengambil kesimpulan bahwa semakin melemahnya keberadaan Hanım berkorelasi dengan keberadaan mereka di Tanah Suci itu Sendiri.

Sebelum Hanım benar benar lenyap, Şehzade  menghenikan perjalanan mereka ke Kuil, dan meminta pendapat Hanım terkait keanehan yang terjadi. Hanım sedikit tertegun, dan membatu beberapa saat. Kemudian dia menundukkan kepalanya.

“Sepertinya….tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi dari Altaïr” Kata Hanım.

Hanım dengan berat hati mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi ketika kudeta berdarah terjadi di Dulkadir. Kenyataan bahwa bukan keinginan atau harapannya yang sangat kuat untuk berziarah atau menghabiskan waktu lebih lama bersama Şehzade  yang sebenarnya menyebabkannya terjebak dan tidak bisa melanjutkan ke kehidupan setelah kematian. Melainkan apa yang terjadi menjelang kematian Hanımlah yang menyebabkannya tertahan menjadi arwah gentayangan. 

Ketika kudeta berdarah terjadi, penjaga istana pro-Mamalik yang telah bekerja sama dengan konspirator bertarung dan menghabisi penjaga istana yang loyal. Penjaga loyal yang lebih sedikit dengan cepat di babat habis. Bey Muhammad bertarung bersama penjaga-penjaga loyal yang masih tersisah untuk melindungi wanita dan anak-anak yang ada di dalam istana. Setelah bertarung dengan gigih dan heroik, Bey Muhammad terbunuh dengan kepala yang terpenggal serta belasan anak panah tertancap di tubuhnya. Di meninggal bersama orang-orang yang masih loyal padanya hingga akhir. 

Sedangkan wanita dan anak-anak di istana yang dipimpin oleh Hanım Fatma melarikan diri dari Istana Marasha melalui jalan rahasia menuju Kayseıri. Rencananya mereka akan meminta suaka ke Salajakiyah  dengan bantuan langsung dari Şehzade  Altaïr Celebi Salajakoğlu yang kebetulan sedang berada di sana. Namun usaha mereka gagal, karena seorang konspirator mengetahui tentang rencana tersebut, termasuk jalan rahasia yang mereka gunakan. Konspirator Pro-Mamalik itu mencegat mereka di pintu keluar jalan rahasia. Hanım Fatma bersama beberapa pelayan yang mampu bertarung melawan para pencegat tersebut, dan memberikan kesempatan untuk beberapa dari mereka melarikan diri. 

Seperti ayahnya, Muhammad, Hanım Fatma bertarung tidak kalah heroik. Berbekal kemampuan berpedang yang dipelajari selama di Manisa, Hanım bahkan berhasil mengalahkan seorang pencegat tersebut. Namun keadaan tiba-tiba berbalik ketika pasukan pro-mamalik datang membantu para pencegat. Hanım dan sekutunya terdesak. Satu-persatu pelayan dan penjaga setia yang selalu berada di sininya jatuh satu-persatu. Melihat orang-orang yang peduli dengannya terbunuh satu-persatu membuat Hanım tidak mampu menahan emosinya. Dia bertarung tanpa arah dengan serangan yang hanya dipenuhi kemarahan, tanpa arti. 

Gadis tidak berdaya itu dipermainkan oleh para konspirator. Dengan membunuh dan menyiksa orang-orang yang sebelumnya bertarung bersamanya, Hanım semakin jatuh dalam keputusasaan. Hanım masih berusaha bertarung meskipun dia tahu itu sia-sia. Dan serangan balik dari para konspirator tersebut membuatnya semakin tidak berdaya. Dengan luka di sekujur tubuh, pakaian penuh robekan, dan pertarungan tanpa peluang untuk menang bahkan melarikan diri, masih ada asa dan harapan di matanya. Harapan bahwa Şehzade  Altaïr, orang yang paling dia cintai, akan datang dan menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan orang-orang yang peduli padanya. Seperti halnya pangeran berkuda putih, atau pahlawan kesiangan yang datang menyelamatkannya di saat terakhir. Namun keajaiban itu tidak pernah terjadi.

Waktu berlalu, harapan itu semakin meredup. Begitu juga semangatnya untuk terus bertarung. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada keajaiban. Kepala Hanım mulai pusing karena telah kehilangan cukup banyak darah. Keseimbangannya mulai kacau. Hanım mulai kesulitan untuk berdiri, bahkan untuk bertarung. Sedangkan konspirator pro-Mamalik yang menjadi lawannya berusaha untuk melemahkan resolusi bertarungnya, dan menangkapnya hidup-hidup. Mereka masih membutuhkan untuk Hanım Fatma tetap hidup dan menuruti kehendak mereka.

Untuk itu, mereka terus berusaha untuk membuatnya menderita hingga menyerah. Mulai dari membunuh pelayan dan penjaga yang sekarat di depan matanya, mempermainkan jasadnya jika telah terbunuh, bahkan memamerkan kepala anak kecil yang terpenggal (bagian dari kelompok yang mencoba melarikan diri ke   Kayseıri). Namun tindakan kejam tersebut bukannya membuat Hanım menyerah karena putus asa, namun membuatnya semakin marah dan terus mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh konspirator tersebut. Semangat Hanım untuk bertarung semakin tinggi, akan tetapi kondisi fisiknya semakin lemah, hampir tidak mampu bertarung lagi. Meskipun demikian, Hanım sempat melancarkan serangan fatal yang melukai lawannya, membuatnya hampir terbunuh.

Pencegat itu akhirnya sadar bahwa usaha mereka untuk menjinakkan Hanım sia-sia. Meskipun berhasil pada akhirnya, nyawa Hanım sendiri mungkin tidak tertolong lagi. Mereka memutuskan untuk menghabisi nyawa Hanım dan menggunakan kepalanya sebagai peringatan di pintu gerbang Marasha. Dipercayakan beberapa orang untuk tugas ini, sedangkan yang lain beranjak untuk mengurus pemindahan kekuasaan.

Hanım Fatma yang hanya hampir tidak mampu lagi berdiri, hanya mengayun-ayunkan pedangnya tanpa arah. Salah satu eksekutor memotong tangannya, membuat pedang Hanım terlepas. Eksekutor yang lain menebas punggungnya dan membuatnya tidak berdaya. Namun bukannya langsung mengeksekusi Hanım dengan memenggal kepalanya, ketiga eksekutor tersebut justru tega menghancurkan kehormatan gadis yang tidak berdaya tersebut dengan memperkosanya bergiliran. Mereka memotong sisa tangan dan kaki yang gadis tersebut ketika mencoba melawan, hingga dia tidak mampu memberikan perlawanan lagi.

Rasa sakit baik secara fisik maupun mental yang dialami Hanım selama penyiksaan membuat pikirannya melayang. Tanpa sadar, gadis sekarat itu membayangkan orang yang memperkosanya itu sebagai orang yang dicintainya, yaitu Şehzade  Altaïr. Hal itu sedikit mengobati luka psikis yang gadis itu alami sepanjang penyiksaan. Hanım akhirnya bisa bermesraan dengan orang yang dicintainya, meskipun hanya dalam khayalan. Hal ini membuatnya memperoleh sedikit ketenangan batin, hingga pada akhirnya bisa menjemput maut dengan senyuman kebahagian yang terasa sangat tragis. Ketika gadis malang itu sudah tidak bernyawa lagi, eksekutor yang memperkosanya bergiliran itu memenggal kepalanya, dan melapor ke atasan mereka, dengan, perasaan yang sangat puas. 

Mendengar kabar tersebut, Şehzade  jauh berlutut. Matanya berkaca-kaca dan air mata terus mengalir di pipinya. Şehzade  menangis dengan erangan yang sangat menyedihkan. Arwah Hanım berusaha untuk menenangkan, namun usahanya sia-sia karena keberadaan. Karena waktu yang dimilikinya sudah tidak banyak lagi, Hanım memutuskan untuk bertindak seakan-akan memeluk Şehzade  untuk membuatnya sadar akan keberadaannya saat ini. 

“Terimakasih untuk semuanya…..Altaïr!” bisik Fatma. 

Dengan membisikkan terima kasih di telinga  Altaïr sebelum sepenuhnya menghilang, tepat di depan mata Şehzade  sendiri. Altaïr sadar keberadaan Fatma yang tadinya dirasakan, kini menghilang. Merasakan kehilangan sesuatu yang sangat penting baginya, secara tiba-tiba di depan matanya, Altaïr mengalami serangan mental yang hebat. Dia berusaha dengan penuh kesia-siaan meraba sekitar, dan berusaha memanggil-manggil Fatma. Dia terus-menerus melakukannya sehingga dianggap sebagai orang gila dan diamankan oleh otoritas Tanah Suci. Dia menolak dan melawan penangkapan otoritas, sekali lagi karena masih harus mencari keberadaan Hanım. Hal ini membuat otoritas tidak sengaja menggunakan kekerasan untuk membuat Altaïr dapat ditangkap dan ditertibkan oleh otoritas. 

….

Pikirannya kembali ke momen dimana Şehzade  kehilangan sosok yang dia cintai. Beberapa orang yang melarikan diri ke Kayseıri, kebanyakan berhasil ditangkap dan dijadikan budak sebagai balasan akibat perlawanan mereka. Sedangkan sebagian dari mereka yang terus memberontak pada akhirnya dipenggal. Yang berhasil sampai di Kayseıri, hanya sebagian kecil, dan mereka benar-benar sangat beruntung.

Kabar ini dengan cepat sampai di telinga Şehzade . Berita yang direspon dengan sangat cepat. Pasukan yang disediakan dengan cepat dikumpulkan dan bisa berangkat dari Kayseıri dalam hanya dengan semalam persiapan. Pasukan ini bergerak dengan sangat cepat ke Marasha. Sangat cepatnya, hingga para konspirator tersebut bahkan belum sempat mengonsolidasikan kekuasaannya di Dulkadir. Pertempuran singkat di perbatasan berakhir bencana. Dan Kota Marasha ditinggalkan begitu saja tanpa perlawanan. Mereka memutuskan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka di Malayata, seraya memohon bantuan kepada Mamalik melalui seorang utusan. 

Marasha jatuh ke tangan Şehzade  tanpa perlawanan berarti. Namun, dia hadapan pada pemandangan yang sangat menyakitkan. Di Gerbang Depan Marasha, beberapa bendera Dulkadir yang bersanding dengan bendera Mamalik, berkibar dengan kepala yang terpenggal di puncaknya. Mereka adalah kepala Bey dan keluarganya yang dipropagandakan sebagai pengkhianat yang menjual kemerdekaan Dulkadir kepada Salajakiyah. Salah satu kepala di puncak bendera itu, dengan rambut panjang terurai yang menari karena hembusan angin. Wajah dan rambutnya, dihiasi noda darah, yang masih tidak tidak mampu membuat kecantikan alaminya pudar. Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Şehzade  melihat kecantikan yang memikatnya dari kejauhan. Ketika Şehzade  melihat itu, dia merasa semua telah berakhir, dan usahanya yang terlambat sia-sia. Şehzade  kehilangan orang yang dicintainya.

Waktu berlalu. Pemakaman keluarga Bey dilakukan dengan prosesi singkat. Malayata jatuh dengan pengepungan singkat. Pemerintahan pro-Mamalik ini tidak mampu memberikan perlawanan terorganisir, dan desersi pasukan Dulkadir menjadi hal umum. Keruntuhan pemerintahan pro-Mamalik terjadi dalam waktu yang luar biasa singkat. Dan Kesultanan Mamalik tidak bisa membantu banyak akibat terjebak masalah internal. Meskipun meraih kemenangan yang luar biasa, hal itu seakan tidak berarti dan tanpa makna bagi Şehzade . Semua terasa hampa di pusat kekuasaan barunya di Malayata, hingga dia bertemu dengan arwah Hanım yang gentayangan.

….

Perlu waktu beberapa lama hingga kewarasan Şehzade  pulih. Şehzade  mendapatkan langsung bimbingan spiritual khusus dari Sharīf Tanah Suci, hingga pada akhirnya bisa menerima kepergian Hanım Fatma. Dan berdasarkan keterangan dari Sharīf, yang juga kepala kuil utama setara dengan pendeta tertinggi,  jiwa bisa tertahan dan menjadi arwah gentayangan jika melakukan hal yang tidak suci sebelum kematiannya. Dan untuk mensucikan arwahnya, dia perlu pergi ke Tanah Suci dengan permohonan untuk mensucikan diri. Tergantung seberapa kuat dan tulus permohonan dari si arwah terhadap Dewa YMS, bahkan sebelum ritual dan peribatanpun, arwah tersebut akan tersucikan dan dapat melanjutkan perjalanannya ke alam setelah kematiannya. Sharīf memilih waktu yang tepat untuk memberikan informasi ini, sehingga Şehzade  bisa lebih menerima kabar tersebut dengan penuh kesabaran. 

Waktu yang dihabiskan Şehzade untuk pemulihan spiritual hingga kembali stabil mungkin cukup. Ketika Şehzade  bertemu dengan Sharīf di keesokan harinya, beliau bersama pasukan Yeŋiçeri, yang hendak menangkapnya. Meskipun awalnya cukup terkejut, namun Şehzade  segera bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Berdasarkan kedekatan ajaran Bestasiyah di Yeŋiçeri dan  aliran Keimaman lokal, Şehzade  sudah menduga hal ini akan terjadi. Menghargai janjinya setelah duel maut dengan Zaganos, Şehzade  menyerahkan diri tanpa perlawanan lebih lanjut. 


Setelah menyerahkan dirinya kepada pasukan Yeŋiçeri yang kini berada di bawah komando Charlotte, kabar tidak menyenangkan datang dari Kesultanan Mamalik. Sultan Muzaffar Al-Ikhwan Burj, pada akhirnya berhasil mengatasi persoalan internal di Mamalik. Al-Ikhwan kini mengalihkan perhatiannya ke Dulkadir.

Persoalan internal selama ini menjadi hambatan bagi Mamalik dalam merespons perkembangan eksternal, termasuk kudeta pro-Mamalik yang terjadi di Dulkadir. Hal ini menyebabkan Pasukan Salajakiyah dibawah komando Şehzade   bertindak lebih cepat, dan mengambil alih pusat kekuasan. Pasukan ini juga mengisi kekosongan kekuasaan dengan mendirikan pemerintahan militer dengan pusat kekuasaan di Benteng Malayata.

Berdasarkan informasi yang didapat dari Beksiçeri, Al-Ikhwan sedang merencanakan invasi ke Dulkadir dengan target utamanya adalah Benteng Malayata, pusat kekuasaan pasukan Şehzade. Merespons informasi ini, Şehzade   meminta Charlotte untuk mengizinkannya kembali memimpin pasukannya di Dulkadir untuk mempersiapkan kemungkinan Invasi dari Kesultanan Mamluk. Pada awalnya, Charlotte yang tidak mengizinkannya. Namun, Şehzade   berhasil membujuk Charlotte untuk mengizinkannya kembali ke pasukannya di Malayata.

Memanfaatkan kesempatan yang diperolehnya dengan baik, Şehzade dengan cepat memantapkan dirinya sebagai penguasa de facto di Dulkadir, dari pusat kekuasaannya di Malayata. Dengan posisinya saat ini, Şehzade memutuskan untuk menghukum mati semua kolaborator pro-Mamalik , dan melakukan eksekusi publik di Malayata. Mereka semua di eksekusi dengan tuhan berkolaborasi dengan kekuasaan asing,dan menggulingkan penguasa yang sah dengan kekerasan.

Belum cukup puas dengan eksekusi publik, Şehzade juga memanjang kepala dan sisa tubuh dari para konspirator itu di dinding Benteng Malayata. Hal ini direspons langsung oleh Al-Ikhwan dengan membuat pengakuan diplomatik terhadap pemerintahan pro-Mamalik di Dulkadir, meskipun sebenarnya sudah tidak ada lagi. Untuk mendukung pemerintahan yang mereka anggap sah tersebut, Mamalik memutuskan untuk ‘membebaskan’ Dulkadir dari angkatan bersenjata asing yang menumbangkan ‘pemerintahan yang sah’ dengan kekerasan. Dan dengan ini, Kesultanan Mamalik dengan resmi menyatakan perang terhadap Kesultanan Salajakiyah.  

Melihat perkembangan yang tidak terkendali di Dulkadir, Charlotte melaporkan kejadian ini langsung ke Sultan Aḥmed. Pecahnya perang dengan Mamalik, tindakan Şehzade   selama Dulkadir, dan kematian bawahan favoritnya ditangan Şehzade, membuat kesabaran Sultan Aḥmed habis. Sultan menghancurkan gagang tongkatnya hanya dengan kekuatan genggaman tangannya karena menahan amarah ketika mendengar semua perkembangan yang terjadi di Selatan.

Dia memutuskan untuk mengakhiri arogansi putranya dengan konfrontasi langsung. Sultan Aḥmed bergerak ke selatan dengan membawa pasukan besar dari Levanṭīnīye, termasuk sebagian besar pasukan elit Yeŋiçeri yang berada dibawah komando langsung Sultan.  Sementara  Şehzade Altaïr, tetap terlihat tenang menghadapi invasi dari Mamalik dari selatan dan konfrontasi ayahnya yang datang dari utara ketika Charlotte menghampirinya di Malayata.

“Menyerahlah, Şehzade! Hentikan semua kegilaan ini!” Bentak Charlotte.

“Semuanya masih sesuai rencana. Situasi ini masih dalam kendali. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Selain itu, terima kasih karena dengan segera menghubungi ayahku terkait perkembangan yang terjadi di sini.” jawab Şehzade.

“Apakah kamu tidak takut akan terbunuh karena perkembangan ini?” Lanjut Charlotte dengan nada cemas

“Saya hanya mencari cara untuk menyalurkan kemarahanku. Karena, saya tidak tahu kemana harus membalas dendam! Kalaupun harus terbunuh karena ini, saya tidak peduli lagi” Jawab Altaïr. 

Charlotte secara refleks mendekati Altaïr, dan menyentuhnya jika memungkin. Namun Charlotte segera membatalkannya, kemudian memalingkan diri. Tidak ada kesempatan baginya untuk membujuk Şehzade mundur. Sebelum meninggalkan Şehzade   sendirian di tenda kerjanya, Charlotte tiba-tiba berhenti di pintu tenda dan menoleh kebelakang . Şehzade   yang menyadari ini juga menoleh ke belakang, dan secara kebetulan mata bertemu. Waktu yang serasa membeku bagi Charlotte dan Şehzade  . Kenangan masa kecil keduanya terlintas di pikiran masing-masing. Masa lalu yang indah, dan telah mati. 

Secara refleks, Charlotte kembali memalingkan wajahnya. Matanya berkaca-kaca akibat kilasan masa kecilnya bersama Şehzade  . 

“Şehzade  , mungkin Anda tidak menyadarinya. Namun, masih banyak orang yang membutuhkanmu, dan peduli padamu. Jadi, jangan menjual nyawamu terlalu murah!” Kata Charlotte 

Charlotte bergegas meninggalkan tenda kerja Şehzade  . Sedangkan Şehzade   perlahan berhenti menatap Charlotte yang setengah berlari meninggalkan tendanya, seraya menyeka matanya.  Ia kembali menatap peta di meja kerjanya. Redemption

“Jika saja saya dapat bertindak lebih cepat dulu…” gumam Şehzade  .

Pasukan Al-Ikhwan memasuki Dulkadir, bersamaan dengan kedatangan pasukan Sultan Aḥmed. Kabar ini mengejutkan kedua belah pihak. Al-Ikhwan mengira dia hanya akan menghadapi pasukan Şehzade  , dan tidak mengantisipasi bala bantuan yang datang dari Sultan Aḥmed. Menghadapi pasukan Aḥmed yang lebih besar, Al-Ikhwan mundur teratur dari Dulkadir untuk menunggu bala bantuan lebih besar yang belum siap saat. Dan untuk menghambat Aḥmed, Al-Ikhwan melancarkan serangkaian serangan skala kecil 

Sedangkan pasukan Aḥmed yang tidak siap tempur menjadi korban dari serangkaian serangan skala kecil yang dilancarkan Mamalik. Mereka tidak menyangka akan bertemu pasukan Mamalik secepat ini. Akibatnya, banyak pasukannya yang terbunuh. Kekalahan yang terus menerus dialami oleh Sultan Aḥmed, menyebabkan moral pasukannya melemah. Kelemahan yang ditunjukan oleh pasukan Aḥmed ini bahkan menyebabkan Al-ikhwan membatalkan rencananya untuk mundur dari Dulkadir dan memutuskan untuk mengkonfrontasi pasukan Aḥmed yang menurutnya telah cukup dilemahkan.

Pertempuran ini terjadi Barat laut kota Marasha, yang kemudian dinamakan Pertempuran Marasha. Pada awalnya, Mamalik kalah jumlah mampu menekan pasukan Aḥmed sedemikian rupa hingga pasukan tersebut nyaris kolaps. Namun disiplin tinggi yang ditunjukkan korp elit Yeŋiçeri di posisi-posisi vital pasukannya, mencegah Al-Ikhwan mengamankan kemenangan cepat dalam pertempuran ini. Namun, serbuan kavaleri elit Mamalik membuat barisan Salajakiyah kalang kabut dan sebagian besar melarikan diri dari pertempuran. Sedangkan elemen-elemen korp elit Yeŋiçeri dengan gigih bertahan, dan mengalami kerugian yang signifikan. Meskipun  kondisi yang semakin memburuk, Aḥmed menolak untuk melarikan diri dari pertempuran. Kemenangan Mamalik sudah di depan mata, namun tiba-tiba pupus ketika pasukan Şehzade  dari Malayata datang di medan tempur dan menyerang pasukan Mamalik di bagian sayap kanan dan belakang. 

Seketika pasukan Mamalik langsung kolaps. Al-Ikhwan langsung melarikan diri, ketika Şehzade   tiba bersama pasukannya. Dia memasrahkan nasib pasukan kepada Sultan Aḥmed dan Şehzade   Altaïr. 

Pertempuran melawan musuh eksternal berakhir dengan singkat. Namun badai belum berakhir. Perseteruan antara ayah dan anak terkait kekuasaan masih belum mencapai titik terang. Perseteruan, yang bahkan menyebabkan invasi Kesultanan Mamalik, rival utama Salajakiyah terasa bagai angin lalu. 


Penulis: Narusaka

H(OURS) Time: Spin off, Last Chance

Entry Writchal #3
Tema: Mati


Tuhan adalah suatu sosok yang wujud, zat dan keberadaan-Nya absolut di alam semesta ini. Semua yang berada di luasnya semesta ini termasuk salah satu ciptaan-Nya. Dia memiliki 99 nama sebutan, di samping itu namanya pun termasuk kemampuannya.

Malaikat, jin, setan, roh dan manusia hidup di dimensi yang berbeda. Terdapat penghalang bagaikan tembok cahaya yang membatasi para makhluk guna menjaga kedamaian antar dimensi dan penduduknya.

Terdapat tiga dimensi di alam semesta ini: Dimensi Bawah, Dimensi Menengah dan Dimensi Atas.

Malaikat memiliki izin atas ketiga dimensi tersebut. Dikarenakan mereka memiliki kewajiban akan perintah Tuhannya. Mereka sangat patuh kepada Tuhannya tersebut.

Setan hanya memiliki kehidupan di dimensi bawah. Mereka pernah melakukan kesalahan besar yang menyebabkan dijatuhkan dari dimensi atas ke dimensi bawah. Namun beberapa dari mereka masih ada yang mampu berpindah dimensi.

Jin dan manusia tinggal pada dimensi yang sama. Namun terdapat sebuah perbedaan. Jika manusia terbentuk karena adanya wujud jin yang dibaluri tanah dari bumi sebagai bentuk fisiknya. Dan jin hanyalah bentuk roh biasa tanpa adanya bentuk fisik yang terlihat.

Lalu untuk roh adalah keberadaan yang berbeda dari mereka semua. Roh terbentuk atas kehendak Tuhan karena adanya suatu tindakan dan kekuatan pikiran yang terbentuk dari ke-4 makhluk yang lain. Seperti contoh, para dewa.

Namun ada pula roh yang terbentuk karena keinginan suatu fenomena besar yang ada. Keberadaannya tidak pernah diketahui dan diperbolehkan oleh Tuhan. Dan mereka semua disebut sebagai Roh Iregular (Irregular Spirits)

 

“Hai Rani, selamat malam. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun semenjak terakhir kali aku kemari bersama Amelia.” Berdiri di hadapan batu nisan bertuliskan nama ‘Rani’. “Mungkin kau di sana sedang membicarakan diriku dengan yang lainnya ya, haha.”

Seorang pemuda yang telah kehilangan ketiga istrinya dan seorang putrinya, yang tersisa hanyalah kedua putrinya. Rakha, sosok pahlawan yang menyelamatkan banyak siswa dari insiden King Goblin dan sosok penjahat yang menyulut Perang Dunia ke-3 juga pembunuh para Pahlawan Besar.

“Kau tahu Rani. Hidupku saat ini sangat tidak baik-baik saja. Aku takut semuanya akan hilang begitu saja saat di dekatku. Bahkan kalian pun pergi meninggalkanku. Bukankah itu tidak adil?” Menaruh setangkai bunga yang berbeda-beda warnanya pada setiap batu nisan.

Di sebelah makam Rani terdapat makam ketiga istri juga satu putrinya. “Aku hanya bercanda, kalian lah yang menentukan pilihan itu. Meskipun rasa sakit ini tetap ada, kalian adalah cintaku yang sangat pemberani dan ku hormati.” Mencium satu per satu batu nisan dan pergi meninggalkan pemakaman itu dengan rambut panjang yang diberai tertiup angin malam.

~***~

Jauh di atas sana, salah satu mantan malaikat agung, malaikat maut, Azrael, dipenjara karena menentang perintah Tuhan dan juga memilih seorang manusia dibanding dengan tugasnya. Karena hal itu, dirinya diberi julukan sebagai Broken Angel, yang artinya, sebuah malaikat yang gagal dalam memenuhi tugasnya.

Namun karena adanya beberapa insiden yang baru saja terjadi, Azrael terbebas dari penjara Dimensi Atas. Memang pada awalnya Azrael ingin sekali pergi secara paksa, tetapi dirinya merasa sebuah keberuntungan sedang berada pada pihaknya. Ia pergi melarikan diri ke Dimensi Tengah, Galaksi Bima Sakit, Bumi.

Karena aturan semesta yang berlaku, sayap Azrael yang awalnya berjumlah 49 pasang pada saat di atas, hanya menjadi tiga pasang saja saat turun ke bumi. Kekuatannya pun turun lebih dari 90% semulanya. Yang dia mampu lakukan hanya beberapa sihir sederhana tingkat atas.

Tujuan dirinya memilih bumi karena ingin bertemu dengan seseorang, yaitu Lucifer. Dirinya mengetahui beberapa rumor beredar mengenai pemberontakan Lucifer. ‘Sempat melawan bahkan memojokkan Tuhan’, itulah yang Azrael incar. Karena jika hal itu betul kebenarannya, maka akan ada kesempatan baginya untuk mewujudkan impiannya.

“Mungkin aku harus menghilangkan terlebih dahulu sayapku,” memandangi punggungnya yang terdapat tiga pasang sayap hitam.

Hitam ya … wajar saja, karena aku sudah dibuang oleh Tuhan. Rambutku jadi hitam juga.

Dengan menekan aura dan juga kekuatannya, sayap pada punggungnya menghilang dan pakaian yang dikenakan berubah mengikuti sekitar yang ada. “Pakaian apa ini? Yukata? Apakah ini Jepang?”

Mungkin bagi Azrael yang sudah lama tidak melihat bumi dan juga tidak tahu peristiwa apa saja yang sudah terjadi, semua itu akan langsung dikaitkan dengan pengetahuan terakhirnya. 

“Permisi,” menyapa seseorang yang kebetulan melewati Azrael menggunakan bahasa Jepang.

“Ya?” orang itu kebingungan dengan sapaan Azrael, mungkin lebih tepatnya bingung dengan bahasa yang digunakannya.

“Apakah kamu tahu di mana kuil, tempat untuk aku berdoa?” menggunakan bahasa Jepang.

Orang itu kebingungan dengan bahasa yang digunakan oleh Azrael, “Anu … apakah kamu berasal dari pulau seberang?”

Entah kenapa meskipun aku tidak tahu bahasa apa ini, tapi aku dengan mudah paham dengan artinya.

“Ah maksudku, apakah kamu tahu di mana kuil, tempat untuk aku berdoa?” mengulangnya dengan bahasa yang digunakan orang tadi.

“Kuil ya. Kamu tinggal lurus saja dan di sana ada tangga menuju ke atas. Di sanalah tempatnya.”

“Terima kasih banyak,” membungkukkan badannya sedikit, seperti budaya Jepang bada umumnya.

Dengan melihatnya, orang tadi sedikit kebingungan dengan sikap Azrael. Karena memang benar, tempat itu bukanlah Jepang yang biasa Azrael kenal lagi.

Benar sepertinya, ini bukan Jepang. Tetapi akulturasi budayanya hampir mirip. Aku pun tidak merasakan lagi energi beberapa makhluk mistis yang seharusnya ada di sini.

Berjalan lurus ke depan menuju arah kuil. Sepanjang jalan hanya terlihat tenda-tenda untuk orang berdagang. Hal itu membuat Azrael berpikir lagi, ‘Apakah benar ini adalah Jepang yang ia kenal?’

Tak jauh setelah dirinya berjalan, ia melihat beberapa patung dewa yang biasa disembah sudah hancur sebab kerusakan yang disengaja. Tidak hanya itu, dia pun mendengar orang-orang yang terus mengeluh tentang Perang Dunia ke-4.

Perang Dunia ke-4?! Apa yang sebenarnya sudah terjadi dengan bumi?

Karena rasa penasarannya itu, Azrael mencoba untuk mendeteksi seluruh permukaan bumi dengan sihirnya. “Teknik Sihir: Detect.” Pada dasarnya, kekuatan malaikat miliknya sudah diambil oleh Tuhan. Tetapi dia menyimpan sisanya pada 49 pasang sayap yang berubah menjadi hitam itu.

Benar-benar situasi yang sangat buruk — itulah yang dipikirkan Azrael saat melihat kondisi bumi saat ini.

“Permisi paman,” dengan suara imutnya, seorang gadis kecil menepuk-nepuk punggung Azrael. Hawa kehadirannya benar-benar tidak terasa sama sekali.

Sentuhan itu membuat Azrael melepas sihir deteksinya, “Ya? Ada apa ya?”

“Apakah tuan ini seorang malaikat?” tanya seorang gadis dengan pakaian serba tertutup. Mata dan alisnya terlihat berwarna putih. Rambut yang sedikit terlihat pun berwarna putih.

Azrael terkejut saat ada yang mengetahui keberadaannya itu. Seharusnya tidak banyak yang bisa mengetahui identitas malaikat saat sedang di bumi. Kecuali penyihir tinggi juga Legendary Heroes, Alden dan Aghatha.

“K-kau siapa?”

“Ah maaf, perkenalkan diriku Mila.” Membuka penutup wajahnya.

Benar seperti ekspetasi Azrael, semuanya serba putih.

“Manusia?”

Gadis itu tersenyum tipis saat ada yang menanyakan rasnya, “Hihi, apakah aku terlihat seperti bukan manusia?”

Sebenarnya Azrael sedikit curiga dengan gadis itu. Bukan hanya karena penampilannya, namun juga aura yang dipancarkan sangat berbeda dengan yang lain. Dan juga tak terasa energi sihir sama sekali pada dirinya.

“Apakah kamu terkejut melihat diriku yang tidak memiliki sihir? Wajar saja sih, karena pada umumnya setiap manusia memiliki energi sihir meskipun hanya sebesar biji wijen.”

“Jadi ‘apa’ dirimu itu?”

“Kau mengganti pertanyaannya, hihi. Ini semakin lucu saja. Tak kusangka ada malaikat sebodoh ini. Tenang saja, aku ini benar-benar manusia. Hanya saja aku tidak memiliki energi sihir, mirip seperti ayahku.”

“Ayahmu?”

“Ya, ayahku, Rakha. Orang yang berhasil melawan satu dunia ini. Hebat kan?!”

Apa-apaan gadis kecil ini! Dunia ini?! Seorang manusia!? 

“Namun sayang sekali ayahku sedang tidak ada di sini. Omong-omong, paman sedang mencari seseorang?” melanjutkan perkataannya.

“Bagaimana kamu tahu nak?” Mengangkat Mila seperti seorang ayah yang menggendong anaknya.

“Aku bisa melihatnya … warna paman. Seperti seorang anak kecil yang tertinggal oleh ibunya.”

Aura?

“Paman ini malaikat kan? Tunjukkan sayapmu dong.”

“Tidak bisa nak, di sini sedang banyak orang. Mungkin lain kali saja.”

“Eeehhh ….”

Entah bagaimana dan kenapa, Azrael merasa mudah akrab dan dekat dengan Mila. Ada suatu perasaan yang terlupakan oleh memori Azrael tapi tubuhnya tetap mengingat itu.

“Ah iya bagaimana jika kamu membawaku kepada ayahmu saja. Paman ingin berkenalan dengannya.”

“Tidak bisa,” langsung dijawab dengan cepat. “Lokasi ayah tidak diketahui sama sekali, kecuali paman mau membantuku.”

“Baiklah, paman akan bantu sebisa mungkin.”

“Yosh! Ayo kita pergi!”

Mungkin aku tidak perlu buru-buru dengan tujuanku. Akan ku nikmati dulu momen bersama anak ini.

Mereka mulai dengan mengelilingi tempat tadi. Azrael tahu bahwa akan sulit untuk menemui Lucifer, tapi mungkin momen ini bisa ia nikmati dulu. Nostalgia sangat terasa pada perasaan dan pikirannya. Teringat dengan sosok istrinya.

“Paman?” Mila memanggilnya karena melihat Azrael diam bengong memandang langit. Mila mencoba untuk mendekati dan menanyakan sesuatu kepada Azrael, “Paman ini sebenarnya ingin melakukan apa jika sudah bertemu dengan orang itu?”

“Sebenarnya aku ingin menghancurkan konsep kematian pada semesta ini.”

Mila yang mendengarnya sedikit terkejut. Tetapi dia hanya tersenyum dan tertawa tipis untuk menanggapinya, “Haha, paman ini benar-benar malaikat yang bodoh dan lucu.”

“Begitu ya? Haha.”

Karena melihat Azrael yang murung, Mila mencoba untuk menghibur Azrael. Dirinya itu seperti melucu sebagaimana halnya tingkah anak kecil. Karenanya itu, Azrael tersenyum dan tertawa melihat kelakuan Mila.

“Kau ini benar-benar mengingatkanku pada seseorang, haha,” mengusap kepala Mila. “Terima kasih nak. Mungkin mulai sekarang aku akan mencari orang ini sendiri. Nak Mila kembalilah kepada ayahmu itu.” Membelikan sebuah permen kapas untuk Mila.

“Tidak paman, aku akan menemanimu. Lagian aku belum ingin bertemu ayahku.”

Karena terpaksa, Azrael merasa harus membawa Mila dalam perjalanannya. Dia harus tetap mencari Lucifer untuk mewujudkan impiannya. Dengan berpikir dirinya dengan Lucifer adalah sesama mantan malaikat, dia berharap akan dibantu olehnya. Tetapi Azrael belum tahu dengan kondisi semesta saat ini.

Perjalanan panjang sudah ditempuh oleh Azrael dan Mila, melewati pulau Cina. Menurut kabar yang ada, setelah Perang Dunia ke-3, Daratan Cina terpecah-pecah karena ledakan nuklir yang begitu besar hingga membelah benua. Informasi-informasi ini terasa sangat baru bagi Azrael. Bahkan dirinya bingung, ‘Kenapa manusia ingin sekali menghancurkan diri mereka sendiri’.

Dari informasi itu juga, Azrael mengetahui bahwa Malaikat Agung Maut yang baru, Yehudiel, biang keladi dari Perang Dunia ke-4. Entah apa yang sebenarnya terjadi, yang terlihat oleh Azrael hanyalah dunia tanpa Tuhan. Informasi ini sangatlah akurat dan terbukti kebenarannya. Setiap tempat yang dia lewati sudah tidak berbentuk dan jumlah penduduk yang dirasakan pun lebih sedikit dari biasanya.

“Paman Azrael, istirahat dulu. Mila lelah berjalan.”

Mereka memutuskan untuk berhenti dan istirahat sejenak. Sejujurnya daya hidup Azrael hanya tinggal 5 tahun lagi. Tidak banyak energi sihir yang bisa digunakan lagi. Hal itu sudah terasa pada setiap sel-sel tubuhnya, menjerit seperti kesakitan.

Azrael mengeluarkan secarcik surat dan sebuah foto Lucifer. Di surat itu juga terdapat sebuah alamat dan peta yang menunjukkan sebuah tempat.

“Paman Luci!” Mila menunjuk foto itu seolah-olah memanggilnya.

Azrael terkejut saat Mila berteriak, “Kau mengenalnya?”

“Iya! Paman Luci itu yang merawatku dan kakak-kakakku, jika Ayah pergi bekerja.”

“Apa kau tahu di mana dia sekarang?” memegangi bahu Mila.

“Mi-Mila tidak tahu, paman. Paman Luci tidak pernah datang lagi semenjak pergi bekerja bersama ayah.”

“Begitu ya … Kalau begitu kita sementara waktu istirahat dan tidur di sini ya.”

Mila tertidur lelap di atas tumpukan jerami yang sudah disiapkan. Azrael tetap terjaga karena takut akan ada orang yang menyerang dirinya dan Mila. Sambil melihat ke arah langit berbintang, dirinya teringat dengan sebuah momen yang membuat dirinya diasingkan Tuhan dan dipenjarakan.

~***~

Rambut yang berwarna perak terang dan sayap yang begitu gagah menerangi ruangan kerjanya. Kekuatan yang terasa sangat kental dan juga melimpah. Azrael sedang mengerjakan berkas-berkas yang perlu dibuat untuk dilaporkan kepada Agares, sang Tuhan.

Tepat di tengah kesibukannya itu, seorang malaikat bawahannya, malaikat maut, melaporkan sesuatu yang mengganjal pada pekerjaannya. Dia melaporkan bahwa manusia yang menjadi target selanjutnya sudah bisa melihat dirinya. Padahal itu masih berada pada tahap 365 hari sebelum hari kematiannya.

Seperti yang sudah diketahui dan dipercayai banyak orang beriman, setiap manusia dapat melihat malaikat maut tepat saat 40 hari sebelum kematiannya. Itu adalah peringatan dan kesempatan terakhir bagi manusia untuk memperbaiki dirinya. Aturan itu sudah berlaku sejak Adam dan Hawa turun ke bumi.

Namun untuk hal ini, muncul sebuah kasus khusus yang perlu ditangani oleh pimpinan malaikat maut saat itu, salah satu malaikat agung, Azrael. Seorang gadis berumur 24 tahun telah melihat malaikat maut pada 365 hari atau tepat 1 tahun sebelum kematiannya. Kejadian itu sangat langka bahkan bisa saja hanya akan terjadi setiap 10000 tahun sekali.

Dengan menggunakan avatarnya, Azrael turun ke bumi dan menemui gadis itu. “Hai nona, selamat pagi.” Sapaan pagi di sebuah ladang gandum yang begitu luas. Bahkan gesekan antara tanaman gandum yang disebabkan hembusan angin terdengar berirama dan begitu nyaman.

Jas rapi yang dikenakan Azrael seperti seorang bangsawan kelas tinggi nan gayanya yang sopan memberikan sebuah salam hormat. Saat Azrael mengangkat badannya dan memandangi gadis itu. Tubuhnya itu seketika membeku dan padangannya tidak bisa dialihkan ke yang lain. Sebuah kisah malaikat memiliki sebuah rasa kepada manusia untuk pertama kalinya.

Aneisha Clarabel, seorang putri pemilik ladang gandum di Uni Eropa, Jerman. Rambutnya yang berwarna cokelat, diberai tertiup angin menyatu dengan para gandum. Wangi dan hembusannya begitu terasa tenang saat dihirup. Wajahnya yang manis dan ceria membuat orang-orang di sekitarnya begitu senang hingga menular kepada yang lain. Sosok manusia yang hampir menyentuh kata sempurna.

“Iya? Selamat pa—gi?” dengan terkejut melihat seorang pria dengan pakaian sebegitu formalnya datang ke ladangnya. “Maaf, ada keperluan apa ya?” menundukkan kepalanya.

“Aahh, tidak perlu sesopan itu,” — Azrael berpikir adanya perbedaan kasta di sini yang menjadi pembatas antara bangsawan dan petani — “tenang saja, aku hanya ingin berjalan-jalan.”

“Aaa, maafkan saya. Silahkan lanjutkan jalan-jalan Anda.” Terus menerus menundukkan kepalanya.

Kesopanan dan sifat lembut merendah itu terlihat lucu bagi Azrael. Meskipun sudah berumur 24 tahun, kesannya seperti melihat anak kecil berumur 13 tahun yang sedang belajar tata krama.

Aku akan terus memerhatikan dirinya dari kejauhan saja — pikir Azrael.

Berdasarkan pengamatannya, gadis itu tidak memiliki energi sihir yang begitu besar, hanya seukuran manusia biasa. Bukan suatu alasan dirinya bisa melihat malaikat karena sihir. Azrael terus memperhatikannya. Pekerjaan yang ia lakukan sangat tertata dan konsisten. Sikap sopan dan riangnya saat menyapa orang yang melewatinya, benar-benar tidak menggambarkan umurnya.

Apa yang sebenarnya membuat dirinya bisa melihat malaikat ya? — menatap langit sembari tiduran di atas tanah berumput hijau.

“Ah, tuan yang tadi!” suara seorang gadis tepat di belakang Azrael.

“Hmm?” menengok ke arah belakang, melihat Aneisha ada di sana.

Mereka berdua saling bertatapan mata. Pupil berwarna emas milik Aneisha melihat tepat menuju mata Azrael yang berwarna biru laut. “Matamu cantik ya tuan,” Aneisha memberikan pujian kepada Azrael.

Untuk pertama kalinya Azrael memasang wajah malu karena pujian seorang manusia. Dia memalingkan wajahnya, “Oh, begitu ya.”

Dengan tawa kecilnya yang imut, Aneisha bertanya kepada Azrael, “Apakah kamu bukan seorang manusia?”

Tubuh Azrael dengan reflek langsung melihat Aneisha, dia berpikir kenapa Aneisha bisa mengetahuinya. Namun, hal itu langsung terjawab setelah melihat matanya. “Mata Suci Tujuh Penjuru Lautan, ya?”

“Kau mengetahuinya?! Mata ini!” dengan penasarannya sampai sedikit mendorong Azrael. Tatapannya yang menyala itu menatap serius wajah Azrael.

“Y-ya, aku tahu.”

Tanpa disadari posisi Aneisha berada di atas Azrael. Wajah manis Aneisha terlihat jelas di balik bayangan yang menutupi sinar matahari di langit. Rambut cokelatnya itu mengelilingi wajah Azrael, hingga benar-benar yang ada dihadapannya hanya wajah Aneisha.

“A-anu ….”

Sial, martabatku menghilang! — menyadari diri sendiri kalau mengatakan ‘Anu …’ karena terbiasa dengan bahasa Jepang membuat dirinya seperti menjadi manusia biasa.

Aneisha yang terlambat menyadarinya langsung beranjak dari posisi tadi, “Aaa! Maafkan saya!”

“T-tidak apa-apa.” Mereka berdua merapikan pakaiannya yang sedikit acak-acakan. “Kau sangat penasaran dengan mata itu?”

“Iya. Entah bagaimana caranya aku bisa memiliki mata ini. Saat terbangun dari tidur yang ku lihat hanya bagian dunia yang tidak pernah ku lihat.”

“Karena memang itulah arti dari ‘Mata Suci Tujuh Penjuru Lautan’, meminta sang pemiliknya untuk melihat seisi dunia.” Azrael menunjukkan mata yang sama kepada Aneisha. “Mata itu memilihmu karena kau memiliki keinginan yang sama dengannya.”

“Melihat seisi dunia ya … Aku kira itu hanya mimpi.” Keputusasaan terpampang pada raut mukanya.

Hanya karena melihat wajahnya, Azrael mengerti dengan perasaan Aneisha. Perasaan terkekang oleh sesuatu yang merenggut kebebasan miliknya. Dirinya itu hanya tersenyum dan berkata, “Maafkan ketidaksopananku, sebelumnya aku tidak sempat memperkenalkan diriku ya. Aku adalah Azrael, kamu bisa memanggilku Rael. Dan tepat seperti dugaanmu, Aku bukanlah manusia, tetapi seorang malaikat. Lebih tepatnya, malaikat maut.” Dengan pose tangan kanan pada dadanya yang penuh hormat.

“Ma-malaikat maut?”

“Benar sekali, malaikat maut. Untuk satu tahun ke depan ini, aku akan menjagamu hingga ajal yang sudah ditentukan menjemputmu, Aneisha Clarabel.”

~***~

“Pa-man … Paman bangun!” suara yang samar semakin jelas terdengar. “Paman malaikat bangun!”

Secara terkejut, Azrael terbangun dari tidurnya. Di sekelilingnya sudah terdapat banyak orang berpakaian serupa seperti orang kantoran. Mila sudah berada ditangkapan mereka. “Sepuluh orang ya — malaikat?”

Salah satu dari perwakilan mereka mendekati Azrael, “Kami malaikat Dimensi Atas datang untuk menangkapmu lagi. Perintah langsung dari pimpinan untuk menangkap tahanan melarikan diri, Azrael.”

Azrael hanya tersenyum dan mulai berdiri dari posisi duduknya. Mengeluarkan energi sihirnya, “Teknik Sihir: Death Touch.” Tangan kanan Azrael seperti mengeluarkan aura berwarna ungu gelap pekat, serasa tidak ingin menyentuhnya. “Hanya dengan ini, kalian semua bisa ku ratakan.”

“Semuanya bersiap!!!” perwakilan tadi memberikan aba-aba. Untuk sesaat, situasi menjadi hening dan tegang. Keduanya saling mempersiapkan kesiapannya untuk bertarung. “Tangkap dia!”

Semua malaikat tadi langsung menyerbu Azrael secara bersama-sama. Tetapi, “Menyerangku langsung ya? Tidak berguna. Teknik Sihir: Lubang Buaya.” Di saat mereka semua melompat ke arah Azrael, beberapa lubang terbentuk di bawah mereka. Dan lubang itu menarik mereka untuk masuk ke dalamnya.

Setelah mereka semua masuk ke lubang itu, datang seperti penutup yang di bawah permukaannya terdapat ujung pedang yang mampu membunuh malaikat. “Matilah kalian semua,” ucap Azrael.

Mila yang sedang dipegangi—mungkin ditawan oleh seorang malaikat tidak memasang wajah panik sama sekali. Dia hanya terdiam melihat Azrael sembari dipegangi oleh seorang malaikat.

Melihat itu membuat Azrael sedikit kesal terhadap perlakuan malaikat itu kepada Mila. Tanpa disadari, Azrael sudah berada di belakang malaikat itu. “Kau juga … susul lah teman-temanmu.” Azrael mengangkat malaikat itu dengan tangan kanannya. Tubuh malaikat itu langsung mengering dan energinya terserap ke dalam tubuh Azrael.

“Memang seharusnya seperti ini,” ucap Azrael. Matanya itu berubah menjadi hitam meskipun pupilnya tetap berwarna biru.

Kekuatan yang Mila rasakan pada Azrael, “Kekuatan paman terasa sangat sesak.”

Beberapa malaikat yang yang selamat dari lubang buaya tadi menampakkan dirinya dengan tubuh penuh luka tusukan. “Azrael, kau benar-benar pengkhianat Tuhan.” Mereka mulai mengeluarkan sayap-sayap malaikat mereka.

“Aku tetap tidak perlu menggunakan kekuatan untuk mengalahkan kalian,” gertakan Azrael dengan mengeluarkan aura energi sihir yang begitu melimpah. “Kenapa kalian tidak berhenti saja,” dengan senyuman lebar nan sadisnya.

Para malaikat pun bergetaran saat melihatnya. Namun karena itu adalah sebuah perintah, “Karena malaikat sepertimu — Azrael, kau baru saja memulai kehancuran pada dunia ini. Serang dia!” Para malaikat mengeluarkan sebuah lingkaran sihir pada punggung mereka. “Teknik Sihir Cahaya Gabungan: Heavenly Chain.” Dari lingkaran sihir itu muncullah semacam rantai cahaya yang mengikat Azrael.

Heavenly Chain?! Bagaimana para keroco ini bisa memanggil salah satu senjata surgawi — itulah yang ada dalam pikiran Azrael.

“Kami, para malaikat bawahan Yehudiel, mampu memanggil salah satu senjata surgawi jika dilakukan bersama. Nah, sekarang kau ikutlah dengan kami.”

Cih! Aku ka— ucapannya terpotong. Tiba-tiba saja datang seorang pria dengan rambut sepanjang bahu. Dia datang begitu saja tepat di tengah-tengah pertarungan. Sosok misterius itu membuat para malaikat terdiam tak berkutik saat melihatnya. 

“Akhirnya aku menemukanmu, Mila.” Pria itu menggunakan pakaian serba hitam, seperti baru saja melayat. Wajah misteriusnya itu terlihat saat angin mengibaskan poninya, meskipun hanya terlihat sebagian wajahnya saja.

“Ayah!”

Ayah? Jadi begitu ya … dia adalah ayahnya. Dia benar-benar terlihat sangat kuat.

Mila mendekati ayahnya dan meminta untuk menggendongnya. Mereka berdua terlihat sangat cocok seperti ayah dan anak. Hal itu membuat Azrael teringat sesuatu yang sudah dirinya lupakan.

“Kau pasti Azrael ya?” Pria itu mendekatinya dan juga mulai memperkenalkan dirinya, “Aku Rakha, ayah dari gadis ini. Kuucapkan terima kasih karena sudah menjaganya.” Dia juga melepaskan rantai-rantai cahaya yang mengekang Azrael hanya dengan menyentuhnya.

Kuat sekali ….

“Kau … manusia! Bagaimana kau bisa sampai ke sini?!” salah satu dari malaikat itu berteriak kepada Rakha.

“Bagaimana? Oh, ya aku hanya tinggal menerjang mereka semua.” Yang dibicarakan oleh para malaikat itu adalah ribuan pasukan malaikat yang berniat menghadang Azrael jika berhasil melarikan diri lagi.

Para malaikat itu mulai geram dengan perkataan dan sikapnya, “Jangan sombong kau manusia! Teknik Sihir: Angel Feathers.” Mereka menembakkan bulu-bulu dari sayap mereka menuju Rakha. Tetapi dengan mudahnya, Rakha hanya perlu mengangkat satu jarinya untuk melenyapkan bulu-bulu itu.

“Kau berniat memberiku terapi akupuntur ya? Terima kasih, tapi tidak dulu deh. Lebih baik kalian yang di sini membantu malaikat-malaikat lain yang sedang terkapar di sana.” Rakha membukakan celah dimensi untuk mereka semua.

Para malaikat benar-benar sedang terpojok. Mereka terpaksa untuk mundur dan pergi menyelamatkan rekan-rekannya terlebih dulu. “Kami semua akan kembali lagi, Azrael, dan juga kau, Rakha!”

“Ok semuanya sudah selesai. Ayo kita pulang, Mila.”

“Tidak! Mila harus membantu paman ini. Dia sedang mencari seseorang.” Mila menatap serius mata sang Ayah. Tatapan yang membuat Rakha tidak bisa bereaksi apa-apa lagi.

“Baiklah terserah dengan apa yang kau lakukan, tetapi ayah tidak bisa menemani kalian. Karena ada yang harus kuselesaikan dulu.” Menurunkan Mila dari pangkuannya.

“Tidak apa-apa, kami berdua akan mencarinya bersama,” ucap Mila.

Rakha hanya bisa menghelakan nafasnya, “Baiklah tapi hati-hati ya. Kutitipkan lagi anakku padamu ya, Azrael. Kalau begitu aku pamit.” Membukakan celah dimensi untuk pergi ke sebuah tempat.

“Tunggu sebentar!” Azrael meenghentikan Rakha. “Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Apakah kau tahu di mana Lucifer saat ini? Jika kau mengenal diriku seharusnya kau juga mengenali Lucifer kan?”

Tanpa membalikkan badannya, Rakha menjawab dengan datar, “Dia sedang dalam sebuah misi yang membutuhkan kekuatannya. Lebih baik kau cari saja orang yang sangat ingin kau temui itu, daripada memikirkan mimpimu yang kosong itu.” Rakha langsung pergi memasuki celah dimensi itu dan menghilang begitu saja.

“Mimpi … yang kosong.” Azrael mengulangi perkataan Rakha tadi.

Benar juga, yang kuinginkan itu bertemu dengannya. Bukan embel-embel menghilangkan kematian.

“Paman! Ayo kita lanjutkan perjalanannya.” Mila mengulurkan tangannya.

“Ya, ayo kita pergi.”

~***~

Azrael dan Mila pergi melanjutkan perjalanannya yang tidak tahu ke mana arahnya. Saat ini mereka sedang berada di tengah-tengah pada pasir. Tanah Arab, tempat yang sangat gersang dan sangat sulit menemukan sumber air. Tetapi itu pada zaman dulu. Saat ini, Arab sudah dipenuhi dengan tumpukan salju yang sangat putih. Meskipun matahari terik tetap terasa pada ujung kepala, tumpukan salju ini tidak meleleh sama sekali.

“Ini adalah dampak dari perang dunia ketiga. Pusat dari medan magnet bumi terkadang berpindah-pindah, sehingga membuat kondisi iklim sangat tidak stabil,” penjelasan singkat dari Mila.

Hanya mendengar penjelasan itu, perasaan Azrael menjadi sangat tidak menentu. Ambisi dan keinginannya saling bertabrakan sehingga membuat perasaan Azrael sangat labil. “Dari dulu aku sangat benci untuk mencabut nyawa seseorang, tapi aku juga ingin bertemu kedua cintaku. Namun, dengan kekuatan seperti ini … aku hanya bisa melakukan salah satunya.”

Mila mendekati dan memegangi tangan Azrael, “Takdir akan selalu menuntun kita.”

Kalimat itu membuat Azrael mengingat sesuatu yang sangat lama waktunya. Itu adalah di saat-saat dirinya dan Aneisha mendapatkan kebahagian barunya. “Aku ingat.” Azrael langsung menggendong Mila, mengeluarkan sayap hitamnya dan terbang jauh menuju Jerman. Tempat di mana dia memulai dan mengakhiri semuanya.

Dengan kekuatannya itu, terbang dengan kecepatan Mach pun tidak membuat dirinya mengalami gesekan dengan udara. Dia membuat dinding sihir yang tebal di sekitar tubuhnya. Meskipun maksudnya mengurangi gesekan yang ada, sebenarnya tujuannya itu untuk menahan serangan-serangan udara di atas langit medan perang. Dari atas sana, Azrael melihat tanah-tanah yang seharusnya hijau menjadi hitam tandus tanpa kehidupan.

“Menyedihkan.”

Tak lama dari medan perang itu, mereka berdua akhirnya sampai di negara Jerman. Azrael berusaha mengingat-ingat tempat dirinya dengan Aneisha tinggal bersama. Tanpa menggunakan sihir yang ada, akhirnya sampai pada tempat tujuan.

Tempat itu, sudah sangat berubah. Keanggunan ladang gandum dan juga tawa ceria para penduduk menghilang tak terasa oleh Azrael. Mila pergi meninggalkan Azrael, “Eh, kau mau pergi ke mana?” Tampaknya Mila merasakan sesuatu yang membuatnya penasaran. Azrael hanya bisa mengikuti dan mengejarnya.

Padahal hanya tertinggal sedikit, Azrael kehilangan jejak Mila. Tak disadari, dirinya memasuki hutan yang begitu gelap. Ingatan muncul samar-samar sedikit demi sedikit saat berjalan di dalam hutan itu. “Mila, kau di mana?” Berteriak memanggil Mila yang tidak tahu di mana lokasinya.

Saat berjalan-jalan, dia melihat bayang-bayang ingatan lamanya. Dia bahkan mengingat tempat di mana dirinya memperkenalkan dirinya yang malaikat maut kepada Aneisha. “A-neisha?” Bayangan Aneisha muncul begitu saja di hadapan Azrael. Tetapi bayangan itu hanya tersenyum dan pergi menghilang lagi.

“Hei, kamu pergi ke mana Aneisha?!”

Azrael merasakan ada energi yang tidak wajar pada suatu tempat. Dia juga sesekali melihat bayangan Aneisha pergi ke arah yang sama ke tempat dia ingin pergi. “Tunggu sebentar!” Mila di dalam sebuah gubuk melihat Azrael sedang berlari ke arahnya. “Mi-la?” Terlihat gumpalan energi sihir yang begitu padat di dekat Mila. “Awas Mila!”

Duarr!!! Suara ledakan yang begitu besar, bahkan menggetarkan daratan. Sebuah bentuk ledakan seperti serangan nuklir yang berbentuk jamur menembus langit. Hempasan udaranya bahkan terasa hingga ribuan kilometer jauhnya. Lokasi sekitar dengan radius lima kilometer rata tak bersisa.

Di tengah-tengah pusat ledakan itu terlihat gumpalan bulu-bulu hitam yang sedang menutupi sesuatu di dalamnya. Setelah beberapa menit ledakan itu terjadi, bulu-bulu hitam itu menggugurkan dirinya. Mila yang berada di dalamnya sedang dipeluk oleh Azrael yang ternyata sedang membentangkan sayapnya.

Aku sudah tidak kuat lagi … Energi sihirku hanya akan mampu menahan daya hidupku selama satu hari lagi. — Tubuh Azrael mulai terdisintegrasi.

“Paman … tanganmu ….” Mila terbangun dari tubuhnya dan melihat lengan Azrael seperti tanah liat yang retak.

“Pa-Paman tidak apa-apa, bagaimana denganmu.” Menarik kembali sisa-sisa sayap yang masih menempel pada punggungnya.

“Berkat sayap paman, Mila tidak apa-apa.”

Azrael tersenyum, “Baguslah.”

Terdengar suara teriakan dari atas langit, “Akhirnya aku menemukanmu, AZRAEL!” Seperti sebuah roh yang terbang menghampiri Azrael.

“Azrael! Hancurkan roh itu, jangan biarkan dia memasuki dirimu!” Rakha yang mengejar roh itu berteriak kepada Azrael.

“Sudah terlambat!” Roh itu memasuki tubuh Azrael. Dan membuat Azrael berteriak kesakitan.

Sebuah celah dimensi terbuka di sebelah Mila, “Mila cepat masuk ke dalam sana!”

Sebuah ledakan kedua terjadi yang berasal dari tubuh Azrael. Rakha yang sedang terbang hanya terdiam, membiarkan ledakan itu mengenai dirinya. Bukan berarti dirinya tidak bisa melarikan diri, hanya saja ledakan itu bukan masalah besar baginya.

Ledakan kedua ini tidak sebesar yang pertama. Hanya saja daya kejut yang dihasilkan lebih besar dari yang pertama. Hal ini mungkin disebabkan karena energi yang digunakan berasal dari energi murni malaikat. Efek yang diterima pun hanya berpengaruh kepada orang yang memiliki energi sihir yang besar saja. Tidak berpengaruh untuk Rakha yang tidak memiliki energi sihir.

“Aku tidak bisa menutup daya ledaknya karena akan membuat Azrael dalam bahaya.”

Dia masih belum boleh mati.

Dari balik dalam ledakan itu, terlihat Azrael mengeluarkan sayap putih dan hitam secara bersamaan. Aura asing bercampur aduk dengan milik Azrael. Bentuk tubuhnya pun seperti chimera yang memiliki dua kepala. Dan untuk pertama kalinya, malaikat memiliki tanduk pada dahinya, seperti iblis.

Rakha yang berada di atas langit menggunakan tekniknya untuk menekan Azrael ke tanah. “Teknik Pikiran: Press.” Hanya dengan teriakan Azrael, teknik itu langsung dipentalkan. Kekuatan yang tiba-tiba meningkat itu membuat Rakha sedikit terkejut.

“Aku adalah Yehudiel, sang malaikat agung … aku akan menghapuskan kematian dari semesta ini.”

“Omong kosong.” Rakha tepat berada di belakang Azrael yang sedang dirasuki Yehudiel itu. Menempelkan jari telunjuk pada punggungnya, “Cepat keluar dari tubuhnya atau —”

“Atau apa? Aku tidak takut, karna energi ini hanyalah avatar sementara yang kugunakan. Tubuh asliku masih berada di Dimensi Atas. Lakukan saja yang ingin kau laku—” Sebelum ucapannya selesai, Rakha langsung menembakkan sebuah peluru hitam dari jari telunjuknya tepat pada jantung Azrael.

Peluru hitam, lebih tepatnya sebuah tetesan elemen kegelapan yang mampu menembus dan menelan apa pun yang disentuhnya. Lubang yang dihasilkan pada dada Azrael, membuat dirinya jatuh terkapar pada tanah. “Maaf saja … aku tidak senaif itu untuk berbelas kasih saat membunuh orang,” ucap Rakha.

Mila yang berada di celah dimensi langsung memunculkan dirinya di sebelah Azrael, “Hentikan ayah! Jangan bunuh paman ini!”

“Menyingkir nak, biar ayah musnahkan dirinya bersama dengan iblis yang mengaku sebagai malaikat itu.” Tangan kanan Rakha sudah dipenuhi fluida cair berelemen gelap.

“Biarkan paman ini menyelesaikan urusannya sendiri,” sorot mata serius itu membuat Rakha mengingat sesuatu yang sangat ingin ia lupakan.

“Baiklah, jika ada apa-apa. Ayah akan langsung membunuhnya.” Rakha berjalan mendekati tubuh Azrael dan menempelkan semacam kutukan pada dadanya. “Lakukan yang Mila inginkan, ayah akan menonton saja.”

“Kita tidak perlu melakukan apa pun,” gumam Mila.

~***~

Di dalam alam bawah sadar yang penuh kegelapan. Kesepian, penderitaan, dan rasa sakit akan kehilangan, semua itu terkandung dalam kegelapan alam bawah sadar ini. Batas alam yang tak berujung sama sekali. Hukum dimensi waktu dan ruang tidak berlaku di dalam alam ini.

Azrael dengan penampilan malaikat bersayap hitam berjalan ke depan tanpa tahu arah yang ditujunya. Bukan hanya sayapnya, tetapi rambut, pakaian, mata bahkan aura yang dikeluarkan pun berwarna hitam gelap. Lelah berjalan, Azrael berdiam diri, duduk termenung menghadap ke bawah. Dia melihat pantulan akan penampilan dirinya.

“I-Ini … aku?” Melihat cerminan dirinya yang sangat jauh dari kata ‘malaikat’.

“Ya, itu dirimu,” ucap seorang yang bercahaya sangat terang, tetapi cahayanya tidak dapat memancar keluar karena terhalang kegelapan.

Azrael melihat ke arah orang bercahaya itu, “Siapa kamu?”

“Aku, Yehudiel, hanya seorang malaikat maut biasa.” Yehudiel berjalan mendekati Azrael, “Menjadi malaikat maut itu sangat menyebalkan. Kita harus mencabut banyak nyawa, baik itu orang yang dermawan, kaya raya, miskin, bahkan orang yang kita cintai,” — Yehudiel mencoba untuk memancing emosi Azrael — “dengan menghilangkan konsep kematian kita bisa terbebas dari penderitaan ini. Dan juga … kita bisa bertemu lagi dengan orang yang telah tiada.” Yehudiel mengulurkan tangannya kepada Azrael.

Azrael ingin sekali menggapai tangannya, tetapi sebelum itu terjadi muncul seorang wanita dengan jubah putih, mata biru seperti milik seorang malaikat, pedang suci yang energinya sangat terasa, dan juga energi sihirnya yang terasa seperti milik Aneisha. “Hentikan di sana, Yehudiel.” Wanita itu mengarahkan pedangnya ke arah Yehudiel.

“Tak kusangka kau bisa masuk ke dalam sini.”

“Dasar malaikat bajingan.” Wanita itu langsung menghunuskan pedangnya pada kepala Yehudiel.

“Pedang biasa ini—oh, begitu ya … Pedang Suci Terkutuk, tak kusangka manusia bisa menggunakannya.” Yehudiel merasakan getaran energi yang mampu menghancurkan setiap sel energi sihirnya.

Pedang Suci Terkutuk, pedang legendaris yang biasa digunakan para malaikat namun telah diinfus dengan energi sihir kutukan ke dalamnya. Kekuatan di dalamnya menjadi sangat tidak jelas dan sulit dikendalikan. Pedang ini biasanya digunakan oleh beberapa malaikat agung dan juga petinggi dewan Dimensi Bawah.

“Untuk rencana ini akan ku anggap kalian memenangkannya, tetapi tidak untuk lain waktu. Sampai Jumpa.” Yehudiel pergi dari alam tersebut sebelum seluruh rohnya dilahap oleh pedang tersebut.

“Akhirnya aku tepat waktu, ayah.”

“A-ayah?”

Wanita itu tersenyum manis dan mengikis segala kegelapan, “Hai, ayah.”

Senyuman itu mengembalikan semua ingat Azrael yang sudah menghilang karena terkoyak oleh keinginan balas dendamnya, “Anakku.”

~***~

Teknik Pikiran: Kutukan Selaput Kegelapan—Rakha memberikan kutukan pada dada Azrael. “Lakukan yang Mila inginkan, ayah akan menonton saja.”

Saat Rakha berjalan menjauhi tubuh Azrael, datang seseorang berjubah putih dengan pedang sudah berada posisi untuk menghunus seseorang. Orang itu langsung menusuk kutukan Rakha pada dada Azrael yang sedang terkapar. Saat ujung pedang itu menembus tubuh dan menyentuh tanah, semuanya terasa sangat hening. Hanya Rakha yang sedikit terkejut di sana, sedangkan Mila seperti sudah mengetahui apa yang akan terjadi.

“Sudah saatnya … Ayah!” Mila memanggil ayahnya. Keluarlah roh Yehudiel dari dalam tubuh Azrael, “Ayah hancurkan roh itu!” Dengan mudahnya, Rakha hanya menembakkan peluru hitamnya lagi pada roh itu. Setelah mengenainya, roh Raphael terpecah-pecah menjadi abu dan tertiup angin.

Aku akan kembali lagi dan pastinya dengan wujud juga kekuatan sejatiku,” ucap Yehudiel samar-samar terdengar oleh Rakha.

Pedang yang tertancap pada dada Azrael tiba-tiba menghilang begitu saja. Dan tubuh Azrael sendiri seperti kembali pada wujud malaikatnya dengan sayap putih serta pakaian formal malaikat agung. “Jadi begitu ya, kau adalah anakku.” Datang menghampiri orang berjubah putih itu. “Maafkan aku, karena sudah melupakanmu. Aku terlalu terlena dengan ambisi kosongku.” Membuka poni yang menghalangi wajahnya, “Kau terlihat mirip sekali dengan ibumu.” Memeluknya dengan begitu erat dan memberikan kecupan pada keningnya.

“Rakha,” memanggil dan menghampiri Rakha. “Benar seperti yang kau katakan, ‘dunia tanpa kematian’, hal omong kosong itu akan sulit untuk kami, para malaikat juga roh-roh tinggi, pahami.” Rakha hanya melihat Azrael tanpa memberikan respon apa pun, bahkan sama sekali tidak berkedip. Tetapi Rakha tetap memberikan senyuman dan juga mengulurkan tangannya.

Kematian adalah seni yang kita tuangkan pada kanvas yang bernama kehidupan. Itu adalah hasil terakhir dari kehidupan kita. Semuanya tergantung pada warna yang kita tuang selama hidup. Kematian itu seni manusia yang paling indah.

Untuk sesaat Azrael terdiam melihat tangan Rakha lalu menanggapinya dengan tawa, “Haha, kau lucu sekali. Tapi bukan ide yang buruk.” Azrael menggapai genggaman Rakha. Keduanya hanya saling memberikan senyuman yang menandakan terlahirnya dan juga berpisahnya sepasang teman.

“Hai, nak Mila.”

“Paman.” Mila mendekap Azrael dengan begitu erat, bahkan pakaiannya terlihat semakin kusut. “Warna paman menjadi lebih cerah dan lebih ringan.”

“Seperti itu ya? Syukurlah.” Mengelus-elus kepala Mila, sedangkan anaknya sendiri tidak melihat dirinya sama sekali. “Energi kehidupanku sepertinya tersisa beberapa detik lagi, aku tak bisa berlama lagi di sini.” Sebelum dirinya benar-benar sirna, Rakha mengambil sesuatu dari lengan Azrael. “Kutitipkan harapan terakhirku padamu, Rakha.”

“Terima kasih, semuanya.”

Jaga dirimu baik-baik, anakku. Keinginan dan janjiku sudah terpenuhi.

~***~

“Hei Rael, sisa hidupku tinggal 9 bulan lagi kan? Aku ingin sekali memiliki anak. Tetapi aku tidak ingin meninggalkan suamiku berduaan dengan anakku. Hanya saja, aku bisa saja membiarkan anakku bersama denganmu,” ucap Aneisha di depan api unggun.

“Bukankah kamu ingin mengelilingi dunia dan melihat segala isinya?”

“Maksudku, akan menyenangkan jika memiliki anak sebelum kematianku datang.”

“Tetapi bagaimana dengan nasibnya nanti, dia pasti akan hidup tanpa seorang ibu.”

Aneisha hanya melemparkan tanggung jawab itu kepada Azrael, “Kau pasti bisa menanganinya.”

Tak lama dari perbincangan itu, Azrael memutuskan untuk menerima permintaan Aneisha. Pada dasarnya, malaikat dan manusia tidak dapat berhubungan tubuh. Namun dengan kekuatan tertentu, Azrael mampu membuat Aneisha mengandung seorang anak. Dia menggunakan energi sihir murninya untuk membentuk sebuah janin pada rahim Aneisha.

“Aku berjanji akan membuatmu melihat keturunanmu, sebelum aku mengangkat nyawamu,” ucap Azrael. Tetapi, kalimat itu tidak direspon sama sekali oleh Aneisha.

Azrael menyesal melakukan itu semua. Dia tak sadar bahwa dirinya sudah melihat aura berwarna putih pekat pada tubuh Aneisha. Untuk memastikannya, ia kembali ke Dimensi Atas untuk mengecek sisa umur yang sebenarnya dari seorang Aneisha Clarabel. Dan ternyata ia melihat sebuah manipulasi data yang dibuat secara sengaja oleh seseorang.

Umur dari Aneisha Clarabel hanya tinggal tersisa empat hari lagi dan kandungannya baru saja menginjak umur 6 bulan. Masih ada waktu tiga bulan, agar janin di dalam rahimnya membentuk bayi sempurna. Azrael tidak ingin mengambil nyawanya itu sebelum Aneisha melihat sang buah hatinya terlahir. Ia menggunakan kekuatannya untuk melindungi Aneisha dari para malaikat yang ingin mengambil nyawa Aneisha. Agar tak terlihat oleh Aneisha, setiap pertarungan dilakukan di dalam dimensi buatan miliknya.

Tak terasa, tiga bulan sudah berlalu. Hari di mana Aneisha melaksanakan persalinan, akhirnya tiba. Suara rintihan kesakitan terdengar dari dalam rumah di tengah hutan. Azrael memanggil beberapa rekannya yang paham mengenai persalinan. Butuh banyak usaha agar Aneisha melahirkan anaknya itu. Tangan Azrael digenggam erat oleh Aneisha. Keringat yang dihasilkan Aneisha yang sedang berusaha dan juga Azrael yang khawatir dengan kondisinya terus menetes ke bawah.

Semuanya begitu tegang … hingga suara tangisan bayi terdengar di seluruh isi rumah, bahkan para penghuni hutan pun mendengarnya.

Azrael mencoba untuk menggendong bayi itu, “Kau berhasil Aneisha, bayi mu lahir dengan wajah yang mirip sepertimu —” ucapan dengan nada bahagia itu terhenti setelah melihat kondisi Aneisha.

Napas Aneisha semakin tidak teratur, dia juga tidak dapat melihat apa pun. Semuanya menjadi gelap begitu saja. Bahkan dengan usaha lebih pun, dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

Tentu saja, Azrael tidak tinggal diam. Dia ingin Aneisha melihat bayinya sebelum ia mencabut nyawanya. Dengan segala bentuk energi sihir ia keluarkan, namun kondisi sakaratul maut Aneisha tak kunjung menghilang.

Aneisha meminta telinga Azrael untuk didekatkan kepada mulutnya. Lalu ia membisikkan sesuatu padanya. Ditengah bisikkan itu, Sabit Surgawi, Heavenly Scythe, sabit yang dimiliki Azrael, terbang begitu saja ke tubuh Aneisha dan menarik rohnya dengan begitu lembut. Tanpa rasa sakit, Aneisha pergi meninggalkan sang buah hati yang baru saja terlahir. Ia meninggalkan senyuman yang begitu tenang terhanyut pada wajahnya.

Tidak ada penyesalan pada kehidupanku”, itulah yang tersirat pada wajah Aneisha.

“Aneisha?” Azrael dengan wajah shoknya menembakkan energi sihirnya ke langit. Karena tembakan itu, ia dibawa oleh beberapa malaikat agung yang turun dari Dimensi Atas. Lengan, kaki, badan, sayap, bahkan lehernya terikat rantai cahaya. 

Aku telah gagal menepati janjiku.

Di sebuah aula yang begitu megah, disaksikan oleh para roh, petinggi alam semesta, dan juga oleh sang Tuhan, Agares. Azrael diadili oleh sang hakim semesta, Adjudicator. Dengan timbangan miliknya, ia memungut suara para roh lainnya mengenai hukuman yang harus diterima oleh Azrael. Dan hasilnya adalah nihil, dengan artian seimbang. Maka dari itu, Adjudicator melemparkan keputusannya langsung kepada sang Tuhan.

“Azrael,” — Agares turun ke bawah, menghampiri Azrael dan memberikan tekanan sihir yang berat — “karena memberontak dari tugas utama malaikat maut, turun ke bumi dengan wujud asli, bahkan menembakkan energi sihir ke Dimensi Atas. Dengan begini, saya, Agares, mewakili dari ketiga roh pencipta, menjatuhkan hukuman penjara selamanya dan juga pencabutan hak beserta kewajibannya sebagai malaikat agung.”

Seisi aula terkejut dengan keputusan Agares, karena pada dasarnya hukuman mati adalah hukuman untuk para pemberontak. Tetapi untuk satu ini, dirinya hanya memberikan hukuman pencabutan kekuatan dan juga hukuman penjara selamanya. Sontak hal itu membuat seisi aula protes dengan keputusannya. Tetapi Agares langsung mengobarkan kekuatannya di sana.

“Siapa pun yang menolak keputusanku, turunlah kemari.” Karena tidak ada yang berani untuk turun, dia menghilangkan kobaran kekuatannya dan mulai pergi meninggalkan ruangan. “Azrael, aku memberikan kamu satu kesempatan terakhir. Jangan sia-siakan dan tunggu saja momentumnya,” bisik Agares kepada Azrael.

Selesailah pengadilan.

Azrael dimasukkan ke dalam penjara Dimensi Atas. Dia terus menerus mengingat janjinya dan tetap terus ingin menepatinya. Dengan rencana melarikan diri, dia akan mengambil roh Aneisha dan mempertemukannya dengan sang anak. Untuk melakukan rencana itu, ia harus menonaktifkan atau menghapus konsep kematian.

Anak? Anak siapa?

Karena beban pikiran yang terlalu berat. Ia mulai melupakan tujuan utamanya dan hanya berfokus dengan menghapuskan kematian. Perubahan yang sangat besar terjadi pada Azrael, hingga saat itu muncul. Ia terbebas dari penjara dan turun ke bumi. Dan seluruh kejadian itu terjadi begitu saja. Ia bertemu dengan sang anak. 

Bisikan Aneisha sebelum dirinya wafat, ternyata teknik untuk menempelkan sisa energi sihirnya kepada Azrael. Energi itu akan aktif jika Azrael bertemu dengan sang anak. Dalam alam bawah sadar Azrael, energi Aneisha bertemu dengan sang anak. Dirinya melihat wajah sang anak dan mengucapkan, “Kau benar Azrael, dia sangat mirip denganku. Dengan begini aku sepenuhnya telah tenang untuk pergi.” Aneisha terbang mendekati, menyentuh wajah, dan mencium Azrael, “Terima kasih telah menepati janjimu.” Mata Suci Tujuh Penjuru Lautan milik Aneisha terlihat begitu dekat oleh Azrael.

“Dan kau juga nak ….”

“Namaku Aloysia Rosafie … ibu,” wanita berjubah putih ini mengepal erat kedua tangannya, menatap wajah ibundanya.

“Maafkan ibu, tidak memberimu nama. Ibu senang bertemu denganmu, keinginan untuk melihatmu sudah tercapai. Pasti hidupmu dipenuhi rintangan ya. Tapi kamu pasti sudah bisa melewati semuanya ya. Jujur saja, ibu ingin sekali hidup bersama dengan kalian semua.” Mengecup kening Aloysia dan langsung menghilang begitu saja.

Ibu sayang kalian berdua,” kalimat terakhir yang menggema dalam pikiran.

“Ayah juga sepertinya akan menyusul ibumu. Energi kehidupan ayah sudah tidak tersisa lagi. Maafkan ayah, untuk semuanya.” Azrael hilang begitu saja ditelan alam bawah sadarnya sendiri.

Selamat tinggal, ayah … ibu.

⎡ Aloysia mendapatkan Mata Suci Tujuh Penjuru Lautan ⎦


Penulis: Garpit

Life Cycle

Entry Writchal #3
Tema: Hidup-Mati


I switch on my bedroom light. 

My vision is filled with a thick fog. I walk across the bedroom while rubbing my eyes. As  my consciousness grows, my vision becomes clearer. I look at the broken mirror in the bathroom.  My face appears on it, but it seems weird. I splash water on my face and rub my eyes again. Now  all I see is the normal me, the sad normal me with my work shirt on. 

Behind me, I can see my wife, Fidelia standing in front of our bed. Her flowing hair blocks  the morning sunlight from the window. Her smile shines brighter than the sun itself. She enters the  bathroom while bringing my tie. Her hand moves my head to look at the mirror, preventing me to  look at the bedroom’s cracked wall. I try to smile as much as I can while looking at her reflection.  She ties my tie and then rests her head on my shoulder. 

She holds my hand. “You look perfect, my love.” 

“I could never be as perfect as you, love. 

I’m not even kidding whenever I said that she’s perfect. She’s born to rich parents and  quickly become a model in her teens. She has a lot of money, yet somehow, she vowed to be my  wife. Every single aspect of her life is perfect, except for me and this run-downed apartment that  I can rent. Why did she even want to stay with me? 

She puts her head up. “You should smile more. Let’s eat breakfast. Don’t be late for your  job.” 

“What’s our breakfast today?” 

“Just a normal jam toast. We don’t have much food left until your next payment.” I turn around and look at her. “It doesn’t matter what we eat as long as you’re here with  me. I’ll work hard for both of us.” 

She smiles. “I know you will. Now, let’s eat.” 

We hold hands while walking out of the bathroom and through the bedroom. Fidelia had  already plate the toast on a small dining table that’s only fit for two people. A lone burner is placed next to it, located next to a cupboard that we use for storing anything. Everything here just feels  so crowded that it’s choking me. 

The toast Fidelia makes is still warm out of the toaster. It smells delicious but it doesn’t  excite me. All that I can think of is my life and the future. If I keep going like this, how am I  supposed to live my life.

The chair creaks as I pull it. I sit on the old chair, opposite of Fidelia. The jam tastes bitter  as I munch on it even though everyone says that it’s supposed to be sweet. Fidelia holds my hand. “Hey, you don’t smile when you eat today’s breakfast. Is there  something wrong with the toast?” 

“The toast is as good as it’s usually is. I’m just sad I’m not able to be as perfect as you. Why do you even want to be a person like me?” 

She grips my hand tight. “You’re already perfect the way you are. I know you work very  hard for the both of us and that’s enough reason for me to stay with you.” 

I look down. “I’m very sorry for our condition now. I’m so sorry for not being able to fulfill  any of your dreams, living in a house with a swimming pool, supply for food, or even a status to  be looked upon.” 

“Look at me.” 

I stay still. I can’t look at her after I have failed her multiple times. She’s perfect and I’m  not. I couldn’t let her live with me. 

She holds my chin and points it to her face. “I say look at me. Those are my past dreams,  dreams before I meet you. With time flowing, I realized that this is the life that I’ve always  wanted,” says her while extending her arm to the whole room. “I realized that the only thing that  I’ve been searching for this entire time is living a happy life with the person I trusted the most.  Nothing can change how I feel about you, no matter how much imperfection we have.” 

“Oh, my love Fidelia. What did I do to deserve a wife like you? You deserve a much better  life and I’ll work hard for that.” 

She smiles even brighter. “Stop being so hard on yourself. Sometimes you need to relax  and concentrate on living on the present. The future is unknown but we can face it together. If only  you could see yourself through my eyes.” 

A ringing starts from inside our bedroom. I instantly look at it. There’s no more time to  waste then. I must go to work now or I’ll be late. 

Fidelia releases my arm. “You should go now. I’ll handle the dishes.” 

The chair creaks as I stand up. I rush to the door and pick my coat from the rack. My hand  busily checks my pocket to make sure I didn’t forget anything. 

“Goodbye, my love. I’ll be patiently waiting here until you come back the evening,” says  her.

“I’ll see you too.” 

I close the door and look out of the apartment. The two-floored apartment I’m standing on  is old. All the paints are cracking and the pipes are rusting. Beyond the floor railing, opens a  parking lot with a single car on it, my work-car. That dusty machine reminds me of my past dreams,  forgotten and uncared for. 

I walk down the stairs, holding to the rusty railings. The farther I get away from my  apartment room, I feel worse about myself. Leaving Fidelia makes me remember the hardships of  my life. The constant cycle of waking up, working, and sleeping every day makes me feel dull. I  don’t feel anything beyond the warmth of Fidelia’s arms. I’m so tired of my life that I almost forget  that I’m still a living being and not a robot. But I shouldn’t think like that. I’m still alive, I must  stay alive for Fidelia’s happiness. 

I enter my car and start driving to the highway. The sun rises higher to the sky. Vehicles  starts to fill the highway, more than it usually is. I start to worry as cars in front of me slows down.  The highway is the quickest way to my workplace. Going to any other route will take much longer  time. This can’t be happening. I’ve always come on time my whole life. I can’t just break that  record. There has to be something that I can do to pass this traffic jam. 

I stomp the accelerator pedal but it was too late. Two cars have closed my path and slowed  down drastically. My fingers busily tapping on the driver wheel while I look at the time on my  car’s dashboard. No, there’s no way I’m getting there on time now. Why can’t I be perfect at  anything? 

Half an hour later I arrived at my workplace, the Microbiology Testing Center. With my  tired hands, I tidy my name tag with the title “Virologist” written on it. A dull grey building stands  behind a huge parking lot with lots of cars. Wall surrounds this place, expanding to the back of the  long building. Not even a single window in sight. I remember inside there, eternal hours of work  under artificial light. Not even a single plant is allowed inside that building. 

I step outside of my car. In front of the double-door, I can see my boss smoking his usual  cigarette. He must be waiting for me. 

I walk to him while looking down. “Good morning, Boss, I’m so sorry that I’m late.” He puffs a cloud of smoke. “I expected better from you. The corporate wants everything to  be perfect since we can’t make a single mistake here.” 

“I’m so sorry for failing you. I won’t do a mistake again.”

“You better be or else the corporate will force me to fire you,” he says while pointing a  finger at me. 

“I understand. I’ll go straight to work.” 

“Good. I’m just going to remind you once again. Make a single mistake and you’ll be fired.  I’ll head back to work or else they will fire me too.” 

Boss stumps his cigarette and goes inside. I walk right behind him. He enters his room,  right in the corner of the long main hallway. Before he closes his door, he nods at me. I head  straight to the lab I work at, passing multiple identical lab with huge glass window in front. When  I arrive, my lab partner, Treone is already inside, preparing the equipment for today’s observation. 

He smiles at me when I enter the lab. I take my lab coat and mask then step inside the air  chamber between the lab and the dressing room. I stare at the lab with no passion. I still remember  the first day I work here. I was really nervous and proud to be assigned in this lab. But working  with the same thing over and over again have eroded me. I no longer feel any passion left in my  work. 

“Good morning. You look as tired as always,” laughs him. “Do you want a coffee?” “No. Just head to work and finish this day.” 

He continues to prepare the equipment. “Work will be more enjoyable if you’re happy  about it. We can joke for a bit you know.” 

“No. This job is very important to me. I can’t just lose it because we joked while we work.  I expect you to be serious about this job too.” 

“I’m sorry then. I thought that since we’ve been lab partner for years, we might want to  know each other better,” he says while putting the last equipment in place. “We can talk another time, but for now we have a job to do. How’s our specimen condition  today?” 

Treone opens the cooler and pulls out a tray of virus specimens that I’ve been working for  years. This is my life work, if this fails, then I’m just a failure. The specimens must succeed.  Treone put the tray on the table while I’m checking the electron microscope. He walks away to  pick up our lab journal. I pick up one of the specimen vials. 

Treone touches my back. “Don’t forget to be careful.” 

I instantly push his hand away. “You almost made me drop the specimen. I’ve been doing  this for years; I know what I’m doing. There will be no more mistake.”

“Okay then. I’ll make sure I won’t bug you. I’ll observe from here.” 

I look away from him and focus on the vial. I open the lid and quickly put the specimen  under the microscope. I look at the computer and observe it’s RNA. There’s no change in this  specimen. Another day of failure. With this sample, I don’t think the other specimen is going to  change too. 

“False again,” I say to Treone. 

“That sucks. But we still have to check every single specimen. There may be a mutation in  one of the other specimens.” 

“I’ve lost hope for years of not finding anything. I’m just doing this observation for  payment. Have you written the observation yet?” 

“Oh yeah. I almost forgot,” he says then quickly write on the journal. 

I look back at the microscope. “I need you to be more serious.” 

I take the vial out of the electron microscope and put the lid back on. My hand moves  quickly, swapping the vial with the new one. I open the lid, observe the specimen, see more failure and close the lid again. I do the same thing over and over until my shift is over. No mutation is  seen today. 

I’ve been trying to find a virus mutation that can replicate DNA strands to produce selected  cells instead of making more virus bodies. With that kind of mutation, it will be a breakthrough in  the medical field. A lot of people can be healed. Another benefit that I can’t ignore is the income. With that breakthrough, I can finally have enough money to buy the house I and Fidelia have been  dreaming of. I can finally be happy. But it doesn’t seem that it’ll happen soon. It’s been years and  all I got is mutations that’s not what I’m searching for. My time is running too quickly. Maybe I  won’t find the mutation until I die. 

Treone touches my back. “Hey, our shift is already over. It’s the evening. We should clean  up now.” 

I keep observing each vial. “You can go home. I’ll stay here.” 

He walks closer. “We can continue tomorrow you know. You haven’t even taken a rest  today.” 

I brush his hand off my back. “Just go. I’ll clean up everything when I’m done.” “Are you sure you don’t need any help?” 

“No. Just go,” I say loudly at him.

“Okay then. Just be careful,” say him while closing the door to the air chamber.  The air chamber blows Treone’s outfit and then he hangs the lab coat and put down the  mask. He waves at me one last time before closing the lab door. I look back at the specimens, my  failures. 

“One of you must mutates. For my family, for the world.” 

I check another specimen, but there’s still no mutation. Why can’t I just get my happy  ending? 

I put back the vial to the rack then I slam the table. I’ve been doing the same thing for  hours, but to no avail. There’re only a few specimens left to check. I have to do check it now. I  can’t rest without knowing what could be inside one of those specimens. 

My shaking hand take a vial and open its lid. I put it inside the electron microscope with  no hope left in me. My eyes widen as I look at the monitor screen. There’s a mutation in it’s RNA. “Please let it be the mutation that I wanted.” 

I put some bacteria samples on a petri dish then I drop a few specimens on the same petri  dish. I put it on the electron microscope and I observe the screen. The virus starts to dig into  bacteria and get near its DNA. Something weird is happening. The virus is not attacking the DNA,  instead it’s copying the DNA substance. This is it. Now to test if it will give the DNA to another  cell. 

I take a cancer cell and put it in another petri dish and mix it with the virus with bacteria’s  DNA. Under the microscope I can observe everything. The virus digs through the cancer cell  membrane and meet with its DNA. But something bad happens. The cancer cell took over the  DNA and the virus die with it. 

I slam the table. “Why is this happening to me? I was so close to my breakthrough but it’s  another failure. Why am I so useless to everyone? What’s even the purpose of me living if I’m  going to fail for my entire life?” 

I quickly put the vials to the rack and put it inside the cooler again. I clean up every  equipment but suddenly my head starts to spin. A headache rushes into my head, slowing down  my movement. I’ve probably worked myself too much, I need to go home now. I quickly finish cleaning up and head out of the lab. On the front door, I see my boss leaning to the wall, smoking  another cigarette. 

“Another rough night shifts?” asks him while puffing a smoke cloud.

“Yeah. Still no progress on my project today.” 

“Don’t you worry. Your life will soon change for the better.” 

“I’ll leave now, boss. If you don’t mind.” 

He puffs another smoke cloud. “Call me Mort.” 

“Okay, Mort. I’ll head back now.” 

He nods. 

I head to my car with a growing headache. It feels like something is growing inside my  head. I try to ignore that pain and drive straight out of the building. The night fog has come again,  covering much of my view. I drive through an empty highway, but still, I have to focus on the  road. Pain surges come as I drive. I try to hold the pain back, but I fail. I lose focus a few times  before I get out of the highway. 

I slap myself on the face. “Focus on the road. I’m almost home.” 

The pain come again, even stronger this time. I hold my head in pain as my other hand try  to grip the steering wheel. Why is my head like this? 

I’m a few meters away from my apartment. A surge of pain strike my head and I lose  control of the steering wheel. I try to hold back the wheel while stomping the brake pedal. I manage  to stop but I hit something hard. I can’t see much beyond the night fog. All I can hear when the  collision happen is a woman screaming. 

I walk out of my car to check while still holding my head. 

“No, oh no” 

I come running to the victim. There lay my beloved wife, Fidelia in a pool of blood next to  the apartment building. 

I hold her head up. “Fidelia, my beloved wife. Talk to me. Please stay awake.” “Hello, my love. I thought I’ve lost you,” she says with her bloody mouth. “What are you doing out here?” I ask as I try to hold back my tears. 

Fidelia rubs her cold hand on my cheek. “I was searching for you. You said you’ll be here  by the evening.” 

I hold her hand tight. “Oh, Fidelia. I’m so sorry for everything. Sorry for not keeping my  promise. Please stay awake for me. I’ll call an ambulance.” 

“It’s too late now for that. I can feel my consciousness slowly losing its grip,” she says  while looking away from me.

I point her face at me. “Please, don’t leave me.” 

“Don’t blame yourself, my love. I will always love you forever.” 

Blood spew out of her mouth and her eyes close on me. I cry out a scream of pain as tears  pour down from my chin. I can’t feel her breath, her veins, nor even hear her heart beating. She’s  gone forever now.  

I scream. “Why am I like this? I can’t even fulfill my promise to my own wife. Why must  I be so useless to this world?” 

This is all my fault. I’m not ready to let her go. I still want to see her. I don’t want her to  go like this. I haven’t fulfilled her dreams. I haven’t been a good person. No matter what I do, I  always fail in the end. I’m tired of always failing over and over and over. There’s no more thing  that held me back from getting off this world. 

I let go of Fidelia’s bloody hands and walk upstairs, to my apartment room. Everything  feels empty. The air is cold, there’s no Fidelia’s warm hug to greet me, there’s no more joy in this  place. I walk to the cabinet, picking up a kitchen knife as I look at a cold dinner prepared for me.  My feet walk on itself to the bedroom that’s still the light still on. My headache strike again and I  accidentally bump the lit stove and an oil bottle fell on it. Fire starts to spread fast, but I was too  dead inside to care. 

I enter my bedroom. The bed sheet is clean and empty. I open up the window next to the  bed and look up at the foggy night sky. I can’t even see the beautiful stars on my death day. I’m  such a failure

My headache keeps growing until I can’t take it anymore. I hold up the knife in pain. The pain surges and I scream out all of my lungs. I can’t handle it anymore. 

“Fidelia, we will meet again.” 

I strike my throat with the knife, ending the endless sound of my scream. Blood gush out  of my throat as I fell to the floor. My vision is slowly fading. I start to lose everything in my  memory. 

The fire keeps burning through the apartment, entering the bedroom. I can vaguely see the  fire climbing up the wall, burning everything in its path. Soon it hits the lightbulb. The fire switch off the bedroom light.


Writer: P. C.

Gray Katie (Writchal Edition)

Entry Writchal #3
Tema: Hidup-Mati


Dark fumes rise to the heavens. The field reeks of burnt metals. Caitlyn hesitantly reopens her eyes; she thought the blast consumed her. She screens her face with an arm as she supports her body with her other arm. The battle vehicle that once stood there with all his pride, the symbol of ArC’s ground dominance, is now left in flames. It has become nothing more than a hunk of aesthetically strewn together metals; its parts are scattered all around, never returning home.

Amidst the barren parts is her android comrade lying just several inches beside her, her face is to the ground. Caitlyn crawls to her position and flips her around. The body remains there motionless. Her eyes are fixed to the reddish gradient of the sky, blanketing the field. She let out a deep breath as she reaches for her face, closing her eyes. Inside, she wishes that her storage memory could be recovered. The universal design doesn’t allow that to instil sentience in the Androids. So, when they fell in battle, their memories, personalities, and anything that makes them a person is gone. The unit, if recoverable, will be salvaged and recycled to give birth to a new one.

Caitlyn then catches a growing rumble. A glance to one side brings her a sight of three squad of Vindicators’ Guards supported by their tank, Gauntlet, advancing to her position. They are most likely catching up with the rest of their lines. But that requires them to march past her.

So, Caitlyn stands up to her feet as soon as possible and begin sprinting away from them.

Decisions have always been a gamble, especially amidst the heat of a battle. She thought she could dive through the flank of that exposed Vindicator’s land-ship and deals some damage. The damage however, is negligible, and that maneuver just cost her the entire platoon. Four tanks lost in exchange for nothing.

And now she has three squads of enemy infantries and a tank on her tail, especially when one of them has spotted her.

The Gauntlet’s machine gun opens fire at her. She raises her arms, shielding her head from tiny shrapnel and dust that kicks off as the cartridges fall just short of her. It appears that the shot is not intended for harm, merely to pin her down. But she doesn’t intend to let herself fell captive to those grunts in crimson-outlined armor.

Caitlyn keeps on running. Her effort eventually brought her to a wooded region. There, a concussive grenade round unfortunately struck a tree trunk beside her, toppling her balance, blurring her sight. Then another one falls and her back hits the ground again.

“Ghh…huh…!” She grunts as she quickly attempting to regain herself.

But a squad of Guards is already on her, weapons trained to her heads. She decelerates her breath and, with a heavy heart, she raises her hands.

As soon as one of the Guards is about to pull her up, the ground behind the Guards burst out dirt as far as about a quarter up the tree trunks. Caitlyn screens her face as the dirt rains on her. As the Guards’ attentions turn elsewhere, they are met by a hail of machine gun fire. The barrage takes three Guards down, before the remainder of the squad scatters away like they have just seen eldritch superstitions.

“You, there!” A rough male voice blaring through her utilizer. “At your eight!”

Caitlyn turns around, surprised to find an ArC tank a hundred meters from her, still in his ghillie coat. She makes haste toward its position with no second thought.

“Thank you.” She says, her breath heavy.

“Thank me later, lady.” A voice from the tank says. “We gotta get out of here first. My crew is dead, and I am left on manual drive as they passed.”

She doesn’t need the voice to say it again. They are both in a precarious situation. And the only way out can be achieved through cooperation. Besides, the ArC can’t afford to provide their nemesis with an intact technology of their own. She has to command the tank.

“I’m going to turn on your autopilot.” She says to the voice.

“Yes, hand over my tracks back.”

Caitlyn turns her glance around her for a second before climbing up the tank and enter through the turret hatch. Two motionless body greets her as she reaches the tank’s interior.

“They’re both humans. A rocket scores a direct hit and the shockwaves took those poor souls.” The voice says.

Caitlyn takes a deep breath and casts aside her sentiment for the moment. For if she doesn’t make it, if the tank doesn’t make it, there would be no one to attend their funeral. She steps over them, reaching for the tank’s control panel. Her fingers run swift on a keyboard, typing a command that grants the tank the ability to steer themselves.

“There we go!” The voice yells, seemingly relieved, as soon as Caitlyn pressed a button on the keyboard. A sudden jerk of movement follows, throwing Caitlyn’s head against the tank’s interior nearest to her. “Sorry, for that.”

“It’s okay.” Caitlyn rubs her head. “Now get us out of here.” She says to the voice.

The engine rumbles louder and the interior begins to vibrates as the tank turns and increases its speed.

“By the way,” The voice speaks again. “Since I’m about to go wild to drive us home, get those safeties off me and man the weapons, got it?”

For a moment she thought she is going to be the one who would provide the orders. Instead it’s the other way around. In terms of survivability however, it doesn’t matter who gives the order. One just has to trust the other party they are cooperating with.

Caitlyn taps on some buttons on a panel beside the keyboard and flicks a lever. “Safeties off and manual weapon system on.”

“Here we go!”

She holds on as the tank accelerates past the redline. Safeties off allows enhanced movement feature such as more speed and sensitive turning. Those features have proven to be advantageous in moments that requires quick armoured response. But they are harmful to the tank’s integrity. Using them continuously in a long duration or within short but frequent timespan with no repairs in between could cause significant breakdowns.

Right now, withdrawing is the top priority. So breaking past the tank’s limit is an essential decision that Caitlyn has to take.  She just hopes that he could last long enough until they return to friendly lines.

Suddenly Caitlyn catches a loud rumble. The tank’s hull is being hailed by a rain of dirt as shown by the screens which is connected to the tank’s optic. It appears something is aiming for them but missed.

“Is that a Gauntlet firing at us from behind?” The voice says.

Caitlyn scrambles to turn the tank’s periscope behind. She takes a closer look to one of the screens. There she indeed finds an enemy tank dashing through the trees, slowly creeping towards them.

“Yes, it is.”

Another shell lands near them, barely hitting the tank’s engine compartment.

“For Primus’ sake, that was close!”

“We have to do something.” Caitlyn says.

“I thought we’re rushing straight back to base.”

“Their next shot is going to land at us. I doubt your integrity is enough to withstand an AP round from that thing.”

“Alright,” The voice sighs. “Pull the smoke triggers and hang on tight.”

Caitlyn presses a button that launches smoke grenades from both sides of the main gun on the front side of the turret. Each fragment in a split second they reached mid-air, creating a white smoke screen that should obscure the visions of their chaser. A second later they emerge on a relatively flat plain. The tank turns hard right, drifting in the process. And as soon as its front hull turned, it slams the reverse gear. With the presence of the smoke screen, that Gauntlet won’t discover that the tank’s turret is aimed at their left when it emerges from the wooded area.

Not long after, the screen extrudes and shifts along a metal vehicle that clears through them.

“Fire!” The voice yells.

Caitlyn pulls the trigger. Another rumble followed up by flames bursting from the target vehicle.

“Got him.” Caitlyn wanted to cheer out, but her composure doesn’t allow her to.

“Nice shot, lady!”

Caitlyn just nods.

The tank turns left and cranks up his speed again. As he does so, a voice comes through the interior speaker as well as Caitlyn’s utilizer.

“51st Tank Platoon, are you the friendly triangle behind the crimson line?”

            Crimson line? Caitlyn freezes for a moment. She wishes that the phrase never has to come through the audio system.

“Command, please specify ‘crimson line’ over.” Inside, she already knows what that supposed to mean. She is just still too petrified on what that implies.

“There’s a whole Guards battalion ahead of your position. And a platoon of Gauntlet just broke off to meet you. Contact ETA 30 seconds.”

Just as she thought. As far as her experience went, fate has never been kind to her.

An enemy tank platoon, at the moment, consists of three Gauntlet battle tanks and various support units. Each has more armour than her own. On normal occasions they can still go toe to toe, holding each other in place while reinforcements swing around and deals with the other for good. Usually it is IFVs equipped with AT rockets, but sometimes squads of infantries with anti-tank missiles could do the job as well.

In this case however, the Gauntlets outnumber hers. In addition to that is the wavering hull integrity of the tank, thanks to the rocket hit. She is sure that one or two shots from the Gauntlet could turn her tank into a ball of flame, even from the front.

“Requesting support over. We can’t hand over this tank to the enemy!” Caitlyn replies frantically through her utilizer.

“The 12th Combined Proxy Company shall break through the battalions and hold a point for three minutes. If you don’t find yourself there when that time runs out, destroy that tank immediately.”

“But sir-”

The transmission cuts.

“Damn it!” Caitlyn slams her thigh.

“It’s just you and me now lady.” The voice comes through again. “I believe in you.”

The tank believes in her. For the first time ever, a tank entrusts his life to her. She doesn’t even believe in herself. Not after the shenanigans that costs her an entire platoon. It’s even a fortune that she is here at the moment. And that’s because that concussive round fell on her just some distance from an abandoned tank.

“Hey lady…” Caitlyn raises her head as the tank addresses her. “Have you ever enabled safeties off before?”

Caitlyn recalls her experience of working with tanks of the same design before. “I don’t think I have.”

“Did you know that my loader would also go wild under that condition?”

“If you meant faster…”

Caitlyn’s words are interrupted by a loud rumble. A shell lands just in front of the tank, barely missing him again.

“Contact! Direction 45.” The voice yells. “Yes, yes. I meant faster.”

Caitlyn sees three crimson triangles on the radar screen advancing toward her. Peering through the periscope, the enemy tanks look just as real and menacing. There’s no more time for her to think. She has to make another decision.

She quickly brings up a screen that shows the terrain in a kilometre radius from her. On one corner she spots a sort of an orchard with dense foliage.

“Take us uphill, toward that vegetations at 330.” Caitlyn says while pulling the smoke triggers twice in a considerate interval. The screens not only obscure vision, but also disrupt radar, concealing the vehicle for a brief moment.

“Got it.” The voice replies. The tank turns toward that direction.

Caitlyn fires another smoke screen just as the tank about to enter the orchard.

“Just so you know that’s my last smoke screen.”

“I’m aware of it.” She nods. “Don’t worry, we’ll make it. I’m putting a waypoint on the screen, take up position there.”

“Heading over.”

“Turn off any lightings you have.”

Darkness is already upon them. The tank is still covered in his ghillie coat. With the help of the foliage, those Gauntlets should have a hard time finding them here.

“All flashy things are off.”

If they indeed decide to scour the orchard. Caitlyn doesn’t wish to stay put while knowing a company is bleeding their way to clear a path for her. That’s just doesn’t seem fair to her. She has to put some effort, to do her part. She has to fight back.

“Now we wait.” Caitlyn says, gently touching one side of the interior to her left. “Then let’s see how fast your loader works under safeties off.”

“Understood.”

Then the radar picks up the three Gauntlets ahead of them heading to their left, seemingly unaware of their position. Caitlyn’s gaze falls at the periscope screen ensuring that the enemy tanks are there.

“Do you see them?”

“I see them.”

Caitlyn trains the main gun at the lead tank. Her attention leers for a brief moment to the amount of AP rounds available. It is enough. She then takes a deep breath.

“Here we go!” She says, pressing the fire button hard.

The main gun of the tank roars again. Followed up by another, shortly. And another. And another. Five shells are fired toward the enemy’s lead tank in quick succession. Two falls short. One got deflected and the other two disables the main gun. The other two turns their turret as soon as the shells hit.

“That was fast.” Caitlyn astonished.

“I told you.” The voice replies. “Anyway, no time for cheers. They’re on to us now. What’s your next plan.”

“Charge them.” She says. “Full speed ahead.”

The cabin is silent for a moment.

“What?”

“I said charge!” Caitlyn raises her tone. “Go, go, go!”

The tank jerks forward before going downhill at an incredible speed. The inclination allows them to reach such pace in a short amount of time. Caitlyn brings herself to a seat and straps the safety belt.

“I don’t like the looks of this.”

“Don’t stop!” Caitlyn yells again. She turns the turret ninety-degrees to the left.

The Gauntlet they’re rushing to perhaps know what they’re up to now. But it is too late for them. As they’re turning their front hull to Caitlyn’s direction…

“Arrgh!” The voice grunts

Two pieces of steel collides under the dim glare of the stars. The head-shattering noise echoes to the corner of the plains; every critter that caught them tremble and scatter in terror. The crash is enough to throw Caitlyn’s head to the interior in front of her again. Even in the presence of the tightly strapped safety belt. Of course, being an Android, she is able to withstand the slight metallic bump on her forehead.

Caitlyn hastily releases the safety belt and scrambles to the weapon system again.

“Hit the reverse gear and turn right!” She says.

The tank reverses and turns to the right, circling behind the Gauntlets’ formation. The one that they crashed into doesn’t show any further movement. Perhaps the crash is sufficient to knock out the crew.

“My head is still ringing from that crash.”

“You don’t have one.”

“If I had one.”

Caitlyn turns the turret toward the immobilized tank and fires straight to the engine compartment on their rear. The 125mm AP round shot through a rifled barrel makes a quick work through the Gauntlet’s rear hull and butchered its engine. As Caitlyn turns the turret to face the last Gauntlet, she notices where its turret is aiming. And on a whim…

Stop! Stop! Now!” She yells, slamming on the cabin’s walls while holding tight on something. And just after they stops, the ground in front of them burst dirt to the air. A shell just landed there, barely hitting them.

“That was too close!”

Caitlyn presses the fire button, launching two consecutive shot toward the Gauntlet’s side, slightly to the rear. The enemy tank then burst into flames.

“Ha! Take that!” The voice cries.

“Go, now! Get us out of here!”

The tank swing around, accelerating past his redline again. Caitlyn takes the chance as the tank passes the enemy lead Gauntlet that got its gun disabled, and fires a shot at their tracks. It hits, and now that Gauntlet is no longer near a threat to them.

“We made it! We made it!” The voice cheers.

Caitlyn gaze falls on the screen that shows three disarmed Gauntlet that grows smaller as they get further. They sit helpless amidst the flat plain, lit by the moonlight. Their crimson outlines are still visible within this distance. She takes a deep breath in the absence of their threat. A brief pause that allows her to cool down. And a relief that she managed to get over them and emerge alive with additional kill counts. Fate isn’t so hard on her after all. For now, she just nods and replies gently.

“We made it.”

But amidst her cheering heart and relieving tension, the voice utters something…

“Uh-” Something that she wanted to hear the least.

“What’s going on?” She asks, pretending that it is not a dire concern. It could be one indeed. But pretending gives her a better edge of remaining calm; an attitude expected of all leaders and commanders.

Just as she finished asking, a bang from the rear hull echoes its way to the cabin and catches her attention.

“What was that?” She asks before taking a glance at one side of the control panel. Something definitely goes off, and that doesn’t appear to be good news since the result is the gradual reduction of the number shown by the speedometer.

“That’s my engine.” The voice says as the tank finally comes to a halt. “That’s an example of what would happen if limits are broken for too long.”

“An example?” Caitlyn shakes at what that implies. “You mean there’s more damage you are sustaining?”

“Loader is actually not in a decent condition now.” The voice says. “Sure you can use it, but there’s a high risk of the shell exploding before it leaves the barrel. That should spell your end.”

            Damn.

“I should be able to repair you.” Caitlyn says. She just came out of an engagement victorious, one where she is outnumbered. She is so close. There has to be friendlies waiting on the other side of the prairie. Once there they only have to drive a bit further through the gap that they made, before finally reaching safety behind their lines.

“I’m afraid…” The voice pauses. “That’s not an option.”

“Why?”

“I’m getting target locks from along direction 300 to 60.” He responds. “We’re surrounded.”

Caitlyn climbs up to the hatch as soon as the voice ends his statement. As soon as she does, she finds crimson pointers trained at her. Some of the glare caught her eyes. The infantries lurking in the darkness begins to creep forward, revealing themselves. She takes a deep breath.

“Well, that was a good fight. We’ve resisted well.”

“It’s good knowing you.” Caitlyn says, raising her hands.

When the tank is about to commit a self-destruct sequence, the Guards that surround them suddenly, and collectively, turn their sight to the skies behind them. Caitlyn hears it too, something is splitting the air, across the sea of darkness above. A second later, it falls on them. Particularly on the Guards, hailing them with missiles and gunfires.

Caitlyn quickly ducks, leaving a small part of her head still exposed so she could see the events unfolding. That thing sweeps above them in a split second. But it’s enough for her to make the form of its silhouette.

The ArC’s attack aircraft, Cosmos.

Its flyby is followed by an artillery barrage that scatters the Guards.

“51st Tank Platoon, this is Captain Fort of the 12th Combined Proxy Company speaking.” A voice comes through her utilizer. “We have utility units advancing to your position and commence extraction shortly. Two Vertices squad will reach you prior to their arrival for support. Over.”

“They’re here! We’re saved!” The tank says to Caitlyn. He then proceeds to reply. “This is the 51st Tank Platoon speaking. Allow me to personally express my gratitude for you Captain Fort.”

“Mine as well.” Caitlyn follows.

“That can be done later when we got you out of there.” Fort replies.

All in all, it is safe for her to assume that she is indeed finally safe. She collapses to a seat in her cabin, her head resting on its headrest.

            At last…

It has been one hectic evening for her. She wishes that fate allows her to have her much needed rest for the day. Especially when she hasn’t calibrated herself in the span of the week thanks to the operation.

“By the way, I haven’t caught your name.” The tank speaks again.

He’s right. For some reason, they managed to survive without knowing each other. Perhaps that owes to how overwhelming the odds are against them. But now that they made it, she guesses that it’s the right time to shake hands.

“It’s Caitlyn.” She says to the voice. “Grauwelle Caitlyn.”

“Grauwelle Caitlyn, eh?” The voice says in a tone that should show him forming a smirk on his face if he ever had one. “What a beautiful name.”

Caitlyn grins and shrugs at that response. “Thank you.” She turns her sight down believing that she could do better than that, if only not due to the exhaustion and adrenaline of breaking through enemy lines to withdraw. “How about you?” She asks the voice in return.

“Mine is Protivotankoviy,” The voice speaks with a sign of confidence. “I suggest you find an alternate name based on that, because I doubt you could spell that amidst the chaos of battle.”

She turns to tank’s ceilings while reaching deep into her processor. It doesn’t take long for her to come up with something.

“PT.” Caitlyn says to Protivotankoviy. “I’ll call you PT.”

“Sounds brilliant to me.” PT replies.

“Good.” Caitlyn nods.

“And how about I call you…” PT speaks again. “KT.”

Caitlyn shrugs. That sounds quite unsettling to her. But to honour the tank that has helped her out of the enemy lines, she’ll just let that one pass.  “Fair trade, I guess.”

“If they allow you to be my commander, that’d be our callsigns okay? Just between us.”

Caitlyn waves two fingers besides her head. “Aye aye.”

She then chuckles. Throughout her career, she never thought that the Automatons could develop a personality like PT. It felt like she was conversing with a human or another Android. It comes as a strange tingling feeling to her core. It warms her that she could learn more about PT. At least, when he came out of manufacture, his first battle, and how he got here. And for some reason, Caitlyn wishes that they assign her to be PT’s commander.

Fortunately, fate would have it her way.

–**–

            The Ground Combat Vehicle Mark V ‘Redeemer’ is ArC’s battle tank that have seen deployment countless of times, dating as far as The Primus’ conquest. Weighing about sixty-nine tons, it sports a 125mm rifled gun with an effective range of 4500 meters, as well as an automatic loader to allow rapid and accurate fire volley. However, it can take less hit compared to the TeV’s counterpart, the Gauntlet. In compensation, it is able to move swiftly from one point to another. The Primus demands a quick death of his enemies in battle, and the tank is that demand manifested. They are most devastating when used in cover or to flank enemy positions. Their high explosive shells can damage any enemy equipment, or straight up destroy most of them.

Caitlyn stares out the window of her hab. Three days flew past without PT. She requested several days off to command to rest herself. Mostly a mental concern. She just saw her own platoon got decimated because of her decision. The faces of her dead comrade often come to meet her when she closes her eyes. It’s hard for her to imagine how it would feel for them to lay dead on the battlefield knowing no one would come to extract them; especially for the human personnel, who have families back home waiting for their return. The command granted her request, considering they also need to do something about the 51st Tank Platoon.

The clock eventually hits lunch break for the day. At least that’s how it should be for the human personnel. Nevertheless, she decides to leave for the mess hall. She marches past a crowd of Proxies filling the hallways. Some groups are having conversation on one side, some hurries past in a fraction of a second; stumbling on almost anyone in the hallways. At one point, one of those men nudge Caitlyn’s shoulder. He glances around to state a brief apology. But Caitlyn only leers at him without any words.

The mess hall is even more crowded; A mix of individual chattering and the clatter of dishes being stacked are the noises that dominates the space. Caitlyn utters no second thought as she walks toward a certain fridge on one side of the mess hall and grabs a battery from columns of them stored there.

She rushes to an empty seating around the corner as soon as she spots it. Once she sits down, she plucks the charging tube from the battery. The hatch on her nape opens, revealing a circular notch sticking out from her neck. Caitlyn plugs one end of the charging tube to that notch, and the other toward the notch on one side of the metallic cylinder the size of her grip. She takes a deep breath as azure sparkles travel along the surface of the charging tube from the battery’s notch to her notch. Her core is filled with relief that she even finds a vacant space amidst this space crowded with a mass of personnel.

Caitlyn takes a glance at the brand on the battery.

Prime Respite.

An odd name, she thought. The company have been supplying rations to the men ever since the late period of the first war. A long-time dedication. She sometimes wonders the story behind their dedication to The Primus, especially their name which is apparently an adaptation of his name. Are they an independent company? Or just another property of The Primus? Either way, she couldn’t deny that a lunch break is always delightful with their battery tin.

“Oh, look!” A girl voice coming from her left. “It’s Caitlyn!”

She turns her attention, finding two girls standing just across her separated by the length of her seating.

“How are you doing, Caitlyn?” The other one says.

Caitlyn sighs. They are her colleagues during her times in the NCO school.

“Good day, Alezia, Lyzmy.” She waves to the two of them before grabbing her battery tin and standing up.

“Wait, you’re leaving?” Lyzmy asks her.

“We just came here. Don’t you want to have a bit of a chit-chat with us? This might be the first time we’ve been together ever since we graduated.” Alezia follows.

There are truths in her words. The burden of tasks on her shoulder have exploded ever since she became an NCO. Her duties now involve administering a unit, which have consumed a huge portion of her times. She even barely has times for herself, let alone to converse with others during leisure. She is indeed, free at the moment. But she just doesn’t feel like it. And it’s not that these two girls worsen her burden at one point before. They went through the NCO school just like how they went through various operations and battles. Trusting and supporting each other have been the norm among them. But now…

“I need to be alone, for a while.” She says to them, sharing a brief glance.

Alezia and Lyzmy don’t even look disappointed; instead worries cloud their faces.

Lyzmy sighs. “Fine, take care Caitlyn.”

Caitlyn nods before marching away from them, putting her battery tin in the pocket of her coat. From the corner of her eyes, she can see them conversing with each other. And amidst the hubbub of the mess hall, she could catch some words coming out of their mouth.

“…when…she become this? How?”

“Shh…let her…”

She pities herself that she has to instil worry on her comrades.

Back at her hab, she finds a maid with a blonde hair of shoulder length with small side-braid to her left temple standing in front of her hab door with her sight to her pad. It doesn’t take long for the maid to notice her arrival.

“First Sergeant Grauwelle Caitlyn,” The maid presents a salute as soon as Caitlyn reaches her. “Maid Corporal Genesis Zenith, reporting.”

Caitlyn takes a second look at her. An Android. She is clad in her combat gear. Her sight is sharp and her figure is firm. Given that she is a maid corporal in the frontlines, tough times which mostly involves firearms should be her best friend. And her face doesn’t show any sense of worry or anxiety that she might die anytime soon. She appears more than willing to spill Vindicators’ blood at any times without any doubt.

“How do you know it’s me?” Caitlyn asks.

“I am well informed that this hab here is yours.” Genesis replies.

“How long have you been standing there?”

“Not much,” The maid replies. “Only fifteen minutes. Or less, probably.” She checks the time shown by her utilizer strapped to her left wrist.

Caitlyn sighs. “Very well.” She says gently. “State your business, maid corporal.”

“The command has a new order for you. And I am here to take charge in supporting you.” Genesis says, handing the pad to Caitlyn.

Caitlyn grabs the pad and read the document it currently views. Apparently, reports came to them that some TeVs are spotted moving towards a settlement recently captured by the ArC. A counter-attack perhaps. And she is ordered to provide armoured support for the current garrison of that position, holding them off and buying time whilst command is assembling a unit to consolidate it.

“How about my reinforcement?”

“Command is still taking care of that matter.” Genesis says. “For now, they expect you to make do with what you currently have.”

Caitlyn takes a deep breath.

“And in accordance with that, I shall be the second personnel in your tank.”

“And the Creeper?”

“My colleague is going to operate that utility truck.”

“I assume you are capable to operate the tank.”

“I have been trained in that field, and have gone through plenty of drills.” Genesis nods. “You only need to provide me with directions, ma’am.”

“Very well.” Caitlyn hands over the pad back to Genesis before entering her hab. She unpacks her combat gear, pausing for a second to gaze on her helmet as soon as she pulls it out of her container in the hab. It is the same helmet that has accompanied her throughout her carreer as a tank crew ever since she is a Recruit. It is still there with all of its glories; a witness to all the hard-times Caitlyn have went through. Especially the annihilation of her previous platoon.

Once she has her combat gear strapped, Caitlyn emerges out from her hab and locks it.

“Let’s move.” She says to Genesis.

Genesis nods, maintaining her sharp sight. She locks the metal cap on her head as soon as Caitlyn begins to march away from her hab.

It is time. Duty calls her again. Her break time is over. She once again has to smell death amidst the roaring 125mm guns. But it is so that there can still be foods on the dinner table for those children. At least, with the presence of PT, the smell of death possesses a different flavour.

The garage has always been crowded during operational hours. It is a large space able to hold up to thirteen Redeemers, a number worthy of a tank battalion. Utility-class Proxies and Maid Sections are those often found scurrying inside and within the vicinity of the place. They conduct repairs, inspection, and other labour to ensure the proper function of the combat vehicles in the field.

A laser welder hisses as Caitlyn marches toward her new tank platoon. There she sees a Redeemer, a Creeper, and another maid scrutinizing the Redeemer, probably inspecting him.

“KT!” The tank greets her first as soon as she is nearing him.

“Good day, PT.”

“Come get to know this maid, she has been decent to me.”

Caitlyn raises an eyebrow. “Define decent.”

“You know, good old talks during inspection. Kept me delighted throughout what should be a boring procedure.”

“So you call him PT, huh?” Genesis asks.

“For convenience.” Caitlyn replies, waving her hand at her.

“It appears that your tank has an extraordinary interest in talking with others.” The maid on the tank says. She has a long hair with pale golden hue that is barely reaching her waist. Her two locks that extends to her chest on both sides are tucked into black rings with a chipped side. She is also clad in her combat gear. Her metal cap is already locked on her head.

She jumps down from PT’s hull and presents a salute as soon as she puts her pad aside. “Maid Lance Corporal Charlotte Cavatica, at your service.”

Caitlyn salutes in return. “How is PT doing, Maid Lance Corporal?”

“Last inspection is yesterday. Result is the same. Everything is in check, ready for action.”

“Excellent.” Caitlyn nods. “Everyone assumes your position and let’s head to that distressed grid.” She says to Genesis and Charlotte.

“Yes ma’am.” The two maid replies in unison.

Genesis rushes toward the crew’s cabin inside PT through the driver’s hatch while Charlotte hops swiftly to the Creeper’s driver seat.

“By the way,” Caitlyn speaks through the utilizer as she follows through the turret’s hatch, addressing both maids. “Allow me to call you by name. You can just call me Caitlyn in turn.”

“Understood, Caitlyn. Charlotte should be fine.” Charlotte replies through her utilizer.

“Call me Genesis then, yes?” Genesis says to her directly as she enters the crew’s cabin.

“Can do.” She then proceeds to run her fingers on the control panel. “PT man the gun for now, and keep on watch.”

“Sensor on maximum awareness. Looking out for hostiles.” The tank exclaims.

Genesis pulls a lever. The engine roars. The cabin vibrates though it is barely noticeable.

“Oh, and…” Something suddenly struck Caitlyn’s processor, something that she missed. “I haven’t caught the Creeper’s name.”

“Khorosho Priyom.” The utility truck replies through her utilizer. Her rough voice is of a female in her adolescence. “Thought for a moment there you’re going to forget me.” She says, her humming engine also comes through Caitlyn’s utilizer.

“It’d be a sleepless calibration for me should that happen.” Caitlyn replies.

“I told you, she won’t forget.” Charlotte voice is heard through the channel.

“Garage Control, this is the 51st Tank Platoon currently comprising of a Redeemer and a Creeper requesting clearance for departure, over.” Caitlyn speaks through her utilizer via a channel that can be heard by everyone in the platoon.

“51st Tank Platoon this is Garage Control,” A male voice gently replies to her. “Command wanted you in K8-2-8 to assess the incoming TeV incursion. You’re clear to head there, over.”

“Appreciate that.” Caitlyn says.

Genesis hits the gear and turns to align PT with the garage’s main pathway. The Creeper follows close. The large garage door shifts to the sides. Every personnel on the garage’s main pathway swiftly moves aside and make way for the departing 51st Tank Platoon.

“Here we go.” Genesis accelerates PT to maximum speed.

Caitlyn climbs up to the turret hatch. The light of day falls on them as PT emerges out of the garage. She puts a hand on top of her helmet as the breeze streams against her face. To PT’s flanks are sporadic mass of Proxies and Maids. On one side are the Maids hauling crates into carrier trucks, the Runners. On the other are Direct-class Proxies filling armoured personnel carriers, the Crescents. Caitlyn catches a platoon of them departing the base, perhaps reinforcing another position along the front.

Then a squadron of Cosmos streaks through the skies above her. She watches them disappears in the distance. It must be exciting to see all your enemies from above. The way they move and maneuver in the field. Satellite tracking could only do so much. Sometimes they don’t update hostile presence on the map until after contact is made. Hence ground forces still have to rely on their senses.

“Hey Genesis,” Charlotte voice comes through her utilizer. “Don’t you think you’re driving too fast?”

Caitlyn glances behind her, at the utility truck. She is indeed, getting further and further.

“You’re at top speed already?” Genesis replies.

“You do realize that KP is way heavier than that tank, right?”

“Let us regroup at a point before advancing to the desired position.” Caitlyn opens up her utilizer and marks a point at the map. “There, I’ve marked it for you.”

“As you say, Caitlyn.” Charlotte responds.

“The path that’ll take us there should be secured. There has to be no Vindicators around.”

“Guess I’ll see you there then, Charlotte.” Genesis chuckles.

“Fine.” Charlotte sighs. “But you owe me battery tins if I don’t find you there.”

Genesis continues speeding up as Caitlyn turns her gaze to the front again.

Suddenly a notification on her utilizer. She brings it up and her breath is caught when she finds out that it’s PT.

“Good to have you back, by the way. I suppose you’re feeling well now?”

Caitlyn types her reply. “Why are you sending me text messages?”

“This is personal, ok? I don’t want that maid to eavesdrop on our conversation.”

A tank wanted a personal conversation with her? It sounds weird at first glance. But that peculiarity is sending a warm tingling to her core. One that drives a smile on her face. She decides that she would go his way. He has saved her anyway, and he has yet to receive anything in return from her.

“Fine.” She replies. “What is up in your mind?”

“Still the same question.”

Caitlyn shrugs. “I hope so. Enough to do this one task I suppose.”

“At one point, I was worried that you won’t be able to lead anymore.”

“I need a break, PT. It’s not every day you’re responsible for the death of an entire platoon.”

“Don’t think about it too much okay? The dice just doesn’t favour you at that time, and there’s nothing you can do about it. At least you got me out of there alive.”

“I think you’re right.”

Caitlyn can see the sign. PT is quite a talkative Automaton. He just lost his crew, and his other Redeemer partners as well. It must have broken him, the way the destruction of her platoon broken her as well. She shouldn’t have locked herself in her hab.

“I’m sorry for leaving you alone.”

Silence.

She crosses her arms on top of PT’s turret hull before hiding her face there. She shouldn’t have said that. Her action has left him worried. It is indeed the right thing to say. But maybe it’s not the right time to say that. Caitlyn slaps the turret hull with her left hand repeatedly. PT must feel weird reading that statement, as much as she is cringing for sending it. She wishes that she didn’t write that. She wishes that she could be more patient in sending that message.

But to her surprise…

“Hey, it’s not like I’m your priority.” PT replies. “As long as you’re fine, I can take more hits to my rear than an average Redeemer could.”

His words brought a smile to her face. Maybe he felt that clapping on his turret.

“Thank you.”

“My pleasure.”

They continue their advance as soon as they regroup with Charlotte. A small settlement lies ahead of them. The buildings are hollow and worn down, most likely a product of artilleries and air-strikes. Caitlyn sees some Runners arrayed diagonally along a sidewalk, their front is facing an aisle too small for them to drive through. The Maids are unloading the Runners of their crates. It must be the first wave of supplies that just made it to the place. They drift off the sidewalk once they’re empty, turning to the direction from which they arrived and hit their top speed.

Caitlyn turns to her utilizer and speaks through the local channel.

“This is the 51st Tank Platoon, notifying of arrival. Command has yet to reinforce us, so you only have one Redeemer at hand, over.”

“Good to see you again, first sergeant.” A familiar voice replies. “This is Captain Fort of the 12th Combined Proxy Company. I’m the one commanding the defence of this position. Supporting us is the 94th Foot Proxy Company, and they have Amplifier Proxies entrenched in critical choke points to suppress enemy advance, over.”

“They told me to support your defence. Do you have any specifics?”

“We will hold you in reserve for now. Depending on the situation, you might not need to fire that big gun of yours.”

“Well isn’t that convenient?” PT’s words come through the utilizer.

“We’ll see how kind fate is to you today.” Fort replies.

“Understood.” Caitlyn says. She then switches to her platoon’s channel. “Genesis, Charlotte, we’re going to stand by at the settlement’s centre, over.”

“Command received.” Genesis says.

“Heading there.” Charlotte responds.

“By the way first sergeant,” Caitlyn receives Fort’s words again. To her surprise, he speaks through the whisper channel. “Maid Corporal Genesis Zenith is with you right?”

“Yes, she is with me.”

“Good.” He responds. “Report immediately if you see something strange happening to her, over.”

What?

Caitlyn sets her sight ahead of her. That part of the captain’s words caught her attention. What could he possibly mean by something strange?

But before her processor wander around that topic, her sentiment of obedience caught up. She has to reply to the captain’s words first.

“Yes, sir.”

Not long after, KP pulls up to PT’s left, stopping slightly behind. That is when Genesis emerges out of the second turret hatch just beside Caitlyn. She stretches her arms high overhead, making it looks like she wanted to detach them from her.

“Aah…” She breathes out a piece of air.

Caitlyn puts her head on her left hand as her gaze falls upon Genesis, her left elbow is standing on the turret’s hull. She wonders whether that counts as something strange that happens to her.

It doesn’t take long for Genesis to notice. She turns her glance toward Caitlyn.

“What’s the matter?” She asks.

“Captain Fort asks me to report any strange occurrences centred around you.”

Genesis’ wide-eyed gaze falls on Caitlyn for a moment. She chuckles a few seconds later.

“Eh, it’s just the captain,” Genesis waves her right hand before her face as she tilts away from Caitlyn. “He is always worried about me.”

Her bubbling joy left Caitlyn pouting with a slightly frowned face.

What a naïve girl.

It’s a wonder for one to have someone in higher places constantly concerned about them. They should cherish such blessing since it leads to their higher chance of survival. The command doesn’t really care if she is lost and unrecoverable in battle. The events three days ago show just that. It is only when they see a Redeemer cruising through the field that they begun their contact. Because, obviously, it is an expensive equipment that the command hardly could afford to lose. She however, is not. She is just one amongst millions other Androids that the ArC could arm for the war.

Caitlyn is quick to brush that expression away as soon as she feels like replying.

“You’re such a fortunate one, aren’t you?”

“Not really.” Genesis shrugs. “You are aware that the Maids are sometimes sent into combat, right?”

“Sometimes, yeah.”

“If there is a list of descending priorities of Maids that will see combat, I’d be at the bottom-most one.” Genesis crosses her arms. “Not fair as far as I deem. Charlotte got to be one of the highest on the list.”

Caitlyn smirks at that implication.

“Ah, because you’re the captain’s crown jewel, eh?”

Genesis puts her arms on her waist and bends toward Caitlyn. “I don’t have any relations with Captain Fort, alright.” She then leers away for some reason. “Although to me he is indeed, quite.”

“It is fair, I think.” A calm voice coming from their left. The two glances down and finds Charlotte leaning against PT’s side armour. “As a commanding officer, would you like it if you see one of your men charging the enemy formations by themselves despite the clear order of retreat or withdrawal?”

Throughout her job as a platoon leader, Caitlyn have seen at least one Redeemer that break formation so they could charge the seemingly vulnerable enemy flank. It is the tank commander’s will. He was hungry for personal glory. And his rash action has costed the entire platoon. These kinds of people are indeed a burden, and it always annoys her when it happens.

Caitlyn now turns a curious gaze toward Genesis; one of her eyebrows is lifted. She wonders, whether Genesis is that kind of person.

Genesis returns Caitlyn’s gaze with an apparent, although slightly, worried expression. “Charlotte, come on.” She says, turning to Charlotte.

“Maybe, like me, you could top that list if you spent more time in the sniping range, sweetie.” Charlotte turns to Genesis with her left eye shut and a wide smile to her face.

Genesis sighs while sinking into the hatch. She crosses her arms on the turret’s hull and places her chin there.

“My anxiety always gets me whenever we wait for them to come. So, I thought it would be better to just get it over with.” She pouts.

It appears that murky skies just gloomed over her. Caitlyn understood that feeling. Who is not terrified knowing death is on the other side, slowly marching toward their position? Losing a life means ceasing everything you’ve worked for so far. The longer it takes for that certain death to arrive, the more space available for one’s mind to peer through time, remembering both their past achievement and those that are about to come. And the more reminiscent one becomes, the more willing one is to hold on to their lives. And hence their reluctance to engage the enemy.

It is perhaps this that Genesis despises.

Caitlyn pats her shoulder in an attempt to cheer her up.

“It’s fine, Genesis.” Caitlyn says to her. “We’ve all been through that. It is unpleasant indeed. But this is war, everything is unpleasant. Hence we at least have to think of a course of action that could make it a bit more pleasant on our side.”

Genesis rises back. Her sight gradually turns to Caitlyn. “I guess you’re right.”

“And since you’re my driver,” Caitlyn continues. “I trust you to get me and PT out of this alive, okay?” She raises her right hand; the tip of its index is touching the tip of its thumb.

Genesis straightens her stature and replies with a similar gesture. “I’ll see to it.” She returns Caitlyn’s smile.

“Good.” Caitlyn pats her back.

“You know you could just force me on the wheel and get us out of any pickle, right?” PT voices comes through.

Caitlyn slams her hand hard to the turret’s hull, maintaining her grin toward Genesis.

“You know that doesn’t hurt right?”

Caitlyn tilts her head to the right. “Please forgive the tank.” She says.

Genesis shrugs, turning her sights forward. “No problem.”

“Incoming!” A yelling that comes through Caitlyn’s utilizer.

A ball of flames burst on the roof of a barren house some distance ahead of Caitlyn, followed by a loud explosion noise. Black smokes spew outward, trailing above in accordance to the wind. Charlotte nimbly rushes back to KP, while Caitlyn and Genesis submerge and closes the turret hatch above them.

“There they are.” Genesis says as she scrambles back to the driver seat.

The rumbling continues, some are stronger than the others. The cabin trembles slightly as the shells keep on pounding the ground in proximity to their position. Then huge tremors with deafening roar, that of a bellowing beast, permeates inside PT. Caitlyn and Genesis hold on to something to keep themselves stable as instances of shockwave burst through them.

“We are being shelled, you two are okay there right?” PT asks.

“We’re fine, PT.” Caitlyn replies.

“I hope those Maids got to shelter in time.” Genesis says.

“I’m safe inside here, right?” Charlotte’s voice comes through the utilizer.

“My armour is thicker than that metallic lump with firing mechanism there.” KP says.

“Hey!” PT responds in a raised tone, his rough voice blares through all their utilizers. “Who do you call metallic lump, huh!?”

“It can be anyone. Too bad I don’t have fingers to point that out for you.” There’s a slight chuckle in KP’s tone. One can picture a smug forming on her face if she has any.

“Well I wish you’re not responsible for babysitting me, dirty hag.”

Caitlyn chuckles at what that implies. PT can land a shell or two on that utility truck’s hull. That is, when the command is not looking.

“Smoke screen to the east.” Says a Proxy.

“Another one to north-northeast.”

“And to the southeast.”

Caitlyn checks out the map shown by one of PT’s screens. Judging by the smoke deployment, the TeV is commencing an assault along the settlement’s frontiers. This position must have been essential to them. Hence the defence must hold at all cost. She hopes that more reinforcement is coming to consolidate their position there.

“Platoons of Guards are advancing through the smoke, supported by Carapaces.” Says another voice which is drenched deep in commotions of rapid rifle fire, cartridges ricochets, and 20mm shell impacts.

Carapaces are TeV’s walking metallic shell. Creeping on six legs, they are armed with two 7.62mm machine guns and a double-barrelled 20mm autocannon to provide dense fire support able to tear through fortifications. Their thick armour meant that they can survive even more hits than the Gauntlets.

“There are eight of them coming from this side.”

“An additional four is spotted emerging from the north-northeast.”

Fort’s voice then comes through, “Twelve Carapaces, copy. Direct Proxies, unload your RPGs on those things. Maids get two crates of those rockets to the outposts along defence line beta.”

From PT’s periscope, Caitlyn sees the Maids sprung into action, loading the available Runners with crates supposedly filled with anti-tank rockets. The work is done in such a pace that left Caitlyn’s eyes wide. In fifteen seconds, the Runners, two of them filled with AT rockets crates, have already left the scene.

“You Maids are an impressive breed.” Caitlyn turns to Genesis.

Genesis shrugs. “I mean, our master zips from one side of the battlefield to the other in mere minutes if not seconds.”

“Sir Microv Edward?”

Genesis nods, her hands are tapping on the steering wheel.

Caitlyn heard a story of that man, the second highest authorities in the ArC, one of the few that possess superhuman abilities.

“It’s a basic drill for us frontline Maids. They even gave us enhancement modules to speed up the job by ten folds. But of course, the speed never matches that of our master. He is on a different level.” Genesis continues.

It is said that he personally supports the defence of five chokepoints at the same time during the Siege of Vaniyya in The Primus’ conquest. And whichever point he is in, the Vindicators’ advance there is halted. Such is the power of The Primus’ right-hand-man. She couldn’t imagine what The Primus himself is capable of.

“We owe a great deal to you then.” Caitlyn grins as she crosses her arms.

“Sort of.” Genesis replies, turning her attention to Caitlyn. “But our master has ensured that you don’t.”

But still, such a great feat is worthy of something in return to them from the Proxies themselves. At least, that is how it should be as Caitlyn thought. Because logistics are the backbone of every military force.

“Our recognition should suffice, I guess?” She says.

“But of course,” Genesis turns her gaze ahead, leering at Caitlyn with her left eye shut. “Who wouldn’t notice cute girls in maid uniform running around the battlefield armed with carbines and an emitter katana?”

Caitlyn chuckles. “You are indeed a sight, huh.”

“We have Gauntlets making a run for our position.” A calm voice in contrast with the roaring RPGs in the background, followed by even more bullet ricochet.

“Copy,” Fort replies. “First Sergeant Caitlyn, I believe your tank demands something to shoot at. Go around them from the hills to the north and give them a pounding.”

“I do think demand is an overstatement.” PT replies first.

Caitlyn nods to Genesis the second Captain Fort provides the direction. She turns PT around and drive the tank along the path leading to the hills that he mentioned.

“We’re heading there, sir.” Caitlyn responds.

“Be careful you three.” Charlotte says through the platoon channel as the tank dashes out of the settlement.

They eventually reach the hill. It is an elevated position with a rather lightly wooded area. They could assume a position where PT’s gun just peeks out of the hill toward the two Gauntlets to the settlement’s north-northeast. If they return fire, their shot would unlikely hit them since they have to fire uphill. Even still, PT can survive some hits from the front. And if situation gets critical, Genesis could just hit the reverse gear and bail out of the position.

“Take us there, Genesis.” Caitlyn says, marking a position on the map that’s visible to both of them. “We should be able to fire down on them from there.”

“Taking us there.” Genesis replies.

But as soon as they climbed the hill…

“Ow!” PT cries.

Along with that is the shaking of the cabin in the wake of a missile crashing to PT’s front hull. Unlike the Androids, the Automatons don’t have pain receptors. The way PT responds in such a manner when hit in the face by a missile is probably him being shocked at the sudden reduction of his hull’s integrity.

The cabin shakes again as two more rockets hits PT’s front hull.

“We have contacts!” Genesis yells.

In front of them are two squads of Guards supported by a Carapace armed with anti-tank missile launcher instead of the autocannon. PT fires a shot at the Carapace but that just bounces off its front armour.

“No penetration!? You can’t be serious.” PT exclaims.

Caitlyn pulls the smoke triggers. “Back up! Back up!” She says.

Genesis hits the reverse gear and PT gradually rolls down the hill.

“We can’t support them like this.” Genesis says, glancing at Caitlyn.

“Well we can’t go there without any support either.” PT replies. “Unless of course, you fancy going out in a blaze of glory.”

Caitlyn falls silent. Available forces are all tied down in the defence of the settlement. There’s no way she would ask for reinforcement from the captain. Even if she does, her request would most likely be denied. But she has to take care of those Gauntlets, to alleviate the defences and save as much men as possible. She could send a request for air support, but that is too expensive for such a small detachment facing them.

There is one option left for her.

“Genesis,” Caitlyn turns to her. “I’ll leave those Guards to you.”

“What?” Genesis asks, her eyes meet Caitlyn’s.

“Charlotte claimed that you prefer to charge the enemy. Thus, I assume that you are a capable fighter.”

“Well, sort of.” Genesis tilts her head.

“Then get out there, and take care of them.” Caitlyn says while running her fingers on the control panel, turning the autopilot on. “PT will take the wheel. We will handle that Carapace.”

Genesis nods. “Very well.” She grabs her carbine that is leaning against the left side of the cabin, and loads a magazine. Then she opens the hatch above her and jumps out of the tank.

“We’re counting on you, Genesis.”

Genesis only raises her right thumb as she advances into the smoke screen. As soon as she vanishes into the smoke, Caitlyn hears a barrage of gunshot from beyond.

“Let’s hope she’ll make it.”

“That maid looks tough. She’ll be alright.”

Caitlyn nods as she assumes control of PT’s gun. “Take us a few more meters north, we shall make our return to the hill there.”

The Carapace, seeing that its big target gone, should now be unoccupied. Which means, there is no guarantee that it won’t lay fire on Genesis. She is not only facing hostile fire from the ten Guards, but also the Carapace’s machine guns. Caitlyn grips her fists at that scenario which most probably is occurring at the moment.

Hang in there, Genesis…

They make their climb again on the other side of the hill as soon as they circumvent a small part of it. Caitlyn’s breath caught when they come across a sight of five Guards running to the right, against the direction of their previous climb, followed by the Carapace that slowly creeps backward; its machine guns firing at the smoke screen that’s about to clear up. Caitlyn takes a quick glance to what the walker is firing at. There she finds Genesis cowering behind a tree trunk solid enough to brave the machine gun fire; bracing herself with her head tucked. After a closer look, Caitlyn finds that with her is the TeV’s anti-tank missile launcher.

Unfortunately, her back is against the side where Caitlyn is. So perhaps she is unaware that they have returned to the fray.     When Caitlyn is about to notify her, she emerges out of cover and fires a missile at the Carapace. It hits the walker’s missile launcher, but the damage appears to be negligible. And as soon as she is about to return to cover, three of the machine guns’ cartridges make it through her.

The maid collapses.

“Genesis!” Caitlyn cries through her utilizer.

“You bastard!” PT yells out. “KT, hit that trigger!”

Caitlyn turns and sees that PT has his turret aimed at the walker’s missile turret. Without any doubt, she slams on the trigger.

PT’s gun roars as soon as the Carapace align its front to PT’s direction. The 125mm armour-piercing shell slips inside the Carapace’s launcher barrel, and further into the high-explosive missile loaded inside.

Within a split second of contact, the walking metallic shell burst into flames, its parts rocket as far as the tree-tops before falling down in fiery pieces reek of burnt metals.

“PT,” Caitlyn says as she scrambles out of the tank. “Assume position slightly behind the marker that I’ve previously set.”

“Roger.” PT moves toward the designated point as soon as Catilyn jumps out of him.

She then takes a thousand steps toward Genesis. Electric sparks are leaping out of the holes on her body formed by the 7.62mm cartridges. Caitlyn draws her ear closer toward Genesis’ chest. She could still hear a faint hum coming from within. It indicates that her core is still functioning. Perhaps her consciousness is shot by the shock of bullet impacts. But she is still alive at the moment, and can still be saved.

Caitlyn straps Genesis’ carbine to her, before putting the unconscious maid body on to her back. She trots toward PT’s location.

“Uh, KT.” The tank speaks to her.

“What is it?”

“The Gauntlets are pulling back.” He says. “Their turrets aimed at our position.”

Caitlyn puts Genesis on PT’s hull before climbing it, doing so while processing what the tank words’ means.

“They are aware of us now.” She sighs.

“Well at least we tried.” PT says. “At least they pull back right?”

They indeed pulled back, which provides a breathing room for the defenders. But they will definitely return. And by the time that happens, they would already have this position fortified as to prevent further flanking maneuver such as what they were trying to achieve. It would then be difficult to contain those Gauntlets if the settlement is not reinforced anytime soon.

“First sergeant, the Gauntlets to the north-northeast are pulling back. But I don’t see any shots landing on them.” Fort’s voice comes through.

Caitlyn scrambles down the hatch, laying Genesis down inside the cabin in an as much as comfort deemed possible in such a cramped space.

“Our position has been compromised.” She responds. “They have stationed two squads of Guards and a Carapace prior to our arrival. We took care of them but Genesis is down.”

“Artillery, take cover!” A Proxy voice that spikes as soon as Caitlyn finishes her sentence.

That yelling prompts her to peek out of the hatch. She is met by hails of projectiles trailing through the blue sky, before finally landing at several points in the settlement. The thundering explosions follow a few seconds after the shells land on houses, streets, and decorations. Caitlyn cranes her head up, tracking the trajectories of those shells. Her gaze eventually falls to a direction where the enemy artillery is most probably stationed.

“Charlotte, are you still there?” Caitlyn calls her.

“Still alive. Receiving artillery fire but KP is still holding so far.”

“Genesis is down.”

“What?” Charlotte asks in her calm tone that doesn’t imply any sort of concern.

“She got shot and need attention. PT could use some too.”

“Guess you want me there, don’t you?”

“We’ll rendezvous at a mid-point just like previously.”

As soon as Caitlyn says that, the captain’s voice interrupts.

“First Sergeant Caitlyn, can you see where did those shells come from?”

Caitlyn turns her gaze to the previous direction where her suspicion of enemy artillery presence rings.

“It is about five degree west of north sir, a few clicks from my position.”

“Excellent,” Fort commends with a slightly raised tone. “Now get there and blow them to hell.”

“But sir, Genesis is injured and I could use some repairs on PT.”

“Denied.” Fort states. “This artillery barrage doesn’t stop those Guards from picking us off from the distance. We have to abandon our position.”

“Don’t we have reinforcement coming?”

“I don’t know what the command is doing back there. But there don’t seem to be one anytime soon.” Fort’s voice is mixed with the trembling noise of crashing high-explosive shells, as well as machine gun fire. “We are about to stage a fighting retreat, but with that artillery piece lying around I’m afraid it would take less than a few seconds for it to be a full rout.”

Caitlyn falls silent. Her situation is just like three days ago, the time when she met PT. All alone deep in enemy lines, as her comrades are retreating. Why does it have to be like this? Why she has to be the one that advances while everyone else is falling back? It was a fortune that she and PT made it out alive back then. She doubts that it would occur again for the second time. This time there’s almost no guarantee that there would be allies breaking through to get to them. She might have to break through the enemy lines by herself.

“Hey, KT.” PT calls out to her.

She turns towards one of the screens that shows a wiggly line with peaks that spikes whenever PT speaks.

“We can do this.” He says to her. “We’ve made it before. We’ll make it again.”

“First sergeant!” Fort’s voice becomes louder. “Do you hear me? Are you there?”

Caitlyn shuts her eyes, trying to ignore the captain’s voice.

“I’m not sure, PT.” Her hand touches the screen with the line as she turns her gaze down.

“Hey, listen.” PT’s voice gentle down. “We’ve been through hell okay? That’s why they’re depending on us. They wanted us to go because no-one dares to do that. We can do this, I believe we can.”

A tank asked her to believe that they could make this daring assault. Just like what had happened before. The thought of that left a bubbling impression in her core.

“Caitlyn, what should it be?” That’s Charlotte voice coming through.

“I’m going to take the maid’s word for it. Remember what you’re fighting for, and remember just that, nothing more. Then, we charge their position and show them who’s boss.”

Caitlyn grips her hand that she placed on the screen. If only PT has a hand…

It doesn’t take long for her to nod.

“Very well.” She moves to her seat and man the gun again. “Direction five degrees west of north, full speed ahead.”

“That’s the spirit!” PT exclaims. “Five degrees west of north it is.”

Caitlyn then pulls up her utilizer. “Captain Fort, we’re advancing toward that artillery piece, over.”

“I’ll make sure something is up for you back here, once you are done.” He replies. “Also, there will be air supports for you. They’re going to abide my request for this one.”

“Much obliged, captain.”

“Yeah they better be!” PT yells out.

“Caitlyn?” Charlotte calls for her again.

“I’m after that enemy artillery so you could safely retreat.” Caitlyn replies.

“I wish fate sides you this day.”

“Thank you.”

Caitlyn glances at the speedometer. It shows Redeemer’s top speed. They are now cruising toward the enemy artillery position. There might be some Guards stationed there for protection. But with careful approach, they could sneak up and snipe those damned cannons, and haul away before those Guards could catch up to them. She and PT just needs an elevated position so they could fire down on the enemy position.

And as fortune has it, Caitlyn finds a slightly higher ridge after a careful observation of the surrounding environment. In addition to that is a dense vegetation covering the whole ridge, allowing an excellent concealment should the enemy return fire. Caitlyn orders PT to slow down as to not give away their position. They prowl ever closer on a designated position along the ridge. And as soon as they reached it, as soon as they got view on the enemy artillery position…

“Whoa…” Caitlyn’s mouth gaped.

“What the hell is that…” PT expresses his astonishment with a tone that mimics a whisper.

Down there is a plaza of a barren village. Perhaps it is once used as a place for the townsfolk to gather. And on that plaza are two massive tanks, two times the size of PT. Their large hull is carried by four pieces of tracks, two on each side. Their overwhelming turret bears the weight of two 155mm barrels, something that Caitlyn sure is able to penetrate PT’s side in a single volley. Their barrels are currently angled upward. The implication of that sends shiver down Caitlyn’s spine.

“This is the enemy artillery that is bombarding the settlement?”

“Those shots originated here right? There’s nothing else around here but those two monstrosities.”

            Monstrosities…

Even PT is afraid of that thing.

And the affirmation of their fears is served on a silver platter not long after.

Their barrels roar in turn repeatedly, firing a salvo toward the heavens. The ground rocks in their wake, the trees shed their foliage for each shell that leaves the barrel. Even one of the desolated structures in their proximity collapses. It is as if they brought doomsday with them, a representative of a mythological titan who quakes the world with his raging roar. PT’s cabin vibrates hard. Caitlyn cowers as the tanks keep on firing, tucking her head and covering her ears. She couldn’t imagine what sort of madness that drive one to create what even PT refers to as monstrosities.

The firing soon ends, and Caitlyn collapses to her seat. It feels like she has just gone through the end of the world and survived. But that took away all her energy, her spirit. She is not sure whether she alone could bring such a massive machinery down.

“Do you think we could pierce that thing’s armour?”

“No.” PT replies. There is no continuation to his statement. “We can deal damage. But alone, they would be negligible.”

After finding no Guards around, Caitlyn reaches for the last glimmer of hope of taking that thing down.

“But at least they are artillery pieces, right?” She asks. “They’re not meant for direct combat.”

“KT! Brace Yourselves!” PT yells frantically, as he hits the reverse gear.

Caitlyn attempts to do what he told her, but the movement transition happened too fast that she is thrown to the front side of the cabin.

“Aah…!” Caitlyn yelps as she braces herself in the wake of terrifying shockwaves that quakes PT’s cabin. “PT!” She calls out to him.

The shock is so powerful that it topples PT’s balance. But he quickly regains it.

“What was that?” Caitlyn says.

As the dirt rains down and the dust clouds clears up, PT opens his mouth again if he had one.

“Death…”

From the other side of the dust clouds emerges the same monstrosity that they have observed from the ridge, slowly creeping toward them. Caitlyn’s breath is caught as its size grows ever more overwhelming as the tank approach them steadily. Their barrels are straightened, aimed at them. And in the seconds between life and death, Caitlyn’s processor freezes; her mouth gaping in the sight of that monstrosity.

“That’s it!” PT shouts. “I’m getting us out of here!” His words, and a sudden jerk of movement snaps Caitlyn back to reality.

And just as PT drives away, two shells land on where they were standing.

“Bloody hell!” PT yells again. “KT! Are you there!?”

“I…” Caitlyn stutters, her breath heavy. “I’m here…” She holds on to the vibrating cabin as she tries to recover herself.

“Thank the Primus you’re okay.”

“Get us…” Caitlyn pauses, catching her breath. Her core is still quaking from that last shot coming out of that monster’s barrel. She looks deep to find herself. But all she finds is only the thought of getting annihilated by its shell. “Get us away from that thing!” Caitlyn then cries. “Anywhere away from them!”

“That’s what I’m doing right now! Stay calm and get your processor back in shape.”

As soon as he said that, he suddenly stops. Caitlyn once again got thrown to the cabin’s front as there is no deceleration. PT just stops as if he crashes into a massive boulder strong enough to hold his advance.

“PT!” Caitlyn cries at him as she rubs her head.

“I can’t move!”

“What’s going on!?” Caitlyn asks, her tone is filled with all the concerns that she could come up with. She looks around and finds the displays of the screens surrounding her are getting distorted and covered in statics. “What’s going on!?” She asks again with a louder tone.

“That bastard snared me!”

In the next second, Caitlyn could perceive a backward movement occurring. She scrambles out of the hatch and turns her gaze to PT’s rear. There the monstrosity has its turret aimed at PT. But there is something different about it. There is quite a space between its two barrels. And in that space is a large circular compartment. That compartment is now opened, firing a crimson beam that is holding PT in place.

Even worse, the beam is pulling PT closer to it.

And then the massive tank aligns its front toward PT’s rear. As soon as that happens, some contraptions emerge out from under the front hull. They then unpack, revealing their cylindrical shape that is perpendicular to the tank’s width as well as the sharp thermal blades attached to them. Caitlyn soon realizes what they are as they begin to spin at an uncanny rate.

“PT, drive…” She says as soon as she sinks back into the hatch. “Drive! Drive!” Her voice gets louder with each word.

“I’m at full speed!”

But despite of it, they keep going backward; they are being dragged backward.

Caitlyn scrambles for the turret control and tries to turn it to the tank’s direction. But it doesn’t work.

“Turn your turret and unload some AP on that thing!” Caitlyn yells

“I can’t either!”

Caitlyn can hear the noise of the spinning blades gets louder and louder. She dares herself to peek out of the hatch. And that is a mistake. As she is greeted by the sight of the blades that gets closer, their song for her demise grows ever evident. And she feels that her soul, if she even has one, just departed from her.

“DRIVE, YOU USELESS JUNK! DRIVE!!!” She yells out an order to PT in an unusually deafening tone.

“I CAAAN’T!!!!”

Caitlyn sinks and cowers.

By that point, the spinning blades barely reached PT’s rear.

When suddenly an explosion occurs on the massive tank’s circular compartment. And that releases PT from its grip. He nimbly rolls off, leaving the monstrosity behind further and further in a short time span, as another explosion occurs on the tank’s track.

Two Cosmos streaks past overhead.

“We got you covered 51st Tank Platoon.” Says one of the pilots.

The massive tank should be able to fire on PT. But for some reason, it decides not to.

“Thank…” PT pauses. “You.”

“Where are you going? I thought you’re heading for that artillery.” Says the other.

“Negative.” PT replies. “We have to abort. The enemy have a new toy that caught us off guard and renders my commander combat ineffective.”

“Roger that.” The first pilot says. “Command is evacuating the settlement at the moment. There will be gunships escorting you, they are on their way to your position.”

“I appreciate that.”

Caitlyn only listens to that conversation in silence, all while she is regaining her senses.

“KT…” PT calls her out.

But Caitlyn remains silent. Her hollow sight is turned down. She gathers the remainder of her strength and position herself beside Genesis.

“KT…” PT calls her again, in a gentler tone.

She takes a glance at Genesis’ composed face. Of course, she is unconscious and didn’t experience the horror that she has just witnessed.

“KT?”

The vibrating cabin and the hum of PT’s engine blows a drowsy breeze into the cabin. Too much have happened to her for the day, most that makes it up comes from the recent occurrence, the encounter with that monstrosity. The image of that massive hunk of machinery is still vivid in her processor.

Caitlyn wonders…

“Hey KT, please tell me you are there.”

Whether closing her eyes could make it disappear. Whether following Genesis up could help her forget that monstrosity.

And after taking a deep breath, her heavy head falls on Genesis’ right shoulder and her sight turns dark.

“Hey KT!”

–**–


Writer: PrimDom

Writchal #3 – Opposites

“I’ve got two sides, and both of them keeps messing my life up.”

The harmony and the dissonance. The tranquil and the cacophony. Every conflict begin with an opposition, and reaching a compromise between the two is a writer’s job. It just so happen compromising between hobby and academics are one of the area author is bad at.

Onto the news.

Writchal #2 berlangsung dari 5 Februari 2021 hingga 5 Maret 2021. Pada awalnya ada usulan untuk mengusung tema valentine, namun karena tema Writchal #2 berada di seputar hal yang sama (High School Romance), akhirnya kami mengadakan gacha tema untuk Writchal #3. Tema yang terpilih kali ini adalah salah satu dari Hidup dan Mati. Kadiv awalnya berniat untuk menciptakan semacam dua segmen Writchal yang bertentangan dengan menggunakan grand theme Opposites“, namun setelah melihat banyak yang menginterpretasi pilihan tema menjadi Hidup-Mati saja, pada akhirnya dibiarkan–it is what it is.

Lalu anda mungkin bertanya kenapa baru dipublikasikan tanggal 20 Maret 2022. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena deadline dari Writchal #3 diperpanjang hingga 19 Maret 2022 akibat Kadiv yang belum selesai menulis. Sampai sekarang Kadiv juga masih belum selesai menulis entri Writchal #3 (See Paragraph 1 for reference). Jadi ya sudahlah.

Berikut adalah submisi Writchal #3:

If things go well and life demands it, mayhaps we will meet in the next Writchal.

Until then, fare thee well!

Innocence Lost

Entry Writchal #3
Tema: Mati


Innocence Lost

We were told that your people are savages. A bloodthirsty lot who craved nothing but violence. 

We were told that your nation is full of hate. The endless fires of anger. The willingness to kill without remorse. 

We were told that you have no understanding of compassion or love. 

We were told that you are a people of cruelty. 

We were told that your people worship God in complete disregard of His will. 

As the author of one of my favourite poems put it, “You have wronged us. You have wronged me.”

We were told that you have wronged us, and you have wronged all your own people. You have brought your hate here. You have sent your soldiers to violate the sanctity of every human being to do violence in the name of avarice. 

With that in mind, I have no reason to think twice when I pulled the trigger on you. 

You are the scourge of the Earth, and I am the agent of justice.

So, I pulled the trigger and shot you. 

But then… what I saw was not the savage killer that we were told. 

Not the heretic who is unable to accept the will of God. 

Not the man who cannot learn compassion.

Not the hate-filled, bloodthirsty spirit of revenge.

The only thing I saw was but a boy who was as scared as anyone else.

You looked at me, and then you looked down at the ground, and then you looked up again. And you were shaking.

You began to cry.

It was as if I had made your heart break.

“What have I done? What have I done?”

You cried.

“Why do you have to do this to me? I just want to go home! I just want to go home!”

You looked at me, and I saw a face that was full of fear and pain.

I saw a boy who did not appear to even know his own age.

I saw a face full of confusion, and you began to scream.

“Don’t do this to me!”

“Please, don’t do this!”

“I just want to go home! Please!”

“Mother! Anastasia!”

I felt an overwhelming sense of guilt.

All I could think was, “I’m sorry.”

I’m sorry for pulling the trigger.

I’m sorry for shooting you.

I’m sorry for your pain.

I’m sorry for your tears.

I’m sorry I took your life.

I am left with many questions.

Do you think it’s possible to forgive me?

All those people that I have killed.

Have I sinned all this time?

Is it really possible to forgive the person who murdered you?

You were still human. 

You were still our brother.

You were still loved.

You were still valuable.

You were still living in the world that God made. 

You were still made in God’s image.

But Your life was just taken from you without any consideration or grace.

I cannot undo my action. 

I cannot get you back to your family, to the life you were used to.

You will die before your time.

You had so much more to give,

Oh, your soul had so much more to give.

All that was stolen from you by hate.

Do you think God will forgive me?

Can God forgive me? 

Do you think that I have sinned so deeply that I am no longer worthy to go to heaven?

Can I forgive myself?

I didn’t ask to be here.

I didn’t ask for this responsibility.

I don’t want to be here anymore.

Why does it have to turn out like this?

Why did God let this happen?

As you cried for your mother and your sister in your dying breath.

I was in tears.

I cried, and then I cried harder.

Because if only I could take your life back.

I could right so much wrong.

All those people that I have killed.

God forgive me.

I killed a boy.

He was just a boy.

He was just 17.

If only I could take away your pain,

As I sat in front of your shallow grave.

Nameless and unremarkable.

With only a rusty old rifle to mark it. 

I thought to myself.

That I will never be forgiven.

I thought that it would be my eternity here in this place.

I thought that I could never return to the world that I know.

The last vestige of my innocence.

Tainted by my own hands.

Over the blood of a fellow human.

I couldn’t make it right.

Why did this happen?

Who decides such things?

Why do I get to grow older, and he doesn’t?

Why did God let this happen?

Why did you have to die?

It doesn’t make sense.

None of it makes sense.

When will it make sense?

Maybe for the rest of my life.

I will live in misery. 

Maybe for the rest of my life.

I will never be able to forgive myself. 

Maybe for the rest of my life.

I will live with the memories that I took away from you. 

And everyone that lost their life by my hands.

I’m sorry.

I’m sorry.

I’m sorry.


Penulis: Von Grenadus