Traitor’s Betrayals ( A Failed Holy War)

Entri Writchal #1

Tema: Hujan


Rumah sakit kesatria di Pulau Rhode dipenuhi oleh pasukan dan kesatria yang terluka setelah serangan ke Levanṭīnīye, atau disini lebih sering disebut sebagai Levantinopel. Jeritan dan erangan orang-orang malang di bangsal rumah sakit memenuhi seisi ruangan. Stok perban, pereda rasa sakit dan perlengkapan medis lain di rumah sakit sudah kritis, sehingga beberapa prajurit yang tidak tertolong lagi terpaksa diracuni sehingga penderitaan mereka segera berakhir. 

 

“Ahhhh” kelegaan dari prajurit yang sedari tadi mengerang kesakitan.

 

Seorang suster baru saja memberikan prajurit malang itu racun dengan dosis tinggi untuk mengakhiri penderitaannya

 

“Tenanglah, Pejuang Dewa yang Pemberani. Penderitaanmu akan segera berakhir. Sekarang , Anda bisa beristirahat dengan tenang.” Ucap suster tersebut dengan penuh kelembutan

 

“Kaaammmuu, apakah Anda itu …….Bunda ? Apakah ……anda datang …untuk ….langsung menjemputku,….. Bunda ?” Balas prajurit sekarat itu dengan lemah.

 

Awalnya suster tersebut cukup terkejut karena disamakan dengan salah satu dewi tertinggi. Namun dengan tenang suster tersebut memainkan perannya dan berusaha membimbing akhir hidup prajurit sekarat tersebut. 

 

“Ya, anakku! Aku di sini! Perjuangan dan keberanianmu untuk menegakkan ajaran dewa tiada tandingannya! Sekarang kamu telah membuktikan pengabdianmu kepada dewa, jadi beristirahatlah anakku! Genggam tanganku, dan aku akan menuntunmu, melalui kegelapan dihadapanmu!”

 

Suster itu menggenggam tangan prajurit sekarat itu. Kehangatan yang dimiliki prajurit itu perlahan menjadi dingin. Dan tubuhnya menjadi kaku. 

 

“Kerja bagus, suster muda! Kamu telah membantu membimbingnya menghadapi kematian dengan sangat baik!” Kata seorang suster lain yang lebih senior.

 

Suster senior itu menutup kedua mata prajurit tersebut, dan kemudian menaikkan selimut prajurit tersebut hingga kepala dan menutupi seluruh tubuh prajurit tersebut. Kemudian dia menginstruksikan penjaga di bangsal untuk memindahkan mayat prajurit tersebut ke ruang mayat. 

 

Ketika membimbing prajurit tersebut menjemput ajal, suster muda itu melupakan suasana hiruk-pikuk dan keramaiannya yang ada di bangsal rumah sakit. Meskipun demikian, kini suster tersebut telah sadar dengan lingkungan sekitarnya, setelah sebelumnya tenggelam dalam ketenangan mengantarkan seseorang menjemput ajalnya.

 

“Terima kasih, Suster Maria! Saya bisa melakukannya dengan baik karena bimbinganmu!” Jawab suster muda itu.

 

“Suster muda, sekarang beristirahatlah. Kamu sudah cukup banyak hal itu untuk pemula. Sekarang serahkan semuanya pada kami.”

 

Suster muda itu kemudian mengundurkan diri dari bangsal rumah sakit. Langit kembali mendung siang ini. Tebalnya awan yang bergelayut rendah menyembunyikan cerahnya Sang Mentari. Perlahan rintik-rintik  hujan mulai berjatuhan. Saya menatap langit yang suram tanpa matahari. Meskipun suasana suram menyelimuti kastil Pulau Rhode, dan rintik hujan mulai turun dari langit, hiruk-pikuk dan semangat para kesatria yang berkumpul di sekitar podium sama sekali tidak terpengaruh.  

 

Hiruk-pikuk yang bukan diakibatkan oleh jeritan dan erangan pilu dari para prajurit yang terluka, tapi dari prajurit dan ksatria bersenjata lengkap, dengan penuh semangat, menyuarakan teriak-teriakan perang, perang dan keagamaan, serta semangat untuk terus bertarung demi dewa mencapai kesyahidan.  

 

Pemandangan yang sangat kontras dengan apa yang suster itu dapat ketika masih di dalam rumah sakit ksatria, dimana orang-orang meraung kesakitan memohon pertolongan dewa untuk hidup mereka. sedangkan di sisi lainnya, orang-orang di sini berteriak-teriak kepada dewa untuk menganugerahi mereka kesyahidan. 

 

Mereka, prajurit dan ksatria yang terlihat berani dan taat kepada dewa itu, mengelilingi podium orasi, dengan beberapa beberapa orang beberapa orang, atau mayat berseragam pasukan Kesultanan Salajakiyah tergantung di dekat podium. Namun pusat perhatian di podium tentu saja sosok berzirah hitam lengkap dengan lambang palang putih besar di dadanya. Grandmaster Ksatria Rumah Sakit, Rémi Lagrange Artrois.

 

“Saudaraku, kawanku, inilah kesempatan, yang sudah lama kita nantikan!” 

 

Ucapnya di atas podium, yang disambut dengan hiruk-pikuk di sekitar podium. Setelah masa kembali cukup tenang, Grandmaster Rémi kembali melanjutkan orasirnya. 

 

“Kemenangan kita di Levantinopel, hanyalah awal dari dari rentetan kemenangan yang menanti kita dimasa depan. Kemenangan…. yang menunjukkan….KELEMAHAN…. yang dimiliki oleh MUSUH-MUSUH KITA!”

 

“Kita telah menghancurkan Armada Kesultanan Salajakiyah, yang selama ini mengurung kita di pulau yang menyedihkan ini. Dengan bantuan sekutu-sekutu kita, Crissibiria, Vins, Ligurian, orang-orang Turk itu tidak akan mampu lagi menentang dominasi kita di laut!”

 

Masa kembali bergemuruh. Suara umpatan, teriakan perang, pujian terhadap dewa, seruan keberanian, semua bercampur dalam hiruk-pikuk lautan manusia berzirah perang di dekat podium. Orasi Rémi berlanjut ketika gemuruh sedikit melemah. 

 

“Kesultanan Mamalik, telah melemah dari tahun-ketahun. Meskipun terlihat bersatu, mereka sebenarnya terpecah… dan saling berseteru satu sama lain. Lihat! Dan ingat kembali…..bagaimana mereka gagal……melindungi sekutu mereka…….di Dulkadir! Sultan lemah, yang bahkan tidak mampu menyatukan kekuatannya setelah satu kekalahan kecil. Negeri lemah, dan terpecah seperti itu, tentu saja, TIDAK PANTAS MEMIMPIN TANAH SUCI!”

 

Gemuruh masa semakin ramai. Dari gemuruh itu, teriakan ‘Deus lo vult’ terselip namun semakin terdengar jelas ketika Tanah Suci disebut dalam orasi. Meskipun hujan turun semakin deras, semangat para kesatria tidak menunjukkan tanda-tanda padam.

 

“Kini saatnya, dengan bantuan para kesatria dan Raja-Raja Sholeh dari Kontinental yang akan tiba musim panas ini, Sekali lagi Tanah Suci, Akan berada di tangan Tuhan yang benar! Deus Vult

 

DEUS VULT!!!!” 

 

Dengan demikian, Grand Master Kesatria Rumah Sakit mengakhiri orasi. Rémi secara tidak sengaja menengok ke arah saya. tidak lama setelah turun dari podium, Rémi menghampiri saya yang berteduh tidak jauh dari podium. 

 

“Charlotte!! ”

 

Saat ia melihat saya mengenakan seragam suster, Rémi, agak terdiam sejenak, sebelum kembali membuka pembicaraan.

 

“Ini mungkin kali pertama saya melihat anda mengenakan pakaian selain baju zirah”

 

“Apakah saya terlihat aneh dengan pakaian ini, Tuan ?”

 

“Sama sekali tidak, itu cocok denganmu, kok! Saudari mudaku tersayang, Charlotte Miorine Artrois!”

 

Tidak lama kemudian, Rémi, menghampiri dan merangkulku dengan lembut.

 

“Saya berpikir sejak serangan bajak laut itu, saya tidak akan bertemu denganmu lagi, Charlotte!. Namun, Tuhan mengabulkan doa saya selama bertahun-tahun, dan mengizinkan saya untuk bertemu denganmu.”

 

Ingatan saya tentang masa lalu yang saya alami berkabut dan samar-samar, sehingga saya tidak ingat pernah memiliki saudara. Namun melihat ketulusan dan kasih sayang yang dia berikan pada saya, mungkin memang saya merupakan saudarinya di masa lalu. 

 

Setelah, melepaskan kerinduannya kepada saudarinya, Grandmaster kemudian mengajak saya untuk berbicara ringan. Beliau menanyakan banyak hal, mulai dari kemampuan saya dalam bertarung yang hampir menyamai seorang kesatria, pengetahuan saya yang luas terkait kondisi militer Kesultanan Salajakiyah, hingga kehidupan selama diperbudak orang-orang Turk. 

 

“Jadi, akibat pengaruhmu terhadap pangeran, mereka mengasingkanmu ke barak tentara?”

 

“Benar, Grandmaster!”

Sembari berdiri dari kursinya, Grandmaster Rémi menunjukkan kekesalannya terhadap perlakuan yang saya terima selama diperbudak di Salajakiyah.

 

“Barbar! Benar-benar bangsa barbar! Semoga Tuhan akan membalas perbuatan mereka!”

 

“……”

 

Karena saya tidak memberikan tanggapan apapun, tiba-tiba Rémi mendekati dan memegang pundak saya.

 

“Maaf, kalau saya mengingatkanmu akan hari-hari buruk itu! Kamu tidak perlu takut lagi sekarang !”

 

Rémi kemudian bergerak menjauh dan membelakangi saya. Kemudian mengepalkan tangannya di depan dada

 

“Kamu merupakan perempuan yang kuat! Yang bahkan bisa mengimbangi kesatria veteran di sini! Dan dengan pengetahuan tentang musuh yang Anda punya, anda dapat membalaskan perlakukan yang anda terima dari orang-orang Turk selama Anda diperbudak!”

 

“……”

 

“Lihatlah, berkatmu, kita berhasil meraih kemenangan di Levantiopel!”

 

Rémi kembali menatap kearah saya sembari menghampiri saya kembali. Kemudian menunjuk ke arah saya. 

 

“Charlotte, dengan adanya anda di sisi kami, maka merebut kembali Tanah Suci dari orang-orang kafir itu bukan lagi mimpi!”

 

“…..”

 

“Oleh karena, itu pinjamkan kekuatan dan kemampuan yang Anda punya kepada saya, Saudariku tersayang, Charlotte Miorine Artois! ”

 

______________________________________________________________________

 

Derasnya hujan  pada hari ini tidak menyurutkan semangat bertempur para kesatria yang baru saja tiba di pantai Santa Alya. Pertempuran untuk merebut Kastil Antarahisari baru saja dimulai. Menguasai kastil ini akan memuluskan rencana pasukan palang suci untuk merebut Ibukota Kesultanan Salajakiyah, Levanṭīnīye

 

Berdasarkan rencana, pasukan palang suci Raja dan Pangeran Kontinental akan mengepung Levanṭīnīye, atau Levantinopel menurut para kesatria melalui jalur darat, dan angkatan laut Orde-Orde Kesatria, Vins, Ligurian, dan pelaut Crissibiria, akan menyerang dan mengepung dari tahun laut. Dengan Levantinopel kembali di tangan palang suci, merebut kembali tanah suci dan mendirikan kembali Kerajaan Surga di Tanah Suci, bukanlah mimpi yang tidak mampu dicapai.

 

Kesatria Rumah Sakit beserta pasukan kesatria palang suci lainnya bertugas untuk  merebut Kastil Antarahisari, di seberang laut Levantinopel. Serangan ini dipimpin langsung oleh Grandmaster Rémi. Sedangkan saya ditugaskan untuk memimpin regu pengintai. 

 

Pengepungan berlangsung selama seminggu, dan telah menguras habis kekuatan dan persedian laskar Salajakiyah yang membelah Antarahisari. Namun, mereka tetap menolak untuk menyerah, meskipun lapar dan haus dan mereka rasakan sudah sangat mencekik. 

 

Grandmaster Rémi, ragu untuk melakukan serbuan untuk merebut kastil secara paksa akibat jumlah pasukan yang punya tidak cukup banyak dan harus menunggu pasukan palang suci yang bergerak melalui jalur darat cukup dekat untuk memberikan bala bantuan.  Namun beliau akhirnya menyerah terhadap desakan dari atasan dan bawahan yang menganggapnya pengecut, pada akhirnya.

 

Serangan terhadap dinding kastil dimulai di hari ke-10 pengepungan. Saya turut bertarung di garis depan sebagai pelopor untuk kesatria lainnya yang berusaha untuk menembus tembok pertahanan kastil.  Semua berlangsung lancar, dengan regu saya berhasil menghabisi puluhan pembela Antarahisari yang melemah akibat kelaparan. Meskipun sudah hampir mencapai batasnya ketahanan fisiknya, pasukan pembela Antarahisari diluar dugaan mampu memberikan perlawan yang tangguh, meskipun kekuatan mereka terkuras habis akibat lebih dari seminggu tidak terkepung dalam kastil, tanpa bantuan logistik. 

 

Pada akhirnya kastil tangguh ini jatuh ketangan kesatria. Namun korban di pihak kesatria sangat besar dan pembela Antara hisari seluruhnya terbantai dalam pertempuran. Hal ini sepertinya sebelumnya diperkirakan oleh Grandmaster Rémi selama pengepungan sebelum serbuan ke dinding kastil. 

 

Kekuatan laskar kesatria suci yang ada di bawah komandannya berkurang signifikan setelah serbuan, akibatnya kini angkatan laut palang suci tidak memiliki tenaga manusia yang cukup melakukan serbuan lebih dalam ke pedalaman Kesultanan. 

 

Dengan tercapainya tujuan angkatan laut palang suci untuk merebut Antarahisari, maka blokade terhadap Levantiopel menjadi semakin sempurna. Hal ini sejauh ini sesuai dengan rencana pengepungan yang dirancang oleh Grandmaster Remi berdasarkan pengetahuan dan informasi yang sama punya terkait Levantinopel, termasuk jalur suplai, pintu rahasia dan titik lemah yang dalam pertahanannya, yang saya dapatkan pelatihan militer paksa yang dilakukan orang-orang Kesultanan. Informasi dan pengetahuan, yang akan saya gunakan untuk membalaskan dendam terhadap perlakuannya yang saya terima selama diperbudak di sana. 

 

_________________________________________________________________________

 

Pagi ini, saya mendapatkan informasi dari penjaga pos tentang gerak-gerik laskar Salajakiyah di sekitar Antarahisari. Dengan absennya kakakku yang pergi menemui pasukan palang suci yang bergerak melalui jalur darat,beliau mempercayakan pertahanan Antarahisari yang belum lama direbut dari Salajakiyah kepada salah satu bawahan terpercaya dan paling cakap di bawah komandonya. 

 

Orang tersebut memerintahkan saya memimpin regu pelopor untuk mengintai mencari tahu kekuatan Laskar Salajakiyah di sekitar Antarahisari. Hal itu termasuk memetakan kemungkinan pasukan kesatria suci untuk melakukan penetrasi lebih jauh ke dalam teritori musuh. 

 

Kami berangkat menjelang siang dan mengintai dataran terbuka di sekitar Antarahisari. Hasilnya, nihil, tidak ditemukan adanya tanda gerak-gerik dan tanda-tanda keberadaan laskar musuh di sini. Saya memutuskan untuk memimpin regu pengintai untuk menyisir wilayah hutan di sekitar kastil. 

 

Namun hingga matahari hendak terbenam, tidak ada satupun gerak gerik musuh yang terdeteksi. Saya memutuskan untuk mundur ke kastil sebelum matahari kembali keperaduannya. Sebagian dari anggota regu protes saya berkata saya terlalu serius mencari keberadaan musuh yang sebenarnya mungkin saja tidak ada, hingga kami lupa beristirahat. Mereka meminta saya untuk memberi mereka sedikit waktu istirahat. 

 

Dengan mempertimbangankan masih tersisa waktu sebelum matahari terbenam, saya memutuskan untuk mengistirahatkan sejenak regu pengintai di sebuah pondokan penebang kayu yang seperti sedang ditinggalkan. Untuk beberapa alasan, tempat yang saya pilih untuk beristirahat ini,membuat saya merasakan deja vu. Saya pernah kesini sebelumnya. 

 

Meskipun dengan kekhawatiran yang saya rasakan, terlambat rasanya untuk membatalkan keputusan saya untuk beristirahat di sini. Setidaknya, tanpa membuat bawahan saya di regu pengintai makin berang. 

 

Setelah menyandarkan kuda saya pada sebatang pohon, saya memutuskan untuk memakan bekal yang sudah saya bawa sebelum keluar dari kastil untuk misi pengintaian. Sedangkan anggota regu lain saat ini sedang terpencar dan menjalankan kepentingannya masing-masing. Ada yang menikmati bekal sama seperti saya, menunaikan hajat yang sudah lama ditahan sejak siang tadi, atau hanya sekedar duduk, bercengkrama dan melepas lelah setelah seharian berkuda mencari lokasi musuh yang masih meragukan rimbanya.

 

Tanpa saya sadari, sebenarnya saya melakukan kesalahan fatal karena membiarkan pasukan yang saya bawahi menurunkan kewaspadaan, padahal kami sedang berada di wilayah musuh. Sebuah kesalahan yang akan kami bayar mahal. 

 

Salah satu kesatria bawahanku menghampiriku, untuk memberikan kabar rekannya yang tidak kunjung kembali setelah pergi buang hajat. Dia juga melaporkan bahwa beberapa anggota regu ada yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kabar ini membuat saya cemas, karena masih ada indikasi keberadaan laskar Salajakiyah yang bersembunyi di hutan ini.  Meskipun kami tidak dapat mendeteksi keberadaan mereka selama pengintaian. Atau mungkin lebih buruk lagi, sebenarnya kita telah diincar oleh mereka sejak kami memasuki hutan ini. 

 

Ketika berusaha untuk mengkonsolidasikan kembali regu pengintai yang sedang terpencar, saya mendapati seorang kesatria, anggota regu pengintai, yang telah bersimbah darah, dan tergantung di dahan pohon tidak jauh dari tempat saya memarkir kuda. Hal ini membuat saya memberikan perintah kepada anggota regu yang tersisa untuk melarikan diri dari hutan secepat mungkin menuju area terbuka. 

 

Regu pengintai yang tersisah melarikan diri secara sporadis dari hutan. Keadaan semakin kacau bagi regu pengintai karena kemunculan laskar-laskar Salajakiyah, yang muncul dan menyerang hampir dari segala arah. Kabar baiknya, musuh yang muncul bukanlah tandingan kesatria-kesatria veteran dan tangguh dari Kesatria Rumah Sakit.

 

Kabar buruknya, pertarungan ini terjadi di tempat yang kurang menguntungkan. Kami kesulitan untuk berkoordinasi dan tidak bisa memanfaatkan keunggulan yang kami punya sebagai pasukan berkuda. Sedangkan, musuh bertarung di wilayahnya sendiri dan tentunya sudah familiar dengan area ini. Oleh karena itu, kami harus segera melarikan diri ke area terbuka.Tapi, sepertinya musuh juga menyadari hal tersebut. Mereka sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi para kesatria untuk mencapai area terbuka. 

 

Pertempuran yang sangat sanget ini mengakibatkan saya kehilangan kontak dengan kesatria lainnya. Saya bahkan dipaksa untuk ikut memikirkan keselamatan diri sendiri karena laskar-laskar Salajakiyah yang saya hadapi cukup tangguh dan terampil. Namun pada akhirnya, saya mempunyai kemampuan yang lebih bertarung dan keunggulan karena mengunggang kuda. Saya mengalahkan 3 orang laskar yang menantang saya, melumpuhkan 2 orang dan membunuh salah satunya. Ini memberikan saya kesempatan untuk melarikan diri dari kepungan pasukan Salajakiyah dan memungkinkan saya untuk melarikan diri serta mencari kontak dengan regu pengintai yang tersisa guna segera keluar dari wilayah hutan penuh musuh ini.

 

Namun sepertinya keberuntungan saya habis di sini. Saya tidak berhasil menemukan kesatria lainnya.  Dan disaat yang tidak menentu itu, kuda yang saya tunggangi terjerembab akibat lubang jebakan. Saya terlempar cukup jauh dari punggung kuda dan dengan keras menghantam bumi. 

 

Akibat efek benturan yang cukup keras, saya kesulitan untuk bangkit setelah terlempar dari kuda. Dan setelah berhasil bangkit, saya menyadari laskar-laskar Salajakiyah telah mengepung saya. Saya kembali bertarung melawan mereka,tentu saja dalam kondisi kalah jumlah.  

 

Hujan yang turun membatasi jarak pandang, sehingga saya tidak bisa memikirkan hal lain selain memenangkan pertempuran ini. Namun perlahan keunggulan saya dalam kemampuan dan perlengkapan perlahan membuahkan hasil. Seorang terbunuh dan dua lainnya telah dilumpuhkan. Namun masih jauh dari cukup.

 

“Seperti dugaan saya, kamu memang terlalu tangguh bahkan dengan untuk sekelas pasukan Yeniceri, Charlotte Hanim”

Setelah mengamati dengan lebih detail musuh yang saya hadapi, saya menyadari bahwa memang mereka lebih tangguh dari  laskar yang saya hadapi sebelumnya.

 

“Hehhh, benar juga! Kalian bertarung setangguh kesatria dengan mengenakan pakaian aneh ya? Selain itu? Kalian bukan tandingan Saya !”

 

“Besar kepala juga Anda ini. Sepertinya, Anda melupakan hal paling penting!”

 

Sosok yang bertukar kata dengan saya terasa semakin dekat. Karena sepertinya orang itu adalah pemimpin musuh, saya memutuskan untuk menjatuhkannya dahulu.

 

Saya bergerak dengan tiba-tiba, mendekati sumber suara dan melancarkan serangan ke arah leher silhouette dihadapan saya. Namun, serangan tersebut ditangkis pengawal Yeniceri di dekatnya. Pengawal lainnya melancarkan serangan dari belakang, berusaha menebas punggung saya yang terbuka lebar. 

 

Peralatan yang saya kenakan menunjukkan keunggulannya. Serangan itu tidak mampu menembus tebalnya zirah yang saya kenakan. Saya menyerang balik dan menjatuh pengawal tersebut dengan menyerang titik lemah pada baju zirah yang mereka gunakan. Disini, pengetahuan saya yang mendalam terkait musuh memberikan saya keunggulan yang sangat saya butuhkan.

 

“Sepertinya gadis nakal ini harus diberikan pelajaran.”

 

Gadis !!!! Bagaimana orang itu mengetahui saya seorang gadis? Pada saya mengenakan baju zirah tertutup dan helm besi tertutup. Bagaimana mereka mengetahui identitas saya?

 

“Arrrrggggghhhhh”

 

Tidak lama kemudian, setelah serangan saya berhasil ditahan, saya merasakan benturan yang sangat di bagian dada. Dada saya langsung merasa sesak dan sangat nyeri. Saya juga kesulitan bernapas. Saya kembali menerima benturan di punggung, dan saya hampir kehilangan keseimbangan. Berturut-turut, saya merasakan benturan di pipi, lengan kanan, paha kiri, perut dan leher serta pelipis kanan. 

 

Dengan rasa sakit terima, saya masih sempat melancarkan serangan balik dan berhasil menjatuhkan musuh, lagi-lagi setelah menyerang titik lemahnya. Saya sadar musuh masih menyerang saya dengan pedang, namun mereka menggenggam bilahnya dan menggunakan gagang pedang yang keras sebagai senjata tumpul. Taktik yang sangat efektif untuk menghadapi kesatria berbaju zirah tebal, jika senjata tumpul atau senjata kejut lainnya seperti gada tidak tersedia. 

 

Keunggulan perlengkapan saya menjadi tidak relevan. Pasukan musuh menyerang saya tanpa henti dan hanya sedikit yang mampu saya tangkis. Baju zirah ini cukup membatasi mobilitas saya, sehingga menghindari serangan tersebut juga tidak memungkinkan. Kepala, dada, perut, tangan, lengan, kaki, paha dan bagian lain tubuh saya terus dihujani serangan tanpa akhir. 

 

Saya masih mampu menjatuhkan mereka satu demi satu, namun, musuh seakan tidak ada habisnya. Pukulan gagang pedang terus mendarat di tubuh saya. Nyeri akibat luka lebam terasa sangat menyakitkan, namun saya memaksakan diri untuk terus berdiri dan bertarung.  Kekuatan saya semakin melemah pada akhirnya. Namun mereka tidak henti-hentinya menghujani tubuh saya yang penuh luka dengan pukulan gagang pedang yang menyakitkan.

 

Setelah menerima pukulan terus-menerus, saya tidak mampu bertarung lagi. Saya menjatuhkan pedang, dan tidak mampu berdiri lagi, dan menyadarkan diri pada seonggok batang pohon. Seseorang mendekati saya dan memukul saya sangat keras hingga helm besi yang saya gunakan terlepas dan menunjukkan identitas saya yang sebenarnya, sebagai perempuan. 

 

“Anda terlihat menyedihkan Hanim!”

 

“Habi….si….sa…….ya… ”

 

Orang yang menjadi pemimpin pasukan musuh mendekati data. Namun, saya sudah terlalu lemah untuk melawan dan menjatuhkannya. Saya kini hanya mempasrahkan takdir kepada Dewa. 

 

“Sudah waktu mengingat siapa diri Anda yang sesungguhnya“

 

Orang itu berlutut dan membisikkan sesuatu di telinga saya.

 

“Arrrrggggghhhhh!!!!!, Hentikan hentikan HENTIKAAAANN!!!!!! Kepalaku! TIDAKKKKKKKKKK!!!!!!! Saya mohon hentikan !! Kasihani saya! Biarkan saya bahagia!! ”

 

Saya terus berteriak dan memohon ampun setelah saya dibisiki oleh orang itu. Tidak hanya rasa sakit fisik, namun, juga bisikan itu memberikan saya rasa sakit dari dalam secara psikis.

 

“Apa salah saya……..Kenapa……Jahat……Tolong……Kakak!”

 

Kapan, kapan siksaan ini berakhir ?

 

_________________________________________________________________________

 

“Hidup Şehzade !”

 

“Panjang Umur Şehzade !”

 

“Dewa Maha Besar!!”

 

“Hidup Şehzade !! Hidup Padishah!!”

 

Hiruk-pikuk dan gemuruh kegembiraan semakin keras ketika Şehzade Altaïr melalui pasukan Salajakiyah. Pada hari ini, Pasukan Salajakiyah berhasil memenangkan pertempuran di Dienub. Mereka berhasil menahan kekuatan utama pasukan palang suci yang hendak merebut kembali Levanṭīnīye dari Salajakiyah. 

 

Akibat kekalahan ini, pasukan palang suci tidak hanya kehilangan banyak pasukan, tetapi juga banyak Raja, pangeran, dan bangsawan penting yang terbunuh atau tertahan oleh Salajakiyah.   

 

Kemenangan ini menyelamatkan Kesultanan Salajakiyah, dari ancaman keruntuhan akibat serangan kesatria palang suci, seperti halnya pendahulu mereka 4 abad silam. Dan karena kepemimpinannya selama pertempuran, Şehzade Altaïr dibaiat pasukan sebagai Padishah, tepat ketika berita kemenangan telah menjadi kepastian. 

 

Disisi lain, Wazir Ismail Hajj Pasha yang baru saja diangkat bergerak untuk merebut kembali Antarahisari dan membongkar blokade terhadap Levantiniyye, dengan angkatan laut Salajakiyah yang belum lama ini berhasil dibangun kembali dalam waktu yang luar biasa singkat. 

 

_________________________________________________________________________

 

Ketika Ismail Pasha bergerak semakin dekat dengan Kastil Antarahisari, tekanan yang dirasakan Angkatan laut palang suci semakin hebat. Kecuali sebagian kecil, armada dan laskar dari Vins,Ligurian, dan Crissibiria serta negeri sekutu lainnya satu-persatu meninggalkan Antarahisari, dan kembali ke negeri mereka masing-masing setelah mempelajari kekalahan pasukan utama palang suci di Dienub. 

 

Meskipun keadaan memburuk, Namun Grandmaster Rémi, pemimpin angkatan laut palang suci bersikeras untuk mempertahankan Antarahisari, meskipun logikanya kastil ini sudah tidak lagi memiliki nilai  strategis. Kehancuran armada Salajakiyah di Levantinopel dan besarnya korban yang harus diderita kesatria suci untuk merebutnya. 

 

Pikiran Remi juga sangat kacau akibat adiknya Charlotte yang menghilang bersama regu pengintainya setelah sebuah diluar kastil. Insiden ini membuatnya menjadi sangat emosional dan tidak lagi mengambil keputusan sesuai logika. Grandmaster langsung mengeksekusi bawahannya yang bertugas memimpin Antarahisari sekembalinya kesana, karena menganggapnya menjadi penyebab Charlotte dan regu pengintainya lenyap dan dihabisi. Ini, dan keputusan irasional lain yang Rémi ambil sekembalinya ke Antarahisari menjadi penyebab sekutunya meninggalkan Antarahisari dan kehilangan loyalitas dan kepercayaan bawahannya. Hal ini berakibat fatal dalam usahanya mempertahankan kastil dari pasukan Ismail Pasha. 

 

_________________________________________________________________________

 

Sekali lagi, serbuan laskar Salajakiyah kembali dipukul mundur oleh kesatria suci, dengan korban besar di pihak Salajakiyah. Meskipun mempunyai sumber daya yang memadai, termasuk 10 meriam pengepung, Ismail Pasha dan pasukannya tidak mampu menembus kedisiplinan dan ketangguhan kesatria suci dalam pertempuran jarak dekat. 

Perkembangan ini membuatnya cemas. Dia harus merebut Antarahisari sebelum Padishah tiba,sehingga bisa mengklaim kemenangan di Antarahisari untuk dirinya sendiri. Ismail juga mengerahkan angkatan laut Salajakiyah untuk menyerang dari sisi lainnya Kastil. Namun, hasilnya sama saja. Kesatria Suci yang tersisah di Antarahisari bertarung dengan gigih dan penuh motivasi. 

 

Dengan pasukan Padishah yang akan tiba di Antarahisari dalam waktu 3-4 hari kedepan, tidak banyak waktu tersisah untuk wazir baru ini. Dia mengerahkan senjata pamungkas yang selama ini disimpan sebagai cadangan, yaitu pengkhianatan.

 

_________________________________________________________________________

 

Hari ini hujan turun dengan derasnya. Sesuai perintah saya ditugaskan untuk meyusup dan membobol pertahanan di Antarahisari dari dalam. Saya sangat terkejut mengapa penyusupan ini berjalan sangat mulus, bahkan tidak sekalipun menimbulkan kecurigaan dari kesatria pembela Antarahisari. Bahkan pemimpin mereka meperlakukan saya seperti adiknya sendiri. 

 

Kedekatan saya dengan para pembela Antarahisari ini, membatasi pergerakan saya selama penyusupan, namun juga memberikan keleluasaan bagi saya karena mereka sama sekali tidak mencurigai tindakan dan gerak-gerik yang saya lakukan. 

 

Saya berhasil melemahkan pertahanan Antarahisari dari dalam. Sehingga ketika serangan ke Antarahisar kembali dilanjutkan, Kesatria Suci yang sebelumnya sangat tangguh menjadi tidak berdaya dan menyedihkan, meskipun mereka telah bertarung sekeras mungkin.

 

Setelah bertarung singkat melawan beberapa laskar Salajakiyah, dan melumpuhkan salah satunya, saya menyelinap untuk kembali ke barisan Salajakiyah. Namun pergerakan saya terbaca, dan saya dicegat langsung oleh Grandmaster Rémi dan dua orang kesatria pengawalnya. Salah satunya berteriak dengan lantang. 

 

“BUKA HELMMU,PENGKHIANAT LAKNAT!”

 

Dengan demikian penyamaran saya telah terbongkar. Namun saya menolak untuk membuka helm besi yang saya kenakan, dan malah memasang kuda-kuda untuk bertarung. Namun saya pada akhirnya membuka helm besi ini setelah Grandmaster sendiri yang memintanya secara halus.

 

“Charlotte, ini kakakmu Rémi . Jika itu benar kamu, mohon buka helmmu…”

 

Mendengar permintaan yang sedikit memelas tersebut, saya secara reflek membuka membuka helm yang saya kenakan. Grandmaster Rémi tertegun, menyadari bahwa pengkhianat selama ini memang benar merupakan adik kandungnya sendiri. Disaat yang bersamaan kilat menyambar dan hujan turun dengan deras tidak lama kemudian. Sedangkan, Remi jatuh berlutut menghadapi kenyataan yang ada di depan matanya. 

 

Dengan amarah yang mendidih, dua kesatria yang mengawal Grandmaster secara inisiatif menyerang saya secara membabi-buta, disaat tuan mereka masih mematung dibawah guyuran hujan. 

Pertempuran ini berlangsung sengit. Kesatria yang saya melindungi titik lemahnya dengan sangat baik. Karena mereka menyerang saya dengan koordinasi yang sangat baik, saya menjadi terdesak. Salah satu serangan mereka menembuh lengan kanan saya. Rasa sakit yang ditimbulkan mengakibatkan saya tanpa sadar memekikkan ‘kakak’. Seketika Rémi berhenti membatu dan bangkit berdiri. 

 

“Cukup! Hentikan serangan kalian berdua!”

 

Perintah yang datang dari atasan mereka membuat konstreasi kedua pengawal ini buyar dan terpecah. Mereka berhenti menyerang dan mendesak saya. Saya menggunakan kesempatan ini untuk menyerang balik. meskipun tangan kanan saya terluka dan terpaksa menggunakan tangan kiri, kesatria suci itu tidak lagi memberikan perlawanan sebaik sebelumnya, Hal ini memungkinkan saya menghabisi mereka satu-persatu.

 

Dengan tumbangnya dua kesatria suci, kini tersisah saya dan Grandmaster, berdiri berhadapan dengan pedang terhunus dibawah guyuran hujan. Dan dibawah guyuran hujan yang deras ini juga, saya akan memutus tali kasih sayang dan persaudaraan yang selalu menghantui mimpi buruk saya di malam hari.

 

Guyuran hujan yang deras membuat suara desingan pedang yang saling berada hampir tenggelam. Hanya kami berdua yang bertarung di sini tidak ada orang yang akan datang untuk mengganggu. Jalan takdir, mengharuskan kami untuk memutuskan solusi terbaik untuk masa depan hubungan saya dan Rémi. Bagi saya, ini waktunya untuk mengubur masa lalu. 

 

Bertarung dengan luka di tangan kanan membuat saya tidak mampu mengimbangi kemampuan bertarung Grandmaster yang lebih baik dari saya. Beliau tidak menggantungkan teknik bertarungnya terhadap kemampuan berpedangnya. Dengan efektif, perlahan tapi pasti, Grandmaster berhasil mendesak saya dalam pertarungan. Puncaknya, Beliau berhasil melempar pedang yang saya gunakan serta membuka semua tidak lebih yang tidak bisa lagi saya lindungi. 

 

Namun bukannya memanfaatkan keunggulannya untuk menghabisi saya, beliau justru berusaha menangkap dan menolong saya yang terluka. Meskipun sudah mencapai batas dan tidak mampu bertarung lagi, saya memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Saya menarik kijil pemberian Şehzade yang selama ini saya sembunyikan di belahan dada saya, dan menikam Rémi di bagian vital, guna menghabisi nyawanya. 

 

Meskipun saya kembali mengkhianati kepercayaannya, Grandmaster Rémi tidak melawan balik. Beliau hanya meminta untuk memberikan kesempatan berbaring dipangkuan saya untuk kali terakhir sebelum menjemput ajal. 

 

Hujan deras yang sebelumnya mengguyur Antarahisari, mereda. Awan kelabu yang sejak awal menyembunyikan terang mentari, bergerak menempi, dan memberikan kesempatan matahari melepaskan berkas cahaya hangat yang menerangi bumi. Dalam pangkuan saya, Remi mengungkapkan betapa dia menyayangi saya sebagai saudari kecilnya. Dunianya hancur ketika saya menghilang dari hidup. Hanya balas dendam dan kebencian yang memberikan kehangatan dalam hidupnya. Meskipun semuanya berakhir seperti ini, setidaknya beliau dapat menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan saudari yang selama bertahun-tahun sangat beliau rindukan. 

 

“Apapun yang terjadi, saya tetap menyayangimu, saudariku Charlotte”

 

Dengan demikian, Grandmaster Kesatria Rumah Sakit, Rémi Lagrange Artrois, menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk alasan yang saya tidak dapat mengerti, saya meneteskan air dan nyeri yang sangat menyesakkan di dada. Seakan-akan, memaksa saya untuk turut tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam akibat ditinggal orang terkasih. 

 

Namun, saya tidak merasakan kesedihan atau kehilangan tersebut. Mengapa saya harus bersedih dan menangis karena orang yang terbaring bersimbah darah dalam pangkuan saya telah tiada? Apa penyebabnya ? Perasaan bingung, yang justru membuat saya semakin tidak mampu membendung derasnya air mata yang menetes dan perasaan sesak dan sakit di dada. Qalbu saya berteriak, dan meraung dalam kesedihan, namun akal saya merasa ganjil mengapa saya harus berbuat demikian.

 

Dengan akal dan qalbu yang saling bertentangan, siapa orang jahat yang membuat saya menjadi begini?

 

_________________________________________________________________________

 

“Hamzah Pasha, apakah kita tidak bisa bergerak lebih cepat? Kita harus segera mencapai Antarahisari sebelum Ismail keparat itu bertindak!”

 

“Maafkan hamba, Padishah! Pasukan utama mungkin mampu bergerak lebih cepat, namun kereta persediaan dan persenjataan berat sudah mencapai batasnya! Ismail Pasha menguasai lautan, sehingga…..”

 

Penjelasan Hamzah Pasha seakan tenggelam dalam pikiran saya yang kacau. Meskipun telinga saya mampu mendengarnya saya tidak mampu mencerna informasi tersebut. Hanya ada Charlotte yang ada di benak saya. 

 

Begitu mempelajari keberadaan gadis itu di Antarahisari, saya bergerak secepat kilat menuju kesana. Saya hampir melupakan fakta bahwa saya baru saja memenangkan pertempuran yang sangat penting di Dienub. 

 

Bertahanlah Charlotte! Saya sangat mengetahui penderitaan dan siksaan yang telah kamu terima selama ini. Kamu sudah cukup merasakan kesedihan. Kini bergembiralah, saya akan segera di kesana menjemputmu.

 

Saya akan melepaskan rantai yang selama ini membelenggumu dan menghancurkan siapapun yang mencoba menyakitimu dan membuatmu kembali bersedih. Mengapa saya bisa seberani ini sekarang ? Itu karena sekarang, saya sekarang yang berkuasa.

 

_________________________________________________________________________

 

   


Penulis: Narusaka

Redemption Trip to Holy Land

Entry Writchal #3
Tema: Mati


Di Levanṭīnīye, atau dahulu disebut disebut sebagai Levantinopel, Sultan, sekaligus kaisar Latin Timur Baru, Padishah Aḥmed Salajakoğlu, terlihat sangat frustasi dengan wajah yang diliputi oleh kemarahan. Para menteri dan bawahan Padishah paling terpercaya pun tidak berani memecah keheningan di ruang sidang Istana. Mereka takut tanpa sengaja menuang minyak dalam api yang sedang berkobar. Ketika Menteri Ekonomi Kesultanan, Jalāl ud-Dīn Pasha hendak memecah keheningan dengan memberanikan diri membuka pembicaraan dalam sidang istana, tiba-tiba Sultan Aḥmed langsung memotong pembicaraan.

“Jalāl ud-Dīn Pasha ! Apakah kamu memiliki kabar terbaru terkait putraku, Şehzade  Altaïr Çelebi?” Tanya Sultan dengan perlahan dengan penuh ketegasan.

Semua yang hadir di sidang Istana diam seribu bahasa, termasuk Jalāl ud-Dīn. Sultan yang merasa diabaikan itu pun terlihat berusaha menahan amarahnya. Suasana sidang istana sangat mengekang saat itu. Kemurkaan Sultan bisa saja menjadi akhir dari karir, atau bahkan kehidupan mereka. 

Sudah seminggu sejak jejak Şehzade  Altaïr Çelebi, yang tanpa izin dari Sultan, memimpin invasi ke Beylik Dulkadir di selatan, hilang tanpa jejak.  Kabar terakhir yang diterima Sultan dan Levanṭīnīye terkait adalah keberhasilan pasukan Şehzade  mengambil alih beylik, dan kabar kematian seluruh keluarga Bey Dulkadir, termasuk tunangan dan teman masa kecil Şehzade  dalam sebuah kudeta berdarah yang terjadi sebelum Invasi. Setelah itu  Şehzade   meninggalkan posnya dan menghilang tanpa jejak. Baik bawah maupun pasukannya tidak mengetahui keberadaan Şehzade   setelah itu. 

Bey, setara dengan duke, sebelumnya merupakan bawahan Sultan, sebelum perang saudara pecah dan banyak bey yang memerdekakan diri dari Kesultanan saat kekosongan kekuasaan. Namun kini kesultanan telah kembali pulih dan mulai mengintegrasi kembali wilayah-wilayah yang sempat memerdekakan diri. Salah satunya di Dulkadir. 

Suasana tegas di ruangan sidang istana kemudian dipecah dengan kedatangan seorang pejabat kesultanan yang masih muda. Dia belum genap kepala tiga, namun telah memperoleh kehormatan untuk menggunakan gelar “Pasha” dalam namanya.

“Salam Padishah, semoga Dewa yang Maha Tunggal selalu memberkahimu. Sebelumnya saya mohon maaf karena telah mengganggu jalannya sidang istana pagi ini dan yang paling penting terlambat untuk menghadiri sidang istana pagi ini.” Jelasnya sembari menundukkan kepala untuk menghormati Sultan. Berbeda dengan sebelumnya, Sultan yang sekarang terlihat sedikit lega dengan kehadiran Zaganos Pasha, dengan tenang membuka dialog dengan Pasha mudanya. 

“hmm…mmm…Zaganos Pasha, sebelumnya angkat kepalamu,….” Jawab sultan.

“Sebagai komandan pasukan Yeŋiçeri, disiplin merupakan hal yang mutlak. Jadi, apa yang menghambatmu, Zaganos Pasha ?” Lanjut Sultan setelah Zaganos Pasha kembali menegakkan kepalanya. 

“Ada kabar baik Padishah ! Kami berhasil melacak keberadaan Şehzade  . Setelah sidang ini saya akan berangkat sendiri untuk menjemputnya. ” Jawab Zaganos dengan sumringah.

Sultan juga terlihat lega dan lebih tenang dengan kabar ini, begitu juga menteri, pasha dan pejabat kesultanan lainnya. Ini merupakan kejelasan yang mereka tunggu sepanjang minggu ini. 

“Zaganos Pasha ! Mohon jelaskan dengan lebih detail terkait kabar tersebut, termasuk bagaimana Anda akan menjemput Şehzade  .” Sahut seorang Pasha senior dalam sidang.

“Ya, paparkan dengan lebih detail terkait kabar ini, Zaganos Pasha!” Sahut Sultan.

“Baik, Sultan Aḥmed!” Jawab Zaganos.


“Gluk…gluk….gluk……ahhhhhh!” 

Seorang pemuda yang mengenakan pakaian pengelana menghabiskan persediaan air minum yang dia miliki dalam perjalanan melintasi gurun. Namun hal itu bukan masalah berarti karena dia tidak jauh sebuah kota oasis, dan berencana mengisi kembali persediaannya disitu.

“Wah kelihatannya sangat nikmat sekali!” Suara dari seorang gadis terdengar di dekatnya.

“Percuma, aku tidak bisa membagi ini kepadamu. Lagian juga kamu tidak membutuhkannya juga bukan ?” Sahut si pemuda.

“HMNNNNNNN!” Gerutu gadis itu dengan muka masam dan kesal di wajahnya.

“Aku tahu itu!! Tapi kamu sepertinya sangat puas menikmatinya! Aku jadi iri tahu!” Sahut gadis itu dengan muka cemberut. 

Sementara si pemuda itu hanya tersenyum dan tertawa kecil melihat tingkah laku gadis itu. 

“Kau tidak berubahnya ya ….” Gumam si pemuda. 

Perlahan senyuman si pemuda itu itu perlahan menjadi senyuman getir. Si gadis masih memalingkan pandangan ke si pemuda itu ketika ia mencoba untuk mengusap kepala si gadis tersebut, seperti yang biasa dia lakukan di masa lalu. Namun dia sadar satu hal, si pemuda itu tidak bisa menyentuh gadis tersebut. Senyum si pemuda itu berubah menjadi raut wajah kesedihan yang menunjukan penyesalan yang mendalam. 

Di mata si pemuda, dia memang berbicara dan mengobrol dengan seorang gadis, namun dimata orang lain, dia seperti orang yang berbicara sendiri. Hal itu karena gadis yang ada bersamanya sebenarnya merupakan arwah dari seseorang yang telah meninggal. 

Hanım Fatma Abdul-Qadir, Putri Bey Muhammad Abdul-Qadir, Bey Dulkadir.  Memerdekaan diri ketika Kesultanan mengalami kekosongan kekuasaan, kemerdekaannya kini terancam oleh kebangkitan kesultanan yang berusaha kembali mengintegrasi Beylik-Beylik yang memerdekakan diri. Terkenal sebagai diplomat ulung, Muhammad Abdul-Qadir sukses mempertahankan kemerdekaan Beylik dengan permainan diplomatik antara dua kesultanan besar di perbatasannya, Yaitu Kesultanan Salajakiyah di utara dan Kesultanan Mamalik di selatan. Ketika kudeta terjadi di Dulkadir, ia merupakan satu-satunya bekas wilayah kesultanan Salajakiyah yang belum berhasil direbut kembali oleh kesultanan. Meskipun semua pencapaian ini telah berakhir dengan kematian tragis Muhammad dan keluarganya dalam kudeta, termasuk Fatma. 

….

“Hanım hati-hati!” 

Seorang pelayan memberikan peringatan kepada seorang gadis cilik yang berlarian di sekitar Kastil Pegunungan di Manisa, Kesultanan Salajakiyah.

“Hahahahha, coba tangkap aku bibi!” Jawab si gadis cilik itu.

Kesal karena orang tua terlalu sibuk untuk menitipkannya di tempat asing tanpa persetujuannya, gadis bernama Hanım Fatma ini menjadi gadis nakal. Dia selalu melanggar aturan di kastil, membangkang dan tidak pernah menuruti pelayan atau yang ada di kastil. Padahal kastil itu terletak tebing tinggi dan curam di Pegunungan Banteng sehingga sangat berbahaya untuk berkeliaran . Dan benar saja, Hanım terpeleset dan terjatuh ke jurang. 

KYYYYAAAAAHHHHHHH!!

Dalam kondisi kritis itu, Hanım dapat hanya melihat puncak kastil yang terlihat semakin menjauh. Dia tidak berani untuk melihat ke bawah. Dia ketakutannya. Dia berharap ada seseorang yang mau menyelamatkannya. Namun itu tidak mungkin. Dia merupakan gadis yang nakal, semua orang pasti membencinya. Hanım menutup matanya, dia ketakutan untuk melihat bagaimana dia akan meregang nyawa akibat kecerobohannya. 

Tiba-tiba dia merasakan seseorang merangkul tubuhnya. Hanım terkejut dan penasaran, namun ia terlalu takut untuk membuka matanya. Setelah mengalami beberapa kali hentakan dan benturan, kehilangan kesadarannya. Hal terakhir dia ingat, ia kesulitan bernafas sebelum tidak sadarkan diri.

Ketika siuman , orang pertama yang terlihat di ada di hadapannya, adalah seorang anak laki-laki dengan wajah dengan tubuh yang basah kuyup dan penuh luka. Dia terlihat kelelahan, dengan bilah pedang yang patah di dekatnya. Tidak jauh dari tempat mereka, terdapat sungai yang kemungkinan menjadi tempat mereka mendarat, karena Hanım juga mendapati pakaiannya yang dia kenakan juga basah kuyup. 

“Hanım Fatma,….kamu baik-baik saja?” Tanya anak laki-laki itu.

Hanım menganggukkan kepalanya.

“Huh! Merepotkan sekali. Saya sedikit panik ketika mendapatimu tidak sadarkan diri ketika berhasil membawamu ke tepian sungai. Yah…..beruntungnya kamu hanya, Arrggrrhh….pingsan…saja.” Lanjut anak laki-laki itu ketika dia tanpa sengaja mengerang kesakitan ketika menganti sikap duduknya.

Melihat kondisi penolongnya yang memprihatinkan, Hanım tidak kuasa menahan air matanya, Dia menangis sesegukan. Menurutnya semua tidak akan berakhir seperti ini jika dia lebih patuh terhadap penjaga dan pelayan yang ada di kastil. Jika dia tidak tidak terlalu nakal dan keras kepala, mungkin anak laki-laki itu tidak akan terluka separah ini. 

Anak laki-laki itu dengan susah payah karena menahan nyeri karena luka disekujur tubuhnya, ketika dia berusaha untuk menenangkan Hanım dengan mengusap kepalanya.

“Sudah-sudah!…….. Ini bukan sepenuhnya salahmu kok! Lagi pula,….. kamu menjadi keras kepala karena ……kesepian selama tinggal disini bukan, Hanım ….Fatma?”

Tangisan Hanım seketika berhenti ketika anak laki-laki itu dengan halus mengusap kepalanya. Dan mendengar pertanyaan anak laki-laki itu, Hanım mengangguk ringan seraya mengusap air mata yang masih mengalir dengan deras dari sudut-sudut matanya.Sejak tinggal di kasti dan berpisah dari keluarganya, Hanım memang merasa sangat kesepian. 

Mendengar jawaban Hanım, anak laki-laki itu pun tersenyum seraya melanjutkan kalimatnya. 

“Kalau begitu, kamu mau jadi teman saya tidak selama disini?  Saya berjanji tidak akan membuatmu kesepian lagi selama kamu tinggal di kastil ini. Sebelumnya perkenalkan, Saya Altaïr. Salam kenal!”

Kata anak laki-laki itu sebari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Namun bukan jabat tangan yang diperoleh Altaïr, melainkan pelukan erat dari Hanım. Pelukan ini cukup erat hingga menekan luka-luka pada tubuh Altaïr dan mengakibatkannya mengerang kesakitan. Erangan cukup keras untuk membantu penjaga dan pelayan kastil menemukan posisi mereka. Kemudian Altaïr dan Hanım segera memperoleh pertolongan.

Sejak kejadian tersebut, hubungan antara Altaïr dan Hanım Fatma menjadi semakin erat. Mereka selalu bermain dan menghabiskan waktu bersama ketika memungkinkan. Hanım Fatma masih merupakan gadis nakal dan keras kepala, meskipun kehadiran Altaïr membantu pelayan atau penjaga kastil mengendalikan kenakalannya. 

Beberapa tahun kemudian, Altaïr harus pergi untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah Tinggi Levanṭīnīye. Hal ini menyebabkan intensitas pertemuan atau waktu mereka untuk menghabiskan waktu bersama semakin sedikit. Namun, kebersamaan mereka baru benar-benar berakhir ketika Hanım Fatma dipanggil pulang ke Dulkadir oleh ayahnya. Meskipun pada awalnya sangat berat bagi mereka untuk berpisah, namun mereka sudah cukup dewasa untuk menyadari posisi mereka masing-masing, sebagai bangsawan penting baik di Dulkadir maupun di Salajakiyah. 

Setelah Hanım beranjak dari Kastil di Manisa, Altaïr banyak menghabiskan waktunya di Levanṭīnīye untuk menuntut ilmu untuk mempersiapkan dirinya menjadi Padishah Salajakiyah selanjutnya. Sedangkan Bey Dulkadir memanggil kembali Hanım Fatma untuk membantunya memperkuat posisi politiknya di Dulkadir. 


Memimpin tentara tanpa izin Sultan, untuk menginvasi negara lain, merupakan sebuah pelanggaran tingkat tinggi, bahkan untuk Şehzade   sekalipun. Apapun alasannya, Şehzade   harus dibawa ke sidang militer istana untuk mempertanggungjawabkan tindakan untuk menggunakan angkatan perang tanpa izin. 

Sultan memutuskan untuk tentara yang berpartisipasi dalam invasi ke Dulkadir, mendapatkan pengampunan penuh karena mereka hanya mengikuti perintah dari atasan mereka, Şehzade   Altaïr. Namun dengan satu catatan, mereka tidak berusaha untuk menyembunyikan keberadaan Şehzade   dan bersedia untuk kooperatif dan membantu pencarian dengan tidak menyembunyikan informasi terkait keberadaan Şehzade  . Namun, tidak ada satupun berhasil melacak keberadaan Şehzade  , Kecuali badan intelijen dibawah pasukan Yeŋiçeri, yang bernama Beksiçeri. 

Badan intelijen Beksiçeri, secara akurat selalu berhasil melacak posisi mereka melalui agen-agennya yang cakap. Namun semua kesempatan, kemungkinan mereka gagal meneruskan informasi terkait posisinya. Semua agen Beksiçeri yang berhasil melacaknya selalu langsung dihabisi oleh Şehzade  , yang kebetulan selalu berhasil mengkonfrontasi mereka. Şehzade   menjadi brutal sejak kehilangan tunangannya dan menghabisi siapapun yang berusaha untuk menghalanginya ke Tanah Suci. 

Hanya satu agen Beksiçeri yang Altaïr ampuni nyawanya untuk banyak alasan, bahkan setelah agen tersebut berhasil menemukan posisinya. Altaïr sadar waktunya semakin terbatas. Dia harus secepatnya segera sampai di Tanah Suci. Hal ini membuatnya kesulitan untuk tidur dan terus terjaga malam hampir di sepanjang malam. 

Hal itu juga terjadi di kota oasis tempat dia dan arwah Hanım beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. Altaïr masih terjaga, untuk mengantisipasi kedatangan agen Beksiçeri yang mungkin datang menyergap setelah dia membiarkan salah satu agennya meloloskan diri.

“Altaïr…Kamu harus beristirahat! Kita sudah melakukan perjalanan panjang melintasi gurun seharian. Apakah kamu tidak kelelahan?” Tanya Hanım

“Hanım, saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan saya.” Jawab Altaïr

Altaïr mencoba beranjak dari posisi duduknya ketika, tiba-tiba kehilangan keseimbangannya dan hampir saja terjatuh. 

“Upss!” ucap Alitair

“Altaïr!!” Teriak yang setengah berlari mendekati Altaïr. 

Meskipun segera memperoleh kembali keseimbangannya, Altaïr yang tanpa sengaja menunjukkan batasan tubuhnya. Kejadian ini membuat kekhawatiran Hanım padanya mencapai puncaknya. Dia tidak mampu lagi berbohong kelelahan dan kondisi tubuhnya yang mulai menurun. 

“Aku sudah Bilang bukan!” Kata Hanım dengan setengah berteriak. 

“Ah… Hanım…ugh…. ini hanya….” Balas Altaïr yang mencoba mengelak. 

“Cukup! Cukup Altaïr! Berhenti mengelak!” Bentak Hanım.

Altaïr terkejut hingga membisu. Sedangkan mata Hanım mulai berkata-kaca dan nafasnya sesegukan karena mulai menangis. Hanım kemudian menundukkan kepalanya, dan meletakkan kedua tangannya di dada. Kemudian melempar pandangannya kembali ke Altaïr. Dia menunjukkan matanya berkaca-kaca, dan meneteskan air mata kecemasan. 

“Bukan kali ini saja kamu terjaga seperti ini! Hampir disetiap malam!  Bahkan…bahkan sebelum kamu memutuskan untuk membubarkan agen itu hidup, kamu…kamu…kamu tidak bisa tidur nyenyak bukan. Aku merasakannya….aku merasakan bagaimana mimpi buruk itu terus menghantuimu! Aku benar bukan!” Lanjut Hanım.

Altaïr hanya terdiam mendengar Hanım memarahinya. Sudah lama sekali sejak terakhir Hanım memarahinya. 

“Hey! Katakanlah sesuatu! Şehzade   Altaïr!” Teriak Hanım.

Altaïr masih terdiam. Namun tiba-tiba ekspresinya berubah, dan dia tidak mampu menahan gelak tawa. Hal ini membuat Hanım kebingungan. 

“Kenapa kamu malah tertawa! Kalau kamu meninggal karena kelelahan….aku…aku. ….akan ” Lanjut Hanım dengan terbata-bata.

“Bukannya dengan itu saya bisa menyusulmu, (bertindak seakan-akan mampu menyentuh pipi Hanım) menyentuhmu, dan terus berada disampingmu…., bukan? hehehehe…” Balas Altaïr dengan setengah tertawa. 

“Itu tidak lucu, Altaïr! Berhenti bercanda tentang kematian! Terutama kematianmu! Kamu tahu…..kamu tahukan…… kalau bukan karena karena kematian, kita bisa…kita bisaa….” Lanjut Hanım 

Dengan spontan, Altaïr, meletakkan jari telunjuk di bibir Hanım untuk meminta berhenti melanjutkan kalimatnya. Hanım tanpa sadar mengikuti keinginan Altaïr dan berhenti berbicara. 

“Fatma sayang, kematian merupakan ketetapan dari Dewa. Menyalahkannya berarti sama saja dengan menyalahkan Dewa. Hal tersebut tidak pantas bukan sebagai hambanya!” Kata Altaïr. 

“Fatma !?? Tapi…..ta—-tapi….” Kata Hanım dengan menahan tangisannya yang hampir pecah.

Al….ta….ïr…aku….” Lanjut Hanım dengan masih berusaha menahan tangisannya.

Wajah Hanım yang sudah dibasahi air mata sudah menunjukkan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi menahan luapan kesedihan dan kepedihan yang sudah dia tahan sepanjang perjalanan. Sedangkan dalam bayangan Altaïr, terbesit kilasan ingatan masa lalu tentang bagaimana Hanım menangis dihadapannya untuk hal yang sepele. Namun ketika dia melihat arwah Hanım kembali akan menangis di hadapannya, dengan tubuh remajanya, bukan anak-anak lagi seperti dimasa lalu, Altaïr tidak kuasa menahan hasratnya pada Fatma. 

Tanpa keraguan sedikitpun, Altaïr dengan dalam melakukan hal seperti halnya dia mencium Hanım Fatma dengan dalam. Namun, tidak sedikitpun kehangatan, kelembutan dan wangi bibirnya mampu Altaïr rasakan. Hanya dinginnya malam, kekosongan dan kehampaan yang dia rasakan. Meskipun demikian, Altaïr tetap melakukan nya seakan-akan dia benar-benar dapat merasakan Fatma di bibirnya. 

Hanım yang tinggal arwahnya saja saat ini tanpa sadar melupakan kesedihan dan kepedihan yang tadinya memenuhi hatinya. Dia tidak mampu merasakan apapun. Benar benar tidak mampu merasakan apapun, baik dingin, panas, dan kehangatan, apalagi aroma dari Altaïr. Dan tanpa sadar dia juga tenggelam dalam ilusi kepalsuan yang mungkin serupa, atau bahkan sama dengan yang ilusi yang kini menipu Altaïr. Mereka hanyut terlalu dalam, dan kepalsuan yang mereka lakukan menjadi nyata.

Altaïr mendorong Fatma hingga terbaring diatas atas kasur tempatnya beristirahat. Dia akhirnya dapat menyentuh Fatma dan merasakan kehangatan tubuhnya malam itu. Mata mereka terpaut, dan memperhatikan wajah Hanım yang dia cintai sejak kecil dengan seksama. Wajah Fatma memerah karena malu diperhatikan oleh Altaïr. 

Keduanya tidak sadar, sejak kapan mereka saling jatuh cinta satu sama lain. Perasaan ini mulai tumbuh sejak mereka tinggal Di Manisa, dan semakin kuat sejak mereka berpisah. Dengan semakin faksi pro-Mamalik di Dulkadir, sejak aneksasi Beylik Haramian, kekuatan politik di Bey Dulkadir perlahan melemah. Ancaman oposisi yang semakin menguat, serta Sultan Aḥmed yang mengkhawatirkan pengaruh Mamalik yang semakin, menyebabkan Bey Muhammad dari Dulkadir memutuskan menerima tawaran pertunangan putrinya dengan Şehzade   Salajakiyah. Hal ini awalnya sangat ditentang oleh Şehzade  , mengingat masih lemahnya kekuatan militer Sultan di wilayah itu sejak banyak tentara yang dialihkan ke Haramian. Şehzade   mengkhawatirkan pembalasan dari oposisi pro-Mamalik di Dulkadir yang terancam. Bahkan Şehzade   mengumpulkan tentara secara rahasia yang berada langsung dibawah komandonya untuk disiagakan di sekitar Dulkadir.  

Dan benar saja, kudeta berdarah terjadi di Dulkadir. Meskipun dengan semua persiapan yang telah dilakukan , Şehzade   gagal menyelamatkan nyawa Hanım. Penyesalan yang menghantuinya terus menjadi mimpi buruk baginya. Dan sejak itu pula, hubungan dengan ayahnya menjadi semakin renggang.

Malam itu, Altaïr semakin dalam mencumbu Fatma. Tangannya mulai menjadi liar dan menjamah bagian tubuh sensitif Fatma. Fatma pun berusaha menahan desahan erostisnya, meskipun hal itu justru membuat Altaïr semakin bergairah. Mereka benar-benar hanyut aliran hasrat satu sama lainnya. 

Namun semua itu berakhir ketiak ilusi kepalsuan pada akhirnya itu pecah. Altaïr sadar bahwa sebenarnya tidak pernah menyentuh Fatma selama ini. Sensasi kehangatan dan kelembuatan yang dirasakannya sebelumnya kini kembali menjadi dingin dan penuh kehampaan. Keduanya tersadar dari khayalan mereka masing-masing, yang kebetulan paralel. Mereka telah tersadar dari kepalsuan yang mereka ciptakan dan kembali ke dunia nyata.

Mata mereka saling bertemu, dan kedua secara bersalaman memalingkan wajahnya satu sama lain. Mereka sudah kembali sadar, dan merasakan sangat malu dengan apa yang hampir mereka lakukan sebelumnya. Dan ketika mata mereka sekali lagi saling menatap, keduanya sadar bahwa kebersamaan mereka akan segera berakhir, cepat atau lambat. Pada akhirnya, mereka dapat mengungkapkan perasaaan cinta masing-masing dengan formal, yang menjadi simbolisasi perasaan cinta masing-masing yans selama bertahun-tahun terpendam. Terpendam hingga kematian memisahkan mereka. Kemudian mereka menghabiskan waktu untuk saling memeluk bertindak seakan-akan saling memeluk satu sama lain.  

Setelah perjalanan melintasi gurun yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Qaba, Qaba, merupakan tempat yang dahulu digunakan persinggahan dalam Migrasi Suci. Di sini terdapat kuil suci yang disebut Kuil Persinggahan. Yang berarti sekarang kami telah tiba di Tanah Suci. Atau setidak wilayah yang secara administratif merupakan bagian dari Tanah Suci. 

Tanah Suci sendiri merupakan sumber dari kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Disini, terdapat Kuil Hitam Agung yang merupakan tempat paling suci dalam kepercayaan ini. Secara administratif, wilayah Tanah Suci daerah otonomi khusus yang dipimpin oleh seorang Sharīf, dibawah kekuasaan dan perlindungan dari Kesultanan Mamalik, rival utama Kesultanan Salajakiyah.

Setibanya di Qaba, Altaïr pada akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Bayangan penyergapan dari agen-agen Beksiçeri bahkan korp Yeŋiçeri masih menghantui pikirannya. Namun, setidak kini mereka sudah tiba di Tanah Suci, tujuan mereka telah tercapai. Mereka menghabiskan waktu selama 2 malam di Qaba, dengan Altaïr, pada akhirnya bisa tidur dengan nyenyak di malam hari. 

Sebagai arwah, Hanım tidak merasakan lelah, lapar, dan batasan kemanusiaan lain. Meskipun demikian dia sangat khawatir dengan kondisi yang dialami oleh Altaïr selama perjalanan yang selalu diliputi paranoia dan kecemasan. Sehingga Hanım sangat lega ketika pada akhirnya bisa menghabiskan malamnya dengan tenang. Meskipun ketenangan mereka tidak berlangsung lama.

Selepanya dari Qaba, mereka tiba-tiba disergap dan dikepung gerombolan penunggang kuda. Awalnya Altaïr berpikir bahwa penunggang kuda tersebut merupakan penyamun, meskipun sebenarnya tidak terpikir dalam benaknya ada penyamun yang berani merampok ziarawan yang sedang berada di Tanah Suci, kecuali orang yang benar-benar gila. Dan, benar saja, dari potongan baju zirah yang digunakan , serta wajah bertopeng yang tersibak dari jubah penunggang kuda tersebut, mereka merupakan korp Yeŋiçeri. Dan Hanım, meskipun merupakan arwah, namun ia tidak dapat menyembunyikan ketakutannya. Dia bertindak seakan-akan mampu menyentuh pundak Altaïr dan berusaha bersembunyi di balik punggungnya. Altaïr pun tanpa sadar bertindak seakan-akan dia berusaha menyembunyikan Hanım dibelakangnya. Meskipun, sebenarnya gimmick yang mereka lakukan sebenarnya tidak ada gunanya.  

Setelah turun dari kudanya, penunggang kuda tersebut membuka jubah dan menunjukkan diri mereka sebagai bagian korp Yeŋiçeri. Mereka Beksiçeri Altaïr tidak mampu memastikan, karena hampir tidak ada batasan atau perbedaaan antara keduanya. Lebih mengejutkan lagi, Altaïr menemukan salh satu dari mereka tidak atau mungkin baru saja melepas topengnya. 

Rambut panjang kemerahan yang berkilauan memantulkan teriknya matahari di Tanah Suci, kulit kaukasoid dengan banyak bekas luka disekitar wajah dengan bekas luka di pipi kiri yang paling menonjol. Dan bola mata biru terang yang dalam bayangan menatap cerah dan bersinar, namun kini menatapnya dengan dingin dan kosong. Altaïr sangat mengenalnya, jauh sebelum ia jatuh cinta dengan Hanım.

“Charlotte…..” Sahut Altaïr dengan sangat getir.

Charlotte, membacakan secara singkat surat penangkapan dengan cap kesultanan di dalamnya.  Charlotte berusaha untuk memalingkan wajahnya dan menghindari kontak mata dengan Şehzade  . Setelah menunjukkan cap kesultanan sebagai bukti legalitas dokumen, dia kemudian membacanya secara singkat isi surat tersebut.

“Şehzade   Altaïr Çelebi Salajakoğlu, Anda ditangkap atas tuduhan penyalahgunaan kekuatan dan menggunakan angkatan bersenjata tanpa izin! Saya harap Anda dapat bersikap kooperatif! Hai ini akan meringankan dalam persidangan.”

Dengan tatapan kosong dan penuh kehampaan, Charlotte membacakan surat perintah penangkapan dengan lantang dan terasa dingin tanpa emosi sama sekali. Sepertinya mereka mereka orang asing satu dengan lainnya. 

“Apa yang mereka lakukan kepadamu,….Charlotte? sahut Altaïr dengan nada sedih.

Charlotte, merupakan agen Beksiçeri terakhir yang berhasil melacak dan berusaha menangkap Altaïr (charlotte tidak bisa melihat Hanım). Dia gagal dan ketika Altaïr berusaha menghabisinya, identitasnya terbongkar lebih dahulu. Hal ini sangat mengejutkan bagi Altaïr. Dia tidak mungkin menghabisinya, karena dia adalah teman masa kecil yang sangat berharga baginya saat masih tinggal di Istana. Dia kemudian melarikan diri bersama Hanım sebelum charlotte kembali siuman. 

Hanım menatap Charlotte dan Altaïr dengan penuh kebingungan. Apakah mereka sebelumnya saling mengenal? Sedangkan di samping charlotte, seseorang bergerak mendekati Altaïr seraya membuka topeng dan menunjukkan topengnya. Dibalik topeng itu, tampak perawakan yang sangat familiar di mata Altaïr dan Hanım.

“(H)Tuan Zaganos Pasha-(A)Ah….., Lama tidak jumpa,…. Guru.”Ucap Altaïr dan Hanım dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Akhirnya setelah cukup lama, kami bisa melacak mu. Sebenarnya, Beksiçeri telah berkali-kali menemukan keberadaan, sayangnya Şehzade   selalu tidak membiarkan agen-agen tersebut untuk kembali hidup-hidup. Beruntung, kami memiliki dan mengutus dia (sambil menepuk pundak Charlotte). Aku rasa mencegahnya masuk harem istana merupakan keputusan yang….”

Zaganos memulai percakapan.

“Apa yang selama ini kamu lakukan terhadap Charlotte, Sialan !!? Anda mencuci otaknya bukan !?” Potong Şehzade   seraya menarik bilah pedang yang tersimpan di pinggangnya. 

Melihat Şehzade   menarik pedang, dengan refleks, semua pasukan Yeŋiçeri yang mengepungnya seketika juga menarik pedang dan memasang posisi siap bertarung, dalam waktu yang hampir bersama. Kecuali Zaganos, bahkan Charlotte bersama pasukan Yeŋiçeri lainnya mengacungkan pedangnya ke arah Şehzade  . Situasi pun menjadi panas dan tegang. Zaganos Pasha, dengan wajah yang nampak sedikit kecewa, berusaha untuk mencairkan situasi dan meredakan ketegangan.

“Sigh…, memang tidak ada cara lain ya ?” gerutu Zaganos

“Komandan, mundurlah.” bisik Charlotte sebari berusaha untuk melindunginya.

“Baiklah…. Cukup! Yeŋiçeri! Turunkan senjata kalian” Ucap Zaganos lantang sebari menepuk pundak Charlotte dengan keras. Cukup keras hingga Charlotte terkejut.

“KYYYAAAAAAHHHHH”

Pasukan Zaganos termasuk Charlotte perlahan menurunkan pedang yang sebelumnya mereka acungkan ke Şehzade  . Sedangkan Şehzade   sendiri masih mengacungkan bilah pedangnya ke Zaganos, sebelum akhirnya ikut menurunkannya. Ketegangan yang terjadi sebelumnya perlahan mereka. Sedangkan Zaganos, justru dengan memegang pedang di pinggangnya melanjutkan narasinya.

“Sebagai komandan, aku tidak ingin bertanggung jawab memulai pertumpahan darah. Terutama di Tanah Suci. Alasanku menyergapmu disini juga untuk meminimalisir pertumpahan darah yang mungkin terjadi saat penangkapan. Tapi, memang pada akhirnya…(perlahan menarik pedang dipinggangnya)…penangkapan memang mengharuskan pertumpahan darah, Şehzade  .” Ucap Zaganos.

Melihat Zaganos menarik pedangnya, Altaïr kembali mengacungkan pedang yang sebelum diturunkan, ke leher Zaganos. Dan Zaganos juga melakukan hal yang serupa. Mereka pun memasang sikap siap masing-masing untuk bertarung.

“Begini perjanjiannya! Kamu menang, kamu akan mendapatkan penangguhan penangkapan selama 10 hari. Aku menang, kamu harus menyerahkan diri! Setuju?” Cetus Zaganos.

“Terdengar tidak adil ?” Balas Şehzade  

“Saya harus mengalahkanmu hidup-hidup. Sedangkan kamu tidak. Apakah masih kurang adil ?” Lanjut Zaganos

“Sigh….! Baiklah! Aku terima!” Sahut Şehzade   dengan lantang. 

Untuk meminimalisir pertumpahan darah, Zaganos Pasha memutuskan untuk menantang Şehzade   dalam duel pedang. Tantangan ini diterima oleh Şehzade   Altaïr, berikut dengan aturannya. Selama duel, Zaganos menitipkan komando pasukan Yeŋiçeri kepada Charlotte. Meskipun meragukan keputusan komandannya, namun, Zaganos memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Zaganos tahu kehormatan dan kebanggaan dinasti Salajakoğlu yang mengalir di nadi Şehzade  . Zaganos yakin bahwa Şehzade   pasti akan mengikuti apapun hasil dari duel ini, dan tidak melanggar maupun melarikan diri. Mendengar penjelasan, membuat Charlotte teringat potongan kenangan masa kecilnya saat bersama Şehzade  . Hal ini tanpa sadar membuatnya matanya berkaca-kaca.

Sedangkan, Hanım, dengan penuh kecemasan berusaha menghentikan Şehzade   dari pertarungan dengan Zaganos. Dia sangat takut sesuatu terjadi terhadap Şehzade  . Hanım masih mengingat bagaimana, Şehzade   selalu gagal mengalahkan Zaganos selama latihan di Kastil Manisa. 

Namun ketika Hanım menatap mata Şehzade  , dia sadar betapa kuatnya pendiriannya saat ini. Seperti masa lalu, Hanım tidak memiliki kemampuan untuk menggoyahkannya. Şehzade   secara spontan bertindak seakan akan dia sedang mencium Hanım. Masih, dalam delusi tentang bagaimana kehangatan dan kelembutan yang dimiliki Hanım. 

“Saya mencintaimu, Fatma!” bisik Şehzade  

“Altaïr, aku juga….! Oleh karena itu, kembali dengan selamat! Urusan kita di tanah suci belum selesaikan di Tanah Suci, bukan ?” balas Hanım dengan mata berkaca-kaca.

“Saya berjanji, Fatma !” lanjut Şehzade  

Dengan berat hati, Hanım melepaskan Altaïr, yang kemudian maju untuk bertarung melawan Zaganos. Sebelum memulai pertarungan, Zaganos sempat membuka percakapan singkat sebelum duel.

“Sepertinya ada sesuatu yang perlu aku beritahu sebelum duel” Kata Zaganos Pasha

“Lakukan dengan cepat! Saya tidak punya banyak waktu untuk mendengar ceramah dari Anda.” Balas Altaïr

“Sigh…..!.Jadi, kamu tahu alasan mengapa kami tidak segera menyergapmu ketika kami sebenarnya telah berhasil melacak lokasi mu? Itu karena Charlotte masih mencemaskan kondisi pada saat itu. Gadis itu tidak ingin menyergap orang yang kurang tidur, makan, dan kelelahan. Kami akhirnya membiarkan kamu dapat beristirahat di Qaba, dan baru menyergapmu dalam kondisi prima. Dia sepertinya masih sedikit mencemaskanmu” Jelas Zaganos.

“Aneh sekali. Logikanya harusnya anda menyergap seseorang tidak dalam kondisi fitnya bukan ?.” Sahut Altaïr.

Dan dengan demikian, Duel perang antara guru dan muridnya dimulai. Meskipun bukan merupakan keharusan, tetapi semua yang menonton duel ini sadar bahwa duel ini baru akan berakhir jika salah satu dari mereka terbunuh. Bahkan Zaganos yang sebenarnya harus menangkap Şehzade   hidup-hidup memancarkan aura untuk membunuh yang sama kuatnya dengan Şehzade  , yang sedang terbakar amarah karena Charlotte.

Şehzade   memulai inisiatif serangan dengan beberapa serangan beruntun. Semua berhasil ditangkis dengan mudah oleh Zaganos. Setelah rentetan serangan Şehzade   berakhir, Zaganos membalas dengan serangkaian serangan teratur yang sulit ditangkis oleh Şehzade  . Rentetan serangan balasan ini perlahan membuka pertahan Şehzade   dan memungkinkan Zaganos melancarkan serangan mematikan secara langsung terhadap Şehzade  .

Şehzade   berhasil menghindari serangan tersebut, namun serangan tersebut ternyata berhasil menggores bahu kiri Şehzade  , yang dia sadari dari robekan dan noda darah yang mengotori jubah yang Şehzade   dikenakan. Hal ini membuat Şehzade   terlihat sedikit panik. 

Memanfaatkan kebingungan lawannya, Zaganos mengambil inisiatif serangan. Rentetan serangan Zaganos mampu ditangkis oleh Şehzade  , namun hal itu membuat pertahanannya melonggar sebagaimana yang zaganos harapkan. Ketika pertahanannya terbuka , Şehzade   menangkis serangan dengan kekuatan yang berlebihan. Hal mengganggu ritme serangan Zaganos, yang membuatnya tidak mampu memanfaatkan cerah yang sudah susah payah dia ciptakan sebelumnya. Hal ini membuat kehilangan sedikit kekuatan untuk menangkis serangan kuat dari Şehzade  . Beruntungnya luka yang ditimbulkan tidak terlalu dalam karena Zaganos sempat membelokkan arah serangan. 

Meskipun memiliki keunggulan dalam teknik berpedang, namun zaganos kesulitan  untuk menangkis serangan Şehzade   yang masuk. Sedangkan Şehzade   hanya mengandalkan kekuatan kejut untuk mendobrak pertahanan Zaganos, karena tidak mampu mengimbangi teknik berpedangnya. Duel ini menjadi sangat berimbang. Tidak satupun pihak berhasil memanfaatkan keunggulan yang dimiliki untuk menekan lawannya. 

Sejam berlalu, setelah pertempuran pedang yang intens dengan jual beli serangan, dan saling memotong rentetan serangan masing-masing, serta melancarkan serangan balasan yang mematikan. Baik Şehzade   dan Zaganos sama-sama sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun belum ada satupun yang meraih keunggulan. Pada akhirnya, duel ini menjadi duel ketahanan, dimana Zaganos kurang diuntungkan dalam pertarungan semacam ini. Meskipun memiliki keuntungan karena menggunakan baju zirah di balik jubahnya, itu justru mengharuskan Zaganos harus secepatnya mengakhiri duel dengan melakukan serangan telak yang menentukan, sebelum tubuhnya tidak lagi cukup kuat melakukan serangan semacam itu. 

Sekali lagi, serangan demi serangan efektif dari Zaganos sukses membuka celah dalam pertahan Şehzade  . Dia berhasil menacing Şehzade   menggunakan serangan kuatnya ke tempat yang salah, membuatnya pertahanannya terbuka. Şehzade   bertindak cepat dengan menutup celah tersebut. Namun, hal itu membuat kehilangan kontrol terhadap bilah pedangnya, sehingga pedangnya terlempar cukup jauh. Melihat lawannya kehilangan senjatanya, Zaganos justru kehilangan fokus dan kesabarannya yang menjadi keunggulannya selama duel. Akibatnya, dia melakukan serangan yang terburu-buru. Dengan mudah serangannya terbaca dan mampu dihindari oleh Şehzade  . Dan Şehzade   tidak berhenti di situ.

Bencana dimulai ketika Şehzade   tanpa diduga memanfaatkan teknik gulat yang pernah dipelajarinya. Şehzade   menggenggam erat tangan Zaganos. Kemudian dia membanting Zaganos sebelah kiri dengan kekuatan yang luar biasa. Şehzade   membantingnya beberapa kali lagi, kekanan, kedepan, sebelum terakhir melemparnya ke belakang. Zaganos yang sedikit terkejut tidak mampu memberikan respons atau perlawanan yang berarti. Baju zirah yang digunakan Zaganos secara ironis memperparah dampak dari serangan tersebut. Perlu waktu beberapa detik sebelum zaganos mampu kembali bangkit setelah beberapa kali dibanting oleh Şehzade  . Sedangkan Şehzade   memanfaatkan kondisi lawannya untuk mengambil kembali bilah pedang yang terlempar sebelumnya. 

Dampak bantingan dari Şehzade   mengakibatkan kemampuan dan teknik berpedang Zaganos tidak sebaik sebelumnya. Meskipun mengambil inisiatif menyerang untuk menyembunyikannya, Şehzade   sangat merasakan kemampuan berpedang gurunya turun drastis semenjak membantingnya beberapa kali. Berusaha memanfaatkan momentum tersebut, Şehzade   berbalik mengambil inisiatif serangan. Rentetan serangan yang dilancarkan Şehzade   pada akhirnya berhasil membuka lebar pertahanan rapi yang dipertahankan oleh Zaganos sepanjang duel sebelumnya. Mengingat bahwa Zaganos menggunakan baju zirah Yeŋiçeri, Şehzade   memutuskan mengakhiri duel dengan menikam dada kiri Zaganos. 

Seketika, suasana hiruk-pikuk duel berubah menjadi tenang dan sunyi. Zaganos menjatuhkan bilah pedang yang digenggam dengan mantap sepanjang duel. Şehzade   merasakan darah Zaganos yang mengalir deras membasahi bilah pedang dan tangannya. Perlahan Şehzade   menarik bilah pedangnya, dan mengambil jarak dari Zaganos. Dia melihat luka tikaman yang terus mengeluarkan darah  di dada kiri Zaganos. Tangan kanan Zaganos menahan luka di dadanya, sedangkan tangan kirinya menahan mulutnya yang terus memuntahkan darah. Sedangkan Şehzade   berdiri dihadapannya seraya berusaha mengatur ritme nafasnya. 

Zaganos kemudian roboh berlutut,yang membuat Charlotte dan sebagian pasukan Yeŋiçeri di sekelilingnya berusaha menopang tubuhnya. Semua yang melihat kejadian itu sadar Zaganos yang sekarat itu sudah tidak tertolong lagi. Şehzade  , menahan dan menyembunyikan emosi yang dia rasakan saat itu. Setelah mengibaskan pedangnya, kemudian ia menyarungkan kembali pedang itu di pinggangnya. Şehzade   menghampiri Hanım yang sedang menangis melihat konklusi dari duel yang baru saja berakhir. 

Seolah-olah menepuk pundak Hanım, Şehzade   bertindak seakan-akan hendak menghiburnya. Kemudian Hanım merespons gimmick tersebut dengan memeluk Altaïr, dan menangis dalam pelukannya. sedangkan pasukan Yeŋiçeri di dekatnya membukakan jalan bagi Şehzade   untuk melanjutkan perjalanan. 

“Şehzade   Altaïr! Tunggu!” teriak Zaganos dengan sisa kekuatan yang masih dimilikinya. 

“Dia….gadis nakal itu……bersamamu….., bukan ? Urrgggh! ” Ucap Zaganos yang kembali muntah darah.

Şehzade   akhirnya sadar, selama ini, Zaganos, atau mungkin seluruh pasukannya menyadari gimmick yang selama ini dia lakukan dalam kepada Hanım, atau sikap yang menunjukan bahwa Şehzade   tidak sedang melakukan perjalanan sendirian.

“Sampaikan….urrggghh….salam….maafku…. Hanım….Fatma…. dari Dulkadir…Şeh….zade .” Kata Zaganos.

“Baiklah…guru! Dan…. Terima kasih atas untuk semuanya!” Sahut Şehzade .

Seakan tidak ingin melihat akhir hidup dari Zaganos, Şehzade   segera bergegas meninggalkan lokasi duel sebelumnya, dan melanjutkan perjalannya ke selatan, dengan tujuannya adalah Kuil Hitam Agung. Meskipun demikian, Şehzade   sempat sekali menengok kebelakang, dan mendapati air mata di wajah Charlotte yang sedang membantu menopang tubuh Zaganos. Şehzade   segera memalingkan kembali pandangannya ke depan, tanpa pernah sekalipun kembali menengok kebelakangnya lagi.


Tanah Suci, seperti namanya, merupakan tempat paling suci dalam Kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Sebagai saksi mata perjuangan awal yang beriku dalam penyebaran wahyu dan ajaran Dewa Yang Maha Satu, wilayah ini merupakan destinasi utama untuk ziarah religi. Semua penganut kepercayaan ini datang ke Tanah dari berbagai sudut dunia, untuk menjalani rangkaian ritual dogmatik  yang dipraktekkan dan dipertahankan sejak lebih dari 7 abad yang lalu. 

Pernah menjadi pusat kekuatan spiritual dan politik di masa lalu, kini Tanah Suci hanya menjadi pusat peribadatan dan spiritual para penganut kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Kini tanah suci secara bukanlah kekuasaan politik yang kuat apalagi Independen, setidaknya dalam nama. Sejak teokrasi, kekuatan politik yang berpusat di Tanah Suci tumbang, wilayah ini selalu jatuh di bawah perlindungan penguasa kuat dan religius yang terus berganti setiap waktunya. Bagi mereka, menguasai Tanah Suci merupakan suatu pencapaian yang paling prestisius yang mungkin penguasa dunia dapatkan dalam hidup, selain karena beberapa alasan duniawi untuk seperti lokasinya yang strategis sebagai pos perdagangan internasional. 

Meskipun selalu di bawah perlindungan penguasa dari luar, mereka lebih sering menjadi penguasa nominal saja, karena administrasi wilayah ini secara langsung kepada penguasa lokal , yang disebut Sharīf. Kekuasaan dan otonomi yang dimiliki oleh Sharīf Tanah Suci juga sangat dinamis, dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal ini bergantung kepada seberapa kuat kontrol penguasa pusat terhadap Sharīf. 

Penguasa Tanah Suci saat ini, Kesultanan Mamalik, secara administrasi menerapkan kontrol langsung terhadap Tanah Suci. Sharīf Tanah Suci merupakan utusan sekaligus perpanjangan tangan kekuasaan Sultan Mamalik di Tanah Suci. Namun dalam prakteknya, terkadang Sharīf ini memerintah layaknya penguasaan bawah, setara amir atau bey. Hal ini terkadang terjadi karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, dan pergolakan politik yang melemahkan kontrol pusat terhadap Sharīf yang berkuasa di Tanah Suci.

Namun demikian, Ketika Sultan Muzaffar Al-Ikhwan Burj berhasil menuntaskan pergolakan politik di Mamalik, ketika Şehzade  tiba di Tanah Suci, dia mendapati dirinya mampu bergerak lebih leluasa dibandingkan saat wilayah kekuasaan Mamalik lainnya. Sharīf di sana lebih seperti penjaga ketertiban umum daripada pejabat Kesultanan Mamalik. Hal ini diperparah dengan renggangnya hubungan Sharīf dengan Sultan yang berkuasa saat ini . Lemahnya kontrol Mamalik di Tanah Suci juga memungkinkan pasukan asing seperti Yeŋiçeri atau Beksiçeri dari Salajakiyah mampu beroperasi dengan bebas dan bertindak di luar wilayah yuridiksinya. Dan selama mereka tidak menggangu ziarawan dan ketertiban umum di Tanah Suci, Sharīf dan otoritas Tanah Suci tidak akan bertindak.  Hal itu pula yang mungkin menjadi alasan Zaganos baru bisa menyergapnya setelah memasuki wilayah Tanah Suci.

Ziarah ke Tanah Suci sendiri merupakan sebuah ibadah yang wajib dijalankan bagi setiap individu yang beriman kepada Dewa YMS. Dia akan berdosa jika mampu untuk melakukannya, namun memilih untuk mengabaikannya. Banyak rumor dan keajaiban yang dapat terjadi disini, mulai dari mata air suci yang tidak ada habisnya hingga rumor pasangan yang berziarah bersama akan bersama selamanya jika mereka memohon demikian kepada Dewa (Meskipun permohonan kepada Dewa lebih sering terkabul selama menjalani ibadah ziarah).

Pergi untuk berziarah bersama orang-orang yang dia sayangi merupakan hal yang sangat dia inginkan sedari kecil, agar permohonannya untuk bisa hidup bersama Şehzade  selamanya bisa terkabul. Keinginan sederhana yang tidak pernah tercapai, karena banyak hal, hingga kematian menjemputnya. Hal yangg mungkin menyebabkannya enggan untuk meninggalkan dunia dan melanjutkan perjalanan ke kehidupan setelah kematian. Şehzade  menuntunnya ke Tanah Suci dengan tujuan selain untuk mengabulkan keinginannya, juga untuk membuat Hanım bisa melanjutkan perjalan ke kehidupan setelah kematian, menyusul kedua orang tuanya. 

Namun sebenarnya, Şehzade  memiliki harapan tersendiri. Dia ingin memohon kepada dewa untuk dapat kembali lagi hidup bersama dengan Hanım. Şehzade  yakin bahwa permohonan selama ziarah ke Tanah Suci akan terkabul. Entah seberapa tidak masuk akalnya permohonannya itu, seperti menghidupkan orang mati. Untuk memenuhi harapan itu. bahkan Şehzade  rela untuk menentang ayahnya, menyalahgunakan wewenang dan melarikan diri dari tanggung jawab, menjadi buronan, dan pada akhirnya membunuh guru dan bawahan favorit ayahnya, Zaganos Pasha, hanya karena Zaganos berusaha menghalangi  perjalanannya ke Tanah Suci. Meskipun demikian, ia tidak menyesal sama sekali. Şehzade  sangat mencintai Hanım, dan dia akan rela melakukan apapun jika memang ada secercah harapan untuk dapat kembali bersama Hanım.

Akan tetapi, perlahan Şehzade  melihat bahwa dirinya semakin sulit melihat keberadaan Hanım. Arwah Hanım menjadi semakin pudar setelah mereka memasuki tanah suci. Hal ini semakin kentara ketika mereka sudah semakin dekat dengan Kuil Hitam Agung. Selain semakin, sulit untuk dirasakan keberadaannya, Arwah Hanım juga hampir tidak terlihat lagi dalam pandangan nya. Arwahnya semakin transparan, seakan menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini baru terjadi sejak keduanya tiba di Tanah Suci, dan Şehzade  baru saja menyadarinya. Şehzade  mengambil kesimpulan bahwa semakin melemahnya keberadaan Hanım berkorelasi dengan keberadaan mereka di Tanah Suci itu Sendiri.

Sebelum Hanım benar benar lenyap, Şehzade  menghenikan perjalanan mereka ke Kuil, dan meminta pendapat Hanım terkait keanehan yang terjadi. Hanım sedikit tertegun, dan membatu beberapa saat. Kemudian dia menundukkan kepalanya.

“Sepertinya….tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi dari Altaïr” Kata Hanım.

Hanım dengan berat hati mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi ketika kudeta berdarah terjadi di Dulkadir. Kenyataan bahwa bukan keinginan atau harapannya yang sangat kuat untuk berziarah atau menghabiskan waktu lebih lama bersama Şehzade  yang sebenarnya menyebabkannya terjebak dan tidak bisa melanjutkan ke kehidupan setelah kematian. Melainkan apa yang terjadi menjelang kematian Hanımlah yang menyebabkannya tertahan menjadi arwah gentayangan. 

Ketika kudeta berdarah terjadi, penjaga istana pro-Mamalik yang telah bekerja sama dengan konspirator bertarung dan menghabisi penjaga istana yang loyal. Penjaga loyal yang lebih sedikit dengan cepat di babat habis. Bey Muhammad bertarung bersama penjaga-penjaga loyal yang masih tersisah untuk melindungi wanita dan anak-anak yang ada di dalam istana. Setelah bertarung dengan gigih dan heroik, Bey Muhammad terbunuh dengan kepala yang terpenggal serta belasan anak panah tertancap di tubuhnya. Di meninggal bersama orang-orang yang masih loyal padanya hingga akhir. 

Sedangkan wanita dan anak-anak di istana yang dipimpin oleh Hanım Fatma melarikan diri dari Istana Marasha melalui jalan rahasia menuju Kayseıri. Rencananya mereka akan meminta suaka ke Salajakiyah  dengan bantuan langsung dari Şehzade  Altaïr Celebi Salajakoğlu yang kebetulan sedang berada di sana. Namun usaha mereka gagal, karena seorang konspirator mengetahui tentang rencana tersebut, termasuk jalan rahasia yang mereka gunakan. Konspirator Pro-Mamalik itu mencegat mereka di pintu keluar jalan rahasia. Hanım Fatma bersama beberapa pelayan yang mampu bertarung melawan para pencegat tersebut, dan memberikan kesempatan untuk beberapa dari mereka melarikan diri. 

Seperti ayahnya, Muhammad, Hanım Fatma bertarung tidak kalah heroik. Berbekal kemampuan berpedang yang dipelajari selama di Manisa, Hanım bahkan berhasil mengalahkan seorang pencegat tersebut. Namun keadaan tiba-tiba berbalik ketika pasukan pro-mamalik datang membantu para pencegat. Hanım dan sekutunya terdesak. Satu-persatu pelayan dan penjaga setia yang selalu berada di sininya jatuh satu-persatu. Melihat orang-orang yang peduli dengannya terbunuh satu-persatu membuat Hanım tidak mampu menahan emosinya. Dia bertarung tanpa arah dengan serangan yang hanya dipenuhi kemarahan, tanpa arti. 

Gadis tidak berdaya itu dipermainkan oleh para konspirator. Dengan membunuh dan menyiksa orang-orang yang sebelumnya bertarung bersamanya, Hanım semakin jatuh dalam keputusasaan. Hanım masih berusaha bertarung meskipun dia tahu itu sia-sia. Dan serangan balik dari para konspirator tersebut membuatnya semakin tidak berdaya. Dengan luka di sekujur tubuh, pakaian penuh robekan, dan pertarungan tanpa peluang untuk menang bahkan melarikan diri, masih ada asa dan harapan di matanya. Harapan bahwa Şehzade  Altaïr, orang yang paling dia cintai, akan datang dan menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan orang-orang yang peduli padanya. Seperti halnya pangeran berkuda putih, atau pahlawan kesiangan yang datang menyelamatkannya di saat terakhir. Namun keajaiban itu tidak pernah terjadi.

Waktu berlalu, harapan itu semakin meredup. Begitu juga semangatnya untuk terus bertarung. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada keajaiban. Kepala Hanım mulai pusing karena telah kehilangan cukup banyak darah. Keseimbangannya mulai kacau. Hanım mulai kesulitan untuk berdiri, bahkan untuk bertarung. Sedangkan konspirator pro-Mamalik yang menjadi lawannya berusaha untuk melemahkan resolusi bertarungnya, dan menangkapnya hidup-hidup. Mereka masih membutuhkan untuk Hanım Fatma tetap hidup dan menuruti kehendak mereka.

Untuk itu, mereka terus berusaha untuk membuatnya menderita hingga menyerah. Mulai dari membunuh pelayan dan penjaga yang sekarat di depan matanya, mempermainkan jasadnya jika telah terbunuh, bahkan memamerkan kepala anak kecil yang terpenggal (bagian dari kelompok yang mencoba melarikan diri ke   Kayseıri). Namun tindakan kejam tersebut bukannya membuat Hanım menyerah karena putus asa, namun membuatnya semakin marah dan terus mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh konspirator tersebut. Semangat Hanım untuk bertarung semakin tinggi, akan tetapi kondisi fisiknya semakin lemah, hampir tidak mampu bertarung lagi. Meskipun demikian, Hanım sempat melancarkan serangan fatal yang melukai lawannya, membuatnya hampir terbunuh.

Pencegat itu akhirnya sadar bahwa usaha mereka untuk menjinakkan Hanım sia-sia. Meskipun berhasil pada akhirnya, nyawa Hanım sendiri mungkin tidak tertolong lagi. Mereka memutuskan untuk menghabisi nyawa Hanım dan menggunakan kepalanya sebagai peringatan di pintu gerbang Marasha. Dipercayakan beberapa orang untuk tugas ini, sedangkan yang lain beranjak untuk mengurus pemindahan kekuasaan.

Hanım Fatma yang hanya hampir tidak mampu lagi berdiri, hanya mengayun-ayunkan pedangnya tanpa arah. Salah satu eksekutor memotong tangannya, membuat pedang Hanım terlepas. Eksekutor yang lain menebas punggungnya dan membuatnya tidak berdaya. Namun bukannya langsung mengeksekusi Hanım dengan memenggal kepalanya, ketiga eksekutor tersebut justru tega menghancurkan kehormatan gadis yang tidak berdaya tersebut dengan memperkosanya bergiliran. Mereka memotong sisa tangan dan kaki yang gadis tersebut ketika mencoba melawan, hingga dia tidak mampu memberikan perlawanan lagi.

Rasa sakit baik secara fisik maupun mental yang dialami Hanım selama penyiksaan membuat pikirannya melayang. Tanpa sadar, gadis sekarat itu membayangkan orang yang memperkosanya itu sebagai orang yang dicintainya, yaitu Şehzade  Altaïr. Hal itu sedikit mengobati luka psikis yang gadis itu alami sepanjang penyiksaan. Hanım akhirnya bisa bermesraan dengan orang yang dicintainya, meskipun hanya dalam khayalan. Hal ini membuatnya memperoleh sedikit ketenangan batin, hingga pada akhirnya bisa menjemput maut dengan senyuman kebahagian yang terasa sangat tragis. Ketika gadis malang itu sudah tidak bernyawa lagi, eksekutor yang memperkosanya bergiliran itu memenggal kepalanya, dan melapor ke atasan mereka, dengan, perasaan yang sangat puas. 

Mendengar kabar tersebut, Şehzade  jauh berlutut. Matanya berkaca-kaca dan air mata terus mengalir di pipinya. Şehzade  menangis dengan erangan yang sangat menyedihkan. Arwah Hanım berusaha untuk menenangkan, namun usahanya sia-sia karena keberadaan. Karena waktu yang dimilikinya sudah tidak banyak lagi, Hanım memutuskan untuk bertindak seakan-akan memeluk Şehzade  untuk membuatnya sadar akan keberadaannya saat ini. 

“Terimakasih untuk semuanya…..Altaïr!” bisik Fatma. 

Dengan membisikkan terima kasih di telinga  Altaïr sebelum sepenuhnya menghilang, tepat di depan mata Şehzade  sendiri. Altaïr sadar keberadaan Fatma yang tadinya dirasakan, kini menghilang. Merasakan kehilangan sesuatu yang sangat penting baginya, secara tiba-tiba di depan matanya, Altaïr mengalami serangan mental yang hebat. Dia berusaha dengan penuh kesia-siaan meraba sekitar, dan berusaha memanggil-manggil Fatma. Dia terus-menerus melakukannya sehingga dianggap sebagai orang gila dan diamankan oleh otoritas Tanah Suci. Dia menolak dan melawan penangkapan otoritas, sekali lagi karena masih harus mencari keberadaan Hanım. Hal ini membuat otoritas tidak sengaja menggunakan kekerasan untuk membuat Altaïr dapat ditangkap dan ditertibkan oleh otoritas. 

….

Pikirannya kembali ke momen dimana Şehzade  kehilangan sosok yang dia cintai. Beberapa orang yang melarikan diri ke Kayseıri, kebanyakan berhasil ditangkap dan dijadikan budak sebagai balasan akibat perlawanan mereka. Sedangkan sebagian dari mereka yang terus memberontak pada akhirnya dipenggal. Yang berhasil sampai di Kayseıri, hanya sebagian kecil, dan mereka benar-benar sangat beruntung.

Kabar ini dengan cepat sampai di telinga Şehzade . Berita yang direspon dengan sangat cepat. Pasukan yang disediakan dengan cepat dikumpulkan dan bisa berangkat dari Kayseıri dalam hanya dengan semalam persiapan. Pasukan ini bergerak dengan sangat cepat ke Marasha. Sangat cepatnya, hingga para konspirator tersebut bahkan belum sempat mengonsolidasikan kekuasaannya di Dulkadir. Pertempuran singkat di perbatasan berakhir bencana. Dan Kota Marasha ditinggalkan begitu saja tanpa perlawanan. Mereka memutuskan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka di Malayata, seraya memohon bantuan kepada Mamalik melalui seorang utusan. 

Marasha jatuh ke tangan Şehzade  tanpa perlawanan berarti. Namun, dia hadapan pada pemandangan yang sangat menyakitkan. Di Gerbang Depan Marasha, beberapa bendera Dulkadir yang bersanding dengan bendera Mamalik, berkibar dengan kepala yang terpenggal di puncaknya. Mereka adalah kepala Bey dan keluarganya yang dipropagandakan sebagai pengkhianat yang menjual kemerdekaan Dulkadir kepada Salajakiyah. Salah satu kepala di puncak bendera itu, dengan rambut panjang terurai yang menari karena hembusan angin. Wajah dan rambutnya, dihiasi noda darah, yang masih tidak tidak mampu membuat kecantikan alaminya pudar. Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Şehzade  melihat kecantikan yang memikatnya dari kejauhan. Ketika Şehzade  melihat itu, dia merasa semua telah berakhir, dan usahanya yang terlambat sia-sia. Şehzade  kehilangan orang yang dicintainya.

Waktu berlalu. Pemakaman keluarga Bey dilakukan dengan prosesi singkat. Malayata jatuh dengan pengepungan singkat. Pemerintahan pro-Mamalik ini tidak mampu memberikan perlawanan terorganisir, dan desersi pasukan Dulkadir menjadi hal umum. Keruntuhan pemerintahan pro-Mamalik terjadi dalam waktu yang luar biasa singkat. Dan Kesultanan Mamalik tidak bisa membantu banyak akibat terjebak masalah internal. Meskipun meraih kemenangan yang luar biasa, hal itu seakan tidak berarti dan tanpa makna bagi Şehzade . Semua terasa hampa di pusat kekuasaan barunya di Malayata, hingga dia bertemu dengan arwah Hanım yang gentayangan.

….

Perlu waktu beberapa lama hingga kewarasan Şehzade  pulih. Şehzade  mendapatkan langsung bimbingan spiritual khusus dari Sharīf Tanah Suci, hingga pada akhirnya bisa menerima kepergian Hanım Fatma. Dan berdasarkan keterangan dari Sharīf, yang juga kepala kuil utama setara dengan pendeta tertinggi,  jiwa bisa tertahan dan menjadi arwah gentayangan jika melakukan hal yang tidak suci sebelum kematiannya. Dan untuk mensucikan arwahnya, dia perlu pergi ke Tanah Suci dengan permohonan untuk mensucikan diri. Tergantung seberapa kuat dan tulus permohonan dari si arwah terhadap Dewa YMS, bahkan sebelum ritual dan peribatanpun, arwah tersebut akan tersucikan dan dapat melanjutkan perjalanannya ke alam setelah kematiannya. Sharīf memilih waktu yang tepat untuk memberikan informasi ini, sehingga Şehzade  bisa lebih menerima kabar tersebut dengan penuh kesabaran. 

Waktu yang dihabiskan Şehzade untuk pemulihan spiritual hingga kembali stabil mungkin cukup. Ketika Şehzade  bertemu dengan Sharīf di keesokan harinya, beliau bersama pasukan Yeŋiçeri, yang hendak menangkapnya. Meskipun awalnya cukup terkejut, namun Şehzade  segera bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Berdasarkan kedekatan ajaran Bestasiyah di Yeŋiçeri dan  aliran Keimaman lokal, Şehzade  sudah menduga hal ini akan terjadi. Menghargai janjinya setelah duel maut dengan Zaganos, Şehzade  menyerahkan diri tanpa perlawanan lebih lanjut. 


Setelah menyerahkan dirinya kepada pasukan Yeŋiçeri yang kini berada di bawah komando Charlotte, kabar tidak menyenangkan datang dari Kesultanan Mamalik. Sultan Muzaffar Al-Ikhwan Burj, pada akhirnya berhasil mengatasi persoalan internal di Mamalik. Al-Ikhwan kini mengalihkan perhatiannya ke Dulkadir.

Persoalan internal selama ini menjadi hambatan bagi Mamalik dalam merespons perkembangan eksternal, termasuk kudeta pro-Mamalik yang terjadi di Dulkadir. Hal ini menyebabkan Pasukan Salajakiyah dibawah komando Şehzade   bertindak lebih cepat, dan mengambil alih pusat kekuasan. Pasukan ini juga mengisi kekosongan kekuasaan dengan mendirikan pemerintahan militer dengan pusat kekuasaan di Benteng Malayata.

Berdasarkan informasi yang didapat dari Beksiçeri, Al-Ikhwan sedang merencanakan invasi ke Dulkadir dengan target utamanya adalah Benteng Malayata, pusat kekuasaan pasukan Şehzade. Merespons informasi ini, Şehzade   meminta Charlotte untuk mengizinkannya kembali memimpin pasukannya di Dulkadir untuk mempersiapkan kemungkinan Invasi dari Kesultanan Mamluk. Pada awalnya, Charlotte yang tidak mengizinkannya. Namun, Şehzade   berhasil membujuk Charlotte untuk mengizinkannya kembali ke pasukannya di Malayata.

Memanfaatkan kesempatan yang diperolehnya dengan baik, Şehzade dengan cepat memantapkan dirinya sebagai penguasa de facto di Dulkadir, dari pusat kekuasaannya di Malayata. Dengan posisinya saat ini, Şehzade memutuskan untuk menghukum mati semua kolaborator pro-Mamalik , dan melakukan eksekusi publik di Malayata. Mereka semua di eksekusi dengan tuhan berkolaborasi dengan kekuasaan asing,dan menggulingkan penguasa yang sah dengan kekerasan.

Belum cukup puas dengan eksekusi publik, Şehzade juga memanjang kepala dan sisa tubuh dari para konspirator itu di dinding Benteng Malayata. Hal ini direspons langsung oleh Al-Ikhwan dengan membuat pengakuan diplomatik terhadap pemerintahan pro-Mamalik di Dulkadir, meskipun sebenarnya sudah tidak ada lagi. Untuk mendukung pemerintahan yang mereka anggap sah tersebut, Mamalik memutuskan untuk ‘membebaskan’ Dulkadir dari angkatan bersenjata asing yang menumbangkan ‘pemerintahan yang sah’ dengan kekerasan. Dan dengan ini, Kesultanan Mamalik dengan resmi menyatakan perang terhadap Kesultanan Salajakiyah.  

Melihat perkembangan yang tidak terkendali di Dulkadir, Charlotte melaporkan kejadian ini langsung ke Sultan Aḥmed. Pecahnya perang dengan Mamalik, tindakan Şehzade   selama Dulkadir, dan kematian bawahan favoritnya ditangan Şehzade, membuat kesabaran Sultan Aḥmed habis. Sultan menghancurkan gagang tongkatnya hanya dengan kekuatan genggaman tangannya karena menahan amarah ketika mendengar semua perkembangan yang terjadi di Selatan.

Dia memutuskan untuk mengakhiri arogansi putranya dengan konfrontasi langsung. Sultan Aḥmed bergerak ke selatan dengan membawa pasukan besar dari Levanṭīnīye, termasuk sebagian besar pasukan elit Yeŋiçeri yang berada dibawah komando langsung Sultan.  Sementara  Şehzade Altaïr, tetap terlihat tenang menghadapi invasi dari Mamalik dari selatan dan konfrontasi ayahnya yang datang dari utara ketika Charlotte menghampirinya di Malayata.

“Menyerahlah, Şehzade! Hentikan semua kegilaan ini!” Bentak Charlotte.

“Semuanya masih sesuai rencana. Situasi ini masih dalam kendali. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Selain itu, terima kasih karena dengan segera menghubungi ayahku terkait perkembangan yang terjadi di sini.” jawab Şehzade.

“Apakah kamu tidak takut akan terbunuh karena perkembangan ini?” Lanjut Charlotte dengan nada cemas

“Saya hanya mencari cara untuk menyalurkan kemarahanku. Karena, saya tidak tahu kemana harus membalas dendam! Kalaupun harus terbunuh karena ini, saya tidak peduli lagi” Jawab Altaïr. 

Charlotte secara refleks mendekati Altaïr, dan menyentuhnya jika memungkin. Namun Charlotte segera membatalkannya, kemudian memalingkan diri. Tidak ada kesempatan baginya untuk membujuk Şehzade mundur. Sebelum meninggalkan Şehzade   sendirian di tenda kerjanya, Charlotte tiba-tiba berhenti di pintu tenda dan menoleh kebelakang . Şehzade   yang menyadari ini juga menoleh ke belakang, dan secara kebetulan mata bertemu. Waktu yang serasa membeku bagi Charlotte dan Şehzade  . Kenangan masa kecil keduanya terlintas di pikiran masing-masing. Masa lalu yang indah, dan telah mati. 

Secara refleks, Charlotte kembali memalingkan wajahnya. Matanya berkaca-kaca akibat kilasan masa kecilnya bersama Şehzade  . 

“Şehzade  , mungkin Anda tidak menyadarinya. Namun, masih banyak orang yang membutuhkanmu, dan peduli padamu. Jadi, jangan menjual nyawamu terlalu murah!” Kata Charlotte 

Charlotte bergegas meninggalkan tenda kerja Şehzade  . Sedangkan Şehzade   perlahan berhenti menatap Charlotte yang setengah berlari meninggalkan tendanya, seraya menyeka matanya.  Ia kembali menatap peta di meja kerjanya. Redemption

“Jika saja saya dapat bertindak lebih cepat dulu…” gumam Şehzade  .

Pasukan Al-Ikhwan memasuki Dulkadir, bersamaan dengan kedatangan pasukan Sultan Aḥmed. Kabar ini mengejutkan kedua belah pihak. Al-Ikhwan mengira dia hanya akan menghadapi pasukan Şehzade  , dan tidak mengantisipasi bala bantuan yang datang dari Sultan Aḥmed. Menghadapi pasukan Aḥmed yang lebih besar, Al-Ikhwan mundur teratur dari Dulkadir untuk menunggu bala bantuan lebih besar yang belum siap saat. Dan untuk menghambat Aḥmed, Al-Ikhwan melancarkan serangkaian serangan skala kecil 

Sedangkan pasukan Aḥmed yang tidak siap tempur menjadi korban dari serangkaian serangan skala kecil yang dilancarkan Mamalik. Mereka tidak menyangka akan bertemu pasukan Mamalik secepat ini. Akibatnya, banyak pasukannya yang terbunuh. Kekalahan yang terus menerus dialami oleh Sultan Aḥmed, menyebabkan moral pasukannya melemah. Kelemahan yang ditunjukan oleh pasukan Aḥmed ini bahkan menyebabkan Al-ikhwan membatalkan rencananya untuk mundur dari Dulkadir dan memutuskan untuk mengkonfrontasi pasukan Aḥmed yang menurutnya telah cukup dilemahkan.

Pertempuran ini terjadi Barat laut kota Marasha, yang kemudian dinamakan Pertempuran Marasha. Pada awalnya, Mamalik kalah jumlah mampu menekan pasukan Aḥmed sedemikian rupa hingga pasukan tersebut nyaris kolaps. Namun disiplin tinggi yang ditunjukkan korp elit Yeŋiçeri di posisi-posisi vital pasukannya, mencegah Al-Ikhwan mengamankan kemenangan cepat dalam pertempuran ini. Namun, serbuan kavaleri elit Mamalik membuat barisan Salajakiyah kalang kabut dan sebagian besar melarikan diri dari pertempuran. Sedangkan elemen-elemen korp elit Yeŋiçeri dengan gigih bertahan, dan mengalami kerugian yang signifikan. Meskipun  kondisi yang semakin memburuk, Aḥmed menolak untuk melarikan diri dari pertempuran. Kemenangan Mamalik sudah di depan mata, namun tiba-tiba pupus ketika pasukan Şehzade  dari Malayata datang di medan tempur dan menyerang pasukan Mamalik di bagian sayap kanan dan belakang. 

Seketika pasukan Mamalik langsung kolaps. Al-Ikhwan langsung melarikan diri, ketika Şehzade   tiba bersama pasukannya. Dia memasrahkan nasib pasukan kepada Sultan Aḥmed dan Şehzade   Altaïr. 

Pertempuran melawan musuh eksternal berakhir dengan singkat. Namun badai belum berakhir. Perseteruan antara ayah dan anak terkait kekuasaan masih belum mencapai titik terang. Perseteruan, yang bahkan menyebabkan invasi Kesultanan Mamalik, rival utama Salajakiyah terasa bagai angin lalu. 


Penulis: Narusaka

Cimon : The Beginning

Entry Writchal 1
Tema: Alternate history, Kaderisasi, Masjid Salman


Cimon : The Beginning

“hmnnnn…..”

A flash of light woke me up from a long dream. As my feet touch the floor, I feel the floor is not stable at all. I spent my night sleeping in a hanging bed at the passenger cabin. Just as I feel the surface, I realise that I was traveling on a ship for over 10 days before. So, I think this morning I could see my destination from the deck on the horizon.

After I wore a sufficient outfit, I rushed toward the ship ‘s deck. And then, my view was captivated by the beautiful scene of Suryan, Capital City of Civilized Monarch,The Center of the world, or The Mandala. According to my master, a former legion, or the regular army of the Civilized Monarch, or Cimon for short, Suryan was the most advanced, Crowded, and prosperous metropolitan in the world. Although I was always hearing if this was only in the shadow of its former fame and prosperity, it was still the greatest city I’ve ever seen. Or, it was because I had never seen the city at all. Nevertheless, the appearance of Suryan made me so excited.

After years of training with my master, my master thinks I have grown enough to see the world with my own eyes,and start my own journey of course. My master told me that he had transferred all of his knowledge to me . And now it was time for me to enrich that knowledge with my own life experience. That one , to be said. And then I decided the city of Suryan would be the place for me to start my own journey.

However, the voyage itself was not as smooth as I thought. After leaving my master’s estate , I’m going to the nearest port city from there. To earn enough cash to fund both my voyage to Suryan and my daily livelihood, I was working at this port as a hard labour. It was not a big deal for me. Even if I was a girl, I was blessed by an extraordinary strength, both in form of physical strength and spiritual strength. And, it was a bizarre view to see a girl doing hard labour like it was such an easy task to her. She was not even shown any sight of fatigue after doing such heavy labours. And after the day of work, in the evening, I also shared some of my earnings to my fellows, and I was quickly made a favor from them. After a brief time, finally I had sufficient cash to fund my voyage. Before my departure, my fellow port’s hard labours surprisingly held a farewell party for me. It made me so touched.

During the voyage, the storm hit our ship. Even the storm had spared us, but it made even my seasick worse. I wasn’t even moved from my cab, until finally I had overcome my seasickness. And after the days of my voyage, decorated by my seasickness, I reached my destination. The City of Suryan was before my eyes, and my own journey would start from there.

—————————————————————————————————–

I spent my daily life in Suryan peacefully, until I realised the dark side of Surya, and Cimon in general. Firstly, the taxation was absolutely inhuman. Taxation was even imposed on the hard laborers in the port like us. The taxation really took a tool from my fellows, and threw them even deeper in poverty. While the richman,

bureaucrat, clergy and even legions can bribe the tax collector to undermine their taxation. There is no law enforcement as many of the high-class dodged easily from the state’s law. When the weak had no power to do so. In short, the corruption of the CImon officials had reached a critical level.

Secondly, the discrimanition to non-citizen residents was so intense. They were not only being the treated as second-class people, they were also being exploited heavily, in terms of taxation and forced slavery. We , including myself, were the barbarian’s origin peoples, so of course we were second-class citizens in Suryan. The only reasons they were reluctant to do so, only was my physical appearance and power.

But, that day, for the first time, I felt so powerless. That was the day when I chased a certain thief. He wore a weird emerald scarff that covered his neck and shoulder. He was so agile, so even a veteran legion couldn’t caught him. Luckily, I had cornered him because I had blocked his escape passage. But when I fought him, I couldn’t fought him properly. Unconsciously, I was afraid to land a hit on him. He also was a good, experienced fighter. He read my moves, and took advantage of it. In the end of the fight, I was defeated by him. Then, he ran away.

Despite it not my first loss, the fact that I was hold myself in front of him made me so confused. Why I done that ? Why did I let him run away ? I wondered. As time flew by, my memory of him didn’t even faded. I couldn’t erased him from my mind. And everytime I thought about him, my heart beating faster. I didn’t knew why I became like this.

=========================================================

My curiosity about him made me look for more information about him. I even joined the legion for this purpose. Being the legion, the military backbone of the Cimon, wasn’t as easy as I thought. I was being indoctrinated to be loyal, only for the Civilized Monarch cause. But, as I knew the dark side of the Cimon, and the segregation of the human race on it, especially for my people, the Barbarians. So, this indoctrination did not raise my loyalty to the Civilized Monarch at all. Instead , it felt so disgusting for me.

My daily life at legion’s barrack, actually much better. My daily livelihood was guaranteed, and all I had to do was just doing soldier’s training. Sometimes, I was assigned to patroling or guarding taks. I also finally got the clue about the mysterious thief that made my heart slightly moved. He was also a former legion like my master. From the documents I had read, he was found in front of Saruman Temple, after being abandoned by his parents. Saruman Temple itself was a temple that was attached to the Cimon Legionaries Academy, in Highland. Highland itself had broken free from Cimon rule some decade before because of the ongoing turmoil that stirred up in the Civilized Monarch central power. Now, the Highlander had established an independent kingdom, The Salajar Kingdom.

He was adopted by Cimon officials and trained to be legion commanders. And for some reasons, after he graduated from the military academy, he joined the Salajar militaries instead of legions. And for some unknown reason, his scarf was similar to the scarf used by the old, centuries long Highlander’s insurgency

movement. They had fought against the Civilized Monarch authorities from the establishment of Sandarand Province in Highland, until the foundation of Salajar Kingdom. The Salajar Kingdom ruling dynasties also were descendants of Highlander Insurgency Movement leaders. So, this man has Highlander origins.

This fact made me wanted to Salajar to look for more information about that mysterious thief. But my duty as The Legions now didn’t permitted me to do that. So, maybe I would like to asked for resignation from The Legion. It may be difficult, but I would worked hard for it. Because, the whole reason why I joined The Legions was to looked for any information about that mysterious thief. But, reality sometimes didn’t worked as smoothly as I thought.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Suryan fell into chaos. Many places were under fire. Looting was done in every corner of the city. The situation was so dire, even the emperor and his family and the Cimon Government were evacuated from Suryan. I didn’t knew how it started. But, as The Legions, I must helped the Suryan’s civilians. With my raw powers, and of course the help from my fellow legionaries, we tried to put down the rioter, punished the looter, and protected the weak civilians like women and children. But that was not enough. The order in the City of Suryan was hard to be restored. We felt desperate. We felt so powerless to restored the order of the City. The City was too big, while our numbers were too small. That was because the bulk of the legion were diverted to guard the evacuation of the emperor, and his governmental courts.

“Fight with me, my brave legionaries! For the emperor! ” shout the legionaries commander.

Even though the situation was hopeless, my fellow legionaries were still on high morale. The commander was so skilled so he could kept the morale of his men high. An outstanding quality of the legion. This was the reason why the Civilized Monarch could once rule the world.

—————————————————————————————————–

When we reached the armories, it was still intact. When chaos ensued throughout Suryan, one-by-one, the warships and the armories, along with the army’s barn were blown up or burned. The process was planned so well, and it was perfectly covered by the chaos that broke out as diversion . There is the mastermind behind the explosion , along with the chaos. So, along with some legionaries, set up a plan to trapped the mastermind, or someone who is behind this chaos. When it was my turn to patrol around the armouries, I heard the screams and explosion sounds coming from armories. I rushed back to armories and found out my comrade was entirely slaughtered by who I looked for recently. That was the mysterious thief, with his remarkable highland scarff, and his torso lamellar plate armour, stained in the blood of my comrade. When the armouries were trusted to us, they were blasted and burned to the ground.

What a magnificent scene ! WhiIe has complicated feeling about this. Happy, sad, angry and furious, sorrowful, depressed, also amazed at the same time. I couldn’t even expressed it in any words.

“What you have done! Why did you do this! Why must the innocent people suffer, only because of your action!” I shouted to him.

“…..”

“Why do you keep silent! Please ! Give me the answer ! ! ”

“There is so much reason for me to do this.” He finally replied.

“Then just say it to me! NOW!” Shout me.

“I know…. what they had done to your people, the Highlander. They are also doing that to my people, the Barbarians. But that’s not the reason to make those innocent suffer, you know!” Said me in a high tone.

“Ahh… I can say, they aren’t purely innocent….You know, they must pay for their ignorance…” Said him lightly.

(Hand cracking noise)

“Yeah… I think our conversation was futile! So, Let’s our fists talk instead!” I said while furiously cracking my hands.

I swiftly shortened our distance, and made him fell under my punch range. I launched a barrage of punches on him. But, that wasn’t sufficient. He dodged all of my attacks. He instead managed to land some hits on me, with his throwing knives. I realised the direct approach just allowed him to score more hits on me, so I changed my approach. I attacked him with more indirect approach, like areal attack or using surrounding objects and environment as weapons.

But it backfired on me. He was really agile to catch up. And he could use the environment better to get advantage over me. I knew I was lost at our first engagement, but that was because I hadn’t prepared my heart before the fight. I suppressed my feelings for him, so I could fought him more properly this time. But, even though I had overcome my previous weakness, his battle prowess was still better than mine. He landed many hits on me with his throwing knives. However, i still managed to fight back, even after I was direly wounded.

My body was weakened. I barely managed to stand up and fought firmly, as before. My wound started to hold me back. I suspected he was planted something on his knives. Something that weakened my body.

“Hey, maybe this is the time for you to give up on me! I had planted deadly poison on my knives! Surender, and I will give you the antidote!” He said. “Cih….! You…… treat me……like…..some-one…..who……fear…. of….. death, huh? Fight …… me! Fairly,…….. fight…… me! I ….will …..give you…. the taste ….of my punch!” Replied me, weakly.

“What A stubborn girl! Ok, I will make you down!, surely this time” Replied him.

My consciousness faded away. I hardly couldn’t keep up my fighting stand. So, before I fell unconscious, I must landed a swift, and decisive blow to him. I only has one chance to do so.

I tried to lure him into the trap. I suffered another significant wound as result. But I finally could into the trap, without any prospect for dodging the attack.

“Taste this!!!” I shouted.

Everything was gone well, all according to my plan. When the victory was seen on the horizon, suddenly, everything became blank. My vision became dark. I didn’t realized, that i was fell unconscious before I managed to finish my finishing blow. I don’t knew anything happens after that.

___________________________________________________

Ah…. again i could cornered and defeated her. She was as tough as before. She even learned from her previous battle against me. She was a terrifying fighter indeed. If i didn’t realized her trap sooner, maybe she could defeated me this time.

“Surt! Are you okay ?” Said my teammate that was tasked to did another jobs. He also had finished his jobs.

“Yeah! I also captured these dangerous girls.” Replied me, while pointing to the girl.

“Good jobs, chief! That civilized bastard wouldn’t used this girl again after this.” Said my teammate.

“Of Course, she was too dangerous to became our enemies!” i replied.

Then I tied up and then picked up the girl and brought her to our headquarters. So, at least she will not be used again by the Cimon.

—————————————————————————————–


Penulis: Narusaka