Traitor’s Betrayals ( A Failed Holy War)

Entri Writchal #1

Tema: Hujan


Rumah sakit kesatria di Pulau Rhode dipenuhi oleh pasukan dan kesatria yang terluka setelah serangan ke Levanṭīnīye, atau disini lebih sering disebut sebagai Levantinopel. Jeritan dan erangan orang-orang malang di bangsal rumah sakit memenuhi seisi ruangan. Stok perban, pereda rasa sakit dan perlengkapan medis lain di rumah sakit sudah kritis, sehingga beberapa prajurit yang tidak tertolong lagi terpaksa diracuni sehingga penderitaan mereka segera berakhir. 

 

“Ahhhh” kelegaan dari prajurit yang sedari tadi mengerang kesakitan.

 

Seorang suster baru saja memberikan prajurit malang itu racun dengan dosis tinggi untuk mengakhiri penderitaannya

 

“Tenanglah, Pejuang Dewa yang Pemberani. Penderitaanmu akan segera berakhir. Sekarang , Anda bisa beristirahat dengan tenang.” Ucap suster tersebut dengan penuh kelembutan

 

“Kaaammmuu, apakah Anda itu …….Bunda ? Apakah ……anda datang …untuk ….langsung menjemputku,….. Bunda ?” Balas prajurit sekarat itu dengan lemah.

 

Awalnya suster tersebut cukup terkejut karena disamakan dengan salah satu dewi tertinggi. Namun dengan tenang suster tersebut memainkan perannya dan berusaha membimbing akhir hidup prajurit sekarat tersebut. 

 

“Ya, anakku! Aku di sini! Perjuangan dan keberanianmu untuk menegakkan ajaran dewa tiada tandingannya! Sekarang kamu telah membuktikan pengabdianmu kepada dewa, jadi beristirahatlah anakku! Genggam tanganku, dan aku akan menuntunmu, melalui kegelapan dihadapanmu!”

 

Suster itu menggenggam tangan prajurit sekarat itu. Kehangatan yang dimiliki prajurit itu perlahan menjadi dingin. Dan tubuhnya menjadi kaku. 

 

“Kerja bagus, suster muda! Kamu telah membantu membimbingnya menghadapi kematian dengan sangat baik!” Kata seorang suster lain yang lebih senior.

 

Suster senior itu menutup kedua mata prajurit tersebut, dan kemudian menaikkan selimut prajurit tersebut hingga kepala dan menutupi seluruh tubuh prajurit tersebut. Kemudian dia menginstruksikan penjaga di bangsal untuk memindahkan mayat prajurit tersebut ke ruang mayat. 

 

Ketika membimbing prajurit tersebut menjemput ajal, suster muda itu melupakan suasana hiruk-pikuk dan keramaiannya yang ada di bangsal rumah sakit. Meskipun demikian, kini suster tersebut telah sadar dengan lingkungan sekitarnya, setelah sebelumnya tenggelam dalam ketenangan mengantarkan seseorang menjemput ajalnya.

 

“Terima kasih, Suster Maria! Saya bisa melakukannya dengan baik karena bimbinganmu!” Jawab suster muda itu.

 

“Suster muda, sekarang beristirahatlah. Kamu sudah cukup banyak hal itu untuk pemula. Sekarang serahkan semuanya pada kami.”

 

Suster muda itu kemudian mengundurkan diri dari bangsal rumah sakit. Langit kembali mendung siang ini. Tebalnya awan yang bergelayut rendah menyembunyikan cerahnya Sang Mentari. Perlahan rintik-rintik  hujan mulai berjatuhan. Saya menatap langit yang suram tanpa matahari. Meskipun suasana suram menyelimuti kastil Pulau Rhode, dan rintik hujan mulai turun dari langit, hiruk-pikuk dan semangat para kesatria yang berkumpul di sekitar podium sama sekali tidak terpengaruh.  

 

Hiruk-pikuk yang bukan diakibatkan oleh jeritan dan erangan pilu dari para prajurit yang terluka, tapi dari prajurit dan ksatria bersenjata lengkap, dengan penuh semangat, menyuarakan teriak-teriakan perang, perang dan keagamaan, serta semangat untuk terus bertarung demi dewa mencapai kesyahidan.  

 

Pemandangan yang sangat kontras dengan apa yang suster itu dapat ketika masih di dalam rumah sakit ksatria, dimana orang-orang meraung kesakitan memohon pertolongan dewa untuk hidup mereka. sedangkan di sisi lainnya, orang-orang di sini berteriak-teriak kepada dewa untuk menganugerahi mereka kesyahidan. 

 

Mereka, prajurit dan ksatria yang terlihat berani dan taat kepada dewa itu, mengelilingi podium orasi, dengan beberapa beberapa orang beberapa orang, atau mayat berseragam pasukan Kesultanan Salajakiyah tergantung di dekat podium. Namun pusat perhatian di podium tentu saja sosok berzirah hitam lengkap dengan lambang palang putih besar di dadanya. Grandmaster Ksatria Rumah Sakit, Rémi Lagrange Artrois.

 

“Saudaraku, kawanku, inilah kesempatan, yang sudah lama kita nantikan!” 

 

Ucapnya di atas podium, yang disambut dengan hiruk-pikuk di sekitar podium. Setelah masa kembali cukup tenang, Grandmaster Rémi kembali melanjutkan orasirnya. 

 

“Kemenangan kita di Levantinopel, hanyalah awal dari dari rentetan kemenangan yang menanti kita dimasa depan. Kemenangan…. yang menunjukkan….KELEMAHAN…. yang dimiliki oleh MUSUH-MUSUH KITA!”

 

“Kita telah menghancurkan Armada Kesultanan Salajakiyah, yang selama ini mengurung kita di pulau yang menyedihkan ini. Dengan bantuan sekutu-sekutu kita, Crissibiria, Vins, Ligurian, orang-orang Turk itu tidak akan mampu lagi menentang dominasi kita di laut!”

 

Masa kembali bergemuruh. Suara umpatan, teriakan perang, pujian terhadap dewa, seruan keberanian, semua bercampur dalam hiruk-pikuk lautan manusia berzirah perang di dekat podium. Orasi Rémi berlanjut ketika gemuruh sedikit melemah. 

 

“Kesultanan Mamalik, telah melemah dari tahun-ketahun. Meskipun terlihat bersatu, mereka sebenarnya terpecah… dan saling berseteru satu sama lain. Lihat! Dan ingat kembali…..bagaimana mereka gagal……melindungi sekutu mereka…….di Dulkadir! Sultan lemah, yang bahkan tidak mampu menyatukan kekuatannya setelah satu kekalahan kecil. Negeri lemah, dan terpecah seperti itu, tentu saja, TIDAK PANTAS MEMIMPIN TANAH SUCI!”

 

Gemuruh masa semakin ramai. Dari gemuruh itu, teriakan ‘Deus lo vult’ terselip namun semakin terdengar jelas ketika Tanah Suci disebut dalam orasi. Meskipun hujan turun semakin deras, semangat para kesatria tidak menunjukkan tanda-tanda padam.

 

“Kini saatnya, dengan bantuan para kesatria dan Raja-Raja Sholeh dari Kontinental yang akan tiba musim panas ini, Sekali lagi Tanah Suci, Akan berada di tangan Tuhan yang benar! Deus Vult

 

DEUS VULT!!!!” 

 

Dengan demikian, Grand Master Kesatria Rumah Sakit mengakhiri orasi. Rémi secara tidak sengaja menengok ke arah saya. tidak lama setelah turun dari podium, Rémi menghampiri saya yang berteduh tidak jauh dari podium. 

 

“Charlotte!! ”

 

Saat ia melihat saya mengenakan seragam suster, Rémi, agak terdiam sejenak, sebelum kembali membuka pembicaraan.

 

“Ini mungkin kali pertama saya melihat anda mengenakan pakaian selain baju zirah”

 

“Apakah saya terlihat aneh dengan pakaian ini, Tuan ?”

 

“Sama sekali tidak, itu cocok denganmu, kok! Saudari mudaku tersayang, Charlotte Miorine Artrois!”

 

Tidak lama kemudian, Rémi, menghampiri dan merangkulku dengan lembut.

 

“Saya berpikir sejak serangan bajak laut itu, saya tidak akan bertemu denganmu lagi, Charlotte!. Namun, Tuhan mengabulkan doa saya selama bertahun-tahun, dan mengizinkan saya untuk bertemu denganmu.”

 

Ingatan saya tentang masa lalu yang saya alami berkabut dan samar-samar, sehingga saya tidak ingat pernah memiliki saudara. Namun melihat ketulusan dan kasih sayang yang dia berikan pada saya, mungkin memang saya merupakan saudarinya di masa lalu. 

 

Setelah, melepaskan kerinduannya kepada saudarinya, Grandmaster kemudian mengajak saya untuk berbicara ringan. Beliau menanyakan banyak hal, mulai dari kemampuan saya dalam bertarung yang hampir menyamai seorang kesatria, pengetahuan saya yang luas terkait kondisi militer Kesultanan Salajakiyah, hingga kehidupan selama diperbudak orang-orang Turk. 

 

“Jadi, akibat pengaruhmu terhadap pangeran, mereka mengasingkanmu ke barak tentara?”

 

“Benar, Grandmaster!”

Sembari berdiri dari kursinya, Grandmaster Rémi menunjukkan kekesalannya terhadap perlakuan yang saya terima selama diperbudak di Salajakiyah.

 

“Barbar! Benar-benar bangsa barbar! Semoga Tuhan akan membalas perbuatan mereka!”

 

“……”

 

Karena saya tidak memberikan tanggapan apapun, tiba-tiba Rémi mendekati dan memegang pundak saya.

 

“Maaf, kalau saya mengingatkanmu akan hari-hari buruk itu! Kamu tidak perlu takut lagi sekarang !”

 

Rémi kemudian bergerak menjauh dan membelakangi saya. Kemudian mengepalkan tangannya di depan dada

 

“Kamu merupakan perempuan yang kuat! Yang bahkan bisa mengimbangi kesatria veteran di sini! Dan dengan pengetahuan tentang musuh yang Anda punya, anda dapat membalaskan perlakukan yang anda terima dari orang-orang Turk selama Anda diperbudak!”

 

“……”

 

“Lihatlah, berkatmu, kita berhasil meraih kemenangan di Levantiopel!”

 

Rémi kembali menatap kearah saya sembari menghampiri saya kembali. Kemudian menunjuk ke arah saya. 

 

“Charlotte, dengan adanya anda di sisi kami, maka merebut kembali Tanah Suci dari orang-orang kafir itu bukan lagi mimpi!”

 

“…..”

 

“Oleh karena, itu pinjamkan kekuatan dan kemampuan yang Anda punya kepada saya, Saudariku tersayang, Charlotte Miorine Artois! ”

 

______________________________________________________________________

 

Derasnya hujan  pada hari ini tidak menyurutkan semangat bertempur para kesatria yang baru saja tiba di pantai Santa Alya. Pertempuran untuk merebut Kastil Antarahisari baru saja dimulai. Menguasai kastil ini akan memuluskan rencana pasukan palang suci untuk merebut Ibukota Kesultanan Salajakiyah, Levanṭīnīye

 

Berdasarkan rencana, pasukan palang suci Raja dan Pangeran Kontinental akan mengepung Levanṭīnīye, atau Levantinopel menurut para kesatria melalui jalur darat, dan angkatan laut Orde-Orde Kesatria, Vins, Ligurian, dan pelaut Crissibiria, akan menyerang dan mengepung dari tahun laut. Dengan Levantinopel kembali di tangan palang suci, merebut kembali tanah suci dan mendirikan kembali Kerajaan Surga di Tanah Suci, bukanlah mimpi yang tidak mampu dicapai.

 

Kesatria Rumah Sakit beserta pasukan kesatria palang suci lainnya bertugas untuk  merebut Kastil Antarahisari, di seberang laut Levantinopel. Serangan ini dipimpin langsung oleh Grandmaster Rémi. Sedangkan saya ditugaskan untuk memimpin regu pengintai. 

 

Pengepungan berlangsung selama seminggu, dan telah menguras habis kekuatan dan persedian laskar Salajakiyah yang membelah Antarahisari. Namun, mereka tetap menolak untuk menyerah, meskipun lapar dan haus dan mereka rasakan sudah sangat mencekik. 

 

Grandmaster Rémi, ragu untuk melakukan serbuan untuk merebut kastil secara paksa akibat jumlah pasukan yang punya tidak cukup banyak dan harus menunggu pasukan palang suci yang bergerak melalui jalur darat cukup dekat untuk memberikan bala bantuan.  Namun beliau akhirnya menyerah terhadap desakan dari atasan dan bawahan yang menganggapnya pengecut, pada akhirnya.

 

Serangan terhadap dinding kastil dimulai di hari ke-10 pengepungan. Saya turut bertarung di garis depan sebagai pelopor untuk kesatria lainnya yang berusaha untuk menembus tembok pertahanan kastil.  Semua berlangsung lancar, dengan regu saya berhasil menghabisi puluhan pembela Antarahisari yang melemah akibat kelaparan. Meskipun sudah hampir mencapai batasnya ketahanan fisiknya, pasukan pembela Antarahisari diluar dugaan mampu memberikan perlawan yang tangguh, meskipun kekuatan mereka terkuras habis akibat lebih dari seminggu tidak terkepung dalam kastil, tanpa bantuan logistik. 

 

Pada akhirnya kastil tangguh ini jatuh ketangan kesatria. Namun korban di pihak kesatria sangat besar dan pembela Antara hisari seluruhnya terbantai dalam pertempuran. Hal ini sepertinya sebelumnya diperkirakan oleh Grandmaster Rémi selama pengepungan sebelum serbuan ke dinding kastil. 

 

Kekuatan laskar kesatria suci yang ada di bawah komandannya berkurang signifikan setelah serbuan, akibatnya kini angkatan laut palang suci tidak memiliki tenaga manusia yang cukup melakukan serbuan lebih dalam ke pedalaman Kesultanan. 

 

Dengan tercapainya tujuan angkatan laut palang suci untuk merebut Antarahisari, maka blokade terhadap Levantiopel menjadi semakin sempurna. Hal ini sejauh ini sesuai dengan rencana pengepungan yang dirancang oleh Grandmaster Remi berdasarkan pengetahuan dan informasi yang sama punya terkait Levantinopel, termasuk jalur suplai, pintu rahasia dan titik lemah yang dalam pertahanannya, yang saya dapatkan pelatihan militer paksa yang dilakukan orang-orang Kesultanan. Informasi dan pengetahuan, yang akan saya gunakan untuk membalaskan dendam terhadap perlakuannya yang saya terima selama diperbudak di sana. 

 

_________________________________________________________________________

 

Pagi ini, saya mendapatkan informasi dari penjaga pos tentang gerak-gerik laskar Salajakiyah di sekitar Antarahisari. Dengan absennya kakakku yang pergi menemui pasukan palang suci yang bergerak melalui jalur darat,beliau mempercayakan pertahanan Antarahisari yang belum lama direbut dari Salajakiyah kepada salah satu bawahan terpercaya dan paling cakap di bawah komandonya. 

 

Orang tersebut memerintahkan saya memimpin regu pelopor untuk mengintai mencari tahu kekuatan Laskar Salajakiyah di sekitar Antarahisari. Hal itu termasuk memetakan kemungkinan pasukan kesatria suci untuk melakukan penetrasi lebih jauh ke dalam teritori musuh. 

 

Kami berangkat menjelang siang dan mengintai dataran terbuka di sekitar Antarahisari. Hasilnya, nihil, tidak ditemukan adanya tanda gerak-gerik dan tanda-tanda keberadaan laskar musuh di sini. Saya memutuskan untuk memimpin regu pengintai untuk menyisir wilayah hutan di sekitar kastil. 

 

Namun hingga matahari hendak terbenam, tidak ada satupun gerak gerik musuh yang terdeteksi. Saya memutuskan untuk mundur ke kastil sebelum matahari kembali keperaduannya. Sebagian dari anggota regu protes saya berkata saya terlalu serius mencari keberadaan musuh yang sebenarnya mungkin saja tidak ada, hingga kami lupa beristirahat. Mereka meminta saya untuk memberi mereka sedikit waktu istirahat. 

 

Dengan mempertimbangankan masih tersisa waktu sebelum matahari terbenam, saya memutuskan untuk mengistirahatkan sejenak regu pengintai di sebuah pondokan penebang kayu yang seperti sedang ditinggalkan. Untuk beberapa alasan, tempat yang saya pilih untuk beristirahat ini,membuat saya merasakan deja vu. Saya pernah kesini sebelumnya. 

 

Meskipun dengan kekhawatiran yang saya rasakan, terlambat rasanya untuk membatalkan keputusan saya untuk beristirahat di sini. Setidaknya, tanpa membuat bawahan saya di regu pengintai makin berang. 

 

Setelah menyandarkan kuda saya pada sebatang pohon, saya memutuskan untuk memakan bekal yang sudah saya bawa sebelum keluar dari kastil untuk misi pengintaian. Sedangkan anggota regu lain saat ini sedang terpencar dan menjalankan kepentingannya masing-masing. Ada yang menikmati bekal sama seperti saya, menunaikan hajat yang sudah lama ditahan sejak siang tadi, atau hanya sekedar duduk, bercengkrama dan melepas lelah setelah seharian berkuda mencari lokasi musuh yang masih meragukan rimbanya.

 

Tanpa saya sadari, sebenarnya saya melakukan kesalahan fatal karena membiarkan pasukan yang saya bawahi menurunkan kewaspadaan, padahal kami sedang berada di wilayah musuh. Sebuah kesalahan yang akan kami bayar mahal. 

 

Salah satu kesatria bawahanku menghampiriku, untuk memberikan kabar rekannya yang tidak kunjung kembali setelah pergi buang hajat. Dia juga melaporkan bahwa beberapa anggota regu ada yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kabar ini membuat saya cemas, karena masih ada indikasi keberadaan laskar Salajakiyah yang bersembunyi di hutan ini.  Meskipun kami tidak dapat mendeteksi keberadaan mereka selama pengintaian. Atau mungkin lebih buruk lagi, sebenarnya kita telah diincar oleh mereka sejak kami memasuki hutan ini. 

 

Ketika berusaha untuk mengkonsolidasikan kembali regu pengintai yang sedang terpencar, saya mendapati seorang kesatria, anggota regu pengintai, yang telah bersimbah darah, dan tergantung di dahan pohon tidak jauh dari tempat saya memarkir kuda. Hal ini membuat saya memberikan perintah kepada anggota regu yang tersisa untuk melarikan diri dari hutan secepat mungkin menuju area terbuka. 

 

Regu pengintai yang tersisah melarikan diri secara sporadis dari hutan. Keadaan semakin kacau bagi regu pengintai karena kemunculan laskar-laskar Salajakiyah, yang muncul dan menyerang hampir dari segala arah. Kabar baiknya, musuh yang muncul bukanlah tandingan kesatria-kesatria veteran dan tangguh dari Kesatria Rumah Sakit.

 

Kabar buruknya, pertarungan ini terjadi di tempat yang kurang menguntungkan. Kami kesulitan untuk berkoordinasi dan tidak bisa memanfaatkan keunggulan yang kami punya sebagai pasukan berkuda. Sedangkan, musuh bertarung di wilayahnya sendiri dan tentunya sudah familiar dengan area ini. Oleh karena itu, kami harus segera melarikan diri ke area terbuka.Tapi, sepertinya musuh juga menyadari hal tersebut. Mereka sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi para kesatria untuk mencapai area terbuka. 

 

Pertempuran yang sangat sanget ini mengakibatkan saya kehilangan kontak dengan kesatria lainnya. Saya bahkan dipaksa untuk ikut memikirkan keselamatan diri sendiri karena laskar-laskar Salajakiyah yang saya hadapi cukup tangguh dan terampil. Namun pada akhirnya, saya mempunyai kemampuan yang lebih bertarung dan keunggulan karena mengunggang kuda. Saya mengalahkan 3 orang laskar yang menantang saya, melumpuhkan 2 orang dan membunuh salah satunya. Ini memberikan saya kesempatan untuk melarikan diri dari kepungan pasukan Salajakiyah dan memungkinkan saya untuk melarikan diri serta mencari kontak dengan regu pengintai yang tersisa guna segera keluar dari wilayah hutan penuh musuh ini.

 

Namun sepertinya keberuntungan saya habis di sini. Saya tidak berhasil menemukan kesatria lainnya.  Dan disaat yang tidak menentu itu, kuda yang saya tunggangi terjerembab akibat lubang jebakan. Saya terlempar cukup jauh dari punggung kuda dan dengan keras menghantam bumi. 

 

Akibat efek benturan yang cukup keras, saya kesulitan untuk bangkit setelah terlempar dari kuda. Dan setelah berhasil bangkit, saya menyadari laskar-laskar Salajakiyah telah mengepung saya. Saya kembali bertarung melawan mereka,tentu saja dalam kondisi kalah jumlah.  

 

Hujan yang turun membatasi jarak pandang, sehingga saya tidak bisa memikirkan hal lain selain memenangkan pertempuran ini. Namun perlahan keunggulan saya dalam kemampuan dan perlengkapan perlahan membuahkan hasil. Seorang terbunuh dan dua lainnya telah dilumpuhkan. Namun masih jauh dari cukup.

 

“Seperti dugaan saya, kamu memang terlalu tangguh bahkan dengan untuk sekelas pasukan Yeniceri, Charlotte Hanim”

Setelah mengamati dengan lebih detail musuh yang saya hadapi, saya menyadari bahwa memang mereka lebih tangguh dari  laskar yang saya hadapi sebelumnya.

 

“Hehhh, benar juga! Kalian bertarung setangguh kesatria dengan mengenakan pakaian aneh ya? Selain itu? Kalian bukan tandingan Saya !”

 

“Besar kepala juga Anda ini. Sepertinya, Anda melupakan hal paling penting!”

 

Sosok yang bertukar kata dengan saya terasa semakin dekat. Karena sepertinya orang itu adalah pemimpin musuh, saya memutuskan untuk menjatuhkannya dahulu.

 

Saya bergerak dengan tiba-tiba, mendekati sumber suara dan melancarkan serangan ke arah leher silhouette dihadapan saya. Namun, serangan tersebut ditangkis pengawal Yeniceri di dekatnya. Pengawal lainnya melancarkan serangan dari belakang, berusaha menebas punggung saya yang terbuka lebar. 

 

Peralatan yang saya kenakan menunjukkan keunggulannya. Serangan itu tidak mampu menembus tebalnya zirah yang saya kenakan. Saya menyerang balik dan menjatuh pengawal tersebut dengan menyerang titik lemah pada baju zirah yang mereka gunakan. Disini, pengetahuan saya yang mendalam terkait musuh memberikan saya keunggulan yang sangat saya butuhkan.

 

“Sepertinya gadis nakal ini harus diberikan pelajaran.”

 

Gadis !!!! Bagaimana orang itu mengetahui saya seorang gadis? Pada saya mengenakan baju zirah tertutup dan helm besi tertutup. Bagaimana mereka mengetahui identitas saya?

 

“Arrrrggggghhhhh”

 

Tidak lama kemudian, setelah serangan saya berhasil ditahan, saya merasakan benturan yang sangat di bagian dada. Dada saya langsung merasa sesak dan sangat nyeri. Saya juga kesulitan bernapas. Saya kembali menerima benturan di punggung, dan saya hampir kehilangan keseimbangan. Berturut-turut, saya merasakan benturan di pipi, lengan kanan, paha kiri, perut dan leher serta pelipis kanan. 

 

Dengan rasa sakit terima, saya masih sempat melancarkan serangan balik dan berhasil menjatuhkan musuh, lagi-lagi setelah menyerang titik lemahnya. Saya sadar musuh masih menyerang saya dengan pedang, namun mereka menggenggam bilahnya dan menggunakan gagang pedang yang keras sebagai senjata tumpul. Taktik yang sangat efektif untuk menghadapi kesatria berbaju zirah tebal, jika senjata tumpul atau senjata kejut lainnya seperti gada tidak tersedia. 

 

Keunggulan perlengkapan saya menjadi tidak relevan. Pasukan musuh menyerang saya tanpa henti dan hanya sedikit yang mampu saya tangkis. Baju zirah ini cukup membatasi mobilitas saya, sehingga menghindari serangan tersebut juga tidak memungkinkan. Kepala, dada, perut, tangan, lengan, kaki, paha dan bagian lain tubuh saya terus dihujani serangan tanpa akhir. 

 

Saya masih mampu menjatuhkan mereka satu demi satu, namun, musuh seakan tidak ada habisnya. Pukulan gagang pedang terus mendarat di tubuh saya. Nyeri akibat luka lebam terasa sangat menyakitkan, namun saya memaksakan diri untuk terus berdiri dan bertarung.  Kekuatan saya semakin melemah pada akhirnya. Namun mereka tidak henti-hentinya menghujani tubuh saya yang penuh luka dengan pukulan gagang pedang yang menyakitkan.

 

Setelah menerima pukulan terus-menerus, saya tidak mampu bertarung lagi. Saya menjatuhkan pedang, dan tidak mampu berdiri lagi, dan menyadarkan diri pada seonggok batang pohon. Seseorang mendekati saya dan memukul saya sangat keras hingga helm besi yang saya gunakan terlepas dan menunjukkan identitas saya yang sebenarnya, sebagai perempuan. 

 

“Anda terlihat menyedihkan Hanim!”

 

“Habi….si….sa…….ya… ”

 

Orang yang menjadi pemimpin pasukan musuh mendekati data. Namun, saya sudah terlalu lemah untuk melawan dan menjatuhkannya. Saya kini hanya mempasrahkan takdir kepada Dewa. 

 

“Sudah waktu mengingat siapa diri Anda yang sesungguhnya“

 

Orang itu berlutut dan membisikkan sesuatu di telinga saya.

 

“Arrrrggggghhhhh!!!!!, Hentikan hentikan HENTIKAAAANN!!!!!! Kepalaku! TIDAKKKKKKKKKK!!!!!!! Saya mohon hentikan !! Kasihani saya! Biarkan saya bahagia!! ”

 

Saya terus berteriak dan memohon ampun setelah saya dibisiki oleh orang itu. Tidak hanya rasa sakit fisik, namun, juga bisikan itu memberikan saya rasa sakit dari dalam secara psikis.

 

“Apa salah saya……..Kenapa……Jahat……Tolong……Kakak!”

 

Kapan, kapan siksaan ini berakhir ?

 

_________________________________________________________________________

 

“Hidup Şehzade !”

 

“Panjang Umur Şehzade !”

 

“Dewa Maha Besar!!”

 

“Hidup Şehzade !! Hidup Padishah!!”

 

Hiruk-pikuk dan gemuruh kegembiraan semakin keras ketika Şehzade Altaïr melalui pasukan Salajakiyah. Pada hari ini, Pasukan Salajakiyah berhasil memenangkan pertempuran di Dienub. Mereka berhasil menahan kekuatan utama pasukan palang suci yang hendak merebut kembali Levanṭīnīye dari Salajakiyah. 

 

Akibat kekalahan ini, pasukan palang suci tidak hanya kehilangan banyak pasukan, tetapi juga banyak Raja, pangeran, dan bangsawan penting yang terbunuh atau tertahan oleh Salajakiyah.   

 

Kemenangan ini menyelamatkan Kesultanan Salajakiyah, dari ancaman keruntuhan akibat serangan kesatria palang suci, seperti halnya pendahulu mereka 4 abad silam. Dan karena kepemimpinannya selama pertempuran, Şehzade Altaïr dibaiat pasukan sebagai Padishah, tepat ketika berita kemenangan telah menjadi kepastian. 

 

Disisi lain, Wazir Ismail Hajj Pasha yang baru saja diangkat bergerak untuk merebut kembali Antarahisari dan membongkar blokade terhadap Levantiniyye, dengan angkatan laut Salajakiyah yang belum lama ini berhasil dibangun kembali dalam waktu yang luar biasa singkat. 

 

_________________________________________________________________________

 

Ketika Ismail Pasha bergerak semakin dekat dengan Kastil Antarahisari, tekanan yang dirasakan Angkatan laut palang suci semakin hebat. Kecuali sebagian kecil, armada dan laskar dari Vins,Ligurian, dan Crissibiria serta negeri sekutu lainnya satu-persatu meninggalkan Antarahisari, dan kembali ke negeri mereka masing-masing setelah mempelajari kekalahan pasukan utama palang suci di Dienub. 

 

Meskipun keadaan memburuk, Namun Grandmaster Rémi, pemimpin angkatan laut palang suci bersikeras untuk mempertahankan Antarahisari, meskipun logikanya kastil ini sudah tidak lagi memiliki nilai  strategis. Kehancuran armada Salajakiyah di Levantinopel dan besarnya korban yang harus diderita kesatria suci untuk merebutnya. 

 

Pikiran Remi juga sangat kacau akibat adiknya Charlotte yang menghilang bersama regu pengintainya setelah sebuah diluar kastil. Insiden ini membuatnya menjadi sangat emosional dan tidak lagi mengambil keputusan sesuai logika. Grandmaster langsung mengeksekusi bawahannya yang bertugas memimpin Antarahisari sekembalinya kesana, karena menganggapnya menjadi penyebab Charlotte dan regu pengintainya lenyap dan dihabisi. Ini, dan keputusan irasional lain yang Rémi ambil sekembalinya ke Antarahisari menjadi penyebab sekutunya meninggalkan Antarahisari dan kehilangan loyalitas dan kepercayaan bawahannya. Hal ini berakibat fatal dalam usahanya mempertahankan kastil dari pasukan Ismail Pasha. 

 

_________________________________________________________________________

 

Sekali lagi, serbuan laskar Salajakiyah kembali dipukul mundur oleh kesatria suci, dengan korban besar di pihak Salajakiyah. Meskipun mempunyai sumber daya yang memadai, termasuk 10 meriam pengepung, Ismail Pasha dan pasukannya tidak mampu menembus kedisiplinan dan ketangguhan kesatria suci dalam pertempuran jarak dekat. 

Perkembangan ini membuatnya cemas. Dia harus merebut Antarahisari sebelum Padishah tiba,sehingga bisa mengklaim kemenangan di Antarahisari untuk dirinya sendiri. Ismail juga mengerahkan angkatan laut Salajakiyah untuk menyerang dari sisi lainnya Kastil. Namun, hasilnya sama saja. Kesatria Suci yang tersisah di Antarahisari bertarung dengan gigih dan penuh motivasi. 

 

Dengan pasukan Padishah yang akan tiba di Antarahisari dalam waktu 3-4 hari kedepan, tidak banyak waktu tersisah untuk wazir baru ini. Dia mengerahkan senjata pamungkas yang selama ini disimpan sebagai cadangan, yaitu pengkhianatan.

 

_________________________________________________________________________

 

Hari ini hujan turun dengan derasnya. Sesuai perintah saya ditugaskan untuk meyusup dan membobol pertahanan di Antarahisari dari dalam. Saya sangat terkejut mengapa penyusupan ini berjalan sangat mulus, bahkan tidak sekalipun menimbulkan kecurigaan dari kesatria pembela Antarahisari. Bahkan pemimpin mereka meperlakukan saya seperti adiknya sendiri. 

 

Kedekatan saya dengan para pembela Antarahisari ini, membatasi pergerakan saya selama penyusupan, namun juga memberikan keleluasaan bagi saya karena mereka sama sekali tidak mencurigai tindakan dan gerak-gerik yang saya lakukan. 

 

Saya berhasil melemahkan pertahanan Antarahisari dari dalam. Sehingga ketika serangan ke Antarahisar kembali dilanjutkan, Kesatria Suci yang sebelumnya sangat tangguh menjadi tidak berdaya dan menyedihkan, meskipun mereka telah bertarung sekeras mungkin.

 

Setelah bertarung singkat melawan beberapa laskar Salajakiyah, dan melumpuhkan salah satunya, saya menyelinap untuk kembali ke barisan Salajakiyah. Namun pergerakan saya terbaca, dan saya dicegat langsung oleh Grandmaster Rémi dan dua orang kesatria pengawalnya. Salah satunya berteriak dengan lantang. 

 

“BUKA HELMMU,PENGKHIANAT LAKNAT!”

 

Dengan demikian penyamaran saya telah terbongkar. Namun saya menolak untuk membuka helm besi yang saya kenakan, dan malah memasang kuda-kuda untuk bertarung. Namun saya pada akhirnya membuka helm besi ini setelah Grandmaster sendiri yang memintanya secara halus.

 

“Charlotte, ini kakakmu Rémi . Jika itu benar kamu, mohon buka helmmu…”

 

Mendengar permintaan yang sedikit memelas tersebut, saya secara reflek membuka membuka helm yang saya kenakan. Grandmaster Rémi tertegun, menyadari bahwa pengkhianat selama ini memang benar merupakan adik kandungnya sendiri. Disaat yang bersamaan kilat menyambar dan hujan turun dengan deras tidak lama kemudian. Sedangkan, Remi jatuh berlutut menghadapi kenyataan yang ada di depan matanya. 

 

Dengan amarah yang mendidih, dua kesatria yang mengawal Grandmaster secara inisiatif menyerang saya secara membabi-buta, disaat tuan mereka masih mematung dibawah guyuran hujan. 

Pertempuran ini berlangsung sengit. Kesatria yang saya melindungi titik lemahnya dengan sangat baik. Karena mereka menyerang saya dengan koordinasi yang sangat baik, saya menjadi terdesak. Salah satu serangan mereka menembuh lengan kanan saya. Rasa sakit yang ditimbulkan mengakibatkan saya tanpa sadar memekikkan ‘kakak’. Seketika Rémi berhenti membatu dan bangkit berdiri. 

 

“Cukup! Hentikan serangan kalian berdua!”

 

Perintah yang datang dari atasan mereka membuat konstreasi kedua pengawal ini buyar dan terpecah. Mereka berhenti menyerang dan mendesak saya. Saya menggunakan kesempatan ini untuk menyerang balik. meskipun tangan kanan saya terluka dan terpaksa menggunakan tangan kiri, kesatria suci itu tidak lagi memberikan perlawanan sebaik sebelumnya, Hal ini memungkinkan saya menghabisi mereka satu-persatu.

 

Dengan tumbangnya dua kesatria suci, kini tersisah saya dan Grandmaster, berdiri berhadapan dengan pedang terhunus dibawah guyuran hujan. Dan dibawah guyuran hujan yang deras ini juga, saya akan memutus tali kasih sayang dan persaudaraan yang selalu menghantui mimpi buruk saya di malam hari.

 

Guyuran hujan yang deras membuat suara desingan pedang yang saling berada hampir tenggelam. Hanya kami berdua yang bertarung di sini tidak ada orang yang akan datang untuk mengganggu. Jalan takdir, mengharuskan kami untuk memutuskan solusi terbaik untuk masa depan hubungan saya dan Rémi. Bagi saya, ini waktunya untuk mengubur masa lalu. 

 

Bertarung dengan luka di tangan kanan membuat saya tidak mampu mengimbangi kemampuan bertarung Grandmaster yang lebih baik dari saya. Beliau tidak menggantungkan teknik bertarungnya terhadap kemampuan berpedangnya. Dengan efektif, perlahan tapi pasti, Grandmaster berhasil mendesak saya dalam pertarungan. Puncaknya, Beliau berhasil melempar pedang yang saya gunakan serta membuka semua tidak lebih yang tidak bisa lagi saya lindungi. 

 

Namun bukannya memanfaatkan keunggulannya untuk menghabisi saya, beliau justru berusaha menangkap dan menolong saya yang terluka. Meskipun sudah mencapai batas dan tidak mampu bertarung lagi, saya memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Saya menarik kijil pemberian Şehzade yang selama ini saya sembunyikan di belahan dada saya, dan menikam Rémi di bagian vital, guna menghabisi nyawanya. 

 

Meskipun saya kembali mengkhianati kepercayaannya, Grandmaster Rémi tidak melawan balik. Beliau hanya meminta untuk memberikan kesempatan berbaring dipangkuan saya untuk kali terakhir sebelum menjemput ajal. 

 

Hujan deras yang sebelumnya mengguyur Antarahisari, mereda. Awan kelabu yang sejak awal menyembunyikan terang mentari, bergerak menempi, dan memberikan kesempatan matahari melepaskan berkas cahaya hangat yang menerangi bumi. Dalam pangkuan saya, Remi mengungkapkan betapa dia menyayangi saya sebagai saudari kecilnya. Dunianya hancur ketika saya menghilang dari hidup. Hanya balas dendam dan kebencian yang memberikan kehangatan dalam hidupnya. Meskipun semuanya berakhir seperti ini, setidaknya beliau dapat menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan saudari yang selama bertahun-tahun sangat beliau rindukan. 

 

“Apapun yang terjadi, saya tetap menyayangimu, saudariku Charlotte”

 

Dengan demikian, Grandmaster Kesatria Rumah Sakit, Rémi Lagrange Artrois, menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk alasan yang saya tidak dapat mengerti, saya meneteskan air dan nyeri yang sangat menyesakkan di dada. Seakan-akan, memaksa saya untuk turut tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam akibat ditinggal orang terkasih. 

 

Namun, saya tidak merasakan kesedihan atau kehilangan tersebut. Mengapa saya harus bersedih dan menangis karena orang yang terbaring bersimbah darah dalam pangkuan saya telah tiada? Apa penyebabnya ? Perasaan bingung, yang justru membuat saya semakin tidak mampu membendung derasnya air mata yang menetes dan perasaan sesak dan sakit di dada. Qalbu saya berteriak, dan meraung dalam kesedihan, namun akal saya merasa ganjil mengapa saya harus berbuat demikian.

 

Dengan akal dan qalbu yang saling bertentangan, siapa orang jahat yang membuat saya menjadi begini?

 

_________________________________________________________________________

 

“Hamzah Pasha, apakah kita tidak bisa bergerak lebih cepat? Kita harus segera mencapai Antarahisari sebelum Ismail keparat itu bertindak!”

 

“Maafkan hamba, Padishah! Pasukan utama mungkin mampu bergerak lebih cepat, namun kereta persediaan dan persenjataan berat sudah mencapai batasnya! Ismail Pasha menguasai lautan, sehingga…..”

 

Penjelasan Hamzah Pasha seakan tenggelam dalam pikiran saya yang kacau. Meskipun telinga saya mampu mendengarnya saya tidak mampu mencerna informasi tersebut. Hanya ada Charlotte yang ada di benak saya. 

 

Begitu mempelajari keberadaan gadis itu di Antarahisari, saya bergerak secepat kilat menuju kesana. Saya hampir melupakan fakta bahwa saya baru saja memenangkan pertempuran yang sangat penting di Dienub. 

 

Bertahanlah Charlotte! Saya sangat mengetahui penderitaan dan siksaan yang telah kamu terima selama ini. Kamu sudah cukup merasakan kesedihan. Kini bergembiralah, saya akan segera di kesana menjemputmu.

 

Saya akan melepaskan rantai yang selama ini membelenggumu dan menghancurkan siapapun yang mencoba menyakitimu dan membuatmu kembali bersedih. Mengapa saya bisa seberani ini sekarang ? Itu karena sekarang, saya sekarang yang berkuasa.

 

_________________________________________________________________________

 

   


Penulis: Narusaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *