Fabulam Spei et Amoris


(A Story of Hope and Love)
“Despair is just a fallen hope, hate is just a broken love”

Hari yang cerah. Burung-burung berkicauan dan matahari bersinar terang. Suara manusia yang bercengkrama terdengar samar. Benar-benar hari yang indah… atau setidaknya itulah yang kubayangkan. 

Namaku Partheus von Calentis, seorang bangsawan kepercayaan Raja dari negeri Eindernesia. Perang sudah bergejolak sejak lama, tapi aku baru mengenal perang pada umurku yang ke-12. Ayah gugur ketika perang pertama kali melanda daerah kami, dan sejak itu aku memutuskan untuk meneruskan semangatnya. Aku merupakan corday pertama negeri Eindernesia dan hanya dalam waktu 6 tahun aku telah menjadi pejuang terdepan melawan Kekaisaran Zwede.

Di umurku yang masih muda, aku hanyalah seorang anak dari bangsawan sebuah negara kecil. Bagimu mungkin ini terdengar seperti cerita biasa dan membosankan, tapi bagiku ini adalah kenangan yang indah. Aku masih ingat betapa Ayah menyayangi kami, beliau sering mengajak kami ke Ibukota dan membeli makanan ringan lalu kembali ke rumah. Ibuku sudah tiada, beliau meninggal ketika melahirkanku dan kini aku hanya dapat melihat mukanya di liontin yang Ayah berikan. 

Ya, aku tidak salah ketika memakai kata “kami”. Rumah kami memiliki beberapa pelayan, namun hanya Clarice saja yang bisa aku ajak bermain. Dia adalah seorang anak yatim piatu seumuranku yang Ayah selamatkan ketika sedang bertugas, lalu memutuskan untuk membawanya pulang dan menjadikannya seorang pelayan di usia muda. Jika kamu berpikir ini adalah sebuah kejahatan, ketahuilah bahwa panti asuhan kota sebenarnya dikuasai oleh bangsawan korup dan Ayah tidak tega untuk meninggalkannya bersama para koruptor itu. 

Clarice memang seorang pelayan di rumahku, namun kami diperlakukan layaknya saudara oleh Ayah. Selama 4 tahun Clarice dilatih untuk menjadi pelayanku di masa depan, dan Ayah yakin aku dapat menjadi penerus keluarga Calentis yang baik. Beliau selalu berkata, “Dunia masih terjebak dalam perang, Nak. Kau harus siap untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, menggantikan Ayahmu ini. Clarice sudah kuanggap sebagai saudaramu. Kalian berdua akan menghadapi dunia yang kejam dan Ayah harap kalian tetap menjaga satu sama lain.” Aku berpikir bahwa pesan Ayah adalah untuk diri kami di masa depan yang jauh, namun takdir berkata lain. 

Malam Deo Natalis, 24 Desember 2093. Kami ingin menikmati hari raya di jalanan. Ayah baru saja kembali dari Ibukota setelah menghadap Raja, namun kami tidak sabar untuk pergi keluar. Lampu gemerlap, salju yang turun, suara orang ramai, dan harum semerbak aneka makanan yang disajikan. Sungguh potret keadaan kota yang damai. Di malam itu, Ayah terlihat sedikit gelisah. Ketika aku bertanya kepadanya, beliau menenangkanku dan berkata, “Tidak apa-apa, kita nikmati saja hari raya ini. Tapi, jangan terlalu malam, ya! Ayah lelah menempuh perjalanan.” Baru saja beliau berkata begitu, alarm kota berbunyi. 

BUM! Suara keras terdengar dari gerbang utara. Prajurit berlarian menuju tembok luar dan Ayah menyuruh kami untuk kembali ke rumah. Rumah kami berada di daerah timur, sehingga kami menghabiskan waktu cukup lama untuk berlari. Ketika kami kembali ke rumah, suara ledakan keras terdengar semakin dekat. Aku memutuskan untuk kembali dengan membawa belatiku dan sebuah senapan kecil pemberian Ayah. Clarice berteriak agar aku tidak pergi, namun Ayah sedang berada dalam bahaya. Kepala pelayan mengikutiku dari belakang walau sudah kubilang kepadanya untuk diam di rumah. 

Baru kali ini, perang terasa sangat nyata. Tidak seperti apa yang Ayah katakan, atau apa yang orang-orang bicarakan. Deru senapan dimana-mana, dentuman yang kian mendekat, dan darah yang tercecer di tanah. Aku merasa takut dan cemas, namun aku harus membantu Ayah.

Bagian timur laut kota sedang dipertahankan, aku mencoba menembak para prajurit dari jauh selagi kepala pelayan menjagaku. Bagai latihan yang Ayah berikan, namun kali ini sasaranku adalah manusia. Dari sembilan tembakan, hanya tiga yang mengenai musuh. Aku tidak tega membunuh manusia, dan begitu musuh mendekat pada akhirnya kepala pelayanlah yang menghabisi mereka. Aku hanya bisa mencemaskan Ayah… 

Ketika kami mendekat ke daerah utara, kami melihat sekumpulan prajurit berani sedang menghadang seorang yang terlihat seperti manusia tapi memiliki sesuatu yang bersinar di dadanya bersama dengan prajuritnya. Manusia itu kuat, dia mampu menghadang 10 orang sekaligus. Aku melihat Ayah dan kawan-kawannya sedang bertarung melawan manusia aneh itu. Manusia itu terlihat kewalahan menghadapi Ayah. Aku berteriak memanggil, namun ketika Ayah menoleh, sebuah cahaya terang datang dari manusia aneh itu. Cahaya tersebut berdenyut dan lekas meledak. Ledakannya sangat besar, aku dan kepala pelayan sampai terpental beberapa meter. 

“Apakah tuan muda terluka?” tanya si kepala pelayan. Aku terbangun dan lekas mencari Ayah. Namun Aku terkejut, ledakan itu tidak menyisakan apapun kecuali sebuah lubang sedang, serpihan-serpihan besi, dan darah yang tercecer. Ayah… sudah tiada. Tidak ada sorak kemenangan, hanya kesunyian belaka. Dan suara tangisku memecah keheningan itu. Semua prajurit yang selamat kembali dengan wajah murung, terluka atau tidak Aku yakin mereka kehilangan sosok yang mereka kasihi sepertiku. Kini kembali liontin pemberian Ayahlah yang membuatku dapat ingat pada muka mendiang orang tuaku. 

Seisi rumah berduka, hanya Akulah keturunan Calentis yang tersisa. Aku kesal karena Aku bahkan tidak bisa mengubur Ayah kami dengan baik. Kuhabiskan 3 hari meratapinya. Clarice selalu menemani sepanjang kesedihanku, dan Aku bersyukur Ayah telah menempatkannya bersamaku. Ayah sudah memikirkan masa depanku dan Clarice dengan matang. Aku memutuskan untuk mengambil peran Ayahku, menggantikannya sebagai seorang penerus yang baik. Clarice juga merasa kehilangan sosok yang dapat dikatakan sebagai ayah tirinya. Aku berjanji padanya bahwa kami akan selalu bersama sehingga kami tidak akan kehilangan satu sama lain. 

Kami memutuskan untuk pindah ke Ibukota. Kota tempat tinggal kami mengalami kerusakan parah dan dapat diserang dengan mudah. Kami menghadap Raja untuk memohon sebuah tempat tinggal baru, namun Raja ternyata sudah tahu keadaan di kota kami dan juga tentang Ayah kami. Raja sudah menyediakan kediaman baru, dan beliau menyampaikan ucapan belasungkawa yang dalam kepada kami. Aku berkata kepadanya bahwa Aku akan menjadi prajurit seperti Ayah kami, sekaligus menggantikan peran Ayah sebagai bangsawan kepercayaan Raja. Ia terkejut, namun kemudian berkata, “Apakah kau yakin, Calentis muda? Aku mengenal Ayahmu baik, dan kuyakin kau akan menjadi pemimpin yang handal seperti dirinya. Kau baru saja kehilangan dirinya, tidakkah kau ingin hidup dengan damai jauh dari sini?”

Aku dengan sopan menolak tawaran itu. Selama manusia aneh itu ada, Aku yakin tidak akan ada kedamaian di benua Euterpan ini. Raja menghela napas lalu berterima kasih dan mengabulkan keinginanku. Ia lalu menawarkan kembali suatu rancangan. Sebuah rencana untuk mengakhiri perang ini. Dirinya memberitahu resiko dan syarat yang diperlukan untuk melakukannya dan dia memandangku cocok sebagai pemimpin yang akan membawa kedamaian pada dunia. 

Aku pun setuju. Jika ada sebuah kesempatan untuk mengakhiri perang ini, aku akan mengambilnya. Hari-hariku bersama Clarice berakhir ketika Aku baru bergabung dengan kemiliteran. Ia hanya bisa berkunjung ke tempatku seminggu sekali. Dalam pelatihan sekalipun, bekal kemampuan yang Ayah kami berikan membuatku unggul dari semua kandidat yang masuk. Lalu tak lama, Aku dipisahkan dari kandidat lainnya menuju sebuah laboratorium. Tempat itu sangatlah aneh, tapi Aku mengenali sesuatu. 

Seorang manusia aneh dengan benda yang bercahaya, terikat tak sadarkan diri pada satu dari dua meja yang dimiringkan ke arahku. Namun, dia terlihat berbeda dari apa yang Ayah hadapi. “Corday”, itulah sebutannya. Lalu Aku mengetahui bahwa yang Ayah hadapi adalah “Copet”, seorang corday yang relatif lebih lemah. Makhluk seperti itu saja dapat mengalahkan Ayah dan kawan-kawannya, bayangkan apa yang seorang corday dapat lakukan! 

Raja berkata bahwa hanya dengan menjadi seorang corday, Aku akan bisa mengakhiri perang ini. Aku tahu ini akan sakit, tapi ini untuk masa depan kami. Kututup mataku, dan kuharap ini memberiku kekuatan lebih… Dua minggu setelah operasi, Aku dinyatakan siap secara mental dan juga fisik. Kemampuanku meningkat pesat dan hanya dengan beberapa sesi latihan Aku sudah bisa mengendalikan diriku secara penuh. 

Sekarang Aku adalah seorang corday, yang harus melawan Kekaisaran Zwede dan mempertahankan kedamaian di negeriku. Menjadi corday tidaklah mudah, Aku diharuskan melapor setiap kali melakukan misi, setiap hari sebelum tidur dan sesudah bangun. Selain itu kabar tentangku sudah tersebar ke seluruh pasukan. Ada yang melihatku dengan takut, ada yang melihatku dengan curiga, namun ada pula yang menyambutku dengan baik meski Aku yakin mereka hanya ingin menipuku atau memanfaatkanku. Sungguh orang-orang yang menyebalkan. 

Aku menarik diri dari pergaulan, beberapa orang yang kukenal hanya sebatas petugas di barak pelatihan atau pimpinanku. Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, corday telah memberikan banyak kenangan buruk bagi orang-orang di negara kami. Dan ketika pada akhirnya seorang corday milik negara ini sendiri tercipta, mereka menjadi takut akan dampak yang akan dibawanya. Namun, Aku yakin bahwa Aku bukanlah pembawa bencana. Ayah percaya padaku, begitupun Clarice. Jika mereka yakin bahwa Aku adalah ancaman, maka akan kubuktikan bahwa Aku adalah harapan mereka. 

Misi pertama yang kuikuti adalah misi patroli perbatasan Eindernesia di sebelah utara. Aku melewati kota lamaku yang terlihat ditinggalkan. Rumor mengatakan bahwa pasukan

Zwede bersiap menyerang dari perbatasan utara, bahkan Aku mendengar bahwa tiga kompi yang dikirim bersamaku hanyalah sebatas alasan bagi pimpinan untuk mengetes kemampuanku. Tidakkah mereka sadar bahwa orang-orang inilah yang dalam bahaya dan bukan Aku? Aku hanya dapat berharap, semoga mereka semua kembali dengan selamat. 

Perbatasan utara Eindernesia-Deinusia, tahun 2094. Negara kecil kami dulunya bersahabat baik dengan Deinusia. Namun, suatu hari Zwede mengirimkan corday ke Deinusia dari utara dan negara pelindung kami sedang bertempur melawan mereka di sisi lain. Deinusia sempat melawan dengan bantuan kami, namun pasukan gabungan dikalahkan oleh corday. Sekarang, yang tersisa hanyalah reruntuhan yang ditumbuhi tanaman cukup lebat. Daerah yang asing, bagai berada di dunia lain. Setelah kupikir, baru kali ini Aku berada di daerah hutan belantara. Instingku tertarik dengan banyaknya suara gemerisik dahan pohon oleh angin. Namun, Aku yakin kami tidak sendiri. 

Sekitar satu jam kami berpatroli, namun tidak ada yang terjadi. Hari mulai gelap, dan kami memutuskan untuk menyiapkan kemah kecil. Dengan teknologi negeri kami dan sedikit kekuatan sihir, kami dapat memasak, menghangatkan, dan mengemas kembali kemah. Aku mengambil tugas jaga, karena kuyakin ini akan sedikit membuat mereka lega dan Aku dapat menghadang siapapun yang mengancam keselamatan kami. 

Dua jam berlalu, keadaan semakin hening dan gelap. Aku nyaris saja tertidur sampai kudengar suara aneh di antara suara dahan pohon dan daun yang terbawa angin. Aku dapat merasakan mereka, seolah-olah mereka berjarak sangat dekat denganku. Aku menyiapkan pedang dan belatiku, berjaga-jaga apabila mereka menyerang. Dua orang di arah kiri, dan dua orang di arah kanan, keempat-empatnya membawa senapan khas Zwede. Kudengar salah satu dari mereka melihatku dalam kegelapan lalu berteriak keras. 

ZEP! Aku menikam orang itu secepat kilat. Ketiga orang lainnya bereaksi tapi Aku menebas kepala mereka dengan cepat. Tubuh mereka segera jatuh ke tanah dan membangunkan beberapa orang dari kompiku. Baru kali ini, Aku membunuh manusia, bahkan memenggalnya hidup-hidup. Aku yakin mereka tidak akan menderita lama, dan kupastikan mereka meninggal tanpa merasakan sakit. Orang yang kutikam masih bergerak, mencoba untuk meraih senjatanya. Aku mendekat untuk membunuhnya, sampai pimpinan menghentikanku. “Kita perlu informasi darinya,” demikian katanya. 

Kami mengikatnya di kemah, mengobati luka yang kusebabkan, dan mencoba mengintrogasinya. Dengan sedikit sihir, kami mendapat informasi bahwa pasukan pengintai telah melakukan spionase selama 3 hari, dan kini pasukan penyerang sedang bergerak dari utara Deinusia. Mengetahui hal ini, pimpinan kami memutuskan untuk mengirimkan satu kompi dengan pesan ke markas. Aku bersama dua kompi lainnya akan mencoba menahan gempuran Zwede.

Hari berikutnya saat matahari terbit, Aku dapat merasakannya. Ratusan- tidak, ribuan prajurit Zwede bersama dengan copet-copet dan persenjataan berat mereka sedang mengarah ke posisi kami. Mereka akan tiba sebentar lagi. Aku meyakinkan pimpinan agar menghadapi mereka dibelakangku, tapi dia bersikeras mengambil baris depan. 

Clarice masih mengunjungiku setiap minggunya selama 6 tahun Aku bertugas sebagai corday. Kepala yang kuremukkan tergantikan dengan senyumnya. Badan yang kuhancurkan ditukar dengan pelukannya. Kaki dan tangan yang kupatahkan terbayar oleh belaiannya. Luka yang ditorehkan musuhku dihapuskan oleh rawatannya. Clarice kini menjadi penopangku. Kami adalah satu dan karena Ayah menempatkannya bersamaku, Aku masih dapat terus berjuang. 

Inilah isi surat terakhirku untuk Clarice: 

“Tahun 2099, 

hari pembalasan yang kutunggu selama 6 tahun akhirnya tiba. 

Clarice, 

setelah kumenangkan pertempuran ini, 

mari hidup bersamaku sebagai penerus nama Calentis. 

Tunggulah Aku.” 

Hari itu adalah hari yang cerah. Burung-burung berkicauan dan matahari bersinar terang. Suara manusia yang bercengkrama terdengar samar. Benar-benar hari yang indah … 

… sampai implosion terjadi.


CHRONICLE

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *