Entri Writchal #1
Tema: Kakak Adik
Parallelogram α
Kehidupan yang tenang, sebagai seseorang yang memiliki keluarga bahagia. Sang adik yang selalu menempel dengan kakaknya. Ayah yang selalu bermain bersama dan ibu yang selalu mendukung seluruh kegiatan dan mimpiku.
Sang kakak hanya memiliki satu ambisi, yaitu untuk selalu berada di samping adiknya. Rintangan, tembok setebal apa pun, akan ia terjang demi adiknya.
“Kak, tetaplah jaga adikmu, ya.” Sang ibu mengusap-usap kepala sang kakak. “Ibu, ayah, selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian.”
Di tengah malam yang dipenuhi suara-suara hewan nokturnal dan cahaya bulan yang menyelimuti dinginnya udara, sang ibu menitikkan air matanya.
Air mata kesedihan yang bahkan tak bisa dimengerti apa maksudnya.
Dengan kecupan terakhir di dahinya, sang ibu pergi meninggalkan sang kakak.
…
Sang ibu pergi meninggalkan sang kakak. Sang ayah pergi meninggalkan sang adik. Keduanya meninggalkan sepasang kakak beradik.
Di hadapan tumpukan tanah dan nisan dari kayu yang bertuliskan nama dari sang ibu dan ayah. Hujan benar-benar menutupi tangisan kedua anak itu.
Dengan kondisinya yang dikotori lumpur tanah dan wajah runyamnya menangis tersedu-sedu.
“Ibu … Ayah ….” Sang kakak sulit untuk menerima segala pahitnya itu.
Sang adik pun menangis, tetapi … ia menangis karena untuk pertama kalinya melihat sang kakak menangis.
Keduanya benar-benar melepaskan seluruh emosinya. Tak ada yang bisa mendengarnya. Tak ada yang bisa menolong mereka.
Hanya diri mereka sendiri yang bisa menolongnya.
Kekuatan.
Rasa saling membantu.
Kepercayaan.
Sang kakak dan adik benar-benar sudah berubah selama satu tahun ke belakang. Mereka sudah mampu menerima seluruh kenyataan.
Bahkan dengan kemampuan dan bakatnya sekarang, sang kakak mendapatkan sebuah pekerjaan dengan penghasilan yang cukup besar saat dirinya menduduki bangku SMA. Sedangkan, sang adik mendapatkan penghargaan sebagai siswi terbaik di sekolahnya dan beasiswa penuh.
“Dek, bukannya hari ini kamu ada ujian tengah semester? Kamu bisa terlambat, loh,” teriak sang kakak dari depan pintu kamar adiknya.
Saat ini, mereka berdua hidup dengan damai di sebuah rumah yang dibeli oleh sang kakak dari gaji kerjanya.
Sang kakak mencoba untuk mengetuk-ngetuk kamar adiknya, “Jangan salahkan kakak, ya. Jika kamu terlambat pergi ke sekolah.”
Inilah awal kehidupan sang kakak, seorang siswa yang sudah menduduki bangku kelas 3 SMA.
~***~
“Kenapa kakak tidak membangunkanku!” sang adik panik karena terlambat untuk mengikuti ujian di sekolahnya.
Kakaknya sedang berada di dapur menyiapkan makanan untuk dirinya, “Apa maksudmu,” — sang kakak menghampiri adiknya dan menjitaknya dengan lembut — “kakak sudah membangunkanmu, tapi kau tidur seperti sedang hibernasi saja.”
“Maafkan dedek,” ucap adiknya sembari pipinya dicubit oleh kakaknya itu. Sang adik merapikan buku-bukunya ke dalam tas dan juga merapikan pakaiannya.
Sang kakak membatunya, “Semangat ujiannya, ya.”
“Terima kasih, kak.” Sang adik tersenyum senang karena baru saja disemangati oleh kakaknya.
“Maksud kakak, semangat menjalani ujian dengan waktu yang tersisa sedikit.”
“Kakak! Sekarang kakak antarkan aku ke sekolah,” menarik pakaian kakaknya dan keluar rumah.
“Baiklah, baiklah.”
Dengan sepedanya yang ada di halaman depan, sang kakak mengantarkan adiknya pergi bersekolah di kursi kelas satu SMP.
Sepanjang perjalanan, sang adik hanya diam melamun.
Di tengah perjalanan, ban depan sepeda bocor. Terpaksa untuk mereka berdua untuk berjalan sembari sang kakak mendorong sepedanya.
Sang adik seketika mengucapkan sesuatu saat sedang berhenti di depan palang kereta, “Kakak, apakah kita selamanya akan selalu berdua? Dan apakah kita bisa untuk selalu seperti ini saja?”
Sesaat keduanya terdiam akibat pertanyaan itu. Hanya terdengar hembusan angin yang semakin kencang melewati telinga.
Kereta pun lewat dengan cepat dan suara kencangnya yang menutupi suara rintihan adiknya.
Sang kakak fokus melihat jalan di depannya, memandangi kereta yang lewat. Bahkan tak ada perubahan raut wajah di mukanya.
“Sepertinya adek menanyakan hal yang aneh, ya? Maaf,” genggaman sang adik pada pakaian kakaknya semakin erat. Wajahnya menjadi sedikit murung. Ia juga menutupi wajahnya pada punggung kakaknya.
Apapun yang terjadi, kakak akan selalu berada di sampingmu — pikir sang kakak.
Berlalu lah waktu di jalan, mereka berdua sampai di sekolah. “Terima kasih, kak.” Sang adik menarik tangan kakaknya untuk salam. Menundukkan kepalanya menghampiri tangan sang kakak.
Setelah salamnya, sang kakak mengusap-usap kepala adiknya, “Semangat, ya.”
Wajah kakaknya tersenyum. Senyuman yang terlihat sangat tulus. Karena senyumannya itu, sang adik semakin semangat lagi untuk mengikuti ujiannya.
“Baik!”
Punggung adiknya sembari membawa tasnya, berlari dengan semangat ke dalam sekolah. Pemandangan itu selalu tertanam dalam pikiran sang kakak.
“Baiklah, mungkin aku akan pergi ke pasar terlebih dahulu.”
Dari sekolah, sang kakak melanjutkan perjalanannya ke pasar.
Tak jauh jaraknya, hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja. Sang kakak memarkirkan sepedanya di salah satu toko yang sering ia kunjungi.
“Ibu kue, saya nitip sepeda saya seperti biasa, ya.”
“Ok, nak.”
“Oh ya, seperti biasa saya pesan yang ‘itu’.”
“Mungkin nanti akan ibu titipkan pada anak ibu.”
“Ok, bu.” Sang kakak berlari ke dalam pasar. Mencari seluruh keperluan yang dibutuhkan.
Sang kakak mencari-cari toko yang kemarin disarankan oleh adiknya, “Sayur … Daging … Toko Ikan Segar. Ah, di situ.” Sang kakak berjalan sembari menyebut toko-toko yang dilewatinya.
“Halo kakak pahlawan, kemari! Kami baru saja mendapatkan ikan segar kesukaan adikmu.” Sang penjual ikan di toko bernamakan “Toko Ikan Segar” itu memanggil sang kakak.
“Jangan panggil seperti itu. Aku malu.”
“Hahaha! Tidak apa-apa. Karena sampean, pasar ini menjadi lebih sejahtera setelah para preman itu pergi.”
“Ya sudah. Saya pesan ikan patinnya, umm … mungkin 1.5 kilo saja?”
“Tidak perlu ribet-ribet jika dengan saya. Nih!” sang pemilik toko itu memberikan 4 ekor ikan patin di dalam bungkusnya. “Harganya seperti biasa saja.” Dia memberikan senyuman ramahnya kepada seluruh pembeli di sana.”
“Baiklah,” sang kakak memberikan uangnya. Lalu menerima kembalian. “Terima kasih,” pergi meninggalkan dan mencari toko lain.
“Terima kasih kembali juga. Ayo! Dibeli-beli ikan segarnya ….”
Saat berkeliling pasar, mencari, serta membeli seluruh kebutuhannya, ia selalu disambut dengan baik oleh para pedagang. Semuanya juga berterima kasih kepadanya. Memang benar, jasanya itu telah membuat senang banyak orang di sana.
Hanya saja, aku malu jika selalu seperti ini ….
Karena semua kebutuhannya sudah terpenuhi, sang kakak kembali ke toko kue tempat ia memarkirkan sepedanya. “Halo, bu. Saya ingin mengambil pesanan saya.”
“Kakak! Ini ibu tadi menitipkan pesanannya ke Talia,” seorang anak kecil yang sedang bermain dengan mainannya.
“Oh, Talia. Ibumu sudah pergi?” mengambil pesanannya dan memberikan uangnya pada Talia.
Talia menyimpan uangnya dalam laci, “Ya, ibu sudah pergi.”
“Nih, kakak punya permen enak,” — memberikan permen tersebut dan mulai membisikkan sesuatu — “tapi jangan bilang pada siapapun, ya? Psttt ….”
Talia mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seolah-olah paham, “Baiklah, psttt …. Hehe.” Ia tersenyum manis dengan posisi jari telunjuk pada bibirnya.
“Kalau begitu, kakak pergi duluan. Dadah, Talia.” Sang kakak mengambil sepedanya.
“Dadah, kakak!” melambai-lambaikan tangannya.
~***~
Sang adik datang ke dalam kelas dengan kondisi terlambat. Ia diperbolehkan untuk mengerjakan ujian, hanya saja tidak mendapatkan perpanjangan waktu.
Menurutnya, perpanjangan waktu itu tidaklah terlalu penting. Karena ia tetap bisa mengerjakannya dengan cepat dan tepat.
“Saya sudah selesai, bu. Apakah saya boleh untuk pergi ke kantin untuk istirahat lebih dulu?” ucap dan tanya sang adik. Ia melakukannya dengan cepat, karena ia sadar. Bahwa ia belum sarapan dan perlu untuk sarapan, secepatnya.
Guru pengawas dan siswa di sana terkejut dengan ucapannya, “Ba—baiklah, kamu boleh duluan.”
Apa yang ingin saya makan, ya? — pikir sang adik.
Tetapi sesampainya di kantin, “Ramai sekali … Aku sudah tidak tahan lagi.”
Dengan seluruh kemampuannya, sang adik berhasil menyelip-nyelip di antara kerumunan dan berhasil mendapatkan tiga potong roti isi.
“Aku mendapatkan isi daging mayo, jagung manis, dan abon. Tidak masalah, yang penting aku masih bisa makan.”
Melihat tempat duduk di sekitar kantin, seluruhnya dipenuhi oleh para murid yang sedang mempelajari materi ujian.
Mungkin aku harus mencari tempat sepi.
Sang adik berkeliling sekolah, mencari tempat yang tenang untuk dirinya makan. Sedikit sulit mencarinya. Di hari itu, seluruh murid datang ke sekolah. Sehingga sekolah terasa sangat padat.
“Di mana, ya …?” bingung mencari tempat yang dapat dinikmati dan menghindari orang banyak.
Dan saat berjalan-jalan hingga ke bagian belakang sekolah, ia melihat adanya seorang lelaki sedang membawa jeriken. Jeriken yang kemungkinan berisikan minyak tanah.
Siapa pria itu? — pikir sang adik.
Sang adik penasaran dan berujung mengikuti lelaki tersebut.
Dia masuk ke dalam sebuah gedung kosong … sebentar, itu gudang, kan?
“Sepertinya, aku tidak bisa untuk mengikutinya lebih jauh lagi. Lebih baik aku kembali ke kelas dan mungkin bertanya ke guru-guru.”
Seperti ada hal yang ganjal.
Tetapi, pada saat ia membalikkan tubuhnya. Ia bertemu dengan seseorang. Seseorang yang kesannya mencurigakan.
~***~
Kembali pada sang kakak yang baru saja sampai di rumahnya.
“Aku pulang! … Mungkin begitu, tidak ada siapa-siapa di rumah.”
Sang kakak menyimpan seluruh belajaannya di dapur. Sebelum merapikannya, ia mengambil minum dari dispenser di sampingnya.
“Bosan juga, ya.”
Alasan dirinya itu tidak pergi ke sekolah, karena ia baru saja menyelesaikan seluruh pembelajaran di semester tersebut hanya dalam waktu dua bulan. Sehingga ia bisa memanfaatkan waktu luangnya untuk bekerja dan juga merawat adiknya.
Benar juga, tahun depan aku sudah harus pergi berkuliah.
Ia minum sembari duduk di kursi ruang tengah, “Tapi, aku kan sudah mendapatkan beasiswa.”
“….”
Hening, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi.
Sang kakak masuk ke dalam kamarnya, mengambil laptop untuk mengecek apakah ada pekerjaan baru atau tidak. Ia baru saja menyelesaikan bagiannya yang seharusnya dikerjakan dalam satu bulan. Tetapi, dia menyelesaikannya dalam tiga hari saja.
Tidak heran jika dirinya itu mendapatkan pemasukan yang luar biasa banyaknya dari tempat ia bekerja.
“Tidak ada kerjaan baru lagi.” Menutup laptopnya. Berdiri dan meregangkan tubuhnya.
Seketika ia seperti mendapatkan ide bagus. Alisnya naik.
“Mungkin pergi berolahraga akan bagus.” Ia melihat ke arah jam, “Yosh, masih menunjukkan pukul 7.30.”
Saat salah satu kakinya baru saja melewati pintu rumah, ia teringat sesuatu.
“Benar juga, tadi pagi aku sudah berolahraga. Lagipula, ban sepedanya belum kuperbaiki.” Ia baru saja mengingatnya.
“Mungkin lebih baik, aku tidur saja.”
Saat membalikkan badannya ke dalam rumah, sensor saraf pada leher belakangnya merasakan sesuatu.
Apa itu?! — sang kakak melihat ke arah halaman depan rumah.
Ia juga memegangi punuk lehernya itu, “Mungkin perasaanku saja.”
Dengan perasaan tidak mengenakkan itu, ia masuk ke dalam kamarnya.
Merebahkan tubuhnya. Mencoba untuk menutup mata dan tidur. Tetapi, perasaan tadi terus menghantui pikirannya.
Yang tadi itu, apa? ….
Tak terasa, sang kakak sudah terlelap saja dalam tidurnya.
Tidur dengan baluran cahaya matahari dari jendela kamarnya.
Sangat nyaman.
~***~
Tempat yang sangat hening, tak ada apa-apa di sana.
Kosong.
Hampa.
Sang kakak terbangun di tempat seperti itu.
Ia sadar bahwa itu adalah mimpi. Hanya saja, ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sebagaimana dirinya inginkan.
Mimpi? Sepertinya.
“Entah kenapa, tubuhku terasa sangat ringan.”
Aku bisa berbicara, hanya saja tubuhku terasa terikat oleh sesuatu.
“Tubuh ringan ini, seperti yang orang-orang katakan jika roh seseorang baru saja meninggalkan tubuhnya.”
Jadi … apakah aku mati?
Ia melihat sekitarnya. Semuanya hanyalah putih tak berujung. Tempat yang sangat polos tanpa ada noda sedikitpun.
Sepertinya bukan, mungkin.
Dan entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya mampu ia gerakan sendiri.
Ia melihat tubuhnya sendiri. Memang terasa seperti ada yang mengekang, tapi tidak terlihat di mana-mana.
“Apa tidak ada jalan keluar dari sini?”
Sang kakak berjalan lurus entah tidak tahu ke mana akan membawanya.
Saat dirinya mencoba mengulurkan tangan kanannya, ada sesuatu yang menarik-narik lengan kirinya.
Wajah sang kakak berubah dengan begitu terkejut. Rautannya berubah, dari yang tenang menjadi sangat tidak karuan.
Dengan tersentak, ia terbangun dari tidurnya.
Tubuhnya gemetar luar biasa. Keringat membanjiri tubuhnya. Detak jantungnya berdegup dengan begitu kencang. Rasa pusing yang luar biasa terasa sangat membebani pikirannya.
Apa-apaan mimpi tadi itu?! — pikirnya sembari mengatur napasnya.
Karena ia baru saja tersadar, ia melihat ke arah jam. “Sudah pukul empat sore, apakah adikku belum pulang?!?”
Sang kakak bergegas menuju ruang tengah, “Adek!” Dengan terengah-engah ia memanggil adiknya.
“Ya, kak?” sang adik terkejut dengan sikap kakaknya. “Kenapa, kak? Apa kamu baik-baik saja?” Beranjak dari kursi di ruang tengah, menghampiri kakaknya.
Dia ada di sini. Syukurlah …. — napas lega sang kakak.
Adiknya itu memegangi tangan kakaknya, “Tidak, kakak tidak apa-apa.”
Syukurlah ….
“Lebih baik kakak duduk dan minum terlebih dahulu.” Sang adik menuntun kakaknya ke kursi
“Terima kasih,” jawab kakaknya.
Mimpi tadi itu sangat mengerikan.
“Ini, kak. Minumnya,” suara sang adik memberikan minuman itu kepada kakaknya.
Dan entah kenapa cahaya di luar jendela menjadi berwarna merah pekat.
“Adek ….” Panggil kakaknya sembari melihat jendela. “Adek!”
“Kenapa, kak? Adek di sini.”
Lagi-lagi wajah dan tubuh mengerikan itu terlihat lagi. Sang kakak terkejut untuk kedua kalinya dan juga memasang wajah yang serupa.
Terkejut tanpa mengeluarkan suara sama sekali.
Kedua kalinya, ia terbangun lagi dari tidur dengan kondisi yang buruk. Kelelahan, berkeringat, dan gemetar luar biasa.
Hanya saja, kali ini berbeda.
“Kakak, adek pulang.” Teriak adiknya yang baru saja pulang.
Itu suara adek!
Adiknya itu mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya. “Adek masuk, ya.”
Dan saat pintu itu terbuka, terlihat adiknya sedang membawa makanan dengan pakaian bebasnya.
“Adek! … Kenapa kamu menggunakan baju bebas? Bagaimana dengan uji—annya …? Adek?” ucapannya terpotong karena bingung.
Entah apa yang terjadi, sang adik memasang wajah ketakutan. Ia berjalan mundur perlahan-lahan dan tersandung jatuh. “Ka-kakak ….” Ia menutup mulutnya. Seakan-akan ingin berteriak, tetapi ia tak sanggup untuk melakukannya.
Semua itu terlihat jelas oleh sang kakak. Seolah-olah sang adik, baru saja melihat hantu atau hal mengerikan lainnya.
Kakaknya mencoba menghampiri adiknya. Dan saat ia mencoba untuk menyentuh adiknya. Lengannya itu menembus tubuh adiknya.
Menembus?!
“Adek! Apa kau mendengarkanku?!” teriak sang kakak.
Apa yang terjadi … dia tidak bisa mendengarku.
Mencoba untuk melihat, apa yang dilihat oleh adiknya. Dan saat melihatnya, sang kakak merasakan mual yang luar biasa. Ia baru saja melihat pemandangan mengerikan. Dengan reflek menutup matanya karena tak kuat untuk melihatnya.
Apa-apaan lagi itu!
Saat sang kakak membuka matanya kembali, seluruhnya menjadi hitam.
Lalu, terdengar suara kereta yang entah dari mana asalnya.
Depan?
Belakang?
Samping?
Tidak, kereta itu berasal dari bawah. Menabrak tubuh sang kakak dengan begitu keras. Seolah-olah terdengar suara balon pecah dengan begitu kencang. Dan rasa dingin darah yang melumuri sekujur tubuh.
Dan mungkin, untuk terakhir kalinya … Sang kakak terbangun dari tidurnya.
Ia langsung memegangi lehernya, melihat seluruh tubuhnya. “A-aku … tidak apa-apa.”
Napasnya itu menjadi sangat tidak teratur.
Mimpi yang luar biasa mengerikan!
“Apa-apaan mimpi tadi itu … Kepalaku menjadi sangat pusing.” Mencoba untuk menenangkan dulu kondisinya.
Tak lama dari sana, ia teringat harus menjemput adiknya.
Benar juga, aku harus menjemput adikku.
Sang kakak langsung pergi menuju sekolah adiknya menggunakan motor yang disimpan dalam garasi. “Aku sudah terlambat.”
Adikku pasti sudah menungguku.
Ia pergi begitu saja, seolah-olah sebelumnya tidak terjadi apa-apa.
Sepanjang perjalanan, udara menjadi terasa semakin dingin. Langit-langit pun menggelap. Seolah-olah hal buruk akan segera terjadi.
Apakah aku masih di dalam mimpi? Sepertinya tidak. Kali ini semuanya terasa sangat nyata.
Benar, nyata.
Sesampainya di sekolah sang adik, ia melihat banyak sekali orang berdiam diri di depan gerbang.
“Kakak!” terdengar suara samar-samar memanggil sang kakak.
Melihat ke segala arah, “Adek?!”
Tanpa pikir panjang, sang kakak langsung memarkirkan motornya di depan gerbang sekolah.
“Permisi!” ia menerjang masuk ke dalam sekolah.
“Katanya ada seorang murid yang terbunuh akibat mengagalkan rencana pembakaran sekolah.” Terdengar bisikan yang memasuki telinga sang kakak.
Sang kakak, saat tiba di tempat kejadian. Dia benar-benar bingung, ekspresi apa yang harus dipasang. Dia melihat tubuh adiknya sudah berlumuran darah di tanah. Seolah-olah baru saja terjatuh dari lantai atas.
Bentuk tubuhnya sudah tidak karuan.
Kedua kaki sang kakak melemas. Kepalanya merasakan pusing yang luar biasa. Rasa mual pun membuat dirinya muntah.
Rasanya ingin berteriak. Tetapi, mulutnya itu terasa seperti tidak bisa terbuka.
Dan untuk seketika, dia melihat bayangan adiknya dalam mimpi. Dia mengingat semua mimpinya tersebut.
“Murid ini terjatuh karena ada yang mendorongnya —”
“Awalnya murid ini dikejar-kejar oleh pelaku hingga lantai atas.”
Bisikan-bisikan tersebut membuat darah sang kakak mendidih dan mengalir cepat. Rasanya seperti kepala ingin meledak begitu saja.
“Pelakunya itu adalah seorang mantan guru.”
“Benarkah?”
“Mengerikan.”
“Dan katanya ia berhasil melarikan diri sebelum polisi datang kemari.”
Seorang mantan guru di sekolah ini, ya … — sang kakak sudah tidak bisa berpikir dengan jernih lagi.
Perlahan ia maju, mendekati mayat adiknya itu. Para polisi yang berada di lokasi mencoba untuk menahan orang-orang untuk tidak mendokumentasikannya.
Sedikit demi sedikit, memori adiknya itu muncul dalam pikiran sang kakak. Air mata sudah tak kuasa terbendung. Semua emosi mengalir begitu saja.
Polisi di sana mencoba untuk menahan sang kakak agar tidak mendekati adiknya itu.
“Tenanglah, nak!” para polisi menahan tubuhnya sang kakak.
Dengan tubuhnya yang sudah di luar kendali, sang kakak memukul dan membanting para polisi dengan begitu mudahnya.
“Hei, nak!”
“Hentikan.” Seorang komandan meminta para polisi untuk berhenti. Dia paham dengan apa yang terjadi.
Sang kakak berhasil mendekati mayat adiknya. Ia memandang ke bawah, bertekuk. Tangisannya itu membersihkan wajah sang adik dari simbah darah.
“Adek ….”
Ia mengepalkan tangannya. Memukulkan tangan itu dengan keras ke tanah. Bahkan, hingga tangannya itu mengalami luka sobek yang cukup serius.
Dia berteriak dengan begitu kencang.
“Arghh! Sialan! Aaaa!! Sialan! Sialan! Sialan!!! Aku benci semua ini!”
Dengan pukulan terakhirnya ia terjatuh tepat di samping adiknya.
Orang-orang berhenti ribut setelah melihat sang kakak, berteriak begitu kencang sembari memukulkan tangannya ke tanah.
Aku benci diri sendiri yang tidak mampu melindungi adikku.
Kesedihan dan kemarahan sang kakak terlukis pada langit yang semakin gelap. Tidak ada cahaya matahari yang menembus. Gemuruh pun semakin kencang.
Ia mencoba bangun, duduk di samping adiknya. Meraih tangannya yang bahkan sudah tidak terhubung dengan tubuhnya.
Hujan turun dengan begitu deras. Menyapu habis darah yang ada di tanah dan juga tubuh sang adik. Air yang jatuh juga menutupi kesedihan dan gemuruh menghalangi jeritan sang kakak.
Komandan yang tadi menghampiri sang kakak, “Nak.” Dirinya itu terkejut melihat pemuda itu memiliki tatapan kosong.
“Sadarlah,” ucap komandan tersebut.
Sang kakak menghempaskan tangan komandan tersebut. “Minggirlah.”
Tunggu saja, dek. Aku akan membalaskan dendammu.
~***~
Pemakaman berlangsung dengan dihadiri banyak orang, termasuk juga para pedagang. Pasar dibuat tutup sementara hanya untuk mendatangi acara ini. Semua orang memasang wajah sedih. Mereka kehilangan sosok yang membuat tempat mereka menjadi lebih bahagia.
Sang kakak hanya melihatnya dari kejauhan.
Tepat setelah sang adik dimasukkan kedalam liang lahat, sang kakak pergi dari makam tersebut. Pergi mencari jejak dari pembunuh adiknya tersebut.
Sudah tak ada kehidupan dalam tatapan sang kakak.
Setiap dia diganggu oleh preman. Dia memukulinya hingga para preman itu tidak sadarkan diri.
Pasar, bawah jembatan, hingga gang sempit, semua tempat itu dia lewati tiap malamnya. Mencari bukti dan seluruh informasi mengenai pembunuh adiknya.
“Majulah.” Sang Kakak meremehkan seluruh preman yang menghalangi jalannya.
Para preman merasa kesal karena telah diremehkan. Mereka semua maju bersama menerjang sang kakak.
“Hiyaa!” seorang preman mencoba untuk menusuk.
Tapi serangan lurus seperti itu sangat mudah untuk dihindari dengan cara menggerakkan tubuh ke samping. Sang kakak jongkok menghindari tendangan menuju kepalanya. Ia juga melompat, menghindari serangan sapuan.
Tiga orang preman itu gagal menyerang sang kakak.
Bukan menangkisnya atau membalasnya, sang kakak hanya menghindarinya dengan santai bahkan tanpa menggerakkan tangannya. Tanpa reaksi sama sekali.
“Kali ini, biar aku yang maju.”
Dengan pose seperti ingin menendang ke arah atas, si preman mencoba untuk menghindari tendangannya. Alhasil terjatuh ke belakang. Hanya saja, itu bukanlah bentuk tendangan ke arah atas. Tetapi, tipuan untuk menyapu kakinya.
Tepat sebelum preman itu jatuh. Temannya datang untuk menangkap dan menghentikan pergerakkan sang kakak. Ia memeluknya dengan begitu keras. Preman satunya lagi mencoba untuk memukul sang kakak yang ditangkap.
Pukulannya itu tidak akan pernah sampai, karena ditangkis menggunakan kakinya. Terhempas dengan keras ke atas. Dilanjutkan dengan menginjak kaki preman yang memeganginya.
Injakkannya itu terasa sangat keras. Terdengar suara retakan atau dislokasi seperti plastic warp yang diremas begitu keras. “Aaaaa!!! Sakit!” Preman itu berteriak.
“Aku tak ingin membuang waktuku lagi. Katakan di mana bajingan pembunuh itu?!” sembari menginjak tangannya.
“Aaa! Sialan! Mana aku tahu!” preman itu berteriak dengan sangat keras.
“Tidak berguna.” Menendang kepalanya hingga terpingsan.
Sial, kemana lagi aku harus mencarinya!
Pakaian dan wajahnya sudah lusuh seperti orang yang tidak pernah merawat dirinya sendiri. Dirinya terlalu sibuk untuk mengejar dendamnya itu.
Saat di rumah pun, dia hanya melakukan pekerjaannya demi mendapatkan uang. Dan uangnya tersebut digunakan untuk mencari keberadaan pembunuh tersebut. Ia membayar mata-mata, polisi, bahkan pembunuh bayaran demi mendapatkannya.
Sudah sekitar 10 hari berlalu pencarian jejak pembunuh tersebut.
Selesai dirinya merekap seluruh informasi yang dia dapat. Akhirnya tujuan yang diincar sudah terlihat jelas.
Tepat pada pukul 19.00, dirinya itu pergi menuju kota sebelah. Kereta mengantarkan keberadaannya itu pada tujuan akhirnya.
Entah apa yang terjadi, saat dirinya keluar melewati pintu kereta. Kenangan? Nostalgia? Rasa rindu? Semuanya itu terasa pada dadanya. Seakan-akan ombak itu membasahi hatinya yang mengering.
Perasaan ini?! Adek? — sang kakak menoleh ke segala arah. Mencari rasa ketidakjelasan tersebut.
Hanya bayangan saja? Mungkin.
Sang kakak melanjutkan perjalanannya di bawah sinar rembulan. Berjalan di tempat yang bahkan tidak ia ketahui medannya.
Penginapan, ya … sepertinya aku tidak memiliki waktu untuk itu.
Di sepanjang perjalanan menuju tempat tujuannya. Rasa tadi terpikirkan oleh sang kakak hingga sekarang.
Yang tadi itu … apa? Entah kenapa aku merasakan kehadiran adikku. Tapi secara bersamaan, aku tidak merasakannya juga.
Sang kakak akhirnya tiba di tempat yang dia tuju.
“Sebuah bar. Di sini, ya.” Sang kakak masuk ke dalam tempat yang penuh dengan warna neon dan suara musik yang sangat keras.
Aku benci tempat ini.
Sang kakak berjalan ke tempat bartender berada.
“Ada yang bisa saya bantu, Pengunjung Baru?”
Dia bisa menyadarinya.
“Kalau begitu …” Sang kakak berpikir minuman yang sekiranya tidak akan membuat dirinya mabuk.
Mungkin sedikit alkohol tidak masalah.
“… Mai Tai saja kalau begitu.”
Bartender itu seolah-olah terkejut, “Tuan Muda ini memiliki selera yang lumayan berbeda, ya. Mohon tunggu sebentar.”
Selagi menunggu bartender membuat minumannya, sang kakak memerhatikan sekitarnya. Dia mencoba untuk memahami medan yang ada di sana.
Aku belum melihatnya sama sekali. Seharusnya dia di sini pukul 12 malam — melihat ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul tepat jam 12 malam.
“Silahkan dinikmati, Tuan Muda.”
“Terima kasih.”
Tanpa basa-basi lagi, bartender tadi menanyakan sesuatu kepada sang kakak. “Apakah Tuan Muda ini sedang mencari sesuatu?”
“Ah, tidak. Hanya saja saya takjub dengan tempat ini.” Sang kakak hanya basa-basi karena tidak ingin ketahuan kedoknya.
“Tenang saja, jika Tuan Muda ingin melakukan kerusuhan di sini.”
Sang kakak langsung fokus melihat bartender tadi, “Kakek bartender ini sepertinya ahli membaca pikiran, ya.”
“Wajahmu—tidak, sorot matamu itu benar-benar kosong. Seolah-olah bukan sedang menatap yang ada dihadapanmu. Sepertinya Tuan Muda sedang mengalami masalah,” ucap bartender sembari mengelap gelas-gelas.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Terima ka—” ucapannya terpotong.
Seorang pria tua tiba-tiba berteriak di samping sang kakak. “Pak Tua! Saya ingin Vodka yang seperti biasa.”
“Baiklah,” jawab bartender sembari melihat ekspresi sang kakak yang tiba-tiba terkejut mendengar suaranya.
Tiba-tiba suasananya menjadi sangat canggung. Sang kakak benar-benar bertemu dengan targetnya — lebih tepatnya, targetnya menghampiri dirinya.
“Lama tidak bertemu.” Pria di sampingnya itu memulai pembicaraan lebih dulu.
Sang kakak mendengarnya, tapi tidak mengacuhkan apa yang dikatakan pria tersebut.
“Seperti yang sudah ketahui dan sadari, aku adalah pembunuh dari adikmu.”
Menahan amarahnya dengan begitu keras.
“Aku sudah mengetahui bahwa kau akan kemari. Dan mungkin ini akan menjadi kesempatan terakhirku untuk meminta maaf.” Pria itu menghadap ke arah sang kakak dan mengucapkan permohonan maaf, “Maafkan aku …”
“… Jujur saja, aku tidak menduga hal tersebut akan terjadi. Karena niat awalku hanyalah ingin membakar gudang tersebut.”
“Selain itu, aku tahu bahwa kau datang kemari dengan bermaksud untuk balas dendam dan membunuhku.”
“Tapi, seperti yang seharusnya sudah kau ketahui juga. Aku tidak akan berdiam diri jika kau berniat seperti itu.” Pria itu mengangkat kepalanya.
Seketika para pengunjung di dalam bar berdiri dan menghadap ke arah sang kakak.
Kepalannya itu melemas, lalu ia mengambil minumannya. Ia meminumnya seteguk.
“Seharusnya kau sudah mengetahuinya juga, bahwa aku tidak akan memaafkanmu. Dan sepertinya, kau salah mengartikan,” ucap sang kakak. Ia berdiri dan mengatakan sesuatu, “Aku tidak hanya akan membunuhmu, tapi aku akan membunuh semuanya.”
Orang-orang di sana tertawa mendengar apa yang dikatakannya. Terkesan melawak saat dirinya mengucapkan demikian. Tapi tidak ada bentuk bercanda dalam setiap ucapannya.
Yang tidak tertawa hanyalah bartender dan pria tersebut.
Seorang pria dengan badan kekar memegang bahu sang kakak, “Hahaha! Nak, lebih baik kam—” Namun, ucapannya terpotong.
Sang kakak memegang lalu mengunci tangannya. Dan mematahkannya menggunakan sikut. Seperti sedang mematahkan kayu atau batu bata. Suaranya terdengar sangat jelas. Suara itu membuat seisi bar itu terdiam.
Pria kekar tersebut menjerit-jerit karena lengannya baru saja patah.
“Seperti bayi,” ucap sang kakak sembari menendang wajah pria kekar itu untuk membungkam mulutnya.
Sang kakak menarik rambutnya lalu memukuli kepalanya hingga benar-benar tak sadarkan diri.
“Hei, pembunuh! Lebih baik kau minum minumanmu. Karena mungkin, minuman itu akan menjadi kenikmatan terakhirmu,” remeh sang kakak.
Seisi bar merasa kesal dengan ucapannya tersebut. Hal itu membuat semuanya menyerang bersamaan ke arah sang kakak.
Satu … Lima … Dua belas, ya? — mencoba untuk menghitung orang yang maju.
Ia menghindari dan menangkis semua serangan yang datang. “Orang dewasa benar-benar lemah.”
Semakin lama waktu berjalan, sang kakak semakin meremehkan orang-orang. Perbedaannya, ucapan yang dia sebutnya itu bukanlah bualan semata.
Karena ….
“Satu,” ucap sang kakak.
… dari apa yang dilihat pun, dia memang benar-benar dapat mengalahkan semuanya seorang diri.
Satu orang telah tumbang. Hanya cukup dengan satu pukulan, ia mengalahkan satu orang di saat semua orang menyerangnya.
“Sialan!” Tak tahu sebabnya, tapi mereka merasa sulit untuk mengalahkan anak tersebut.
Tanpa kata-kata dan reaksi sedikitpun, sang kakak mulai menyerang lagi. Menerjang dengan begitu cepat. Melayangkan hantaman keras pada orang di sampingnya.
“Dua,” menghitung orang yang sudah ditumbangkannya. “Aku sarankan, kalian mengeluarkan senjata kalian. Mustahil untuk mengalahkanku dengan tangan kosong.”
Dari sana, mereka mulai mengeluarkan baton, pisau lipat, senjata tajam lainnya.
Hanya saja, semua itu sia-sia. Sang kakak berhasil mengalahkan keduabelas pria tersebut dengan tangan kosong.
Melelahkan.
Napas sang kakak menjadi kurang teratur, “Haah … hah ….”
Terdengar suara tepuk tangan yang sangat elegan, “Luar biasa,” ujar sang bartender. “Kau adalah pertama kalinya yang selamat di dalam barku ini.”
“Apa maksudmu?” tanya sang kakak.
Bartender itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak penting pertanyaanmu. Saat ini, semua yang kau inginkan berada di atas kediaman ini.”
Benar sekali! Aku mencari pembunuh adikku!
Dengan reflek, sang kakak berlari ke atas melalui tangga darurat.
Semua pilihan tergantung pada tekadmu, Nak — pikir sang bartender.
Sesampainya di atap, sang kakak melihat pembunuh itu menodongkan senjata kepadanya. “Berhenti di sana.”
Udara malam terasa sangat dingin di atas sana. Berbanding terbalik dengan suasananya. Cahaya bulan tertutup awan-awan yang lewat. Hanya ada pencahayaan dari lampu.
“Apa kau berpikir untuk mengakhiri hidupku juga?” tanya sang kakak.
“Aku … tidak peduli dengan orang lain.”
“Apakah kau berpikir bahwa peluru itu dapat mengenaiku?” tanya kembali.
Sang pembunuh menembakkan tembakannya tepat di samping kaki kakak. Tembakan dengan niat untuk membuat sang kakak gemetar ketakutan.
Nyatanya, bergeming saja tidak. Sang kakak berdiam membatu. Seolah-olah sudah mengetahui, bahwa pelurunya memang tidak akan mengenainya.
Berjalan mendekati sang penjahat.
Lagaknya seperti seseorang yang sudah memenangi pertarungannya.
Penjahat itu terus menodongkan senjata ke arah kakak.
Dengan tak acuh, kakak terus berjalan. Hingga senjata apinya itu menempel pada dahinya.
“Sekarang, bunuhlah aku.”
Keadaan itu membuat detak jantung sang penjahat berdegup begitu kencang. Ia melihat tatapan sang kakak yang begitu mengerikan. Tatapan yang begitu dalam, seperti jurang yang tidak berdasar.
Tangannya gemetar. Ia tidak bisa memegang senjatanya dengan benar.
“Kenapa? Bukankah kau tinggal menembaknya?”
Semuanya hening begitu saja.
“Jika kau tidak mau, maka … biarkan aku saja.” Sang kakak menyiapkan kuda-kuda. Lalu menendang sang penjahat dengan begitu keras ke arah depan. Senjata apinya pun terlempar.
Tendangan itu tidak menghasilkan rasa sakit. Tetapi dorongannya sangat kuat. Penjahat itu terpental hingga hampir jatuh dari bangunan. Ia berhasil selamat. Menggantung pada sisi-sisi gedung.
Penjahat itu merasa kesulitan.
“Bagaimana rasanya menggantung dari ketinggian ini? Menyenangkan bukan?”
Sang kakak menginjak penjahat tersebut, berharap untuk penjahat itu jatuh.
Tetapi, ia terpikirkan ide yang menarik. Sang kakak mengambil senjata api yang terlempar sebelumnya. Dan ia menyodorkannya pada mulut penjahat tersebut.
“Kalau begini,” ujar sang kakak mendorong senjata api itu ke dalam mulut penjahat.
Mulut penjahat yang tertutup senjata api itu terus bersuara.
Sang kakak tidak peduli dan tak ingin membuang waktu lagi, “Baiklah, selamat tinggal.”
Dor!
Terdengar suara tembakan yang cukup keras di tengah-tengah malam yang hening.
Sang penjahat jatuh. Tubuhnya berserakkan. Darah, organ dalam, dan segala isinya keluar, mengotori jalanan di sana. Suara tulang yang patah, kepala yang pecah serasa menggema di sekitar jalan tersebut.
Tidak ada siapa-siapa di sana.
“Akhirnya … selesai. Dendam terpenuhi.”
Semuanya berakhir begitu saja.
Sang kakak kembali ke rumahnya.
~***~
Sepanjang perjalanan pulang, sang kakak sudah membulatkan niatnya untuk terus berdiam diri di dalam kamar. Khawatir akan pihak berwajib akan mencarinya.
Ia pulang menggunakan kereta yang serupa pada pagi harinya. Sebelum pulang, ia meninggalkan sedikit uang untuk bar yang sebelumnya ia rusak saat pertarungan semalam.
Dan sesampainya di rumah. Ia benar-benar termenung melihat rumahnya.
Sangat ingin dia mengatakan, “Kakak pulang, dek.” Tapi, semua itu sudah tidak bisa dia lakukan kembali.
Saat ini, semuanya hanyalah kenangan.
Dia berjalan masuk ke dalam rumah. Tetapi saat dia melewati pintu rumahnya, dia merasakan perasaan yang serupa saat dirinya turun dari kereta. Ia merasakan perasaan yang membasahi kedua bola matanya. Air mata mengalir begitu saja.
Entah kenapa aku merasakan adikku lagi di sini — sang kakak mengusap-ngusap matanya.
Sialan kau Tuhan.
~***~
Lima tahun berlalu.
Waktu selama itu hanya dihabiskan untuk menghilangkan kesedihan sang kakak.
Sang kakak mencoba untuk keluar dari rumah tersebut.
Ia menarik napas begitu panjang. Tersenyum dengan begitu lebar, seakan-akan kejadian lima tahun lalu itu hanyalah sebuah karangan fiksi belaka.
Dengan keadaan mentalnya saat ini, mungkin dia sudah bisa mendatangi makam adiknya.
Sebelum itu, dia pergi ke sebuah barbershop untuk merapikan rambut panjangnya yang tidak pernah dicukur. Seluruh kesedihan yang dia rasakan selama ini, terlepas begitu saja bersamaan dengan rambut-rambutnya.
Ia menggunakan pakaian serba hitam dengan keranjang bunga di tangan kanannya.
“Halo, adek! Lama tidak berjumpa.”
Sang kakak merapikan makam adiknya. Ia mencabut rumput-rumput yang tumbuh di sana. Menyiraminya dengan air dan menaburkan bunga yang ia bawa sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, ia mencium nisan yang bertuliskan nama adiknya.
Seluruh perasaan rindu, ia lampiaskan tepat di atas makam adiknya.
Dan lagi-lagi, ia tiba-tiba merasakan kehadiran adiknya. Tidak hanya merasakannya. Tetapi hanya untuk sesaat, ia melihat sang adik di hadapannya sedang menatap nisan yang sama.
Bayangan itu hilang kembali.
Perasaan rindu dalam diri sang kakak terpancing keluar. Dan perasaan rindu itu terwujudkan pada senyum sang kakak yang tulus.
Setelah dari pemakaman, ia berjalan ke arah sekolah adiknya.
Ia berbicara dengan satpam yang ada di sana. Dan satpam mengizinkan dia masuk.
Saat itu, lokasi di mana nyawa sang adik direnggut menjadi tempat orang-orang mendoakan adiknya. Sang kakak merasa senang, bahwa kejadian itu tidak menjadikan sebuah trauma bagi orang dan murid lainnya.
Sang kakak pun bertemu dengan para guru dan kepala sekolah di sana. Ia mengucapkan terima kasih atas semua yang telah mereka lakukan untuk adiknya.
Dari sekolah itu, sang kakak berniat untuk berjalan pulang.
Hanya saja, untuk ke sekian kalinya. Ia merasakan kehadiran adiknya kembali.
Berbeda dengan sebelumnya. Perasaannya tergoncangkan begitu kencang, seakan-akan sang adik benar-benar berada di sisinya. Tangannya merasa menyentuh sesuatu. Saat memperhatikan sekitarnya, ia tidak melihat siapapun.
Perjalanan pulang.
Ia melewati jalan di mana kereta harus melewati jalur tersebut.
Palang kereta turun menutupi jalan. Dan suara sirinenya memperingati agar orang-orang tidak melewati palang tersebut.
Langit tertutupi dengan awan-awan gelap. Dan rintikan hujan mulai turun.
Seandainya orang tahu. Saat ini, sebenarnya sang kakak berusaha untuk menegarkan hatinya. Membendung seluruh air mata yang hampir membludak.
Hujan deras pun turun setelah gemuruh keras terdengar.
Kereta pun masih melaju di hadapan sang kakak.
Seluruh suara itu mengingatkan saat dia mengantarkan adiknya menuju sekolah. Dan saat ini, dia berharap bahwa saat itu ia menjemput dan pulang bersama adiknya.
Perasaan yang ia tahan tak sengaja membludak begitu saja. Tangisan mengalir deras bersamaan dengan hujan yang membasahi tubuhnya. Teriakannya tertutupi oleh kerasnya gemuruh dan kereta yang lewat.
Apakah lebih baik aku mengakhiri hidupku di sini?
Aku sudah tidak memiliki tujuan lain.
Bahkan, aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Ia melihat ke depan, kereta melaju dengan begitu cepat. Sang kakak membayangkan dirinya akan tertabrak pada kereta tersebut. Ia mengulurkan tangannya ke depan. Berharap kematian menjemput dirinya.
Mungkin lebih baik aku menutup mataku.
“Kak ….” Terdengar suara samar.
“Kakak!”
Sang kakak membuka matanya. Hujan di sana tiba-tiba berhenti. Tetapi, kereta tetap melaju dengan cepat di hadapannya. Langit terlihat begitu cerah.
Berbeda pada saat awal. Sang kakak menoleh ke arah samping saat bajunya digenggam erat oleh seseorang.
Air mata menitik ke tanah. Sang kakak terdiam membatu saat melihat adiknya berada di sampingnya. Tidak serupa dengan yang lain. Air mata ini bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan.
“Kakak? Kenapa, kak?”
Aaahhh … perasaan apa ini. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sepanjang hidupku.
“Adek.”
“Ya, kak?”
“Apapun yang terjadi, kakak akan selalu berada di sampingmu.” Sang kakak mengucapkan apa yang sebelumnya hanya ia katakan dalam hatinya.
Penulis: Garpit