I miss you, My Lord ….

Entri Writchal #4
Tema: Prompt Adik Kecil


Suara sirine ambulan berdenging keras di dalam kepalaku. Menutupi suara-suara yang meminta pertolongan. Pandanganku pun kabur, tak ada yang bisa kulihat.

Yang kurasakan saat itu hanyalah … kekhawatiran seseorang pada genggaman tanganku

Kota Beta, 26 Juni 2022

Seorang mahasiswa yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Yang konon katanya, jika ia serius, dirinya itu mampu mendapatkan nilai sempurna pada semua mata kuliah. Selain kepintarannya, dia juga memiliki fisik yang kuat. Dengan berbagai ilmu dan teknik bela diri yang dikuasainya, kejuaraan-kejuaraan yang ada sering dimenangi oleh dirinya. Tetapi semua hal itu ia tutupi demi menjalani kehidupan yang normal. ‘Tidak memiliki tekanan ataupun tuntutan dalam menjalani hidup’, itu adalah prinsip hidupnya.

Selain kelebihan itu, dia juga mampu melihat berbagai macam warna yang dikeluarkan banyak orang. Merah, biru, jingga, hijau, putih, bahkan hitam semua itu keluar dari semua orang yang ia lihat. Setiap warna menginterpretasikan sifat-sifat yang dimiliki. Pada dasarnya, warna tiap orang tidak akan pernah berubah. Akan tetapi, terkadang terdapat abu, noda, ataupun hal-hal lainnya yang sulit dijelaskan. Hal ini disebabkan karena terjadinya guncangan pada orang tersebut. Stress, benci, dendam, iri, hingga cinta, semua itu mampu mengganggu warna yang ada.

Raditya Rafat, itulah namanya. Tidak memiliki kedua orang tua. Kecelakaan bus saat keduanya pergi untuk menuntaskan pekerjaan, itu yang menjadi alasannya. Adik satu-satunya yang dimiliki pun telah direnggut oleh sesuatu yang tinggal di atas langit sana. Saat ini, dirinya hidup sendiri menduduki bangku mahasiswa universitas teknik pada semester 5. Meskipun begitu, ia tidak pernah memasangkan kesedihan pada wajahnya. Bahkan dirinya itu pun tidak pernah tersenyum ….

~***~

“Makan apa ya hari ini …,” ucap Rafat sembari berjalan-jalan mencari makanan di pinggir jalan.

Tidak ada kuliah untuk hari ini. Ujian akhir semester baru saja selesai. Pada saat itu, Rafat melihat banyak sekali warna yang terdistorsi. Hal itu disebabkan bentuk stress dan depresi yang dialami orang-orang. Meskipun tidak berdampak secara langsung saat Rafat melihatnya, tetapi tetap akan terasa pusing dan mual, sama halnya saat menaiki mobil yang terguncang-guncang.

Maka dari itu, Rafat memutuskan untuk sedikit menjauhi kampus, kurang lebih 1 minggu lamanya. Sebenarnya, memang sudah tidak ada kegiatan di dalam kampus, tetapi terkadang ada kakak tingkat atau dosen yang selalu memanggil adik tingkatnya untuk datang ke kampus. Ia akan menolak semua suruhan dan ajakan itu semua. Bermain bebas, itulah yang ia inginkan saat ini.

“MekDi sepertinya oke juga.” Dapat dikatakan bahwa Rafat ini sudah memiliki pemasukan yang pasif setiap bulannya. Koneksi yang dirinya miliki serta kemampuan bersosialisasi yang hebat membuatnya memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi pada pandangan kenalannya. Karena dasar kepercayaan itu, Rafat memiliki modal yang cukup fantastis dari kenalan-kenalannya itu untuk membiarkan dirinya memainkan saham. Tetapi, setelah modal itu berubah menjadi bentuk yang menggunung, para investor menarik semua modalnya itu. Dan mereka juga mulai tertarik untuk menanamkan modal yang lebih tinggi lagi. Hanya saja, Rafat menolaknya.

‘Tidak pernah mengalami kerugian’, mungkin terdengar seperti mimpi para trader. Kemampuan analisisnya sudah tidak dapat dinalar lagi. Mungkin juga banyak investor yang berbondong-bondong untuk menanamkan modalnya juga pada Rafat karena alasan tersebut. Namun, dirinya itu hanya menerima modal dari teman yang sudah meninggalkan dirinya itu.

Temannya itu menitipkan adiknya serta seluruh hartanya kepada Rafat.

Aku penasaran dengan kabar Alifha. Mungkin minggu ini aku akan mendatanginya. — pikir Rafat yang sedang mengunyah ayam goreng.

Selepasnya makan, ia berjalan kembali menuju kosnya. Sepanjang perjalanan ia melihat siswa-siswi SMP dan SMA yang sudah memulai sekolahnya kembali secara luring. “Jadi pandeminya hanya sampai sini, ya. Mungkin aku juga harus mulai memikirkan semuanya untuk ke depannya.” Meregangkan badannya dan mulai berlari sekencang mungkin menuju kosnya. “Permisi, pak.” Salamnya untuk satpam yang sedang menjaga kos tersebut.

“Hati-hati, nak! Jangan lari-lari!” seru satpam.

Sampai di kamar kosnya, dirinya itu merebahkan diri, menarik selimut, dan mulai tertidur. “Mikirnya nanti saja, saat ini lebih baik tidur.”

Kamar yang sempit, hawa udara yang mulai terasa panas sebab jam sudah menunjuk pukul tepat 12 siang. Suasana yang benar-benar sempurna untuk tidur. Rafat yang terbaring di kasurnya langsung tertidur begitu lelap. Suara jangkrik dan kicauan burung yang nyaring terdengar jelas oleh Rafat, meskipun dirinya itu sudah tertidur.

Ahh … damainya~

Tak lama setelah dirinya terjatuh dalam dunia mimpi, terdengar sebuah ketukan pintu kamar kosnya. Rafat yang mendengarnya langsung membuka mata dan menegakkan badannya. “Siapa ya?” gumam Rafat yang sedikit kesal karena tidurnya terganggu.

Suara ketukan itu terdengar lagi, “Ya, ya, sebentar.” Rafat berjalan menuju pintu dan membukanya. Silauan matahari yang terlihat setelah berada dalam ruangan yang gelap membuatnya sedikit pusing. Saat melihat ke depan, tidak ada siapa-siapa di sana.

“Halo Kak!” terdengar seperti suara anak kecil di dekatnya.

Saat Rafat melihat ke bawah, ia melihat seorang gadis dikucir juga poni panjang menutupi mata kanannya. Gadis itu juga tersenyum begitu manis kepadanya sembari mendengkap bonekanya. Dan gadis itu seperti sedang menahan tangisan.

“Umm, ada apa ya?” tanya Rafat.

“Kau! Itu adalah kau!” Wajah gadis itu semakin berseri-seri. Dan seketika gadis itu memeluk Rafat.

Di sana, Rafat hanya terbingung dengan apa yang terjadi. Gadis itu terus menerus memeluknya sembari bergumam kesenangan.

“Umm, apa kamu anak tersesat?”

Gadis itu melepaskan pelukannya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, aku benar-benar mencarimu, ‘Tuan Tidak Memiliki Warna’.”

Untuk sesaat Rafat membantu dan menatap gadis itu dengan tatapan tajamnya. Tak disengaja juga ia memegangi bahu gadis itu dengan sedikit keras. Rafat terus menatap ke dalam mata gadis itu. Dan yang ia lihat adalah ‘kehampaan’.

“Kau bisa melihat warna orang, ya?” tanya Rafat.

“Betul sekali!” Menjawabnya dengan penuh riang meskipun Rafat masih memegangi bahunya dengan begitu keras. “Aaa—” Reflek gadis itu seperti berteriak kesakitan tetapi mulutnya langsung ia tutup.

“Ah, maafkan aku.” Rafat melepaskan bahunya. “Lalu apa yang kau inginkan?”

Entah kenapa warna gadis kecil ini terasa sangat tidak jelas. Seperti kosong menuju kehampaan — pikir Rafat sembari terus menerus melihat lebih dalam warnanya.

“Aku ingin tinggal bersama dan mengabdi kepada kakak!”

“Eh?” — Rafat yang sedang serius tiba-tiba memasang wajah bingung yang datar — “, tolong ulangi lagi ….”

“Aku ingin tinggal bersama dan mengabdi kepada kakak!” dengan wajah riang yang sama seperti sebelumnya.

“Tu—Tunggu dulu! Apa maksud dari ‘mengabdi’ ini? Dan kenapa tinggal bersama?”

“Karena aku diciptakan untuk selalu berada di sisi Tuan.” Menjawabnya dengan wajah yang serius.

“Tuan? Aku tidak paham … Tunggu, apa kamu berpikir jika aku adalah reinkarnasi dari Tuanmu itu?”

Gadis kecil itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Ibuku berkata, manusia yang tidak memiliki warna sama sekali adalah Tuanku. Dan dia hanyalah satu … anda, Tuanku.” Gadis kecil itu langsung membungkuk dan menekukkan lututnya. Poni gadis itu terkibas angin, yang Rafat lihat adalah mata kanannya terlihat sangat hitam.

“Tolong perlihatkan mata kananmu,” dengan spontan Rafat menyuruhnya.

“Tapi, Tuan ….”

“Tidak apa-apa.”

Gadis itu menggerakkan tangan untuk mengangkat poninya. Seperti yang tadi Rafat lihat, matanya itu hitam.

“Saat aku diciptakan, aku tidak memiliki mata sama sekali. Ibuku mengajariku untuk memanfaatkan keempat indra yang lain. Namun satu ketika, Ibu menyuruhku untuk memasangkan sesuatu kepada mataku. Tanpa ku ketahui, aku tiba-tiba bisa melihat ….” Penjelasan secara singkat dari sang gadis tersebut.

Untuk sekian lamanya, Rafat kembali terkejut saat melihat gadis kecil itu. Ia membatu untuk memproses semua yang dilihatnya tadi. Karena dia sendiri sudah terlalu capek, dia membiarkan gadis itu untuk tinggal bersamanya.

“Ya sudahlah, kau boleh tinggal bersamaku.”

“Terima kasih, Tuanku.”

“Tolong hentikan panggilan ‘Tuan’ itu. Panggil saja aku dengan ‘Kakak’, seperti saat kamu pertama kali memanggilku.”

“Baik kak! Hehe.” Gadis itu memajang wajahnya yang sangat berseri.

Bagi Rafat, tinggal bersama orang lain bahkan orang asing merupakan masalah baginya. Hanya saja, dirinya itu merasa bahwa harus menerima gadis itu.

“Siapa namamu?”

“Tolong beri aku nama, Kakak!”

Dia terkejut untuk sekali lagi, “Ibumu tidak memberi— ah, ya sudahlah. Kalau begitu, saat ini namamu adalah Evalina. Kupanggil Eva. Bagaimana?”

“Evalina … Eva … Nama yang cantik, Tu—Kakak! Hehe.”

Rafat menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamar kosnya.

Mungkin aku harus meminta izin kepada pemilik kos. Lebih baik aku menggunakan alasan bahwa dia adalah adikku saja.

“Maaf jika kamar ini sempit. Oh ya, apa kamu sudah makan? Apa yang kamu suka?” tanya Rafat.

“Tinggal bersama kakak saja sudah merupakan kebahagiaan bagi Eva. Makanan, apapun yang kakak berikan, Eva menyukainya.”

Mendengar ucapan itu, Rafat seperti teringat sesuatu. ‘Déjà vu’ itulah yang dirinya rasakan saat ini.

Aku seperti pernah mendengar perkataan itu. Tapi entah di mana.

~***~

Kota Deutyerdaf, 10 Agustus 1918

Akhir dari Perang Dunia I sudah mulai terlihat. Langit mulai terlihat membiru kembali. Tawa riang dan kesenangan mulai menular satu sama lain antar korban perang. Tangis dan duka akan keluarga yang meninggal mulai luruh sedikit demi sedikit. Di sepanjang jalan, semua orang mulai membangun kembali rumahnya. Tidak hanya sendiri, orang-orang silih membantu satu sama lainnya. Noda pada warna mereka mulai terhapus. Warna yang timbul pun kian terlihat jelas.

“Tuan, ini bunganya!” seorang gadis kecil menyebarkan bunga tulip. Orang-orang menerimanya dengan senyuman yang luar biasa ceria.

Tulip ya ….

“Apa perlu, Tuan?” seorang pelayan mengulurkan tangannya, menawarkan tangannya untuk membawa bunga itu.

“Tidak perlu, biar aku saja yang memegangnya.”

Wangi. — Dia menghirup bunga itu untuk waktu yang lama. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanannya.

“Akhirnya kita sampai.” Sebuah rumah besar yang sudah bobrok. Terlihat bekas bakaran dan juga lantai yang retak-retak. Dengan santainya, mereka berdua menginjak-injak lantainya, seperti sedang mengecek sesuatu.

“Di sini, Tuan.” Pelayannya itu memberitahu Tuannya.

“Tolong angkat penghalangnya,” perintah sang Tuan.

“Baik, Tuan.” Meskipun fisiknya yang terlihat seperti sudah tua, sang pelayan sebenarnya memiliki kemampuan fisik yang lumayan kuat.

Setelah mengangkat penghalang tersebut, terlihat sebuah tangga menuju ke bawah dengan ujungnya yang sangat gelap. Pelayan itu berusaha untuk menyalakan sumber cahaya yang dimilikinya. Tetapi Tuannya menghentikannya, “Tidak perlu.” Sang pelayan pun mendudukkan kepalanya.

Pria itu berjalan menyusuri tangga-tangga menuju dalamnya kegelapan dan diikuti oleh pelayannya. Sang pelayan sadar bahwa dirinya saat ini sedang berada di dalam saluran pembuangan, tetapi ia tidak mengeluh dengan bau yang ada. Tak lama di sana, mereka sampai di sebuah tempat dengan sebuah pintu yang diterangi oleh dua buah lampu.

“Tolong jubahku dan topengnya. Kau juga gunakan topengmu.”

“Baik, Tuan.”

Tuannya tersebut menggunakan topeng berwarna putih terang tak bermotif dan jubah berwarna hijau gelap. Hal itu menandakan bahwa dirinya adalah salah satu petinggi di bidang militer. Yaratsch, itulah namanya. Dia adalah seorang komandan divisi strategi militer paling jenius di benua Eropa. Meskpiun begitu, ia tidak terkenal sama sekali. Ia hanya mendapatkan kehormatan yang layak dari negaranya untuk menjalani sisa hidupnya dengan damai.

“Rafael, kenapa kamu menggunakan topeng itu?” Yaratsch bertanya ke pelayannya itu.

“Karena … lucu?” Pelayannya itu menggunakan topeng dengan bentuknya yang persis seperti wajah rubah. Bahkan ia juga melakukan beberapa posenya.

“Terserah saja. Tolong jangan lakukan apapun, sebelum aku memerintah.”

“Baik, Tuan.”

Yaratsch mendorong pintu dengan salah satu lengannya dan di dalamnya terlihat sebuah cahaya yang begitu terang. Ruangan yang megah dan luas, kesannya seperti sebuah tempat yang mirip seperti aula konser orkestra. Debu-debu di sana terasa sangat halus dan juga hangat. Di sana sudah banyak orang yang datang menggunakan jubah dengan warna dan arti yang berbeda.

Saat Yaratsch memasuki aula itu dan menapakkan kakinya selangkah, pandangan semua orang langsung tertuju padanya. Suara sepatunya yang khas nan gagah itu terdengar menggema di aula. Keributan pun menjadi hening seketika. Orang-orang mulai berbisik membicarakan dirinya.

Berjalan menuju kursi paling depan. Yang lainnya mulai terkejut lagi karena dengan jubah warna seperti itu bukannya duduk di kursi VIP melainkan kursi tamu. “Rafael,” Yaratsch memanggil pelayannya.

“Ya?”

“Tolong kondisikan situasinya dan sebisa mungkin jangan terlalu berlebihan.”

“Baik, Tuan.”

Yaratsch duduk, sedangkan Rafael berdiri dan menghadap ke seluruh tamu. “Sshhh ….” Rafael menyuruh mereka semua untuk diam. Tidak hanya itu, Rafael juga memancarkan aura intimidasi dari sekujur tubuhnya terutama pandangan tajamnya. Tamu lain gemetar setelah melihat mata Rafael. Tatapannya itu sangat horor.

Tak lama dari sana, acara pun dimulai. “Salam sejahtera, salam hormat untuk seluruh hadirin yang sudah datang kemari.” Basa-basi dari sang pembawa acara mulai terdengar.

Singkatnya, di sini adalah tempat di mana semua barang itu dilelang. Tidak hanya barang, bahkan ….

“Oh … sandera perang pun ada,” gumam para tamu.

Mereka melakukan lelang dengan kelipatan 50 Dalc. Tidak hanya barang antik ataupun rampasan perang, di sini pun ada sandera, mantan budak, hingga subjek penelitian — pikir Yaratsch sembari mengamati semuanya.

Seluruh manusia yang dilelang di sana ditelanjangi agar para tamu bisa melihat spesifikasi yang ada.

Ternyata banyak juga sandera mantan bangsawan di sini dan yang membelinya … Aku dapat menebaknya — Yaratsch memandangi Rafael dan memberikan sebuah kode hanya dengan tatapannya. Ia meminta Rafael untuk menyelidiki semua orang yang membeli para mantan sandera dan bangsawan.

Rafael pun menggunakan alat komunikasi jarak jauh yang tersembunyi untuk berkomunikasi dengan rekannya yang di luar. Rekan yang di luarnya menggunakan teknologi saat itu untuk mengidentifikasi para pemenang lelang dari frekuensi suaranya.

“Tuan, apa yang akan anda lakukan untuk selanjutnya?”

“Beritahu pada Alpha-1 dan juga regu Beta-3 … Bunuh mereka semua.”

Code:11912-L.” Rafael menyampaikan pesannya lagi.

Tujuan Yaratsch di sini adalah untuk menyelamatkan para sandera perang yang ada. Hal itu dibutuhkan untuk memenuhi perjanjian perdamaian. Namun, Yaratsch berpikir untuk menembak dua burung dengan satu anak panahnya. Ia berniat untuk menumpas segala macam tindak kejahatan lainnya. Perbudakan, penggelapan dana, korupsi, pasar gelap, hingga perampokan, semuanya itu akan Yaratsch tumpas.

Semuanya berjalan begitu lancar, tidak ada objek yang benar-benar tidak memiliki tawaran. Hanya saja, semuanya sedikit terhenti saat mencapai objek terakhir.

“Dia adalah subjek penelitian dari Adam’s Project: Hawa. Mungkin tidak sempurna seperti yang lainnya, tetapi kami akan tetap membuka harga untuk dirinya. Kami mulai dari 0 Dalc,” ucap pembawa acara.

Gadis kecil dengan rambut hitam terang yang pendek. Tubuhnya sangat tidak berisi, seperti baru saja melalui banyaknya siksaan dan tidak diberi makan sama sekali. Matanya pun ditutupi oleh perban. Rantai panjang dan besar yang mengikat leher dan kedua tangannya. Kondisi yang benar-benar ironis.

Adam’s Project, ya. Tak kusangka mereka memiliki subjek itu di sini. Mungkin mereka berucap tidak sempurna, sepertinya mereka keliru — Yaratsch memiliki kemampuan untuk melihat bahkan membedakan seseorang berdasarkan warna yang dilihatnya. Dapat dikatakan, itu adalah bakatnya.

Penjelasan singkat, Adam’s Project adalah proyek yang dilakukan oleh banyak ilmuan negara di benua Eropa. Rasa keingintahuan yang luas terhadap alam semesta menjadi alasan dari proyek ini. Para ilmuan melakukan penelitian terhadap sub-Dimensi yang ada pada sampel DNA manusia purba. Mereka melakukan transplatasi dengan berbagai makhluk hidup untuk membandingkan hingga melihat masa lalu dari makhluk hidup tersebut. Namun sayangnya, beberapa dari mereka memanfaatkan hal ini untuk menciptakan manusia buatan, Homunculus.

“Kami buka untuk 3 menit,” pengumuman dari pembawa acara.

Sudah pasti mereka semua tidak akan ada yang ingin mengambilnya. Mungkin aku harus merelakan yang satu ini — saat Yaratsch berpikir seperti itu. Entah kenapa ia tidak bisa melihat warna dari gadis kecil itu.

Aku tidak bisa melihat warnanya! Bukan karena dia tidak memiliki mata … Hanya saja aku seperti sedang berhadapan dengan seorang mayat.

Para tamu bersorak untuk menyuruh para panitia membukakan perban pada matanya, “Bukakan perbannya!”, “Jangan ada sehelai kain pada barang lelang! Apa kalian berniat menipu kami?!”

Tentu saja mereka berniat menipu kalian, karena dia pasti tidak memiliki bola mata.

Gadis kecil itu menggerakkan kepalanya dan seolah-olah sedang menatap Yaratsch. Sorot lampu yang menerangi tubuh kecil telanjang itu tidak bisa mengalihkan pandangan Yaratsch. Sejak saat itu, Yaratsch memiliki pikiran bahwa gadis kecil itu bukanlah subjek tidak sempurna bahkan gagal. Gadis itu adalah subjek sempurna tanpa cacat sedikitpun. Dia adalah subjek yang berhasil menarik jiwa Hawa, pasangan hidup Adam. Lubang hitam pada wajahnya itu bukanlah menggambarkan kekosongan, Yaratsch berhasil melihat sesuatu. Ia melihat kekecewaan dan juga kesedihan sang Hawa.

Kesedihan akan sikap cucu-cucunya yang berperilaku seperti iblis penuh nafsu dan juga serakah. Mereka melempari gadis kecil itu dengan kata-kata kasar dan tak senonoh.

“Rafael.” Yaratsch bangun dari posisi duduknya dan memanggil pelayannya.

“Ya, Tuan?”

“Perintah seluruh regu, alihkan seluruh perintah ke Code: R-54 — sisakan para sandera dan budak. Dan ikuti aku.”

Rafael yang mendengarnya terkejut setelah Tuannya menyuarakan perintah tersebut. “Baik, Tuan.” Rafael mengikuti Tuannya itu yang sedang berjalan mendekati panggung tersebut.

Jika objek lelang tidak ada yang membeli, maka akan dihancurkan … kan? — Yaratsch sudah menyadarinya. Seorang penembak jitu dibalik bayang-bayang gelap di ujung panggung sudah menodongkan senjatanya kepada gadis kecil itu. Dengan memerintahkan Rafael untuk mengurus penembak itu, dirinya bisa mendekati sang gadis dengan leluasa.

Di atas panggung, Yaratsch berdiri tepat di depan gadis itu. Jubah hijau gelapnya itu menutupi cahaya yang sedang menyoroti gadis kecil. Di dalam bayangannya sendiri, Yaratsch melontarkan sebuah pertanyaan kepada sang gadis kecil, “Apakah kau ingin hidup?”

Gadis itu tidak menggerakkan tubuhnya, bahkan mulutnya pun tak kuasa untuk mengucap. Namun, Yaratsch sadar akan sesuatu. Pertanyaan yang ia lontar, memicu warna gadis itu. Warna kuning yang tipis samar-samar keluar dari wajahnya. Tersirat, gadis itu ingin menangis tetapi tidak bisa.

“Aku akan mengambil gadis ini! 200 Dalc. Sekaligus biaya ganti rugi senjata yang sudah dirusak oleh pelayanku di sana. Ayo kita kembali, Rafael.” Yaratsch menghancurkan rantai dan menutupi tubuh gadis kecil dengan jubah hijaunya. Dia juga memberikan uang 200 Dalc secara langsung pada penjualnya. “Aku sarankan kau dan kalian penyelenggara segera keluar dari sini. Terima kasih.” Yaratsch memberi hormat dan juga peringatan kepadanya, dilanjut dengan berjalan keluar ke arah jalan yang sama saat mereka masuk.

“Rafael, berapa regu yang siap?”

“10 regu, Tuan.”

“Kerahkan semuanya, selamatkan para budak dan sandera, dan bunuh semua babi-babi tidak tahu adab itu.”

Rafael beserta regu dan anggota lainnya di pintu keluar mulai masuk kembali ke dalam. Pembantaian terjadi secara brutal. Kejadian dan kasus itu diingat sebagai Blood Auction Festival. Petinggi lainnya menutup mata dan telinga mereka karena tak ingin berurusan dengan Yaratsch. Maka, tidak ada yang mampu menyentuh sang gadis kecil jika sudah berada di tangan Yaratsch.

Sesampainya di kediaman Yaratsch, “Kau, katakan namamu siapa?” Yaratsch menanyakan hal tersebut kepada gadis kecil itu. Hanya saja, sang gadis hanya menggerakkan kepalanya kiri dan kanan seperti sedang mengamati sesuatu. “Hei, katakan nam— ah, mungkin begitu, ya. Tunggu sebentar.” Yaratsch pergi menuju dapur untuk mengambilkan segelas air. “Minumlah.”

Tangan sang gadis masih gemetar karena tak memiliki tenaga sama sekali untuk melakukan sesuatu. Terpaksa Yaratsch yang menyuapinya. Tak hanya minum, dirinya juga memberikannya makanan. “Tenang saja, kau tidak akan mengalami hal buruk lagi di sini.”

“Te … ri … ma kasih,” ucap gadis itu secara pelan dan lemas.

“Makan saja dulu, aku akan kembali lagi.” Saat Yaratsch bangkit dari duduknya, gadis kecil itu memegangi pakaian Yaratsch. Wajah gadis itu seperti meminta agar Yaratsch untuk tidak pergi.

Trauma berat, ya ….

“Baiklah, aku akan menemanimu hingga selesai makan. Pelan-pelan saja.”

Untuk pertama kalinya, Yaratsch tersenyum hanya karena melihat gadis itu. Bahkan pelayannya, Rafael, terkejut dan turut senang melihat Tuannya tersenyum. Rafael datang menghampiri Yaratsch, “Kamar untuknya sudah saya siapkan, Tuan.” Suara Rafael terdengar oleh sang gadis kecil dan membuatnya sedikit ketakutan.

“Terima kasih, Rafael,” ucap Yaratsch. “Tidak apa-apa, dia adalah temanku. Kau juga bisa meminta tolong kepadanya nanti.” Hanya dengan anggukan kepalanya, Yaratsch paham dengan maksud sang gadis kecil. “Setelah makan, aku akan mengantarmu ke kamar.”

Setelah Yaratsch berhasil menidurkan gadis itu, ia berbincang dengan Rafael.

“Tuan, bukankah lebih baik Anda memberi anak itu nama?” saran Rafael.

Yaratsch duduk di kursi halaman depan, menatapi bintang-bintang di langit. “Sudah lama aku tidak melihat bintang. Bintang ….” Seketika sebuah nama terlintas pada pikiran Yaratsch. “Rafael, aku sudah tahu nama yang akan kuberikan.”

Rafael membungkukkan badannya, “Ya, Tuan?”

“Mulai sekarang, aku akan mengangkat anak itu dan kuberi nama ‘Eva’, Carina Eva. Bagaimana?”

“Nama yang indah, Tuan.” Rafael melihat Tuannya tersenyum dan tertawa begitu lebar. Momen itu sangatlah langka.

~***~

Kembali pada saat jaman sekarang.

Kota Beta, 27 Juni 2022

“Hei Eva, bangun!”

Eva dengan dengan pakainnya yang acak-acak karena tidurnya tidak bisa diam. Bahkan, saat terbangun, pakaiannya terlepas dengan sendirinya. “Uwaa!” dengan spontan Eva terkejut dengan sendirinya.

“Hei Eva! Jangan berteriak!” seru Rafat.

“Maafkan aku, kak.” Eva merapikan pakaian serta tempat tidurnya.

“Gunakan kamar mandinya sana, mandi, dan ganti pakaianmu,” suruh Rafat sembari melihat cermin menyisir rambutnya.

“Anu, kak … Eva tidak punya pakaian lain,” ucap Eva di depan pintu kamar mandi tanpa menggunakan busana apa pun.

“Eva … Cepat masuk ke kamar mandi!” Rafat menutup pintu kamar mandinya.

Hadeh, sepertinya aku harus pergi mencari pakaian untuknya.

“Kak! Airnya sangat panas!” teriak Eva.

Rafat secara reflek berlari ke kamar mandi, membuka pintu, dan mengatur suhu airnya. Ia juga memberi tahu cara mengatur suhunya. “Apa kau sudah paham?”

“Paham, kak!”

Mungkin kehidupanku akan lebih ramai setelah ini, haha.

Eva yang selesai mandi masih menggunakan pakaian lamanya. Rafat mengajak Eva untuk ikut dengan dirinya berkeliling kota. Tanpa menjawab ‘Ya’, Rafat langsung paham hanya dengan melihat kelakuan Eva. Rasa senang Eva saat diajak berjalan-jalan bersama Rafat, sangat terlihat jelas oleh mata Rafat.

“Berwarna kuning terang,” gumam Rafat.

“Kenapa kak?” tanya Eva yang tak sengaja mendengar gumaman Rafat.

Rafat hanya tersenyum dan mengusap-usap kepala Eva, “Tidak, bukan apa-apa. Ayo kita pergi! Jangan pernah angkat ponimu itu, ya?”

“Siap, kak!”

Mereka pergi menuju sebuah tempat perbelanjaan. Di sana, Eva sangat kagum dengan sebuah gedung yang sangat megah dan terkesan sangat modern. Dirinya itu sangat berinisiatif hingga menarik-narik pakaian Rafat untuk pergi menuju berbagai tempat. Rafat pun terasa sangat menikmatinya. Ia seperti melihat almarhum adik perempuannya yang sudah tiada.

Adik … ya? Aku merasa Tuhan seperti sedang mempermainkan perasaanku — pikir Rafat yang terus menerus terpikirkan adiknya.

“Kak! Eva ingin minuman dengan bola-bola hitam itu!” memanggil Rafat sembari menunjuk-nunjuk satu tempat.

Meskipun terasa seperti itu, Rafat hanya bisa terus melangkah maju dan mendoakan keluarganya yang telah berada di atas langit. “Kamu ini banyak makan juga.” Menyubit pipi Eva sembari tertawa karena melihat wajah lucu dari Eva.

Seperti ini … Boleh juga.

“Setelah ini kita beli pakaian untukmu, ya?”

“Ayaye.”

Mereka pergi menuju toko pakaian. Banyak sekali jenis pakaian yang dilihat oleh Eva. Saking banyaknya ia sampai kebingungan untuk memilihnya. “Kakak, kakak! Bagaimana ini?! Eva tidak bisa memilih!”

“Hahaha! Santai saja, kita punya banyak waktu untuk ini.”

Disaat Eva mencoba satu per satu pakaian, Rafat melihat-lihat beberapa aksesoris di sana. Ia seperti iseng untuk melihat-lihat saja. Namun, pada akhirnya ia membelinya. “Kakak! Lihat Eva!” — memamerkan pakaian yang sedang dipakainya — “Bagaimana kak?”

Rafat dan kasir di sana menahan senyum dan tawanya. Mereka melihat Eva memakai pakaian itu dengan salah, sehingga terkesan lucu untuk dilihat. “Kemarilah, biar kakak yang rapikan.” Rafat merapikan beberapa bagiannya, seperti aksesoris pada kepalanya, ikatan pita pada bajunya, serta bagian lengannya. “Nah, kalau begini ….” Rafat terkejut sesaat begitu melihat Eva menggunakan pakaian itu.

Dia sangat imut …. — pikir Rafat.

“Walah! Nona ini sangat manis.” Pujian beberapa orang yang sedang mengantri di kasir.

Mendengar hal tersebut, Eva akhirnya memutuskan untuk membeli pakaian itu. “Kakak! Eva ingin baju ini,”

Dengan senyum, Rafat menjawab dengan singkat, “Ya, boleh kok.”

Pada akhirnya mereka membeli beberapa pakaian lainnya. Setelah berada di toko pakaian yang cukup lama, mereka beranjak menuju lantai paling atas. Di sana terdapat semacam food court. Lagi-lagi Eva terkejut melihat gerai-gerai makanan yang sangat banyak. Cahaya jingga yang terang seperti sedang menyoroti mereka berdua.

Eva berlari ke arah depan dan tidak sengaja tersandung oleh kaki seseorang. Spontan Rafat menghampirinya, “Maafkan adikku.”

“Ah, ya, tidak apa-apa.”

Rafat langsung melihat apakah ada luka pada Eva, “Apa kamu tidak apa-apa?”

Eva yang terjatuh di bawah lantai melihat ke arah Rafat. Dirinya sedang ditutupi oleh tubuh Rafat, duduk di dalam bayangannya. Tatapannya itu terfokus pada mata Rafat. “Aku melihatnya … Aku melihatnya,” gumam Eva.

Rafat sendiri kebingungan dengan maksud gumaman Eva itu. Tetapi, tanpa disengaja, Rafat melihat dan terjatuh ke dalam mata Eva. Tubuhnya sedikit bergeming, terbeku untuk sesaat. “Kakak, kenapa?” Eva langsung menyadarkan Rafat.

“Maaf, aku tidak apa-apa. Ayo kita pesan makanan.”

“Hum!” Eva langsung berdiri dan melihat-lihat ada makanan apa saja di sana.

Mungkin ini hanya perasaanku saja atau memang aku baru melihat sesuatu … Seperti masa lalu seseorang. — pikir Rafat.

Saat Rafat berjalan-jalan menemani Eva mengelilingi terdapat seorang karyawan salah satu gerai memanggil namanya, “Rafat, kan?”

Dirinya yang mendengar itu sedikit terkejut, “Eh?”

“Manajer! Ada Rafat di sini!”

Manajer?! Tunggu! Berarti dia di sini! — Rafat menyadari seseorang yang ia kenal sedang berada di sana juga.

Dengan reflek Rafat menarik lengan Eva sembari membawa belanjaannya di tangan satunya, “Eva! Ayo kita pindah dari tempat ini!”

“Eh? Kenapa kak?”

Tak lama sebelum mereka meninggalkan tempat itu, “Rafat! Aku merindukanmu!” terdengar orang berteriak memanggil dirinya.

“Sialan!” Rafat terpaksa harus membalikkan tubuhnya untuk membalas orang yang tadi memanggilnya. “Hehe …. Halo, kak Putih.”

Terlihat seorang gadis yang lebih pendek dari Rafat dengan rambut yang sangat putih, seputih salju tanpa ada noda. Hanya dalam sekali melihat, Eva terkejut dengan warna yang dipancarkan oleh gadis itu. “Merah terang, merah yang sangat elegan,” ucap Eva.

“Cantik, kan? Dia itu adalah seorang manusia dengan bentuk dari keeleganan itu sendiri. Nadila Yuriana, putri dari seorang seniman jenius.” Rafat menjelaskan dengan suara yang kecil namun terdengar oleh Eva.

Mungkin dalam pikiran Eva saat ini, ia hanya terkejut melihat warna merah terang tanpa noda sama sekali.

“Halo Rafat! Sudah lama sekali ya, hehe!” Nadila memeluk Rafat seakan-akan dia itu seperti pasangan yang sudah lama tidak bertemu. “Apa kamu tidak merindukanku?” Dengan wajah manisnya.

“Tolong menjauh!” Rafat mendorong badan Nadila yang terlalu menempel dengannya.

“Kamu itu tidak pernah berubah, ya,” — ucapannya terhenti setelah melihat ada anak kecil yang berdiri di belakang Rafat — “Ra—Rafat, kamu! —” ucapannya terpotong.

Dengan ringannya, tangan Rafat menjitak kepala Nadila. “Tidak perlu berpikir yang aneh-aneh.”

“Hei! Aku ini lebih tua darimu loh!” Nadila memegangi kepalanya.

Dengan wajah meremehkan, “Heh, memangnya aku pernah peduli dengan itu? Pendek.” Karena kesal mendengar ejekannya itu, Nadila menggigit lengan Rafat yang tadi digunakan untuk menjitaknya.

Melihat kakaknya disakiti, Eva terkejut hingga beranjak dari belakang Rafat dan berusaha untuk memisahkan mereka berdua, “Jangan sakiti kakak!” Eva mendorong Nadila dengan lumayan keras. Wajahnya seriusnya itu terlihat jelas oleh Nadila dan Rafat. Sorot matanya yang tajam serta berlinang air mata di sana.

“Eva … Santai saja, kak Putih hanya main-main,” ucap Rafat. Setelah mengucapkan itu, Eva memeluk Rafat. Pada akhirnya Rafat menggendong Eva untuk menenangkannya. “Tunggu sebentar, nanti akan kujelaskan semuanya.”

“Baiklah, aku akan menunggumu. Aku juga akan menyiapkan beberapa makanan untuk kalian berdua.”

“Terima kasih.”

Di pangkuan, Eva terus menerus mendekap dan memegangi pakaian Rafat. Dengan berbagai cara, Rafat mencoba untuk menenangkan dirinya. Tapi sangat sulit untuk menenangkannya. Seketika, Rafat mendapatkan sebuah ide. “Eva, lihat mataku.” Dengan mata yang sudah berair-air, Eva melepaskan genggamannya dan melihat mata Rafat.

Hanya dengan sekejap, Eva menjadi lebih tenang. Ia juga meminta untuk diturunkan dari pangkuan. “Maafkan Eva, sudah berbuat nakal.”

“Tidak, Eva tidak nakal. Sekarang Eva ingin makan apa?”

Eva mengusap-usap wajahnya dengan lengannya, “Eva ingin apa saja yang kakak berikan.”

“Ya sudah, ayo kita duduk.”

Tadi aku hanya ingin mengetes sesuatu, entah kenapa malah berhasil.

Eva menikmati makanan yang dihidangkan oleh Nadila. Momen itu digunakan Nadila untuk menanyakan banyak hal kepada Rafat. “Pertama, siapa anak itu?”

“Aku sendiri tidak tahu siapa dirinya. Ia datang ke kamar kosku begitu saja. Dia juga memanggilku,” — ucapannya terhenti karena berpikir, jika ia mengatakan bahwa dia dipanggil dengan panggilan ‘Tuan’, apa yang akan dipikirkan oleh Nadila — “dengan sebutan ‘Kakak’.”

“Oh, seperti itu ya … Siapa juga yang percaya dengan cerita seperti itu!” menggebrakkan meja.

Rafat terkejut dengannya, “Kalau kau memang penasaran, kenapa tidak kau tanya sendiri saja kepadanya?”

“Kau bercanda kan?!”

Karena Rafat mengetahui sifat dari Nadila yang sangat keras kepala, ia terpaksa untuk menjelaskan semua yang ia ketahui. Pada awalnya Nadila sendiri tetap tidak percaya dengan apa yang terjadi, tetapi memang seperti itulah keadaannya. Nadila menanyakan banyak hal lagi, seperti masa lalunya, alasan dia menerimanya, dan juga apa yang akan dilakukan oleh Rafat ke depannya.

“Lalu, bagaimana dengan pendapat Alifha?” tanya Nadila.

“Aku belum memberitahunya. Mungkin besok.”

“Baiklah, garis besarnya aku paham dengan kondisimu saat ini.”

“Terima kasih.”

Seketika Nadila menggenggam tangan Rafat, “Kalau begitu, bagaimana jika aku menjadi ibu—” Omongannya terhenti karena wajahnya ditutupi oleh tangan Rafat.

“Jangan memikirkan hal aneh-aneh.” Rafat beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Eva, “Bagaimana Eva? Apakah makanannya enak?”

Eva tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan mulut yang penuh dengan makanan. Lalu ia menelan semua makanan itu, “Benar-benar enak!”

“Baguslah jika begitu.”

Nadila memperhatikan Rafat dan Eva, ia hanya tersenyum yang penuh rasa syukur. “Akhirnya kamu menemukan jalan hidup baru ya, Rafat,” ucap Nadila

“Ya, kak? Kenapa?” Rafat mendengar Nadila seperti memanggil namanya.

“Tidak, bukan apa-apa.”

~***~

Aku menitipkan Eva dan Alifha jika terjadi sesuatu padaku.’ Itulah yang kukatakan pada Nadila tadi — Rafat merasakan suatu firasat buruk mengenai sesuatu. Sebenarnya Rafat sendiri tidak ingin berkata demikian sebelum pergi kembali menuju kosnya. Namun, untuk jaga-jaga, Nadila harus mengetahuinya.

“Eva, sebelum tidur, kamu harus mandi terlebih dahulu,” ucap Rafat sembari membuka pintu kamar kosnya.

Eva mengucapkan salam dan membuka alas kakinya, “Baik, kak.” Tak segan-segan, Eva melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Ia membuka pakaiannya tepat di depan Rafat. Tetapi, Rafat sendiri sudah tidak terlalu peduli. Jadi, Rafat mengabaikannya begitu saja.

Rafat sendiri kelelahan dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memandangi langit-langit kamar, melihat lampu yang sangat terang. “Apa yang harus aku lakukan selanjutnya … ya?” gumam Rafat karena terpikirkan perkataan Nadila sebelumnya. Laron-laron terbang mengelilingi lampu. “Padahal saat ini sedang musim panas, tapi banyak sekali laron.” Rafat bangun dari tempat tidur dan menyapu sayap-sayap laron yang berjatuhan di lantai. Tak disengaja, ia melihat debu-debu yang mulai menumpuk di pojokan kasurnya. Masker dan sarung tangan digunakan guna menghindari kotoran yang tak diduga.

Tok … tok …. — terdengar suara ketukan pintu yang ritmenya lumayan lambat. Suaranya sangat konstan.

Rafat spontan melirik ke arah kamar mandi, lalu menguncinya dari luar. Ia juga melihat ke arah jam, “Pukul 21.48. Sangat malam dan juga tidak ada suara memanggil namaku,” gumam Rafat. Dirinya memfokuskan fungsi otak ke syaraf-syaraf perabanya.

Dua orang, ya? — itulah yang dirasakan oleh sekujur tubuh Rafat.

Karena Rafat sudah mempersiapkan semuanya, ia membuka pintu. “Ya, ya, tunggu sebentar.”

Begitu membukanya, udara malam menerobos masuk ke dalam kamar. Bahkan, bulu kuduk Rafat berdiri tegak. Sebuah pistol sudah ditodongkan di kepala Rafat.

Glock 42 — Rafat mengamati pistol yang digunakan.

Pria yang menodongkannya bahkan tidak berbicara sama sekali. Ia berniat untuk langsung menarik pelatuknya. Namun, gerakannya kalah cepat dibandingkan dengan reflek Rafat. Pistolnya itu terlempar lumayan keras ke dinding sebab ditampar oleh Rafat.

“Siapa kalian?” tanya Rafat dengan santai … dan tatapannya yang sangat mengancam.

Teman pria itu menodongkan senjatanya dari belakang. Saat begitu pun mereka tidak berbicara sama sekali. Dan lagi-lagi mereka tidak segan-segan untuk menyerang Rafat. Akan tetapi, mereka mungkin tidak sadar. Tangan Rafat sudah memegangi sebuah sapu yang sebelumnya ia hendak gunakan. Dirinya masih mengingat retakkan pada sapu itu. Dengan memanfaatkan kerapuhan itu, ia mematahkannya. Lalu, melemparkan sisi tajamnya menuju arah pria yang memegangi pistol.

Siapa sangka, lemparan itu akan tepat tertancap pada dada kirinya. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh ….” Rafat berhitung mundur. “Dalam tiga detik lagi, kau akan merasakan namanya sakit yang luar biasa pada punggung bagian kiri.”

Pria itu panik dan malah mencabut kayu itu. Bukannya meredakan rasa sakit, darah yang bercucuran malah semakin banyak. Saat berusaha menutupi lukanya dengan sobekan kain dari pakaiannya, tiba-tiba dirinya terjatuh sembari memegangi dada kirinya. “Ughh! —”

“Bingo! Selamat tinggal. Tersisa satu orang lagi,” ucap Rafat dengan santainya. “Apa kau tidak khawatir dengan kawanmu itu?” Rafat memancingnya agar mendapatkan celah untuk menyerang. Dan sepertinya gertakan itu gagal, pria itu malah mengeluarkan dua buah pisau dari kantung sampingnya.

“Eh! Terkunci, Kakak!” suara Eva dari dalam kamar mandi.

Setelah mendengar suara Eva, pria itu sedikit menggerakkan alisnya. Seakan-akan Eva adalah incaran sebenarnya. Demikian, celah terlihat oleh Rafat. Karena tak ingin melewatkan kesempatan itu, Rafat langsung menerjang maju.

Dengan reflek, pria itu bergerak mundur. Tersandung karena temannya hingga melepaskan salah satu pisau dari tangannya. Rafat yang menerjang maju merebut pisau itu dan mulai untuk menikamnya. Saat ingin menikamnya, pria itu mendorong tubuh Rafat dengan sangat keras pada bagian dadanya. Mungkin terlihat sepele, tetapi sebenarnya Rafat memiliki kelemahan pada paru-parunya.

Melihat keadaan Rafat yang terengah-engah, pria itu kembali berdiri dan menerjang maju. Posisinya seperti siap untuk menikam tepat pada bagian kepala Rafat. Saat ujung pisau itu hampir menyentuh dahi Rafat, gerakan pria itu menjadi terhenti.

“Maaf saja, tapi kita ini sama-sama pria.” Rafat memukul dengan keras organ vital laki-laki yang berada di bawah. Untuk sesaat pria itu tidak aka sadarkan diri. “Aku harus memindahkan mereka semua.” Memindahkan kedua orang itu menjadi terasa lumayan berat saat Rafat harus mengatur napasnya. Lokasi kamar Rafat yang berada di lantai 1 memudahkan dirinya untuk memindahkan tubuh kedua pria itu. Dan juga karena Rafat mengetahui jalan belakang, ia bisa memanfaatkannya.

Dia meletakkan kedua tubuh pria bersebrangan. Lalu, ia mengambil pistol dan menembakkan ke bahu pria yang terakhir ia kalahkan. Pistolnya diletakkan di tangan pria yang tertancap kayu. Dengan begitu skenarionya akan terlihat seperti ‘Perkelahian Jalanan’.

Rafat kembali ke kamarnya, membukakan pintu kamar mandi. Di sana Eva sudah menangis tersedu-sedu karena ketakutan. “Maafkan aku, Eva. Tadi aku ketiduran.” Mudahnya ia berbohong.

Eva dengan badan yang masih basah tanpa busana berlari menuju Rafat, lalu memeluknya. Dirinya itu ingin berteriak dan menangis, tapi ia tidak bisa. Tangannya tak kuasa untuk melepas genggamannya pada tangan Rafat. Tubuhnya pun gemetar, terpancar ketakutan yang luar biasa.

“Kakak … Eva takut ….” Cengkraman tangannya semakin kuat.

Rafat mengambil handuk dan menutupi tubuh Eva. “Keringkan badan dan pakai pakaianmu, ini sudah malam. Nanti kamu masuk angin.”

Maafkan aku. Tapi, kamu tidak boleh mengetahui semuanya tentangku — pikir Rafat.

Tak lama setelah memakai pakaian, akhirnya Eva tertidur. Setelah kejadian itu, Rafat sendiri merasa harus terjaga semalam penuh. Biasanya Rafat sendiri tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi. Karena apa pun itu masalahnya, semuanya akan selesai tanpa butuh usaha khusus.

Rafat menelepon Alifha, adik dari almarhum temannya. “Halo, Alifha. Besok kakak akan datang ke apartemenmu bersama dengan seseorang.”

Siapa?” tanya Alifha.

“Adikku. Dan juga kakak ingin Alifha melakukan sesuatu.”

Keesokan harinya, Rafat dan Eva berkunjung ke apartemen Alifha. Jarak yang dekat membuat mereka berangkat tanpa menggunakan kendaraan. Pakaian Rafat sedikit berbeda dengan hari sebelumnya, terlihat lebih rapi. Eva juga mengenakan pakaian yang baru saja dibeli.

“Kakak, kita ke mana?” tanya Eva.

“Bermain ke rumah adik kakak yang lainnya.”

“Kakak punya adik?” Genggaman Eva semakin erat.

“Ya, dia itu adik yang sangat hebat.”

Mendengarnya, Eva menjadi kesal. Rafat pun menyadarinya, tapi ia memiliki maksud untuk berkata demikian. Perasaan buruk Rafat masih terus menghantui dirinya. Ia hanya takut apa yang akan terjadi pada Eva jika dirinya itu terjerat suatu masalah berat.

Sebenarnya aku sudah tahu, yang kemarin malam itu memang mengincar Eva — Rafat mulai berpikir, rencana apa yang harus dirinya lakukan. Sepanjang perjalanan, Eva hanya melihat wajah Rafat yang sangat serius menatap ke depan dengan tangan memegangi dagunya.

Ting! — terdengar suara bel setelah Rafat memencet sebuah tombol di depan kamar bernomor S-102.

Bahkan tidak sedetik, pintu kamarnya langsung terbuka begitu saja. “Kakak! Aku kangen sekali! Sudah lama kakak tidak datang ke sini,” muncul seorang gadis kecil imut dengan busana kaos dan juga celana pendek mendekap Rafat.

“Ah, Alifha … Sepertinya sudah kebiasaanmu, ya. Saat aku datang, kamu langsung memelukku.”

“Hehe,” Alifha menggesek-gesekkan kepalanya ke badan Rafat.

Alifha masih belum berubah juga ternyata. Syukurlah — Rafat mengusap-usap kepala Alifha.

“Alifha, kakak ingin mengenalkan kepadamu, adikku—Eva.” Eva berdiri tepat di samping Rafat sembari memegangi pakaiannya. “Ayo perkenalkan dirimu, Eva.”

“Salam kenal, kak,” ucap Eva dengan nada malu-malu.

Sepertinya Eva terkejut karena melihat warna Alifha yang terkesan tidak normal.

“Eehh … Jadi dia, ya?” Alifha menyubiti pipinya Eva karena gemas. Ia juga menyadari mengenai mata kanan Eva yang tidak ada. Namun, ia memilih untuk diam saja. “Halo Eva, salam kenal juga, ya.”

“Alifha, apakah kau sudah melakukannya?”

“Yang kemarin kakak minta, kan? Alifha sudah menemukannya.” Alifha menyuruh mereka berdua masuk. Saat ingin masuk, Eva sedikit ketakutan dan terus-menerus menarik pakaian Rafat.

“Tidak apa-apa, Eva.”

Sepertinya dia masih belum terbiasa dengan warnanya Alifha, warna yang tidak menentu, selalu berubah — pikir Rafat.

“Maaf, ya. Aku tidak menyiapkan apa-apa.” Berjalan mengambil gelas untuk dituangi es jeruk dari dalam kulkasnya.

Rafat sedikit terkejut saat melihat kondisi kamar Alifha, “Kau ini perempuan, tapi kamarmu seperti kapal pecah.” Kamarnya sangat berantakan. Karena tak tahan dengan kondisi itu, Rafat dengan gesit membersihkan dan merapikan semua barang yang ada di kamar Alifha.

“Hoo, kakak memang hebat.” Tepuk tangan dengan wajah kagum. Karena kesal, Rafat menyubit pipi Alifha hingga merah. “Aaa~ Swakit kakak.”

Eva yang melihatnya hanya bisa cemburu. Saking cemburunya, pipinya membesar.

“Kita sudahi bercandanya. Alifha tolong tunjukkan berkas dan jurnalnya.”

“Tunggu sebentar,” Alifha mengambil laptop dan membukanya. Ia seperti menjelajahi sebuah situs yang entah apa itu isi dan bentuknya. Tampilannya sedikit berbeda dengan browser yang ada. “Reruntuhan Laboratorium, Peninggalan Perang Dunia I, Penjualan Budak, Bom Atom Jepang 1945, semua itu mengarah pada satu judul jurnal yang kutemukan ini, ‘Adam’s Project: Hawa’,” — Alifha memberikan laptopnya kepada Rafat untuk menunjukkan isi jurnalnya — “di sana tertulis bahwa, bangsa Eropa dulunya sangat menginginkan bentuk pertama dari nenek dan kakek moyang manusia, Adam dan Hawa.”

“Dan tujuannya adalah waktu, ya?”

Alifha terkejut saat mendengar Rafat berbicara demikian, “Hebat sekali. Benar, bangsa Eropa menginginkan sebuah pengetahuan yang di mana mereka dapat pergi ke masa lalu dan kembali ke masa depan.” Penjelasan singkat Alifha.

“Sebodoh itu kah bangsa Eropa dulu. Lalu, siapa penulis jurnal ini?” sembari membuka dan mencari-cari di hingga halaman terakhir.

“Yaratsch, dialah penulisnya. Dari laman ini, aku menjelajahinya lebih dalam lagi. Namun, yang aku temui, pengunggahnya adalah —” ucapan Alifha terhenti karena teringat sesuatu. “Namamu Eva, kan?” mendekati Eva yang sedang anteng menikmati es jeruk. “Jangan-jangan, kamu yang —”

Rafat menarik lengan Alifha, “Hentikan Alifha. Jika memang itu adalah dirinya, dia pasti sudah memberitahuku dari tadi. Dan juga aku tidak melihat kecurigaan pada warnanya —” ucapan Rafat tepotong oleh Eva.

“Tidak, bukan Eva yang mengunggahnya. Tetapi, Eva tahu siapa yang mengunggahnya,” ucap Eva dengan santai.

Seketika, terasa seperti petir menyambar Alifha dan Rafat. “Kau mengetahuinya?! Eva?” tanya Rafat. Eva menjawab hanya dengan menganggukkan kepalanya.

“Ibuku — ‘Eva’ sebelum diriku yang mengunggah jurnal itu. Dan Yaratsch itu adalah ayah angkat dari ibuku.”

“Jadi kamu dan ibumu itu adalah objek dari Adam’s Project?” tanya Alifha.

Eva menggeleng-gelengkan kepalanya dan menjawab, “Hanya ibuku saja yang termasuk dalam objek Adam’s Project. Aku … hanyalah salinan yang diciptakan oleh ibuku untuk bertemu dengan kakak,” menunjuk Rafat.

Entah kenapa aku merasa kesal dengan kegilaan dunia ini. Manusia buatan? Jangan bercanda!

“Alifha, kakak ingin bicara empat mata denganmu. Eva tunggu dulu di sini, ya.” Rafat mengelus-elus kepala Eva, lalu pergi ke depan pintu kamar. Di luar, Rafat membuka dawainya dan menghubungi seseorang dengan nama ‘Fumiko Kana’. Dengan bahasa inggris Rafat berbicara, “Halo Kana. Mungkin ini akan menjadi terakhir kali aku menghubungimu dengan serius. Tolong katakan kepada anggota yang lainnya ….” Rafat menyampaikan sebuah kalimat kode dan memberitahunya untuk segera dipecahkan, lalu melaksanakannya pada lusa.

Hei, Rafat! Katakan apa yang terjadi!” Fumiko berteriak marah karena bingung dengan apa yang terjadi.

“Aku punya perasaan yang buruk tentang masalah ini, jadi aku meminta bantuan kepada kalian. Dan … mungkin ini akan menjadi kekalahan pertama dan terakhirku.” Rafat tersenyum begitu saja dan menutup teleponnya.

Alifha terdiam setelah mendengar perkataan kakaknya itu. Wajahnya berubah menjadi lebih ganas, “Kakak! Apa-apaan perkataanmu tadi?! Apa maksud dari ‘terakhir’-mu itu tadi?!?” Berjalan mendekati Rafat dan menarik kerah bajunya. Tak hanya itu, Alifha bahkan mengangkatnya, “Cepat tarik kembali kata-katamu!”

“Tidak,” jawab Rafat dengan singkat.

Kekesalan Alifha meningkat, “Kakak!” Ia menyikut perut Rafat dan membantingnya ke lantai. Duduk di atas perutnya, memukuli wajahnya dengan begitu keras. Namun, Rafat sama sekali tidak membalasnya. Luka yang dulu disebabkan oleh Alifha pun muncul kembali, rahang bawah Rafat mengalami dislokasi.

Tangan Alifha mulai berhenti. Wajah Rafat pun dibasahi oleh sebuah bentuk tangisan kecewa. “Kakak … Aku mohon, jangan tinggalkan Alifha. Pertama orang tua Alifha, paman, lalu kak Dayyan, dan sekarang kak Rafat juga ingin meninggalkan Alifha?! Kenapa kalian semua begitu ingin meninggalkanku?! KENAPA KAK!?!” menarik-narik kerah Rafat.

“Apa kau sudah puas memukulku?” tanya Rafat dengan kondisi wajahnya yang sudah babak belur.

“Alifha belum puas.” Ia mendaratkan satu lagi pukulan telak pada hidung. Saat berdiri, Alifha juga meludah pada wajah Rafat. “Sekarang Alifha sudah puas.”

“Menjijikan.” Rafat mengelap wajahnya yang sudah bersimbah darah dan ludah Alifha. “Lagian siapa juga yang ingin mati. Meskipun memang benar peluang matiku nanti sangat besar —”

Alifha memukul perut Rafat dengan sangat keras, “Ucapan kakak itu benar-benar menyebalkan.”

“Akhir dunia, sudah sangat dekat,” ucap Rafat sambil mengatur napasnya.

“Apa maksud kakak?”

Adam’s Project, mereka bukan hanya mengincar pengetahuan mengenai masa lalu dan masa depan. Tetapi, tentara manusia buatan, manipulasi nuklir, sumber daya tak terbatas, asal-usul keberadaan manusia, dan Tuhan. Mereka mengincar semuanya. Pada 70 tahun yang lalu, mungkin ini adalah sebuah lelucon. Saat ini, teknologi sudah berkembang.”

“Lalu, kenapa kakak berpikir mengenai kematian?”

Rafat bersandar pada dinding, “Kemarin malam, kamar kosku diserang dua pria. Dan sepertinya, yang mereka cari bukan hanya Eva.”

“Namun, kakak juga?”

Rafat menganggukkan kepalanya, “Betul sekali. Mereka sudah menemukan ‘sang Adam’, dengan cara membiarkan sang Hawa — Eva, mencarinya.”

Alifha tidak memberikan tanggapan dan hanya mengatakan, “Percaya diri sekali kakak, menyebut diri sendiri ‘sang Adam’.”

“Hmph.” Rafat tertawa kecil dan beranjak menuju Eva berada. “Alifha, mohon bantuannya nanti.”

“Terserah kakak.” Alifha masih kesal dengan kata-kata Rafat.

~***~

Dua hari kemudian ….

“Alifha, Eva telah direbut oleh mereka,” suara Rafat dalam telepon. “Kakak, membutuhkan bantuanmu.” Telepon itu langsung ditutup dan Rafat pergi bersiap-siap.

Aku benar-benar ceroboh. Namun, memang sesuai perkiraanku.

“Kakak … Jangan kalah,” gumam Alifha.

Rafat pergi menuju gudang di dekat kampusnya. Semua barang-barang rahasia disimpan di sana. Senjata api, senjata tajam dan beberapa perlengkapan lainnya ia bawa. Alat komunikasi jarak jauh pada telinga sudah terpasang dan terhubung dengan Alifha.

Mungkin sedikit mengejutkan jika seorang mahasiswa diperbolehkan membawa barang-barang tersebut. Rafat ini sangat berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Saat SMP, dia pernah memenangi sebuah kompetisi melawan para jenius di dunia. Lalu, ia juga lulus dari sebuah instansi pendidikan internasional yang berada di Indonesia hanya dalam tiga hari. Normalnya, dibutuhkan tiga tahun untuk lulus. Meskipun tanpa sebuah pengetahuan dan pelatihan militer, ia mampu melawan 10 orang dewasa sekaligus saat di bangku SMA. Karena beberapa kejadian juga, dirinya diberikan surat izin untuk membebaskan dirinya memiliki barang-barang tersebut.

“Eva, tunggu kakak,” Rafat keluar menggunakan motorsport-nya. Teknologi yang terpasang pada motornya sudah jauh lebih canggih dibanding yang lain. Dan semua itu adalah perbuatan Rafat dan Alifha. “Gemini, tolong arahkan aku ke tempat Eva. Sagitarius, bantu Alifha menjalankan tugasnya,” Rafat berbicara dengan para AI-nya.

Baik,” jawab serentak.

“Halo, Alifha. Apakah suaraku terdengar?” ucap Rafat sembari fokus berkendara.

Terdengar jelas, kak. Sagitarius sudah sampai di komputerku.

Rafat tersenyum, “Tolong katakan kepada Kana, ‘200, 250, 500, dan 1425 meter di depanku akan ada seorang teroris.’ Apa kamu bisa menyampaikannya?”

Baiklah, kak.

“Gemini, tolong kendarai secara otomatis.” Rafat mengeluarkan seperti pil obat dari dalam kantungnya.

Tuan, ini bukan jadwal Anda meminum obat tersebut,” ucap Gemini.

Kakak! Kamu meminum obat itu lagi?!” teriak Alifha.

“Berisik sekali, kalian berdua! Tenang saja, yang seperti ini tidak akan membuatku mati.” Rafat meningkatkan kecepatannya.

Sepanjang perjalanan, Rafat tidak bertemu dengan masalah lain. Akhirnya dia tiba di sebuah tempat, seperti sebuah gedung tak terpakai. Lokasinya sendiri berada di tengah kota, yang berarti banyak kendaraan dan pejalan kaki berlalu-lalang. “Musuhku kali ini sangatlah cerdik.” Rafat berjalan masuk menuju basement gedung tersebut.

Lebih baik kakak tunggu bala bantuan dari kak Kana,” saran Alifha.

“Tidak, lebih baik aku melakukannya sendiri. Komunikasi akan kakak putuskan di sini.”

Kakak terlalu gegabah.”

“Kakak masih memiliki ‘kemampuan’ yang lain.”

Kakak! Jangan pernah gunakan—” suara Alifha terputus karena Rafat mematikan jalur komunikasinya.

Rafat mulai memasuki gedung, di sana tidak ada penjaga sama sekali. Ia sadar dengan beberapa CCTV yang terpasang. Maka dari itu, ia meminta Alifha untuk mengnonaktifkan seluruh sistem keamanan dan memancing semua orang dalam gedung itu untuk pergi ke lobi.

Nguunggg! — terdengar suara alarm yang cukup keras. Langkah kaki pun terdengar jelas di sebrang tembok tepat di mana Rafat berada. Kesempatan untuk menerobos masuk.

“Eva sepertinya berada di lantai tiga.”

Sepanjang lorong, Rafat menghabisi semua orang hanya dengan kemampuan bela dirinya. Ia mengambil perlengkapan dan pelindung kepala dari orang yang baru saja dikalahkan. Tak disangka dengan cara tersebut, dirinya bisa berjalan dengan santai hingga lantai ke-3. Selama di perjalanannya, ia menghabisi para teroris dan menyembunyikan tubuhnya di tempat yang tidak terlihat.

Karena Rafat yang terlalu terburu-buru, para teroris sadar dengan keberadaan Rafat di dalam gedung sana. Ia memusatkan kinerja otaknya pada indera perabanya, “20 orang ya, memang terlalu banyak. Tapi sepertinya aku bisa melakukannya. Gemini, tolong nyalakan sistem pemadam kebakaran.” Pandangan semua orang seketika tertutup oleh cipratan air. Dengan celah itu, Rafat memusatkan kendali otaknya hanya pada otot. Pengelihatannya menjadi gelap, tetapi kemampuan fisiknya seperti hewan buas dari padang sabana. Memangsa musuh-musuhnya, jumlah yang banyak pun bukan menjadi sebuah masalah.

Sampai saat ini, Rafat sama sekali belum menggunakan senjatanya. Dengan tubuhnya yang basah kuyup, ia membiarkan Gemini memasuki jaringan sistem pada gedung itu. “Gemini, tolong bukakan pintu ini.”

Baik, Tuan. Dibutuhkan waktu 30 detik untuk memecahkan kata sandi.”

Saat Rafat mengembalikan fungsi otaknya ke seluruh tubuh, napasnya menjadi sangat tidak karuan. Tubuhnya tumbang hingga tidak dapat digerakkan. Detak jantungnya berdegup sangat kencang.

Aku harus mengontrol semuanya — Rafat berusaha untuk menstabilkan keadaan tubuhnya.

Tak disangka, salah satu dari teroris yang baru dikalahkan ada yang tersadar. Ia mengeluarkan sebuah pistol dari kantung belakangnya. Kepalanya yang masih sangat pusing membuat dirinya kesulitan membidik kepala Rafat yang terkapar di lantai. Sesaat setelah menarik pelatuknya, Rafat menyadari sesuatu di dekatnya. Dengan usaha menghindar, kepalanya selamat dari tembakan tersebut.

“Dasar kau monster,” teroris yang menembak tadi berjalan mendekati rafat, menodongkan pistolnya tepat di kepala Rafat. Suara rintikan air yang terjatuh sedikit demi sedikit mulai menghilang. Ketegangan muncul di antara Rafat dan teroris itu.

Muncul suara Gemini dengan tiba-tiba, “Tuan, pintu akan saya buka.” Suara itu terdengar jelas oleh teroris itu dan membuat dirinya lengah.

Kesempatan! — Rafat memutar tubuhnya dan menendang kaki teroris itu hingga terjatuh. Lalu, menghantam wajahnya dengan sebuah tendangan telak.

“Tak kusangka tembakan tadi akan mengenai kaki kiriku.” Berjalan pincang menuju ruangan Eva berada.

Tuan, pendarahanmu harus dihentikan.

“Aku tahu. Namun, aku harus segera membawa Eva dan keluar dari sini.” Rafat membuka satu per satu pintu yang terdapat di lorong itu. Ia menahan rasa sakit kakinya sembari memegangi senjata api yang ia bawa, Magnum. Pintu ke-12 yang ia buka, terlihat Eva sedang duduk dengan badan terikat di sebuah tempat tidur. Rafat menghampirinya, lalu melepaskan ikatannya.

Peringatan! Tekanan darah Anda menurun,” Gemini mengingatkan Tuannya.

“Berisik, Gemini! Matikan semua pemberitahuan kondisiku!” Rafat memangku Eva dengan satu tangan. “Kita akan keluar dari sini dengan selamat.” Ia berjalan keluar, mencari tangga untuk pergi menuju ke atap gedung. “Taurus, apakah kamu sudah mendapatkan data-data dari organisasi mereka?” tanya Rafat ke salah satu AI-nya. Saat Rafat berjalan menuju lokasi kamar Eva, ia menyentuh setiap perangkat yang memungkinkan tersambung ke jaringan di gedung tersebut dan yang bersangkutan.

Semuanya sudah saya pindahkan ke perangkat nona Alifha, Tuan.”

“Bagus.”

Aku harus segera pergi ke atap. Kana pasti sudah menungguku.

Suara langkah di tengah kesepian, memangku seorang gadis kecil dengan jalan pincangnya. Rencana Rafat, semuanya berjalan sesuai yang diperkirakan. Semua teroris yang dipancing oleh alarm buatan menuju lobi pasti sekarang sedang mengejar Rafat. Dan bagian lantai atas sudah dibersihkan oleh pasukan penembak jitu Fumiko Kana. 

Suara tetesan air menggema sepanjang lorong di gedung gelap itu. Tapi itu hanya sesaat.

Aku mendengar dentuman yang lumayan besar.

“Ada bom?!” Rafat melirik ke sekitarnya dan mencari sumber dentuman itu.

Tidak! Bukan bom! Ini adalah gempa.

Dengan tenaga yang tersisa Rafat berlari menuju ke atas. Wajahnya yang pucat karena kehilangan banyak darah, tubuhnya yang kedinginan, dan pandangannya yang sudah mulai kabur, semuanya itu dipaksa oleh kegigihan Rafat. Saat ini, Rafat masih berada di lantai 7. Untuk menuju atap — tepatnya di atas lantai 8, ia harus menaiki tangga yang berada di sisi lain gedung.

Dentumannya semakin besar! — air mata Rafat mulai mengalir.

“Sial! Bukan waktunya menangis! Aku harus terus berlari!”

Aku tak ingin mati! Aku masih ingin bertemu banyak orang! Aku masih belum menemukan kakakku! — Rafat terus menerus memaksakkan kedua kakinya itu hingga berwarna biru hitam bengkak pada bagian mata kakinya.

Sesampainya di lantai 8, ia melihat beberapa pasukan Fumiko Kana menjemput Rafat dan Eva.

“Ayo, Nak! Kemari!” dalam bahasa Jepang.

Oh, tidak! Suara dentumannya sudah sampai di permukaan.

“Larilah! Cepat!” teriak Rafat.

“Eh?!” para pasukan Fumiko Kana kebingungan.

Karena mereka tidak mendengarnya, Rafat mengeluarkan senjata apinya dan menembaki mereka supaya lari. Tubuh rafat yang sudah sampai batasnya, terkapar menatap langit-langit dengan Eva berada pada pelukannya. Pilar-pilar gedung pun mulai retak.

“Ini gempa! Kita harus lari!” ucap pasukan Fumiko Kana. Mereka mulai kembali ke atap untuk menaiki helikopter.

Aku mendengar suara helikopter. Kana, sudah di atas sana. Tapi … tubuhku sudah tidak kuat.

“Ka—kak?” Eva terbangun dari pingsannya.

“Eva sudah bangun, ya. Maaf. Sepertinya aku tidak bisa membawamu keluar dengan selamat.” Rafat sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Ia mencoba untuk mengelus-elus kepala Eva.

Lantai-lantai mulai jatuh, pilar-pilar gedung pun mulai berhancuran. “Tidak, kakak sudah berusaha. Selama Eva berada di sisi kakak, tidak masalah apa pun yang terjadi.”

Kau itu memang aneh, Eva. Sejak awal datang ke kamar kosku pun kau memanggilku ‘Kakak’. Lalu memanggilku ‘Tuan’. Tetapi, sifat polos dan lugunya sangat lucu — air mata Rafat mulai keluar deras.

“Gemini, alihkan semua AI-ku ke perangkat Alifha,” ucap Rafat, lalu ia melemparkan alat komunikasi di telinganya ke atas.

Gempa itu meruntuhkan gedung, tempat di mana Rafat dan Eva sekarang berada. Meskipun kondisinya sangat mengerikan, Rafat sama sekali tidak ingin pasrah. Ia menggunakan kemampuan terakhirnya, kemampuan “Mata Batin”. Warna, jin, dan makhluk lainnya yang dapat ia lihat, itu bukanlah sebatas kemampuan supernatural biasa. Rafat mampu memasuki pikiran seseorang dan mengintip masa lalunya, bahkan mampu mengubahnya. Tetapi terakhir kali ia melakukannya, pembuluh darah pada kedua matanya itu pecah. Darah mengalir pada matanya.

Saat ini, Rafat ingin melakukan hal serupa. Ia merasuki semua pikiran para teroris dan ‘menghipnotis’ mereka semua untuk membentuk sebuah matras untuk mendarat. Efek yang diterima Rafat bukan lagi pecah pembuluh darah, namun kedua bola matanya meleleh. Selain itu juga, beberapa sel otaknya mulai terbakar karena tak kuat menampung semua memori orang yang ia masuki.

Sakit sekali! Tapi aku harus terus melakukan ini.

Dari luar, terlihat gedung itu sudah hancur rata seperti sebuah istana pasir yang dihantam keras oleh ombak. Orang-orang di sekitar pun terkejut dan berlarian menjauhi lokasi. Fumiko Kana masih tetap mencari keberadaan Rafat. Dirinya itu benar-benar tidak menyerah.

Di lain sisi, Rafat dan Eva berhasil mendarat dengan selamat, tetapi tertutupi oleh puing-puing bangunan. “Eva … Eva … Eva.” Rafat mencoba untuk memanggil Eva yang berada pada pangkuannya itu. Ia mencoba meraba dan membangunkan Eva. Tubuh Eva sama sekali tidak menanggapinya dan suhunya pun sangat dingin. Rafat juga mencoba untuk meraba lagi dan ia menyadari, Eva tertusuk oleh tiang penyangga pada bagian pinggangnya.

Rafat sendiri sudah tidak bisa melihat dan menggerakkan tubuhnya lebih dari itu. ‘Menyerahkan diri’, mungkin itu yang sudah ada dipikiran Rafat. Ia tidak dapat berpikir lagi untuk menyelamatkan diri.

“Ka… kak… Dingin ….” gumam Eva terdengar pelan pada telinga Rafat.

Rafat terkejut dan hanya bisa memasang senyum, lalu memeluknya.

Waktu singkat bersamamu memang benar terasa menyenangkan. Sejujurnya di saat seperti ini aku ingin sekali melihatmu. Tapi, sepertinya Tuhan sudah merenggut kedua mataku. Sayang sekali.

Jumlah teroris, 45 orang dan jumlah korban, 47 orang

Adam dan Eve diusir dari surga sebab Eve — Hawa, memakan buah terlarang.

~***~

12 tahun pun berlalu begitu saja. Setelah kejadian itu, Fumiko Kana dan seluruh rekan Rafat menghentikan serta menghapus segala jejak dari penelitian Adam’s Project. Alifha yang memiliki semua datanya, membantu melacak jejak yang masih tersisa. 

Dan di zaman ini juga, Alifha sudah mendirikan sebuah rumah sakit. Tepatnya, sekitar empat tahun yang lalu, Alifha menemukan sebuah catatan yang di mana almarhum kakaknya, kak Dayyan sangat ingin mendirikan sebuah rumah sakit. Dan dari sana, ia memiliki tekad untuk membangun rumah sakit.

Kota Gamma, 18 Mei 2034

Seorang gadis kecil berdiri dengan posisi kepala menunduk. Seperti orang yang putus asa terhadap sesuatu.

“Ini adalah tagihan rumah sakit untuk kakakmu. Di mana orang tuamu?” ucap salah satu petugas di sana.

“A-anu, kami sudah tidak memiliki orang tua.” Gadis kecil itu murung dan bingung, bagaimana cara ia membayarnya.

“Aduh ….”

Terdengar suara langkah sepatu mendekat, “Permisi, bisakah aku saja yang membayarnya?”

Gadis kecil itu melihat seorang pria gagah dengan tongkatnya mengulurkan tangannya. Seperti meminta tagihannya. Petugas itu memberikan tagihannya ke pria tersebut. Dan pria tersebut meminta sang gadis kecil membacakan jumlah tagihannya. Setelah sang gadis kecil membacakan jumlahnya, pria itu hanya tersenyum.

“Aku akan membayarnya, tolong antarkan aku ke loket pembayaran.”

“Baik, Tuan.” Petugas itu menuntun pria itu.

Sang gadis kecil mengkuti pria itu. Melihat bahwa pria itu benar-benar membayarkan seluruh biaya rawat inap kakaknya itu. “Tuan, terima kasih,” ucap gadis kecil itu dengan senang. Wajahnya pun kembali riang. Pria itu masih tetap memasangkan senyumnya saja tanpa merespon rasa syukurnya sang gadis kecil.

“Sepertinya kakakmu sudah sadar,” ucap sang pria.

Dengan wajah terkejutnya, “Benarkah?!”

“Temani kakakmu yang baru bangun.” Pria itu menyuruhnya untuk segera mendatangi kakaknya.

Hanya dengan memberi salam dan terima kasih, gadis kecil itu pergi berlari menuju kamar kakaknya. Entah benar atau tidak apa yang dikatakan pria tadi, yang diharapkannya itu hanya keselamatan kakaknya. Gadis dengan penampilan compang-camping berlarian di koridor rumah sakit. Banyak orang yang melihatinya, akan tetapi dia tidak peduli.

Beberapa saat yang lalu, kakaknya itu mengalami kecelakaan jalanan. Ia tertabrak oleh sebuah mobil yang sedang dikendarai oleh orang mabuk. Tepatnya, saat sang kakak sedang membelikan sebuah boneka untuk adiknya. Semua itu terjadi di depan mata adiknya sendiri.

Hanya saja, semua itu akan berlalu begitu saja. Kebahagiaan terpancar penuh di dalam kamar tersebut. Warna kuning dan biru cerah benar-benar mewarnai dari setiap sudut ruangan. “Kakak! Syukurlah ….” Sang adik langsung memeluk kakaknya yang baru saja terbangun dari tidurnya. “Tidak tahu harus bagaimana lagi, jika kakak meninggalkanku.”

“Sepertinya kakakmu sudah membaik, ya.”

“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Tuan.” Sang adik langsung mengatakan ke kakaknya bahwa Tuan itu adalah orang yang telah membayar semua biaya pengobatan.

“Ha-Hawa —” kepalanya merasa kesakitan. “Ah iya, aku mengingatnya. Aku mengalami kecelakaan.” Sang kakak beranjak dari kasurnya dan membungkukkan badannya, “Saya ucapkan terima kasih karena telah menjaga adik saya dan juga membayar biaya pengobatan saya. Suatu saat hutang budi Anda akan saya balas.”

“Haha, kalian ini sangat lucu. Meskipun aku buta, tapi aku bisa melihat warna kalian.”

Mereka berdua terkejut karena pria itu membawah ‘melihat warna’. “Apakah Tuan bisa melihat warna juga?”

“Tentu saja. Dari awal, aku memang ingin mengasuh kalian. Pendidikan, pakaian, makanan, dan lainnya, aku akan menanggungnya.”

Mendengar hal tersebut, kakak beradik itu sangat senang. Mereka juga menerima penawaran itu. Dan juga mereka bersumpah, “Kami bersumpah akan membuat nama baik Tuan tidak tercoreng.”

“Haha, jangan panggil aku dengan ‘Tuan’ —” ucapannya terpotong karena ada orang lain yang berbicara juga dari belakangnya.

“Pria ini jangan kalian panggil dengan sebutan ‘Tuan’,” ucap seorang gadis dengan jas dokternya.

“Yang kak Alifha katakan itu benar. Jangan panggil ‘Tuan’. Panggil dia dengan panggilan ‘Kakak’. Bukankah begitu … kak Rafat? Sepertinya kepulanganmu dari Australia lebih cepat dari yang dijadwalkan,” ucap gadis lainnya dengan pakaian yang sangat anggun, auranya pun sangat terasa hangat.

“Ternyata kalian berdua sedang berada di sini ya, Alifha, Eva.” Mereka bertiga tertawa dan saling bertukar salam. “Benar sekali, jangan panggil aku ‘Tuan’. Tapi panggil aku dengan ‘Kakak’,” ucap Rafat.

“Baik, kakak.”

“Mungkin aku belum memperkenalkan diriku dengan benar. Aku, Raditya Rafat, hanya seorang manusia biasa yang tak bisa melihat.”

Gadis dengan pakaian anggun menggandeng tangan Rafat, “Perkenalkan, aku adalah Eva, adik dari kakak satu ini.”

“Dan aku adalah Alifha, kalian berdua bisa mengandalkanku jika ada apa-apa,” ucap gadis dengan jas dokternya.

Setelah mendengar mereka berkenalan, kakak adik ini pun mengenalkan dirinya sendiri. “Perkenalkan aku, Hawa, kedua orang tua kami sudah tiada. Dan kami hidup dengan cara bekerja paruh waktu.”

Paruh waktu? Umur mereka mungkin sekitar … 5 dan 7 tahun — pikir Rafat.

“Sebelumnya kuucapkan terima kasih karena sudah ingin menampung dan mengasuh kami,” — sang kakak berjalan mendekati Rafat dan memeroleh tangannya — “Aku adalah Adam, salam kenal, kak Rafat. Sepertinya saat aku terpingsan, mimpi yang kulihat adalah masa lalu Anda, kak Rafat” Ia mencium tangan Rafat.

Rafat hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Selamat datang di keluarga, Adam, Hawa. Jika yang Adam lihat demikian, maka itu adalah benar.”

~***~

Kembali ke masa di mana akhir dari Perang Dunia ke-2 hampir terlihat.

Hiroshima, 5 Agustus 1945

“Wah! Ayah, lihat itu! Ada kereta di tengah jalan!” seorang gadis terkagum-kagum melihat keindahan kota di sana. Banyak orang-orang menggunakan pakaian kimono. “Ayah! Pakaian mereka sangat lucu!” Bahkan udara di sana masih terasa sangat segar, meskipun saat itu sedang berada pada musim panas.

“Hei, Eva! Jangan berlarian ke sana kemari. Banyak orang yang berlalu-lalang,” seorang dengan pakaian berjas ditemani oleh seorang pelayan tua. “Dasar, padahal dia itu sudah besar.”

“Apakah perlu saya menegurnya, Tuan?”

“Tidak perlu, kita di sini untuk menikmati sisa liburan kita. Oh ya, apakah kamu bisa mencari sebuah penginapan untuk kita tempati?”

“Baik, Tuan.” Rafael pergi meninggalkan mereka berdua.

Dan sekarang hanya tinggal mereka berdua, Eva dan Yaratsch. Eva saat ini mampu melihat dengan satu matanya. Itu adalah pemberian dari mata kanan Yaratsch.

Saat ini kami benar-benar bisa berbagi pengelihatan.

“Ayah!” Eva berlari ke arah Yaratsch dan sedikit ketakutan, ia juga menunjuk ke arah langit. “Ayah, langit itu sangat gelap.” Setelah Eva menerima mata kiri Yaratsch, dia juga mampu melihat berbagai warna.

Semoga saja firasat burukku ini salah — Yaratsch sangat gelisah sesampainya di sana.

“Sekarang masih jam empat sore, apakah kamu ingin pergi ke suatu tempat?” tanya Yaratsch.

“Kemana pun! Asalkan bersama ayah, Eva akan merasa senang.” Eva tersenyum kepada ayahnya di bawah langit jingga.

Mungkin itu adalah terakhir kalinya dirinya itu tersenyum.

Tanpa kusadari, semuanya berlalu begitu saja. Aku terbangun dalam tidur panjang. Dan yang kulihat di sana hanyalah kedengkian yang sang pekat. Rasa mual membuat seluruh tubuhku bergetar. Semua roh manusia beterbangan ke sana kemari. Tidak ada lagi kesenangan di dalamnya. Saat kuberjalan di dalamnya, aku benar-benar tidak bisa merasakan kehangatan kasih sayang. Semuanya telah tiada. Rasanya seperti berada di dunia lain.

Ingatan terakhirku … ayahku memasukkanku ke dalam sebuah kotak di dalam tanah. Dia juga seperti sedang menahan tembakan yang mengarah kepadaku. Bahkan untuk saat terakhir pun, aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku kesal. Aku sedih. Tapi aku tidak bisa menangis, aku hanya bisa berteriak keras tanpa ada yang bisa mendengarku.

Hiroshima, 6 Agustus 1945 pukul 18.20

Hari di mana Amerika Serikat menjatuhkan bom nuklir di kota ini. Akibat dari radiasi yang dipancarkan membuat makhluk hidup di sana mengalami beberapa keanehan. Hanya saja, tubuh Eva saat itu tidak merasakan apa pun selain mualnya. Seakan-akan tubuh buatannya itu tidak terpengaruh oleh radioaktif.

Di tengah kegelapan, Eva berjalan entah ke mana arahnya. Ia memasuki pegunungan dengan pohon-pohon yang rindang. Tanpa makanan, tanpa minuman, tubuh Eva sudah mencapai batasnya. Hingga ia sampai di sebuah gubuk yang kumuh. Di dalamnya tidak ada siapa-siapa, tetapi persediaan makanannya terlihat sangat banyak. Kondisi rumahnya pun terasa sangat kering untuk seukuran gubuk kumuh di pegunungan.

Karena tubuhnya sudah tidak kuat untuk bertahan lagi, Eva terbaring di depan gubuk itu. Tak lama, kabut di daerah pegunungan itu semakin tebal.

Aahhh … Aku akan mati. Tapi, memang seharusnya seperti ini — pikir Eva.

“Kamu tidak akan mati kok,” terdengar suara anak kecil laki-laki seperti berbicara tepat di samping telinga Eva. 

Siapa?

“Ternyata ada orang yang datang ke dunia ini.” Seorang kakek membawa pacul berjalan mendekatinya. “Kau tidak seharusnya datang kemari, nak.”

Nak? Mungkin dia memanggil diriku…. — Eva kehilangan kesadarannya.

Kakek itu membawa Eva ke dalam gubuknya dan membantunya menghangatkan tubuh. Ia juga menyiapkan makanan berupa sup agar mudah dicerna oleh Eva. Dengan mengambil beberapa tumbuhan herba dari belakang dapurnya, ia membuat suatu obat pil kecil. Entah dengan sihir atau ilmu apa, gelas dengan air hangat juga muncul pada tangan kanannya.

“Sepertinya kamu sudah sadar.” Kakek itu berjalan mendekati Eva sembari membawa air dan obat. “Sebelum kamu makan, minumlah obat ini lebih dahulu.” Eva sedikit ketakutan setelah melihat wajah dari kakek tersebut dan seperti menjauhinya. “Tenang saja, ini adalah obat agar organ pencernaanmu tetap dalam kondisi baik-baik saja.”

Karena sadar bahwa perutnya seperti terasa melilit, Eva terpaksa memakan obat tersebut. Setelah itu, ia menyantap sup yang telah dibuat oleh kakek tersebut. “Terima kasih atas makanannya.” Makanan itu habis dengan begitu cepat dan Eva menyerahkan mangkuknya kembali kepada kakek itu.

“Apa kamu ingin menambah?” Kakek itu menawarkan makanannya lagi. 

Dan Eva hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Terima kasih, kakek.”

“Baguslah. Jika kondisimu sudah membaik, kakek ingin berbicara denganmu. Aku akan menunggumu di depan gubuk ini.”

Karena tak ingin membuang-buang waktunya, Eva menahan lengan kakek tersebut. “Tidak perlu, kakek. Eva sudah membaik.”

“Kalau begitu, kamu harus cepat keluar dari gunung ini. Jika kamu terlalu lama di sini, tubuhmu akan terus semakin muda hingga kembali menjadi sebuah bentuk roh tanpa wujud fisik.”

Benar juga, aku … menjadi anak kecil lagi.

“Tetapi, aku sudah tidak tahu harus ke mana lagi.” Eva pasrah dan bingung dengan keadaannya sekarang.

“Tidak sulit kok, mungkin aku bisa menunjukkan suatu tempat yang bagus untukmu.” Seorang anak kecil tiba-tiba muncul di samping Eva.

“Si-siapa?”

Anak kecil itu berdiri menghadap Eva, “Aku adalah Sulaiman.” Mendengar perkenalannya saja, hati Eva langsung berdegup kencang. “Sejujurnya, aku senang dengan manusia seperti ayah angkatmu itu. Dia benar-benar mengerti hati dari setiap manusia. Namun, sepertinya ia sudah tiada, ya?”

“Ayahku salah satu korban.”

“Maka dari itu, aku ingin kamu menemukan sosok yang mirip dengan ayahmu. Hal itu ditujukan untuk mencegah segala peluang terjadinya akhir dunia.” Anak kecil itu meraih tangan Eva, lalu menundukkan tubuhnya.

Eva menjawabnya dengan ragu-ragu, “Mungkin … bisa saja. Tapi, aku tidak yakin bagaimana caranya.”

“Untuk masalah cara, kamu bisa menentukannya setelah sampai di tempatnya.”

“Baiklah, aku menerimanya. Lagipula, sekarang ku sudah bingung ingin melakukan apa. Jika itu untuk bertemu ayah kembali, maka kuterima.”

“Terima kasih.” Anak kecil mengangkat tangannya. Lalu, tiba-tiba muncul cahaya yang menyambar tubuh Eva di tengah tebalnya kabut itu.

Sang kakek itu seperti menyerahkan sesuatu kepada Eva, “Mungkin ini akan membantumu di sana.”

Saat Eva melihatnya, “Apakah kakek serius?” Ia melihat uang yang luar biasa jumlahnya.

“Itu adalah uang yang kudapat dari orang-orang berdoa. Kau bisa menggunakannya.” Kakek itu hanya tersenyum dan melanjutkan ucapannya, “Aku bukanlah dewa, hanya sebuah roh yang bersemayam di gunung ini.”

“Baiklah, sekarang aku akan memindahkanmu,” ucap Sulaiman. “Semoga kamu berhasil.”

“Terima kasih.” Eva menutup matanya. Cahaya-cahaya itu menarik Eva menuju tempat lain. Saat Eva membuka matanya, di depannya itu terdapat sebuah gua besar. Tanpa disadari juga, tubuh Eva kembali seperti umur 6 tahun. Di tengah hutan tanpa manusia, Eva baru menyadarinya.

Aku tidak butuh uang ….

Beruntungnya, setelah Eva dipindahkan, ia sadar bahwa terdapat kemampuan ghaib khusus pada dirinya. Berbicara pada hewan dan tumbuhan, itu adalah kemampuan yang ia dapatkan. Dengan kemampuannya Eva masih bisa terus bertahan hidup dan juga terus mengemban tanggung jawab untuk terus mencari sosok yang serupa dengan Yaratsch.

Namun, ia masih bingung dengan klasifikasi yang dibutuhkan agar sesuai dengan sosok ayahnya itu. Meskipun sudah berlangsung sekitar 50 tahun lamanya, Eva masih tidak menyerah untuk menemukannya. Semua cara dan bantuan dari setiap tumbuhan dan hewan sudah ia coba. Hasilnya tetap nihil, ia tidak dapat mengetahui caranya.

Sejenak ia memiliki pikiran untuk menyerah, “Apakah aku harus menyerah?” Ia menangis menatap langit yang mendung dari daratan tinggi. 

Aku sangat merindukan ayah. Sudah lama sekali aku tidak melihat bermacam warna manusia … Warna! Benar sekali! Aku baru menyadarinya — Eva beranjak dari posisinya dan mengusap air matanya.

Sulaiman yang mengawasinya dari jauh hanya tersenyum dan mengatakan, “Hmm, akhirnya kamu sadar juga. Sepertinya aku akan kembali lagi ke tempat kakek tua itu.”

Dengan kepercayaan dirinya yang baru, Eva meminta hewan dan tumbuhan lainnya untuk mencari manusia yang tidak memiliki warna. Hasil yang didapatkan memang lebih akurat, tetapi tetap saja hasilnya masih nihil. Hingga 8 tahun kemudian, ia mendapatkan informasi bahwa seorang bayi lahir dengan prediksi kelamin yang salah, lalu ia juga terindikasi tidak memiliki roh di dalamnya. Namun, bayi itu tetap hidup meskipun kritis karena penyakit yang dibawanya.

Dalam pertumbuhan, bayi itu sering diganggu oleh hal-hal mistis. Eva melindungi bayinya dengan cara meminta bantuan para serangga serta akar tumbuhan untuk selalu melindunginya. 

Sadar akan tubuhnya yang sudah mulai menua, Eva berpikir untuk membuat kloning dirinya sendiri. Akan tetapi, ada sebuah peraturan yang dilanggar nantinya. Jika klon itu lahir sebelum Eva meninggal dunia, akan terjadi suatu hal yang tidak dapat diprediksi antara Eva dengan kloningnya.

Maka dari itu, Eva membuat teknologi untuk melatih kloningnya agar mampu bertahan hidup setelah terlahir nanti. Sedikit lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas tersebut, sekitar 9 tahun ia membangunnya sendiri. Dengan pengetahuan yang ia miliki, Eva mampu mengembangkan janin kloningnya selama 3 tahun.

“Akhirnya, aku berhasil mengembangkannya.” Tubuh Eva yang mengeriput karena sabar menunggu janin kloningnya. Boneka dan pakaian yang ia siapkan untuk kloningnya pun sudah selesai dirajut.

Mungkin kloningku nanti akan memiliki ingatan yang baru, tetapi ambisiku akan terus tertanam dalam hatinya.

Eva berjalan menuju kursi. Mengambil sebuah kotak, lalu memasukkan pakaian serta bonekanya. Dia duduk di kursi dengan posisi kotak berada pangkuannya. Di hadapannya saat ini hanyalah janin yang sudah siap menerima roh.

“Akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan sosok ayahku.” Eva memasang sebuah alat di kepalanya. Dibantu dengan para hewan dan tumbuhan untuk memasang alat lainnya.

Terima kasih semuanya ….

Saat mesin itu menyala, roh Eva ditarik ke dalam sistemnya. Dan mulai menginfusi rohnya ke dalam sang janin. Sebelum infusi benar-benar selesai 100%, Eva membuat dunia virtual yang di mana dirinya menjadi sosok ibu bagi kloningnya. Ia mengajari banyak hal di sana.

Enam tahun pun berlalu.

Sang janin sudah berkembang menjadi seorang anak kecil yang sudah siap tinggal di dunia luas. Saat ia membuka matanya, ia melihat sosok mayat tersenyum yang menghadap pada dirinya sembari memegang sebuah kotak. Mayat itu seperti dijaga oleh para tumbuhan, hewan, bahkan mikroorganisme. Sebuah makam yang sangat cantik.

Kloning ini berjalan, mengambil kotak tersebut lalu memakai yang ada di dalamnya. Tanpa mengetahui ingatan lama dari tubuh aslinya, sang kloning berjalan keluar mencari sosok yang dicarinya. Mungkin sekitar sebulan hingga ia benar-benar melihat sosoknya itu.

Sosok itu berlari tepat di depan pandangannya.

Kakak?! — pikir sang kloning pergi mengejar sosoknya yang sedang berlari menuju kamar kosnya.

Sesampainya di kos itu, ia ditanya oleh penjaga di sana. Dan kloning itu hanya menjawab, “Aku adalah adik dari kakak yang tadi berlari masuk.”

“Aduh! Nak Rafat parah banget sih! Ayo masuk saja, dik.”

Dengan izin tersebut, sang kloning berjalan mencari kamar dari sosoknya tersebut. Setelah menemukannya, tanpa basa-basi, ia langsung mengetuk pintunya.

Saat pintunya terbuka, sontak ia mengatakan, “Halo Kak!” Meskipun dirinya itu tidak paham dari mana rasa bahagia tersebut datang, ia benar-benar menahan rasa ingin menangisnya.


Penulis: Garpit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *