Rendezvous Adieu Reunion

Entri Writchal #4
Tema: Child Care


“Uwaaaah!”

Pria kantoran itu mengeluh panjang ketika ia menghamburkan badannya yang lelah di atas kasurnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan seragam kantornya yang masih penuh dengan keringat.

Namanya Yaji. Dia hanyalah seorang pegawai kantoran yang biasa kalian temui. Bekerja dari jam delapan pagi sampai malam, begitulah kesehariannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Isi kamar kontrakan yang ia tempati—seperti yang kalian harapkan untuk pria kantoran biasa di akhir usia dua puluhannya. Semuanya serba berantakan—bungkus makanan kosong tersebar di mana-mana, tumpukan piring kotor yang diletakkan begitu saja di wastafel tanpa dicuci dengan segera sampai mengeluarkan bau tak sedap, baju kotor yang juga berserakan—pokoknya segala hal yang biasa kalian temui di kamar laki-laki pemalas yang hidup sendirian.

Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan baginya. Pekerjaan kantornya yang biasanya ia terkesan monoton dan membosankan tiba-tiba melonjak parah untuk hari ini. Hal ini masih lumrah terjadi, namun Yaji tetap tak pernah terbiasa dengan anomali seperti ini. Prinsip hidupnya yang ia selalu pegang teguh—kalau bisa dikerjakan orang lain, lantas mengapa harus aku yang mengerjakannya?—kurang lebih seperti itu. Ia tak pernah ambil pusing dengan segala macam proyek ataupun pekerjaan ekstra di kantornya. Selama ia mendapat gajinya dengan rutin setiap bulan, ia tak membutuhkan hal lain lagi. Kehidupan yang membosankan? Yaji sama sekali tidak memedulikan hal itu. Untuk apa bersusah payah demi sesuatu yang penuh risiko dan tidak pasti.

Yaji menundukkan kepalanya ke dalam laci di dekat wastafel, bergumam dengan nada kesal. Sial, di mana kutaruh bungkus kopi itu terakhir kali?

Ia terus mencari kopi saset favoritnya itu. Menurutnya, ia takkan bisa melewatkan sehari tanpa secangkir kopi panas di malam hari. Ia selalu merasa lebih rileks di malam hari dengan meminum kopi. Menghabiskan semalam suntuk bersantai bermain game setelah bekerja adalah hal yang paling ia sukai, terlebih lagi sejak hari ini yang tergolong cukup melelahkan.

Lima menit kemudian, kopi seduhnya sudah siap di dalam cangkir, mengepul panas. Ia menyalakan televisi, kemudian menghubungkannya dengan konsol game miliknya. Ia mengempaskan tubuhnya ke atas kasur dengan bersemangat. Salah satu tangannya sudah bersiap memegang konsol, sedangkan satu tangannya lagi meraih cangkir di sebelahnya yang masih di mengepul tepat di sebelahnya, menyeruputnya perlahan. Persiapannya sudah siap. Esok adalah hari libur, jadi ia bisa bermain sepuasnya semalaman suntuk. Ia menyeruput kopi panasnya.

Tok, tok, tok.

“Ugh!”

Yaji langsung tersedak seketika, sekitar sepertiga isi cangkir juga tertumpah di atas bajunya. Ia menyumpah-nyumpah kesal sambil merintih. Sekarang bibirnya terasa seperti terbakar.

Suara ketukan itu terus berulang setiap beberapa detik. Amarah Yaji semakin menjadi jadi.

Ia beranjak berdiri, sedikit kesusahan ketika melangkahi lantai kamarnya yang penuh dengan barang-barang yang berserakan. Ia membuka pintu kamarnya dengan kasar.

“Siapa, hah?! Ini sudah tengah malam, tahu—”

Yaji terhenti di tengah kalimatnya. Ia menurunkan pandangannya. Seorang gadis kecil sekarang sedang berdiri di ambang pintunya. Ia sama sekali tidak mengenalnya. Gadis itu sedang memeluk erat boneka beruang di tangannya. Secara langsung, Yaji bisa menyadari bahwa ia sepertinya sudah berlebihan. Gadis kecil itu mundur selangkah, memasang wajah ketakutan, badannya sedikit bergetar. Namun setelahnya, gadis kecil itu langsung memaksakan senyum di wajahnya yang membuat Yaji sedikit keheranan.

“Halo, kak!” Gadis kecil itu berkata dalam nada riang.

“Eeh? Apa yang kau lakukan di sini, hah?” Yaji agak kebingungan dengan situasi ini. Sebenarnya ia sedang merasa kesal luar biasa dari apa yang terjadi kepadanya barusan, namun melihat gadis kecil yang mengetuk pintu kamarnya di waktu seperti ini membuatnya bersikap lebih waspada.

“Anu…”

Sepertinya gadis kecil itu tidak bisa terus mempertahankan aktingnya. Sekarang senyum di wajahnya sudah hilang sepenuhnya, digantikan oleh wajah penuh kecemasan dan ketakutan.

“Kalau kau tidak ingin mengatakan apapun, pulanglah saja sana. Untuk apa kau berada di luar jam segini? Mana orang tuamu—”

“Aku… aku s-sebenarnya ter… tersesat… apakah aku… boleh… masuk k-ke… ke… dalam…”

Melihat si gadis kecil itu yang sepertinya hampir menangis, Yaji pun tak tega untuk meninggalkannya begitu saja dalam situasi seperti ini. Tepat setelah itu, angin malam yang dingin langsung berembus cukup kencang di depan pintu kamar Yaji, membuat gadis itu menggigil. Tanpa pikir panjang, Yaji langsung menyuruh gadis itu memasuki kamarnya.

“Yah, memang beginilah tempat tinggalku. Maaf kalau berantakan,” kata Yaji malas. Ia kemudian berjalan perlahan ke arah televisi yang masih terhubung dengan konsol game-nya, kemudian mematikan seluruh peralatannya. “Untuk malam ini, kau tidurlah di sini. Maaf kalau berbau seperti kopi, tadi aku menumpahkannya sedikit.”

Dengan gemetaran, gadis kecil itu mulai melangkah patah-patah mendekati Yaji. Saat melihat kondisi sofa yang penuh dengan bungkus-bungkus jajanan yang kosong serta remah remah makanan, gerak-gerik gadis itu menjadi semakin kak—ia juga mulai berkeringat dingin.

“Sudah, jangan sungkan. Tidurlah untuk sekarang. Hoaammm.” Yaji menguap lebar. “Maaf, tapi aku sangat mengantuk sekarang. Aku akan tidur terlebih dahulu,” pungkas Yaji seraya kembali menguap lebar. Ia berjalan sempoyongan menuju area di belakang sofanya, lalu dengan cepat ia langsung terkapar di lantai—ia bahkan belum sempat mematikan lampu. Sepertinya ia memang tak bisa mengalahkan rasa lelah yang telah terkumpul seharian tadi.

Dan malam berlalu begitu saja. Yaji bangun kesiangan, jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia mengucek-ngucek matanya dengan malas. Namun tak lama kemudian, ia langsung berubah panik ketika ia sudah bisa melihat sekitarnya dengan jelas.

Seperti biasa, kamarnya memang masih berantakan seperti biasa. Namun, kali ini berbeda. Banyak sekali barang-barang yang raib dari tempatnya berada. Terutama barang barang berharga dan penting seperti perangkat elektronik, dan sebagainya. Ia menoleh ke arah pintu. Pintu kamarnya sedikit tertutup, namun dengan kunci yang menggantung dari dalam. Tepat di momen itu, Yaji langsung tersadar.

Kamarnya dimasuki pencuri tadi malam.

Yaji berteriak lantang, kesal dengan dirinya sendiri. Semua rangkaian kejadian yang belakangan ini ia alami sampai kemarin seperti mengizinkan pencuri itu untuk mencuri di dalam kamarnya dengan begitu leluasanya tadi malam. Pertama, dia memang sudah sejak lama menjadi penghuni tunggal di bangunan ini. Bangunan yang sudah cukup tua dan lokasinya yang tidak strategis membuat semua penghuni lain selain dirinya sudah berpindah ke tempat lain sejak lama. Ditambah, kemarin ia memang sangat kelelahan hingga membuatnya bisa terlelap dengan pulas sampai tidak menyadari apapun yang terjadi tadi malam. Lalu, bangunan ini memang tak pernah dipasangi kamera pengawas—karena Yaji sendiri memang tak pernah terpikirkan untuk membutuhkannya sebelumnya. Dan inilah yang terjadi.

Sekarang kamarnya benar-benar hanya berisi tumpukan sampah yang berserakan di lantai. Sekarang ia tak memiliki apa-apa lagi. Ia berbaring di atas sofanya, menatap langit langit kamar.

Ah, memang bagus sekali. Sekarang apa?

Yaji bisa merasakan bahwa seisi darah dalam tubuhnya sedang mendidih sekarang, namun ia memilih untuk tidak banyak mengekspresikannya. Semalam ia sudah terlampau lelah dan terganggu oleh kedatangan seorang gadis kecil di dalam kamarnya, lalu tepat keesokan harinya ia harus mengalami hal seperti ini. Menelepon dan berurusan dengan polisi untuk sekarang pun ia malas untuk melakukannya, paling tidak untuk sekarang.

Yaji benar-benar tidak paham apa yang sedang menimpanya sekarang. Ia sungguh tak merasa telah berbuat sesuatu yang terlampau salah sampai sekarang. Dari dulu, ia hanya ingin terus hidup tenang dan damai tanpa banyak gangguan yang berarti. Semenjak kedua orang tuanya bercerai saat ia kecil dulu, ia cenderung memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan-urusan yang membuatnya repot. Di saat ia diasuh oleh neneknya pun, ia lebih memilih untuk menutup diri dan terpisah dari lingkungan sekitarnya. Neneknya meninggal saat ia lulus kuliah, tepat waktu baginya untuk memulai bekerja dan memulai kehidupan sendiri— terbebas dari keluarganya yang sudah ia benci dari dulu.

Terlepas dari semua itu, ia juga baru saja ingat. Hari ini sebenarnya masih hari kerja, namun tentu saja ia takkan berangkat di jam segini, juga dengan situasi seperti ini. Meskipun suasana hatinya sedang sangat buruk, akhirnya ia tetap memutuskan untuk membersihkan kamarnya—sesuatu yang tak pernah ia lakukan dengan serius sejak ia tinggal di sini bertahun-tahun silam.

Semua sampah ia kumpulkan dalam beberapa kantung plastik sampah yang besar, kemudian menaruhnya di pojokan ruangan. Seluruh sudut ruangan ia sapu, lalu ia pel untuk menghilangkan noda-noda yang masih menempel di lantai.

Setelah selesai membersihkan kamarnya, ia mengelap keringat di dahinya dan melihat ke arah jendela. Tak terasa, matahari sudah hampir terbenam begitu ia selesai membersihkan kamarnya. Ia juga baru menyadari bahwa ia belum makan apapun sejak bangun tadi. Dompet miliknya tentu saja juga tercuri, sehingga ia tidak mempunyai akses ke uang ataupun tabungan miliknya sama sekali untuk sekarang.

Apa boleh buat. Yaji membuka lemari persediaan makanannya. Masih ada beberapa bungkus mi instan dan kopi untuk beberapa hari ke depan. Ia mulai menyalakan kompornya.

Setelah sarapan—atau bisa juga disebut makan sore—Yaji pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan melihat situasi di luar. Rasanya sudah lama sekali sejak ia hanya sekadar berjalan-jalan untuk melihat situasi sekitar di luar jam pekerjaannya.

Oh iya. Ngomong-ngomong, soal bocah itu. Di saat aku bangun tadi, dia sudah tidak ada di dalam. Apa yang terjadi padanya, ya?

Kamarku baru saja habis kecurian, jangan-jangan…

Yaji baru saja memikirkan skenario terburuk yang bisa terjadi kepada anak itu. Ia buru-buru menggelengkan kepalanya. Ini bukan urusanmu. Kau seharusnya lebih memikirkan dirimu sendiri daripada orang lain di saat seperti ini, begitu gumamnya.

Srak!

Yaji terkejut seketika. Ia langsung menoleh ke belakang. Tidak ada apa-apa. Perasaanku saja, kah?

Mulai merasa tidak enak dan sepertinya sedang diikuti seseorang, Yaji pun mulai berjalan kembali menuju kamarnya. Yah, bukan seperti ia mempunyai kegiatan lain yang bisa dia lakukan di dalam kamarnya yang kosong melompong sekarang.

Akhirnya ia hanya menghabiskan harinya dengan menyeduh kopi saset. Berjam-jam, ia hanya bisa melamun sambil terkantuk-kantuk. Sekarang, bahkan tidak ada hal yang bisa mengisi kebosanannya.

Hari mulai beranjak malam. Yaji baru tersadar kalau plastik besar sampahnya belum ia buang ke luar. Dengan malas, ia mengangkat plastik sampah yang berat itu menuju pintu depan.

Baru saja ia membuka pintu, ia langsung menurunkan plastik sampah di tangannya. Ia terdiam di tepatnya berdiri untuk sejenak.

Tepat di depan pintunya, ada seorang gadis kecil yang sedang duduk sambil bersandar ke dinding di belakangnya. Wajahnya memang tidak kelihatan karena ia sedang menunduk, namun Yaji langsung mengetahuinya dari pakaian yang sedang dikenakan gadis itu dan boneka beruang yang sedang dipeluk erat oleh kedua tangannya.

Dia… bocah yang kemarin?

Seketika itu juga, embusan angin malam yang menusuk tulang menghantam telak punggung Yaji yang membuatnya menggigil seketika. Ia segera menghampiri gadis itu.

Gadis itu mendengkur halus, tubuhnya terasa dingin. Mungkin gadis ini sudah menunggu cukup lama di sini, begitu pikir Yaji. Ini langsung membuatnya menjadi sedikit panik, ia langsung segera menggendong gadis itu ke dalam kamarnya untuk menghangatkan tubuhnya.

“AAAAAAH!”

Gadis itu tiba-tiba terbangun di gendongan Yaji dan langsung berteriak nyaring, mengejutkan Yaji. Ia buru-buru menurunkan gadis itu, lantas mundur selangkah. Gadis itu menatap ke arah Yaji dengan tatapan penuh ketakutan.

Beberapa detik penuh keheningan yang canggung. Yaji juga merasa kesulitan harus memulai percakapan dari mana.

Kurasa menanyainya tentang pencurian besar yang terjadi di sini mungkin tidak cocok untuk sekarang…

“Um… jadi, kenapa kau kembali lagi ke sini?”

Gadis itu tidak menjawab. Yaji menggaruk-garuk kepalanya.

“Duh, begini, ya. Kalau kau tidak berkata apa-apa, aku juga tidak bisa membantumu…”

Gadis itu tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, meletakkannya di hadapan Yaji—membuatnya cukup terkejut. Benda itu adalah dompet milik Yaji.

Yaji mengambil dompet itu, melihat-lihat isinya. “Ini…”

“S-saya… minta maaf…” Gadis kecil itu mulai bersujud di hadapan Yaji, badannya gemetaran.

Sebenarnya Yaji sudah hendak meluapkan amarahnya, namun ia masih menahannya dan menghela napas panjang. “Ceritakan padaku apa yang terjadi.”

Gadis itu mulai mengangkat kepalanya perlahan, kini wajahnya bisa terlihat dengan jelas. Rasanya baru pertama kali ini Yaji bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas dan saksama sejak pertemuan pertama mereka kemarin.

Yaji menebak gadis itu berusia sekitar 8 tahun. Ia selalu memeluk boneka beruang miliknya itu tanpa pernah melepaskannya. Dan hal yang membuat Yaji sedikit merasa tidak nyaman adalah keberadaan kantung mata di bawah kedua mata gadis itu. Tentu saja seorang gadis seusianya yang memiliki kantung mata menandakan adanya sesuatu yang tidak beres. Namun untuk sekarang, ia mengurungkan niatnya untuk menggali lebih jauh soal itu.

“Saya… saya…. saya hanya dipaksa…”

“Hm? Dipaksa? Oleh siapa?”

Gadis itu sudah membuka mulutnya, namun ia tak bisa berkata-kata setelahnya. Tubuhnya gemetaran hebat.

Yaji menghela napas. “Ya sudah, kalau kau tidak ingin menjawabnya. Ah, rumahku barusan kecurian. Yang dicuri lumayan banyak, jadi…”

“S-soal itu…!” potong gadis itu cepat.

“Tidak, tidak apa-apa. Hanya saja, kurasa aku tidak bisa membuatmu menginap di sini untuk sekarang. Kau tahu… kondisi di sini sekarang agak… Ah, iya! Bukankah kau harus segera pulang untuk sekarang? Orang tuamu pasti sedang cemas menunggumu di rumah, bukan?”

Gadis kecil itu hanya bisa membalas dengan tersenyum canggung. “A-ah, iya…”

“Benar begitu, kan? Jangan buat orang tuamu cemas, lho. Tapi maaf, kamu memang harus pulang secepatnya sekarang, kamu tidak bisa menginap di sini untuk malam ini, aku juga tidak bisa mengantarmu…”

“T-tidak apa-apa. S-saya tadi membuntut—maksud saya, bukan… Anu…”

Gadis itu semakin tergagap dalam perkataannya. Yaji juga sepertinya mulai paham soal kecurigaannya saat berjalan-jalan di luar tadi.

“A-anu… saya hanya ingin… meminta maaf… Maafkan saya… karena saya…”

“Sudah, sudah! Tidak apa-apa. Itu sudah tidak masalah lagi. Yang penting, kamu harus segera pulang sekarang. Semakin cepat semakin baik. Kau mengerti, kan?”

Gadis itu pun mengangguk pelan. Mereka berdua mulai berdiri, berjalan dengan canggung menuju pintu depan. Yaji membukakan pintu, dan gadis kecil itu melangkahkan kakinya keluar.

“S-saya sungguh minta maaf, Paman—”

“Iya, iya. Aku mengerti. Kumaafkan, kok. Sekarang, kamu cepat pulang, ya.”

Brak. Yaji menutup pintu depannya begitu saja. Ia buru-buru kembali duduk di sofa, menghela napas panjang.

Uwaaah. Akhirnya.

Yaji memainkan dompet miliknya sembari tiduran malas di atas sofa. Perasaannya lumayan bercampur aduk untuk sekarang. Saat ini, ia merasa bersalah karena mengusir gadis itu begitu saja di malam hari seperti ini. Tapi di saat yang bersamaan, bagaimanapun juga ia tetap merasa kesal terhadap gadis itu. Pertama, ia sangat yakin bahwa gadis itu sudah mengikutinya secara diam-diam dari belakang dari tadi yang membuatnya merasa tidak nyaman dan waspada. Yang kedua, fakta bahwa dompetnya bisa berada di tangan gadis kecil itu. Ini berarti tak menutup kemungkinan bahwa gadis kecil itu adalah pencuri sesungguhnya—namun, Yaji masih meragukan soal ini mengingat gelagatnya yang seperti itu, dan ia juga berpikir gadis itu tak mungkin mampu untuk membawa semua perangkat elektronik yang besar seperti itu sendirian.

Sejauh ini, Yaji memang cenderung menjauhi untuk berhubungan dengan orang lain. Ditambah dengan suasana hatinya yang sedang buruk dari pencurian yang terjadi, ia lebih memilih untuk tidak menambah masalah yang bisa memusingkan pikirannya dari berurusan dengan gadis kecil itu untuk lebih lama. Malam ini, ia benar-benar berharap untuk bisa tidur nyenyak tanpa perasaan beban apapun. Dua hari belakangan ini sudah lebih dari cukup untuk membuat stresnya memuncak.

Mungkin hanya ada satu hal yang membuatnya bingung untuk sekarang. Kalau dia memang berniat ingin mencuri, lantas mengapa ia sampai diam-diam membuntutiku untuk mengembalikan dompetku? Ia juga terlihat gemetaran tadi…

Akan tetapi, Yaji sudah terlalu malas untuk memikirkannya sekarang. Untuk urusan melaporkan ini ke pihak kepolisian, ia juga berencana untuk melakukannya keesokan harinya. Dan begitulah, Yaji pun langsung tertidur pulas di atas sofanya.

Namun, tanpa sepengetahuannya, malam ini justru adalah satu malam di mana ia seharusnya tidak menghabiskannya hanya dengan tertidur pulas.

Malam hari yang akan mengubah kehidupannya dengan drastis ke depannya. …

Keesokan harinya. Hari ini hari libur, sehingga seharusnya Yaji bisa bangun kesiangan tanpa beban. Namun, kali ini berbeda.

Tok! Tok! Tok!

Ini sudah berjalan lebih dari lima menit, dan suara itu tak kunjung berhenti. Pintu kamarnya sedang diketuk berulang kali dengan cukup keras. Yaji yang sudah separuh sadar sekarang mulai naik pitam. Di dalam hatinya, ia tak berhenti menyumpah. Ya ampun, kapan aku bisa dapat hari libur yang tenang, sih?! Ugh!

Dengan malas, ia pun berjalan menuju pintu dengan amarah yang meluap-luap. Ia membuka pintunya dengan keras.

“Siapa, sih?! Ganggu saja—”

“Maaf mengganggu. Kami dari kepolisian daerah sekitar ini.”

Mendadak, kedua mata Yaji yang masih setengah sadar kini membelalak lebar. Ia mengucek kedua matanya dengan cepat. Kini ia bisa melihat dengan jelas keberadaan dua orang berseragam kepolisian sedang berdiri di hadapannya sambil menunjukkan kartu identitas mereka.

“E-eh, ke-kepolisian? Ada apa… Ada apa ini?!” tanya Yaji dengan terpatah-patah. “Apakah ini dengan kediaman Bapak Yaji Gakari?”

“I-iya…?” jawab Yaji pelan.

“Baiklah. Kami rasa ini memang tidak sopan, akan tetapi mohon ikutlah dengan kami untuk pagi ini. Apakah Bapak memiliki suatu jadwal yang sangat mendesak untuk sekarang?”

“Eh? T-tidak juga…” Berbeda dengan gadis tadi malam, Yaji tidak bisa berbohong begitu saja di depan aparat kepolisian.

“Kalau begitu, mohon persiapkan diri Anda sekarang. Anda akan kami antar ke markas.”

Lantas salah seorang dari mereka berbalik, berjalan menuju sebuah mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari sana. Rekannya masih menunggu di depan pintu kamar.

Yaji pun buru-buru menyiapkan dirinya seadanya. Baju apapun pasti akan lebih baik dipakai daripada piyama yang sekarang sedang ia pakai. Ia juga merapikan rambut tidurnya sekenanya, dan membasuh mukanya.

Ia pun berjalan beriringan dengan salah satu personel yang masih menunggu di depan kamarnya. Ia duduk di kursi bagian tengah mobil. Mobil pun mulai berjalan.

Sampai titik ini, Yaji masih belum bisa percaya sepenuhnya dengan apa yang terjadi padanya sekarang.

Aku? Sekarang berada di dalam mobil polisi? Diantar menuju kantor polisi? Sungguh, apa-apaan semua ini?! Sialan! Aku tidak berbuat kejahatan apapun! Malah aku yang menjadi korban kejahatan…

Tunggu. Apakah kepolisian sudah tahu soal perampokan yang terjadi di kamarku? Kalau iya, mungkin saja ini menyangkut soal itu…

Dengan pemikiran seperti itu, Yaji akhirnya berhasil menenangkan dirinya di tengah perjalanan. Ia menghela napas panjang. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja, begitu pikirnya dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri dalam semua ini.

Sesampainya di kantor polisi. Yaji bersama dengan dua personel polisi tadi turun dari mobil. Di dalam kantor polisi, tanpa basa-basi, kedua personel mulai bertanya-tanya kejadian pencurian yang terjadi kepadanya dua hari yang lalu. Setelah Yaji mengonfirmasinya, ia ditunjukkan dengan pelaku pencurian yang sekarang sedang mendekam di balik jeruji besi rumah tahanan. Ada beberapa pria berpakaian seperti gangster atau preman jalanan, menatap ke arah Yaji dengan tatapan sinis. Setelah itu, polisi menunjukkan barang-barang yang berhasil diamankan dari tempat kejadian perkara—di antaranya barang milik Yaji yang dicuri.

Beberapa di antaranya memiliki beberapa masalah di kondisi dan ada barang yang memang tidak ditemukan—dugaan dari pihak kepolisian bahwa kemungkinan barang itu sudah dijual atau dibawa ke tempat lain—namun Yaji tidak terlalu peduli dengan itu.

Urusan-urusan administrasi yang berlangsung di dalam kantor polisi memang merepotkan. Untuk beberapa hari ke depan, ia harus mengikuti serangkaian protokol seperti ini.

“Tapi, sungguh, Pak. Untuk semua ini, kami harus berterima kasih terhadap keberanian orang yang berani mengungkap semua ini kepada kami.” Sang Penyidik tersenyum halus.

“Hm?”

“Tapi, saya sangat menyayangkan kondisinya yang sekarang… sungguh kasihan. Dia tidak seharusnya terlibat dalam semua hal ini.”

“Eh? Apa? Siapa yang sedang Bapak bicarakan?” Yaji kebingungan dengan ‘seseorang’ yang dimaksud oleh Sang Penyidik.

“Saya rasa, Anda juga harus berterima kasih kepadanya secara langsung dalam masalah ini. Apakah Anda memiliki kesibukan setelah ini? Apabila tidak, saya bisa mengantar Anda langsung.”

Yaji hanya mengiyakan tanpa berpikir panjang. Mereka berdua pun berangkat menaiki mobil kepolisian. Mereka berdua tak saling berbicara banyak di tengah perjalanan, namun Yaji mulai merasakan firasat buruk ketika mobil mulai memasuki gerbang sebuah bangunan.

“Rumah… sakit…?” tanya Yaji dengan ragu.

“Benar,” jawab Sang Penyidik.

Setelah itu, Sang Penyidik memarkirkan mobilnya dan mereka berdua pun keluar, memasuki gedung rumah sakit. Seorang suster ikut mengantar mereka setelah Sang Penyidik memberikan beberapa keterangan di bagian administrasi rumah sakit. Firasat Yaji semakin menjadi tidak enak seiring kakinya melangkah di dalam lorong-lorong rumah sakit yang bernuansa putih dan berbau obat-obatan.

Sekarang mereka bertiga sudah sampai di depan sebuah pintu kamar.

“Kondisinya sekarang… masih belum terlalu membaik. Saya tidak merekomendasikan untuk Anda masuk sekarang, namun paling tidak Anda bisa melihat dari sini,” kata Sang Suster.

Yaji pun melangkah mendekat, lantas mendekatkan wajahnya di kaca yang terdapat pada pintu kamar. Setelah itu, ia tak mampu memalingkan wajahnya untuk beberapa saat.

Di dalam, ia melihat seorang gadis sedang duduk di ranjang rumah sakit, menatap ke arah luar jendela tepat di sebelah ranjangnya. Dari tempatnya berdiri, Yaji tidak bisa melihat mukanya dengan jelas, namun satu hal yang ia sangat yakini di dalam hatinya.

Yap. Dia adalah gadis kecil pembawa boneka yang sudah berkunjung dua kali ke rumahnya itu.

“Gadis itu berada di sana saat pencurian terjadi, benar begitu, Pak?”

“Anu… sepertinya iya…” jawab Yaji dengan setengah tidak percaya.

“Hmm… kalau begitu memang sangat disayangkan.” Sang Penyidik berhenti sejenak di tengah perkataannya. “Gadis itu sekarang sedang mengalami trauma berat. Namun di tengah kondisinya yang seperti itu, ia bahkan masih sempat untuk datang dan melapor ke markas. Mungkin kasus ini takkan terungkap apabila ia tidak melakukannya saat itu…”

Yaji membeku di tempatnya berdiri setelah mendengarnya. Ia menoleh ke arah Sang Penyidik dengan tatapan tidak percaya. Gadis itu? Ia mengalami trauma berat?

“Anu, barusan Bu Suster berbisik kepada saya, dan sepertinya sekarang bukanlah saat yang tepat untuk berkunjung. Mungkin lain kali. Saat itu tiba, saya akan langsung menghubungi Anda.”

Setelah beberapa kalimat penutup, akhirnya kunjungan berakhir di situ. Yaji pulang dengan kendaraan umum. Begitu sampai di kamarnya, ia langsung berbaring lemas di sofa. Ia mengeluarkan dompet dari saku celananya, dan memandanginya dengan malas.

Jadi waktu itu… dia memang memberanikan dirinya untuk mengembalikan ini…

Pada akhirnya, ia bisa tertidur pulas begitu saja untuk malam itu.

Pada sebuah kesempatan, Yaji sempat mengira bahwa semuanya sudah selesai begitu saja. Namun, ujung dari kasus pencurian yang melibatkan dirinya ini ternyata berbuntut cukup panjang. Untuk beberapa hari, ia harus menghadiri pengadilan untuk memberi kesaksian dalam kasus ini. Meskipun ia memang pada dasarnya adalah pemalas, namun tetap saja ia harus melakukannya agar kelompok pencuri itu bisa diadili dengan hukuman yang setimpal. Seluruh rangkaian proses itu bisa ia lewati dengan lancar, namun ia menjadi penasaran dengan satu hal.

Ia sempat mendengar “bukti pembunuhan dan penyiksaan” di dalam ruang sidang— membuat bulu kuduknya merinding begitu mendengarnya.

Jadi mereka juga menyiksa, bahkan membunuh orang? Benak Yaji. Masalah ini menjadi lebih serius dari yang ia perkirakan, namun ia tetap mengikuti persidangan seperti biasa.

Sampai hari persidangan terakhir, hakim pun menjatuhkan pidananya kepada kelompok kriminal itu. Yaji keluar dari ruang persidangan dengan perasaan lega setelah semuanya selesai. Akhirnya aku bisa pulang ke rumah dan bermain konsolku lagi, begitu pikirnya.

“Anu, Pak.” Seseorang menepuknya dari belakang.

“Hm… iya?” Yaji menoleh ke belakang. Rupanya penyidik yang pernah bersamanya tempo hari.

“Begini… apakah Anda ada waktu luang setelah ini?”

“Iya…” jawab Yaji dengan nada kurang yakin. Apa lagi kali ini?

“Saya baru saja dapat kabar, kalau gadis itu sudah bisa dikunjungi kali ini. Anda mau menjenguknya?”

“E-eh?” Yaji setengah terkejut mendengarnya. “Sekarang juga?”

“Benar, sekarang. Saya bisa mengantar Anda.”

Yaji menelan ludah. Ia mengiyakan saja tawaran itu. Gadis itu sudah menyeretnya ke dalam banyak masalah kali ini, namun ia tetap saja penasaran dengan kondisi gadis itu sekarang. Kalau bisa, Yaji juga hendak mengajaknya mengobrol.

Pada akhirnya, mereka berdua sampai di depan kamar gadis itu. Suster membuka pintunya, dan Yaji pun melangkah masuk.

Yaji kehabisan kata-kata ketika melihat kondisi gadis itu yang terbaring di atas kasur.

Sorot matanya kelihatan mati, menatap kosong ke arah ujung kasur. Rambutnya yang panjang terurai ke mana-mana bak kurang perawatan. Sejak Yaji masuk ke dalam, gadis itu hanya bergeming di tempatnya—bahkan tak menoleh sedikitpun. Suster mulai mendekat ke arahnya, mencoba mengajaknya berinteraksi. Gadis itu baru mulai sedikit merespons setelah sekitar lima menit diajak berbicara oleh Sang Suster. Begitu gadis itu mengangkat kepalanya, ia langsung berteriak keras ketika tatapan matanya bertemu dengan Yaji.

Gadis itu tampak begitu gemetaran, beringsut menjauh di tempat tidurnya. Raut wajahnya persis seperti pertama kali ia berkunjung ke kamar Yaji, namun sekarang lebih parah. Rasanya, untuk mendekati gadis itu saja sulit untuk sekarang.

Sang Suster terus berusaha menenangkan gadis kecil itu, namun tidak terlalu membuahkan hasil. Yaji hanya mendekat satu langkah, namun gadis itu kembali berteriak.

“Anu, maaf Pak, namun sepertinya kondisinya menjadi labil lagi. Ini di luar perkiraan kami, padahal dari pagi dia sudah rileks. Saya sungguh minta maaf sekali lagi, tapi Anda bisa berkunjung untuk lain kali.”

Setelah sepatah-dua patah kalimat yang canggung, akhirnya Yaji dan Sang Penyidik keluar dari kamar itu. Tak lama kemudian, Sang Penyidik juga izin untuk meninggalkan Yaji— ada urusan yang cukup mendadak dari markasnya. Akhirnya kini tinggal Yaji sendirian yang berjalan meninggalkan rumah sakit.

Ia sama sekali tidak bisa tenang sepanjang perjalanan. Yang terjadi di kamar rumah sakit barusan terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Begitu mengingatnya, dadanya merasa sakit. Ia berhenti sejenak, meremas dadanya sendiri. Sudah berapa lama, ya? Sejak aku merasa kasihan dengan orang lain.

Hari pun berlalu dengan begitu saja. Keesokan harinya, rutinitas kembali berjalan normal seperti biasa. Yaji kembali berangkat ke kantor. Setelah pulang di sore hari, ia mengurus barang-barangnya untuk dibawa pulang dari kantor polisi. Selebihnya, tak banyak yang banyak berbeda dari hari-hari sebelumnya—kembali ke hari-harinya yang membosankan.

Meskipun begitu, sebenarnya ia merasakan suatu perubahan dalam dirinya. Selama ini, ia selalu sadar akan dirinya sendiri yang hanya berusaha hidup tenang tanpa perlu memedulikan orang lain. Namun, ia tak bisa berhenti memikirkan nasib gadis yang berada di rumah sakit itu. Sorot mata kosongnya yang ia lihat di hari itu terus terngiang-ngiang di kala Yaji melamun.

Hari-hari terus berlalu. Tak terasa lamanya, sudah sekitar satu bulan berlalu sejak ia dipanggil ke kantor polisi untuk yang pertama kalinya. Kali ini, ia mendapatkan cuti beberapa hari dari tempatnya bekerja setelah sebulan penuh perusahaannya sibuk dengan permintaan klien yang tiba-tiba saja melonjak. Tentu saja, seperti biasanya ia ingin menghabiskannya dengan bermain konsol game miliknya untuk menghilangkan stres. Namun, ia juga baru saja sadar akan sesuatu ketika hendak menyalakan konsolnya setelah sekian lama.

Oh iya, sampai sekarang aku belum berterima kasih secara langsung kepadanya, ya…

Meskipun dulunya ia merasa cukup kesal dengan keberadaan gadis itu di depan pintunya, namun ia tetap merasa harus berterima kasih atas keberanian gadis itu untuk mengembalikan dompet miliknya hari itu. Itu pasti sebuah hal yang berat untuk dilakukan, apalagi jika ia sedang dalam kondisi trauma pada saat itu.

Dengan penampilan seadanya, ia bersepeda menuju sebuah panti asuhan—ia diberitahu oleh Sang Penyidik dulunya bahwa gadis itu akan dipindahkan ke sana setelah ia keluar dari rumah sakit. Letaknya cukup jauh dari kamar kontrakannya—membuatnya tersengal dan basah kuyup oleh keringat begitu sampai. Begitu masuk, ia langsung bertemu dengan salah satu pengasuh di sana. Tanpa basa-basi, sang pengasuh langsung dengan ramah mengajak Yaji untuk masuk ke dalam. Di dalam, Yaji melihat banyak anak-anak yang sedang melakukan kegiatan mereka masing-masing. Yang masih kecil cenderung bermain bersama dan berlari-larian, dan yang sudah berusia remaja lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain gawai dan membantu pekerjaan sehari-hari para pengasuh.

“Anu… saya ke sini sebenarnya untuk…” tanya Yaji dengan nada ragu-ragu. “Hm?”

“Saya ke sini untuk mencari… anu… seorang gadis kecil dengan boneka… beruang? Iya, sepertinya beruang. Apakah Ibu pernah melihatnya…”

Belum selesai bertanya, namun raut wajah Sang Pengasuh berubah seketika. Yang tadinya selalu tersenyum, kini menjadi sedih.

“Oh, anak itu…”

Sang pengasuh diam sejenak. Yaji hanya bisa menunggu.

“Dia sudah kembali lagi ke rumah sakit seminggu yang lalu. Sepertinya ia memiliki masalah yang terlalu berat untuk kami atasi sekarang…”

Mendengar hal itu, tentu saja langsung membuat Yaji membulatkan matanya dan penasaran. Apa? Kenapa dia dikembalikan ke rumah sakit?

“Anak itu… saya benar-benar kasihan kepadanya. Meskipun saya dan yang lainnya sudah sering mengingatkan anak-anak yang lain, namun dia masih kerap kali menjadi bahan perundungan di sini. Semuanya menganggapnya anak yang aneh ketika melihatnya berbicara sendiri dengan boneka miliknya. Perundungan itu hanya berlanjut semakin parah, dan akhirnya tak terbendung lagi…”

“Apa yang terjadi…?”

“Anak itu… dia… berusaha bun—maksud saya… anu… mengakhiri hidupnya…” pungkas sang pengasuh sambil menutup mulutnya.

Yaji hanya bisa terkesima mendengarnya. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat, namun beberapa anak kecil yang kebetulan lewat bertanya sesuatu kepada sang pengasuh soal kedatangan Yaji—membuat sang pengasuh harus kembali tersenyum dan riang di depan anak-anak, begitu pula dengan Yaji yang menjadi canggung ketika digoda oleh anak-anak.

“Maaf kalau kunjungan Anda ke sini malah membuat Anda kecewa. Kami di sini sudah berusaha sekuat yang kami bisa, namun anak itu tetap saja…”

“A-anu, anak itu sekarang berada di rumah sakit tempat dia dirawat sebelumnya, kan?” “Benar…”

“Kalau begitu, saya permisi pamit dulu, ya, Bu. Terima kasih sudah mengantar saya berkeliling di sini.” Tak ingin memperpanjang kecanggungan, Yaji memilih untuk mengakhiri pembicaraan dan keluar dari panti secepatnya.

Ia tak menyangka bahwa kondisi mental gadis itu sampai seburuk itu sejak ia dirawat di rumah sakit. Memangnya apa saja yang terjadi hingga membuatnya seperti itu, ia tak bisa berhenti memikirkannya untuk sekarang. Yaji mungkin masih belum menyadarinya untuk sekarang. Namun, dirinya sudah mulai berubah. Bila bukan karena serangkaian kejadian yang melibatkannya kali ini, ia pasti masih duduk di sofa depan televisinya, bermain konsol sepanjang hari untuk mengisi hari liburnya.

Untuk mengetahui apa yang terjadi kepada gadis itu, ia pergi menuju kantor polisi. Begitu di dalam, ia langsung meminta izin menemui Sang Penyidik yang membantunya dulu—mungkin dia tahu sesuatu soal gadis itu. Meskipun ia harus menunggu cukup lama untuk bertemu dengan Sang Penyidik karena datang dengan mendadak, ia tidak mempedulikannya.

Setelah seharian menunggu, akhirnya sudah memasuki jam pulang kerja. Yaji pun akhirnya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Sang Penyidik. Meskipun harus menunggu sangat lama, ia tidak bermasalah dengan itu—lagipula ia tak punya kegiatan apapun jika ia pulang.

Mereka berdua langsung mencari sebuah tempat di sekitar kantor polisi yang jarang dilewati orang. Begitu mereka berdua sudah duduk berhadapan empat mata, Yaji pun tak perlu basa-basi dengan pembicaraannya. Ia langsung bertanya tentang informasi yang dipunyai kepolisian soal latar belakang gadis itu. Sang Penyidik langsung meresponsnya dengan menurunkan volume bicaranya.

“Apakah Anda yakin ingin mendengarnya? Saya pikir, Anda sudah terlepas dari kasus ini sepenuhnya.”

Yaji membulatkan matanya. “Apapun itu, saya akan mendengarkannya. Saya tahu kasus ini sudah diselesaikan sejak lama, namun saya merasa bahwa saya masih memiliki tanggung jawab terhadap keadaan gadis itu yang sekarang.”

Sang Penyidik menghela napas. “Baiklah jika begitu.”

Lalu Sang Penyidik pun mulai bercerita. Ia menjelaskan di awal, bahwa semua yang akan diceritakannya ini hanyalah deduksi penyelidikan dari kepolisian, dan tidak ada yang bisa diverifikasi karena tidak ada saksi lain yang berhubungan selain gadis itu—juga dari kondisi gadis itu yang sampai sekarang membuatnya sulit untuk dimintai keterangan. Yaji hanya bisa mengiyakan—karena hanya ini satu-satunya informasi yang bisa ia dapatkan untuk sekarang.

Melalui bukti-bukti yang ditemukan di TKP, kepolisian bisa menyimpulkan beberapa hal. Gadis itu memang berada dalam pengaruh dan kendali kelompok pencuri itu. Ia sama sekali tidak bisa melawan.

Latar belakang keluarga gadis itu juga cukup kelam. Berdasarkan informasi yang bisa digali dari pihak kepolisian, keluarga gadis itu sebenarnya baik-baik saja sedari dulu. Namun, ada beberapa hal yang terkesan sangat memilukan saat kepolisian menyadari kebenarannya.

Gadis itu dijual oleh kedua orang tuanya kepada kelompok pencuri itu beberapa minggu yang lalu. Belum lagi, gadis itu mendapat perlakuan yang tidak manusiawi di sana. Perwakilan dari kelompok pencuri itu mengaku, bahwa saat gadis itu sudah lebih besar maka itu tak menutup kemungkinan untuk takdir yang lebih kelam yang menanti di masa depan gadis itu.

“Ini memang sangat disayangkan. Sepertinya mereka adalah keluarga yang baik-baik saja pada awalnya, namun memang keluarga mereka terimpit masalah ekonomi yang cukup parah sehingga menyebabkan ini bisa terjadi.

“Kami tidak tahu secara detail apa saja yang ia alami selama berada di dalam lingkungan kelompok itu, tapi yang jelas gadis itu sudah menunjukkan gejala trauma yang berat. Saya juga tak lama ini juga mendengar kabar dari pihak panti asuhan tentang kondisinya, dan saya cukup menyesal bahwa saya tak bisa berbuat banyak terkait hal itu,” pungkas Sang Penyidik.

Sementara itu, Yaji hanya terus mendengarkan sambil menundukkan kepalanya. Isi hatinya hanya terus bertambah pilu seiring ia mendengarkan semua nasib buruk yang menimpa gadis itu.

“S-sebenarnya… tempo hari… gadis itu juga sempat mendatangi kediaman saya. Dia sepertinya menunggu di depan pintu kamar saya sampai kedinginan. Setelah bangun, dia hanya mengembalikan dompet milik saya dan meminta maaf… dan sampai sekarang saya tidak tahu mengapa dia melakukan hal seperti itu,” jelas Yaji.

“Dia melakukan hal seperti itu?”

Yaji mengangguk.

Sang Penyidik hanya bisa tersenyum tipis. “Yah, saya dan pihak kepolisian mungkin tidak bisa tahu apa yang gadis itu pikirkan, namun ada satu hal yang jelas di mata kami. Fakta bahwa gadis itu adalah anak yang pemberani memang benar—ia adalah faktor terbesar dalam penyelesaian kasus ini. Oleh karena itu, saya pribadi juga merasa bersalah karena tidak bisa berterima kasih secara layak kepadanya dalam kondisinya yang sekarang…”

Yaji hanya bisa menelan ludahnya. Ia kehabisan kata-kata.

Beberapa saat kemudian, gawai milik Sang Penyidik tiba-tiba berbunyi. Sang Penyidik menjawabnya dalam sepatah-dua kata, lalu langsung menutupnya.

“Maaf tapi sepertinya saya harus pergi untuk sekarang. Sepertinya keluarga saya sudah menunggu di rumah. Begini, daripada Anda harus datang ke markas untuk bertanya sesuatu soal kasus ini lagi, Anda bisa menghubungi saya secara pribadi lewat nomor ini.” Sang Penyidik pun mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari tas kerjanya, dan menulis sebuah nomor telepon beserta beberapa informasi lainnya. Setelah itu, ia memberikannya kepada Yaji.

“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Sang Penyidik pun beranjak berdiri dan berjalan meninggalkan Yaji yang masih bergeming dari tempat duduknya.

Angin malam yang dingin menyadarkan Yaji dari lamunannya, mengingatkannya untuk segera pulang. Ia pun berjalan dengan malas menuju sepeda miliknya, namun entah mengapa ia merasa malas untuk bersepeda sekarang. Ia lebih memilih untuk menuntun sepedanya sambil berjalan pulang.

Di tengah perjalanan, ia terus melamun seraya menuntun sepedanya di pinggiran jalan. Matanya menatap kosong trotoar di depannya. Untung saja jalan yang ia ambil untuk pulang cukup sepi—apalagi saat malam hari—bila tidak, ia pasti sudah sering mendengar klakson kendaraan yang akan mengagetkannya dari lamunannya di tengah jalan.

Sesampainya di kamarnya, ia menatapi seluruh isi ruangannya—terutama perangkat elektronik yang dulunya sempat dicuri. Kemudian seperti biasa, ia melepas bajunya dan beranjak mandi. Namun masih sama seperti sebelumnya, ia kembali melamun lama di kamar mandi.

Selesai dari mandinya, Yaji belum bisa menyelesaikan lamunannya. Secara refleks, ia berjalan malas menuju sofa di depan televisi. Begitu melihat konsol game miliknya yang tergeletak di sana, ia mulai tersadar dari lamunannya. Ia perlahan mengambilnya dengan sedikit gemetaran.

Tes. Tes. Tes.

Tanpa sadar, Yaji sudah meneteskan air matanya. Ia juga mulai terisak perlahan. Tangisan itu tidak hanya berlangsung sebentar. Hampir beberapa jam ia habiskan untuk menangis dan merenungi apa yang sudah ia lakukan hingga saat ini, sampai pada akhirnya ia tertidur lelap karena kelelahan menangis.

Keesokan harinya, ia masih melanjutkan renungannya semalam. Ia mencemaskan kondisi gadis itu setiap saat. Setiap kali ia melihat konsol gamenya, dadanya langsung merasa sakit. Sekarang ia juga baru menyadari dengan sangat jelas, bahwa ia sudah merusak kehidupan seseorang yang lain dengan alat itu. Kali ini, ia akhirnya bisa tegas untuk berkata dalam hatinya untuk mengurungkan dirinya untuk memainkan alat itu.

Hidupmu memang sudah berantakan. Tapi paling tidak, jangan seret orang lain ke dalam ini semua, dasar tidak berguna!

Malam itu, bila saja aku bisa lebih peduli dan tidak egois… semua ini…

Untuk beberapa hari ke depannya, Yaji masih terus mencemaskan kondisi gadis itu. Terkadang, ia menjadi bingung dengan dirinya sendiri. Ia hanyalah seorang pegawai kantoran yang sering menyendiri, dan sekarang ia mencemaskan orang lain sampai seperti ini. Padahal apabila bukan karena insiden pencurian yang menimpanya kemarin, ini semua takkan terjadi.

Semakin hari, rasa bersalah itu hanya terus bertambah parah. Dalam hati, ia terus mengutuk dalam dirinya sendiri yang bersikap seperti seorang pengecut besar saat malam itu.

Sekarang saat melihat balik ke apa saja yang terjadi di malam itu,

Pada akhirnya setelah beberapa hari yang ia habiskan untuk menimbang-nimbang dan berpikir, Yaji pun sudah memutuskan. Sebuah keputusan yang tak mungkin bisa terjadi bila bukan karena semua rangkaian kejadian yang terjadi padanya hingga saat ini. Pada suatu malam, Yaji mengumpulkan segenap keberanian dan mengambil napas sebelum memasukkan sebuah nomor telepon di ponselnya. Setelah beberapa nada statis, teleponnya diangkat.

“Halo permisi, ini dengan siapa?”

“Saya Yaji, Pak Penyidik.”

“Oh, Pak Yaji! Apa kabarnya seka–”

“Bolehkan saya meminta tolong suatu hal?”

Untuk beberapa hari kemudian, Yaji akhirnya bisa mengunjungi gadis itu di rumah sakit. Dari yang ia dengar, pada akhirnya kondisi gadis itu kembali stabil lagi untuk sekarang. Yaji pun melangkah dengan cukup yakin saat memasuki ruangan gadis itu seperti kunjungan pertamanya dulu, namun hal yang sama juga terulang. Gadis itu tiba-tiba berteriak histeris dan gemetar begitu melihat sosok Yaji berada tepat di hadapannya. Kini, sepertinya ia bisa melihat sebuah pola yang sedang terjadi di sini. Benar, gadis itu masih dipenuhi oleh rasa bersalah terhadapnya.

“Nak, saya hari ini ingin berbicara denganmu—”

Seperti yang dulu juga, gadis itu malah semakin gemetaran ketika Yaji mencoba untuk mengajaknya bicara. Namun kali ini, Yaji yang akan mengambil inisiatif. Bukannya mundur, namun ia melangkah untuk semakin mendekat kepada gadis itu.

“Siapa namamu?”

Gadis kecil itu memang menjadi lebih takut dengan Yaji yang kini hanya berjarak selangkah darinya. Ia memalingkah wajahnya. Namun, Yaji pun tetap bersikeras. Ia mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Suster di belakangnya memberi isyarat kepadanya untuk berhenti, namun Yaji mengangkat sebelah tangannya, seolah berkata, biarkan aku yang menangani ini.

Gadis kecil itu masih tak berani untuk menatap Yaji secara langsung. Yaji pun menghela napas. Ia sudah memperkirakan bahwa ini akan terjadi sebelumnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas yang ia bawa, lantas menundukkan badannya hingga lebih rendah daripada kasur gadis itu.

“Hai! Namaku Keko. Kalau namamu siapa?”

Hening sejenak. Gadis kecil itu memasang wajah kebingungan, begitu juga dengan Sang Suster. Yaji sedang memegang sebuah boneka beruang, dan berbicara sambil menggerak gerakkan boneka di tangannya. Ia sebenarnya ingin meniru seorang ventriloquist yang bisa mengisi suara untuk boneka yang sedang ia pegang, namun ia sama sekali tidak terbiasa dengan ini—meskipun sudah latihan beberapa kali sebelumnya di kamarnya. Kemudian, Yaji meraih boneka beruang milik gadis itu yang terduduk di pinggiran kasur.

“Aku? Namaku Quma—uhuk,” Yaji mencoba untuk membuat suara yang lebih melengking, namun ia langsung terbatuk. Gadis itu masih memasang wajah kebingungan, sementara Sang Suster menahan tawa. Yaji sempat mendecak pelan, aku sudah latihan untuk ini, tahu.

Yaji pun memperbaiki posisinya. Ia berdeham beberapa kali, menyiapkan pita suaranya. Ia berharap untuk bisa melanjutkan ‘pertunjukan’ kecilnya untuk sedikit lebih lama lagi.

“Kamu… punya teman, ya, Quma?”

“Oh, iya!” Yaji pun mengarahkan kedua boneka ke arah gadis itu. “Kenalkan, ini temanku, Onako. Dia gadis yang baik, lho!”

“Wah! Kalau begitu, salam kenal, ya, Onako! Aku Keko. Ngomong-ngomong, aku juga punya teman, lho!”

“Hm, siapa itu?”

“Namanya Yaji! Dia ada di—sebentar,” Yaji menggerak-gerakkan kedua boneka di tangannya, membuatnya seperti sedang melihat-lihat sekitar ruangan. “Yah, sepertinya dia sedang tidak ada di sini. Aneh, padahal tadi aku ke sini bersamanya, lho!”

“Oh, begitu kah? Aneh ya!”

Yaji berusaha untuk membuat suara tertawa dengan dua boneka itu, namun ia kembali lagi terbatuk-batuk. Kali ini, Sang Suster hanya tersenyum tipis melihat Yaji yang sedang berusaha untuk menarik perhatian gadis itu.

Setelah itu, Yaji menghentikan ‘pertunjukan’-nya. Ia mengambil minuman dari tasnya, meneguknya untuk menghentikan batuknya. Ia meletakkan boneka beruang milik gadis itu di atas kasur lalu berdiri, memakai tasnya.

“Kalau begitu, sampai nanti, ya, Onako.” Yaji pun berjalan menuju pintu kamar, meninggalkan sang gadis yang masih bingung di tempatnya. Sang Suster sedikit terkejut, dan mengikuti langkah Yaji keluar.

“Maaf, Suster, tapi saya sampai sini dulu. Saya akan kembali di lain hari.”

Hanya dengan begitu, kunjungannya hari ini di rumah sakit sudah selesai. Ia mempercepat kayuhannya saat pulang. Ia sudah menyiapkan banyak hal untuk kesempatan ini. Ia menggali banyak informasi dari berkas kepolisian yang bisa ia dapatkan dari Sang Penyidik tentang gadis itu.

Ya. Gadis itu bernama Onako. Ia selalu bersama dengan Quma, boneka beruang miliknya. Dari informasi yang bisa ia dapatkan, gadis itu memang menjadi sering berbicara sendiri dengan bonekanya semenjak orang tuanya meninggalkannya.

Yaji juga langsung mengerti setelah melihat reaksi Onako tadi. Gadis itu masih takut dengannya—kemungkinan masih merasa bersalah dari kejadian tempo hari. Bila ini terus terjadi, maka Yaji takkan pernah punya kesempatan untuk saling berkomunikasi dengannya. Mau tidak mau, ia harus berusaha untuk memenangkan hati gadis itu terlebih dahulu.

Sesampainya di kamarnya, Yaji langsung duduk di meja kerjanya, mengambil kertas dan pensil dengan cepat. Ia langsung menggurat-gurat kertasnya dengan bersemangat.

Sampai saat itu, ia sama sekali belum sadar dengan dirinya sendiri. Entah kenapa ia bisa menjadi sangat bersemangat seperti ini. Dari tadi bersepeda pulang dari rumah sakit, ia tak bisa berhenti tersenyum. Dadanya terasa buncah sekarang. Berbagai macam ide untuk ‘pertunjukan’ selanjutnya mulai bermunculan di kepalanya.

Kenapa? Padahal penampilanku yang tadi bukanlah sesuatu yang hebat. Gadis itu juga tidak tersenyum sedikitpun dari awal sampai akhir. Tapi kenapa aku bisa merasa bersemangat seperti ini?

Yaji tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Padahal, gadis itu tidak tersenyum sedikitpun dari awal sampai akhir ‘pertunjukannya’. Tapi, tetap saja—ini adalah sebuah kemajuan bagi Yaji. Gadis itu tidak berteriak dan ketakutan saja adalah sebuah kemajuan yang baik.

Terserahlah. Kemajuan adalah kemajuan. Aku harus memanfaatkan ini dengan baik.

Setelah itu, Yaji semakin sering mengunjungi Onako. Setiap kali berkunjung, ia selalu membawa boneka beruang miliknya—Keko—untuk melakukan sebuah ‘pertunjukan’ boneka sederhana dengan Quma, boneka beruang milik Onako. Untuk beberapa kunjungan pertama, reaksi Onako memang tak terlalu berbeda dari yang sebelumnya. Ia hanya diam selama pertunjukan, juga tidak menunjukkan ekspresi apapun. Namun, hal itu tentunya tidak langsung membuat Yaji hilang semangat. Ia terus berusaha untuk berkunjung sesering mungkin di luar jam pekerjaannya. Ia masih percaya dalam asumsinya—selama ia tidak takut denganku saat berada di dekatnya, maka pasti selalu ada kesempatan untuk mencoba.

Tak terasa, seminggu pun berlalu begitu saja. Di suatu hari, Onako akhirnya menunjukkan sedikit ekspresi. Meskipun hanya untuk sebentar, ia sempat melihat Onako tersenyum tipis setelah pertunjukan selesai. Begitu mengetahuinya, Yaji tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia hampir saja meloncat-loncat kegirangan, namun ia menahan dirinya.

“Kau menyukainya?”

Onako tampak sedikit terkejut ketika ditanya. Ia menunduk, pipinya sedikit memerah. Ia pun mengangguk perlahan.

Melihat reaksi Onako, Yaji benar-benar buncah. Ia tersenyum dengan begitu lebarnya. Hampir saja ia refleks hendak memeluk gadis itu, namun sekali lagi ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukannya sekarang—lagipula, ia masih sedang dalam masa pemulihan traumanya.

Keseharian itu terus berlanjut. Rutinitas Yaji sepulang kerjanya kini sepenuhnya ia gunakan untuk memikirkan untuk ide-ide untuk ‘pertunjukan-pertunjukan’ selanjutnya. Bahkan konsol game kesayangannya sudah hampir tak pernah ia sentuh lagi.

Tak terasa, sekarang sebulan telah berlalu. Sekarang Onako sudah mulai bisa rileks saat berinteraksi dengan Yaji. Ia sudah bisa sedikit tertawa di tengah-tengah pertunjukan, mengobrol pendek, dan berterima kasih dengan malu-malu begitu selesai. Semua perkembangan ini tentunya hanya akan membuat Yaji semakin bersemangat dengan ‘pertunjukan-pertunjukan’-nya yang akan datang.

Namun, hal itu tidak berdampak baik bagi pekerjaannya. Saking asyiknya memikirkan ‘pertunjukan’ yang akan ia bawakan, banyak beban kerjanya terlalaikan. Ia mendapat berbagai komplain dari atasannya, dan akibatnya ia tak bisa berkunjung ke rumah sakit untuk beberapa hari sampai masalahnya kantornya terurus.

Ia melewatkan satu minggu kunjungannya ke rumah sakit. Begitu ia kembali, ia sempat mengintip terlebih dahulu lewat kaca di pintu kamar Onako sebelum memasukinya. Gadis itu tampak lesu sambil menatap ke luar jendela di sebelah ranjangnya, persis seperti saat Yaji pertama kali melihatnya dulu dari sudut yang sama. Begitu ia mengetuk pintu dan masuk ke dalam, raut wajah gadis itu langsung berubah cerah. Ia tersenyum lebar sambil menyodorkan Quma miliknya kepada Yaji.

“Maaf, tapi mungkin setelah ini aku hanya bisa berkunjung dua kali seminggu, atau bahkan hanya sekali. Kau tahu, pekerjaanku sekarang sedang dalam masalah dan cukup sibuk, jadi…”

Seketika, raut wajah Onako kembali berubah muram. Ia juga sama sekali tidak bersemangat ketika Yaji membawakan ‘pertunjukan’-nya, tak mengucap sepatah kata pun hingga selesai. Begitu pulang, Yaji merasa bersalah dengan dirinya sendiri.

Kalau ini terus berlanjut, maka…

Yaji mengerem sepedanya dengan mendadak. Ia segera berbalik, kembali menuju rumah sakit. Sesampainya di dalam, suster sempat mengingatkan bahwa jam besuk sudah berakhir. Namun, Yaji memohon dengan serius, berkilah bahwa ini urusan yang penting. Akhirnya, suster pun mengizinkan Yaji untuk kembali bertemu dengan gadis itu—lagipula, para suster juga sudah mengenal baik sosok Yaji yang rajin berkunjung.

Ia membuka pintu kamar Onako dengan terburu-buru. Napasnya sedikit tersengal. “Onako!”

Onako menoleh dengan wajah terkejut. “P-Paman?”

Yaji meminta Sang Suster dengan halus untuk menunggu di luar sebentar. Ia kemudian duduk di lantai di hadapan Onako, lalu menunduk.

“Begini, Onako…”

Gadis itu hanya memasang wajah bingung. “Paman… ada apa…”

Yaji mengepalkan kedua tangan, menelan ludahnya. Ia mengumpulkan segenap keberaniannya.

“B-bolehkah… aku mengangkatmu sebagai anak?”

Hening.

Yaji hanya menatap langit-langit dengan malas sembari bersandar di kursinya. Ia menggaruk-garuk kepalanya sambil mendengus kesal. Kertas ide di hadapannya sekarang bukan berisi ide dialog, dari tadi ia hanya mencoret-coret sembarang di atas kertasnya.

Aku baru saja merusaknya…

Setelah ia mengucapkan permintaan itu, wajah Onako malah berubah menjadi semakin muram dan ketakutan. Seolah ia benar-benar kembali ke dirinya yang dulu sebelum Yaji mulai mengunjunginya. Yaji pun tak mampu menahan kecanggungan situasi pada saat itu, dan langsung beranjak pulang tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

“Aaaaaagh!”

Yaji! Kau sudah tahu kalau gadis itu memiliki trauma. Memang satu bulan sudah berlalu sejak saat itu, dan dia sudah mulai bisa lebih terbuka kepadaku. Namun apa yang membuatmu berpikir ia akan menerimanya begitu saja dengan senang hati? Jelas-jelas dia memiliki trauma yang dalam dengan kedua orang tuanya dulu. Serius, apa yang kau lakukan, diriku!

Kalau dilihat kembali, yang dilakukan Yaji tadi memang impulsif. Namun tetap saja, ia sudah membuat kesalahan yang besar. Bisa saja seluruh selama satu bulan ini berakhir sia-sia begitu saja. Wajah ketakutan Onako yang seperti itu, Yaji sungguh tidak kuat untuk mengingatnya kembali.

Sebenarnya, Yaji memang sudah merencanakan soal ini sejak lama. Ia sudah membicarakan soal ini dengan Sang Penyidik dulu dalam sebuah satu percakapan lewat telepon yang panjang. Ia ingin mengambil tanggung jawab terhadap nasib Onako, tentunya setelah mempertimbangkan banyak hal. Tentu saja sebelumnya ia harus memperbaiki hubungannya dengan gadis itu terlebih dahulu, baru apabila waktunya sudah tepat ia akan bertanya soal hal ini kepada gadis itu. Namun, yang ia lakukan pada saat itu jelas bukanlah waktu yang tepat. Ia sangat frustrasi akan tindakan impulsifnya saat itu.

Yaji tidak bisa berpikir jernih untuk sepanjang malam itu, ia juga tidak bisa tidur. Apabila ia berkunjung ke rumah sakit lagi, ia takut apabila Onako memang benar-benar akan kembali ke kondisi lamanya dahulu ketika bertemu dengannya. Untuk sekarang, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia memutuskan untuk menghentikan kunjungannya untuk beberapa hari ke depan, berharap agar situasi hati Onako bisa sedikit membaik dengan berjalannya waktu.

Tak terasa, seminggu telah berlalu. Sekarang Yaji kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan di malam hari. Ia tak bersemangat lagi untuk menulis dialog ‘pertunjukan’, ataupun untuk bermain game dengan konsolnya. Ia hanya bisa tiduran malas di sofanya sambil menatap lesu langit-langit kamarnya.

Kriiing. Kriiing.

Malam sudah cukup larut, namun tiba-tiba ada suara panggilan telepon dari ponsel milik Yaji. Ia sedikit terkaget, langsung bergegas untuk mengangkatnya. Ia sekilas melihat nomor sang penelepon. Dari rumah sakit? Untuk apa mereka menelepon di waktu seperti ini…

“Halo?”

“P—Paman?”

Begitu terkejutnya Yaji mendengar suara itu dari ponselnya. “Onako?!”

Hening seketika. Yaji baru sadar bahwa suaranya terlalu keras barusan. Ia mengecilkan suara bicaranya. “A-anu, maafkan aku yang tadi. Benarkah itu kamu, Onako?”

“I-iya…”

Yaji menghela napas lega. Ia memperbaiki posisi duduknya. “Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja?”

“Hm-hm.” Suara Onako terdengar lemah di telepon.

“Jadi, ada urusan apa kamu meneleponku sekarang?”

“Ng… Anu…”

Yaji masih menunggu jawaban. Onako terdengar masih kesusahan untuk berbicara. “Aku… aku… minta maaf…”

“Hm?”

“Padahal… Paman sudah berusaha untukku… tapi aku malah… hiks…” Onako terdengar menangis lirih di telepon.

“Ah, tidak apa-apa, kok. Aku tidak mempermasalahkannya.”

“Di sini… aku… kesepian…” Onako semakin terisak-isak dalma tangisnya. Yaji hanya bisa mendengarkan dengan sabar, hatinya juga ikut pilu mendengar Onako yang seperti itu.

Setelah beberapa menit hening dengan suara isakan di telepon, akhirnya lumayan mereda juga.

“Jadi, Paman…”

“Iya?”

“Maukah Paman berkunjung lagi ke sini?”

Yaji mengulas senyum. “Bisa, kok. Aku akan pergi ke sana besok.”

“B-besok…? Benarkah…?”

“Hm-hm.” Yaji mengangguk-angguk dengan sendirinya.

“Te-terima kasih… Paman…”

“Sama-sama.”

Beberapa menit kemudian. Masih hening, hanya isakan lirih Onako yang masih terdengar. Tapi sepertinya sudah hampir selesai.

“Jadi, apakah masih ada yang ingin kamu katakan?”

“Mm, tidak. Aku tunggu besok, ya, Paman.”

“Baiklah. Selamat tidur.”

“Selamat tidur juga, Paman.”

Telepon ditutup. Yaji kembali berbaring di atas sofanya, menghela napas panjang. Ia senyum-senyum sendiri.

Meskipun ketakutan dan sampai menangis seperti itu, namun ia masih berani untuk meneleponku dan meminta maaf. Ya ampun, dia memang anak yang hebat.

Setelah itu, ia langsung beranjak duduk di kursi kerjanya dan mencengkeram pulpen miliknya. Ia sama sekali tidak bisa tidur malam itu.

Pagi hari, matahari baru saja mulai naik. Namun, salah seorang pekerja kantoran sudah mengayuh sepedanya dengan bersemangatnya sembari bersenandung ria.

Ya, siapa lagi kalau bukan Yaji. Ia sudah menunggu-nunggu momen ini semalaman penuh. Ia memarkir sepedanya di parkiran rumah sakit yang masih sepi, langsung bergegas menuju kamar Onako.

Klak. Yaji membuka pintu, melangkah masuk.

Onako menoleh, lantas tersenyum lebar. “Selamat pagi, Paman!”

Yaji juga membalasnya dengan tersenyum. “Selamat pagi juga, Onako.”

Yaji meletakkan tasnya, lalu duduk di kursi seperti biasanya. Ia memerhatikan wajah Onako dari dekat, lalu ia menaikkan alisnya. Ia bisa melihat kantung hitam yang tipis di kedua mata Onako. “Kamu tidak tidur semalam?”

Onako hanya tersenyum tipis. “Anu, maaf… tapi aku tidak bisa tidur tadi malam…”

“Kalau begitu, kita sama, dong.” Yaji tertawa renyah. Padahal, kita berdua saling mengucap selamat tidur tadi malam, namun kami berdua juga pada akhirnya tidak bisa tidur semalaman.

Akan tetapi, meskipun semalaman suntuk ia habiskan untuk membuat dialog ‘pertunjukan’-nya, namun pada akhirnya ia sama sekali tidak bisa fokus dan tidak menulis apapun. Namun ia tidak cemas, ia sudah tahu bagaimana solusinya.

Yaji mengeluarkan Keko dari tasnya. Namun, kali ini ia tidak menyiapkan ‘pertunjukan’-nya yang seperti biasanya. Ia meletakkan Quma di tangan Onako.

“Kali ini, kamu juga akan ikut.”

“E-eh?”

“Ya. Aku akan berperan sebagai Keko, dan kamu akan berperan sebagai Quma. Bagaimana?”

Onako menjadi malu-malu dan salah tingkah untuk sejenak. “T-tapi…”

“Tidak apa-apa. Kalau aku terus yang harus memerankan keduanya, juga aneh, kan? Toh, Quma juga sudah menjadi teman dekatmu dari dulu.”

Meskipun Onako masih tampak penuh keraguan, namun pada akhirnya ia menerima ajakan Yaji. Ia memegang Quma dengan tangan kanannya, dan mencoba untuk membuat Quma ‘berbicara’.

“Bagus! Seperti itu. Keko dan Quma akan mengobrol seperti biasa saja. Tidak ada naskah atau apapun itu. Bagaimana?”

Onako kembali tampak gelisah, namun ia tetap mengangguk-ngangguk lemah.

“Baiklah. Aku mulai, ya. Halo, Quma, Onako! Apa kabar kalian berdua?” Yaji berbicara dengan nada tinggi seperti ketika saat ia memerankan Keko di akhir perkataannya.

Onako mulai mencoba untuk berbicara, namun beberapa kali ia terhenti sebelum kata-katanya keluar. Yaji juga terus menyemangati Onako tiap kali ia gagal. Perlahan tapi pasti, gadis ini pasti bisa melakukannya, benak Yaji.

H-halo, Keko… a-aku Quma…”

Onako akhirnya berhasil berbicara dengan nada lengking untuk memerankan Quma. Yaji tersenyum lebar, memberi selamat.

“Bagus! Sekarang, kamu tinggal mengobrol dengan Keko seperti biasa dengan suara seperti itu.”

Meskipun wajah Onako masih menunjukkan ekspresi yang malu-malu, namun ia juga mengulas sedikit senyum.

Tuh kan, apa yang kubilang. Kalau gadis ini, pasti dia bisa.

Satu jam berlalu begitu saja tanpa terasa. Rasanya dunia serasa milik berdua bagi Yaji dan Onako, namun ‘pertunjukan’ mereka harus dipotong oleh kedatangan suster untuk mengantarkan sarapan Onako.

“Bagaimana? Tak terlalu buruk, bukan? Aku tahu kamu bisa melakukannya.” Onako hanya mengangguk-angguk, ia masih sibuk melahap sarapannya.

Mereka berdua hanya bercengkerama biasa. Bercanda ringan, saling tertawa, dan mengobrol soal diri mereka masing-masing sebagai Quma dan Keko. Salah satu dari mereka adalah pekerja kantoran yang benci bersosialisasi dengan orang lain, dan satunya lagi adalah gadis kecil dengan trauma yang buruk. Namun, interaksi itu bisa menjadi sebegitu serunya di antara mereka berdua.

Melihat Onako bisa tersenyum saja, itu sudah cukup bagi Yaji. Itu artinya, usahanya selama ini tidak sia-sia.

Andai saja… pada hari itu aku bisa melakukan sesuatu untuknya… semua ini…

Yaji memasukkan Keko ke dalam tasnya, beranjak berdiri. “Kalau begitu, sepertinya untuk hari ini sampai di sini dulu…”

Namun, begitu Yaji berbalik badan, tiba-tiba ia merasa kemejanya ditarik dari belakang. Ia menoleh ke belakang.

“Hm? Ada apa?”

“Jangan pergi… Paman…”

Yaji langsung refleks untuk kembali meletakkan tasnya, kembali duduk. Onako tiba tiba terisak pelan.

“Onako, ada apa? Kamu merasa tidak enak badan?”

“Jangan pergi…”

Yaji masih belum paham dengan apa yang terjadi, ia masih tidak berani untuk menyentuh Onako secara langsung. Ia malah jadi salah tingkah sendiri. “A-anu… begini…”

“Aku tidak mau… di sini. Di sini… membosankan…”

Yaji masih kesulitan mencari cara untuk menenangkannya. Ia bergegas berdiri. “Sebentar, aku akan panggilkan suster…”

“JANGAN!”

Yaji benar-benar terkejut. Onako tiba-tiba berteriak lantang di tengah tangisannya. Baru pertama kali ia mendengar Onako mengeluarkan suara sekeras itu.

“Jangan… jangan pergi…!”

“T-tapi…”

Dalam sekelebat, Onako langsung mencengkeram erat lengan Yaji dengan kedua tangan kecilnya.

“Aku ingin ikut dengan Paman!”

Yaji mematung di tempatnya untuk sejenak. Perkataan Onako barusan membuatnya kehabisan kata-kata.

“M-maksudmu?”

“Paman… sebelumnya pernah bilang, kan? Soal menjadikanku… anak… angkat…”

Yaji kembali terkejut. Ia langsung tersipu malu dan menjadi salah tingkah. “E-e-eh…! Soal itu… erm… Lupakan saja untuk sekarang—”

“Hm?” Onako mendongak, ia menatap Yaji dengan wajah penuh mengharap. Matanya yang sembab dan pipinya yang merah dan basah kini terlihat dengan jelas. “Memangnya kenapa, Paman?”

“Tidak…! Maksudku… aduh, bagaimana, ya…” Kepala Yaji tidak bisa mengikuti semua perubahan emosi yang mendadak ini. “Ternyata, kamu masih mengingatnya, ya…”

“Te-tentu saja! Aku tidak pernah lupa. Lalu… aku juga selalu… ingin meminta maaf dengan benar kepada Paman. Saat itu… aku benar-benar tidak sopan. Paman hanya bertanya kepadaku, tapi aku… aku… minta maaf…”

Mendengar perkataan Onako yang patah-patah dan kaku, Yaji hanya bisa tersenyum takzim. Ia berjongkok di hadapan Onako.

“Kamu sudah mendengar perkataanku di telepon tadi malam, bukan? Aku tidak mempermasalahkannya. Kamu tidak perlu meminta maaf untuk apapun. Kamu yang mengingat permintaanku pada hari itu saja, itu sudah membuatku bahagia. Jadi, jangan menangis. Oke?”

Yaji tanpa sadar mengelus ubun-ubun Onako dengan lembut. Setelah itu, isakan Onako perlahan mereda. Gadis itu mengelap pipinya yang basah.

“Jadi, apakah aku boleh ikut dengan Paman?”

Yaji menghentikan elusannya. “Hm? Apa?”

“… Apakah tidak boleh?”

Yaji baru saja tersadar akan sesuatu. “E-eh? Kamu… kamu serius soal itu?”

“Eng… Iya…?” jawab Onako dengan wajah sedikit bingung.

“Aku… aku tidak sedang bercanda, lho?”

“Um… iya… memang begitu, kan?”

Yaji tersentak selangkah ke belakang. Di luar dugaannya, ternyata gadis ini serius soal permintaannya saat itu. Tapi, apakah ia sungguh…

“Kamu tidak sedang menggodaku, kan?”

“Aku tidak sedang bercanda, Paman.” Wajah Onako tampak sedikit sebal. Sial. Gadis ini benar-benar serius.

Yaji memang sudah memikirkannya sejak lama dan matang-matang, namun tentu saja mendapat persetujuan yang cukup mendadak seperti membuatnya kembali berpikir soal keputusannya ini. “Tapi… sebenarnya… aku masih tidak terlalu yakin…”

“Hm?”

“Yah… kamu tahu… tempat tinggalku tidak terlalu luas dan nyaman… lalu aku mungkin kurang bisa diandalkan…” Yaji mulai secara tidak sadar mengalihkan pandangannya, pikirannya mulai ke mana-mana.

“Um… sekarang ada apa, Paman?”

“Kamu… benar-benar yakin? Mungkin kamu bisa jadi malah kecewa nantinya—” “Tidak apa-apa kok, Paman.”

Yaji terdiam seketika. Ia menatap lurus wajah Onako di hadapannya.

“Apapun itu, aku tetap ingin ikut dengan Paman. Dengan begitu, aku bisa mendengarkan Quma dan Keko mengobrol lebih sering lagi. Lalu, aku bisa bertemu dengan Paman… setiap hari. Rasanya… pasti menyenangkan.”

Tanpa sadar, Yaji sudah berlinang air mata. Ia bersegera mengelapnya.

“Anu… Paman, ada apa?”

“Eh, tidak…”

Emosi Yaji benar-benar bercampur aduk saat itu. Untuk sesaat, ia masih tidak paham mengapa ia bisa sampai menitikkan air mata seperti ini. Mengapa, hanya karena Onako menerimaku, aku bisa menjadi seperti ini?

“Paman… tidak enak badan?”

“Tidak… aku hanya sedang merasa senang.” Yaji buru-buru tersenyum lebar, berusaha untuk kembali mengendalikan emosinya. “Lebih dari itu, pokoknya aku tidak apa-apa.”

Onako memasang wajah kebingungan, membuat situasi canggung seketika. Yaji buru buru memasang senyum lebar agar tidak membuat gadis itu cemas.

“Bolehkah aku memelukmu sekarang?”

Tepat setelah mengatakan itu, Yaji juga menyadari mungkin ia baru saja mengatakan sesuatu yang salah—ia segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan memalingkan tatapannya. “Maaf—”

“Boleh, kok!”

Yaji terkejut. Ia kembali menatap wajah Onako. Kini gadis kecil itu tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangannya. Yaji tidak melewatkan kesempatan ini, ia langsung memeluk Onako dengan hangat.

“Terima kasih, Onako.”

“… Paman sudah merasa lebih baik sekarang?”

Yaji melepaskan pelukannya, mengangguk-angguk. “Hm-hm. Jauh lebih baik.”

Kemudian, Yaji memegang Keko dengan tangannya. “Aku juga senang, lho! Sekarang, kita semua bisa saling bertemu bersama lebih sering lagi. Ini pasti akan menjadi semakin menyenangkan. Bukan begitu, Quma, Onako?”

Onako sempat kebingungan, namun ia langsung mengerti. Ia segera mengambil Quma miliknya. “Tentu saja! Aku sangat menantikannya!”

Mereka berdua pada akhirnya saling tertawa lepas bersamaan. Kemudian mengobrol untuk lebih lama lagi.

Selama ini, Yaji tidak sadar. Mungkin ia memang sudah banyak dipuji oleh atasannya, dan orang-orang lain di kantornya. Namun, ia tak pernah merasa senang atas semua pujian itu. Ia selalu merasa bahwa ia tak melakukan sesuatu yang spesial. Ia hanya sekadar melaksanakan hal yang ia perlu lakukan, lalu ia akan mendapatkan gajinya, dan akhirnya bermain konsol game di kamarnya untuk melepas penat.

Namun, kali ini berbeda. Yaji berusaha keras untuk mendapatkan hati Onako yang masih diselimuti oleh trauma dan kenangan buruk. Kali ini, ia tidak melakukannya karena pekerjaan. Semua perasaan bersalahnya terhadap Onako sudah membuka hatinya. Secara perlahan ia mulai mengerti, bahwa berinteraksi dan melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain bisa menjadi menyenangkan juga. Mengurung dan menutup diri dari orang lain tidak akan mengubah apapun. Pada akhirnya, menerima pengakuan dari Onako yang seperti itu, Yaji benar-benar tidak berdaya untuk menahan luapan emosinya.

Hal yang ia dapatkan kali ini bukan sekadar pujian hambar dari orang-orang di kantornya, melainkan dari seseorang yang ia anggap penting dan berharga.

Pertama kali sejak sekian lama, ia benar-benar merasa bahagia dari lubuk hatinya.

~TO BE CONTINUED, (HOPEFULLY)~

Beberapa hari setelah itu.

Yaji sudah membulatkan tekadnya. Ia akan bertanggung jawab secara penuh atas Onako. Proses untuk mengadopsi gadis itu berjalan jauh lebih cepat dari yang dikira. Karena kondisinya yang sekarang tinggal sebatang kara dan tidak punya apa-apa, Yaji hanya perlu untuk pergi ke kantor kependudukan di daerah sekitar untuk mengurus semua perizinan dan administrasinya. Seluruh proses itu bisa selesai hanya dalam satu hari saja.

Selesai menandatangani dokumen terakhir yang harus ia urus, Yaji pun melangkah keluar dari pintu kantor kependudukan dan beranjak pulang. Sesampainya di kamarnya, ia kembali mengamati berkas-berkas yang sudah ia urus tadi. Memang, keseluruhan proses ini berjalan tanpa ikut campur oleh gadis itu sendiri. Namun, Yaji kembali teringat oleh panggilan telepon yang ia lakukan tadi pagi.

“Tapi, apakah Anda benar-benar yakin soal ini? Anak itu mungkin takkan menyukainya. Lalu… menurut saya ini semua tidaklah sesederhana itu… mengadopsi dan mengasuh seorang anak itu–”

“Ya, saya mengerti. Tapi, tidak ada pilihan lain. Saya harus melakukannya. Demi kebaikan gadis itu. Lalu…”

“Huh… baiklah kalau Anda mengerti. Juga… kondisinya sekarang–”

“Iya, saya mengerti, Pak. Saya mengerti dengan sangat jelas. Saya berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya dengan baik.”

Kurang lebih begitulah akhir pembicaraan Yaji dengan Sang Penyidik di telepon tadi pagi. Yaji sendiri juga menyadari bahwa ia melakukan semua ini tidak hanya untuk kebaikan gadis itu, melainkan juga untuk menebus kesalahannya kali ini. Ia tak bisa membayangkan hari-hari yang akan ia lalui ke depannya apabila ia masih terus dibayangi rasa bersalah akan kejadian ini. Ia takkan bisa tidur dengan lelap untuk setiap malamnya.

Yaji mengepalkan tangannya. Ini adalah jalan yang sudah kupilih. Aku tidak boleh ragu untuk sekarang.

Apapun yang terjadi dari sekarang, semuanya akan baik-baik saja.

Demi keegoisanku, dan juga gadis itu.


Penulis: MysticaLoof

ARCING FORWARD

Entry for Writchal #4
Theme: Unexpected Rendezvous


The summer sun glazes the plantation. The children follow up her joy. The boys, most of them, dash through the lawns. With their arms extended, they bank left and right as they traverse a column of trees in the orchard. The girls, sitting on a cloth made out of knitted flannels, fiddle with their kitty plushies surrounding the toy cooking utensils neatly stacked in the centre.

A boy’s laugh is in crescendo. She snaps her thought and turns around. Then a thud as that boy crashes, his head sinks briefly to the bottom part of her abdomen.

“Hngh.” He grunts.

The impact nudges her slightly back. It must be painful to crash into an Android. She hopes that her uniform, overlaid with an apron, soften it up enough.

The other two following him stops briefly before approaching.

“I told you, you were going too fast.” One of his friend scolds. “And you were not looking too.”

Caitlyn put her broom stick aside before grabbing the shoulders of the boy on her.

“Are you alright?” She asks.

The boy gazes back with eyes and mouth wide. From the looks of it, he doesn’t seem to be in any pain at all.

Caitlyn smiles at him. “Be careful next time.”

“U…uuh,” The boy stutters. “Yes. Yes, ma’am.” He says.

She then let go and grabs her broom stick. “Go back to your friends.”

The boy doesn’t say anything as he returns to his two buddies. All of them hot-foot it away from her.

Caitlyn sighs. She turns her gaze back to the tree she was observing. It’s a beautiful day. Perfect for her to be in the orchard. The citrus trees breathe a soothing chill amidst the searing heat. Their fruits shine bright colours rivalling the sun. She is going to pick them soon and distribute the majority to the market. It has been so far their most reliable way to make a living. Local Proxy Command would come to purchase their goods most of the time for the personnel stationed there.

“Sister Grauwelle Caitlyn!” Caitlyn tightens her shoulder in the wake of a loud female voice that flips her adrenaline switch.

She turns around to a young woman in a similar housemaid uniform as hers, marching toward her with a frowned face.

“You’ve been here for two hours and I only see a third of this orchard mopped up.”

“Uh…” Caitlyn scratches the back of her head. “Apologies, Sister Gloria.” She let the broom stick falls to her left arm as she puts her hands together in front of her. “I was about to…”

Gloria breaks her gesture as she snatches the broom stick from her.

“You know what, I’ll do it.” She grouches. “There’s a kettle of water cooking back there. Go watch that instead.” Gloria says as she begins to sweep the pile of leaves just beside Caitlyn. “God…I thought Androids are meant to ease works.” Caitlyn catches her mumble.

She takes a breath before trudging back to the mansion with her head to the ground. On a staircase leading to the terrace, she sits with her legs tight; chin on hand. Her sight is to the children on the lawn before her.

It is nearly a year since she is first activated here by the owner of this mansion. She came out of a manufacture branch whose Androids are meant for civil use. Those who are willing to afford shall incorporate them to their household. By then they would be just as citizen as their owner.

A girl sits beside her. Her chocolate hair is bundled up on the back of her head, her locks extend past her face. She wears a white headband with a bunny pin attached to its right side.

“Daydreaming again, Caitlyn?”

Caitlyn turns to her with a dissatisfied face. “I was taking a break.”

“I caught you gazing silently at that tree for fifteen minutes straight.” She says. “That seems like a daydreaming to me.”

Caitlyn sighs.

The girl is the oldest, about ten years old. And she is of the outgoing type. Enough to make friend with strangers that she just met. Just like Caitlyn.

“Well, what are you supposed to do when you are not doing anything?”

The girl giggles.

“Anyway, you are an Android, right?” She asks. “What are you daydreaming about?”

Caitlyn’s attention turns to the tree she was gazing at. It’s about two times her height. It has two main branches which splits further into five; three on one and two on the other. Its dense leaves stood out from the rest of the trees. Regardless, it bears not as much fruit compared to the adjacent ones. She attempts to recall any thought that appeared in the past several minutes. To her dismay, none showed up.

“I was thinking the tree looks nice.” She says.

“Really?” The girl beside her tilts her head. “Aren’t you just daydreaming about being a princess who wishes that a handsome prince would come and pick you up?”

Caitlyn leers at the canopy above. She didn’t actually think that she was whatever the girl described. They are fairy tale entities as far as she is aware of. And she doesn’t think herself to be that helpless as to wishing a prince would come and save her. Though it’d be sweet when that actually happens, there is no guarantee that a charming figure would definitely hook her heart.

“Probably.” Caitlyn shrugs.

The girl giggles again. “You’re funny, Caitlyn.”

She is not sure whether that’s a compliment or a ridicule. Her attitude drives a smile on her face, nevertheless. Caitlyn turns to her face again.

“Am I?” She asks.

“Cute and funny, should I say.” The girl continues her giggling whilst leaning to her. “Maybe a prince would actually come and pick you one day.”

Caitlyn chuckles. “Well…” Caitlyn jerks her head. “Maybe if it’s for the best.”

“Sister Caitlyn.” Another mature voice calls for her.

Caitlyn looks over her shoulder and finds a figure striding gently toward her.

“I thought you are supposed to mop the orchard.” She says.

“Well, about that…” Caitlyn replies, glancing toward Gloria who is harshly sweeping the leaves with the broom stick.

The woman, also in the same uniform as her, follows her glance for a brief second before taking a deep breath; striking a concerned face.

“Oh well.” She says. “Ilyavna, get a hold of your friends okay?” She raises her left hand in level with her face. On it is a handbell that she then shakes. The ringing stuns the children, nine of them. They all turn a wishful gaze toward the woman before storming the terrace. The three remains still as the children run past their left.

Caitlyn and Ilyavna stands up as soon as the last children entered the mansion.

“Alright, I got it miss Gvozdika.” Ilyavna says, gesturing toward the woman before following her friends. On her way in, she cries to everyone else not to let clumsiness arise due to their haste.

“W-what can I do, Sister Gvozdika?” Caitlyn asks her, locking her hands.

Gvozdika looks down on her for a split second. Her face is relaxed; her expression is that of pity. As if she is in despair in dealing with the youngest of her sisters.

“Someone is boiling a water kettle back there.” Gvozdika jerks her head. “You might want to make mother her green tea.”

Oh…yes…

Caitlyn recalls that it is what Gloria just asked of her.

“Yes, Sister Gvozdika. Will do.” She nods, leaning slightly forward.

Caitlyn nimbly climbs the remaining step to enter the mansion. Gvozdika comes after her.

The mansion isn’t as glamour as it sounds. It’s basically a farmhouse large enough to support as much as twenty individuals. The walls are of a bland beige. There are barely any paintings or pictures hanging to flavour them. The furniture has minimal aesthetic value. The halls are mostly empty. Each has a plant in certain corners to at least liven them a bit.

A whistling noise grows louder as Caitlyn approaches the kitchen. Fumes are spewing out of the kettle. She marches toward the stove and turns it off. Once she has the cup and its plate set, she reaches for a box in the shelves above. Inside are a bundle of teabags from which she abducts one and put it in the cup. She pours the boiled water into the cup after returning the box. The contents of the teabag diffuse; the water turn light brownish colour.

Seeing her reflection on the tea, she pauses for a while.

No…

Caitlyn shakes her head just after. “This is for mother.” She says.

She tucks in two sachets of sugar on the plate before making her way upstairs.

The room on the other side is where all the hubbub is happening. The children are in a queue, one by one making their way along a meshed table picking the meals into their plate. Ilyavna stands in the last. Gvozdika keeps the children in check.

Caitlyn slows her steps to gaze at the commotion. It is when she almost crashed with another figure hustling toward her. She turned at the right moment for her reflex to halt her. The girl she was about to crash to also stops just before her.

“Sister Giriltsa.” She says. “You almost spilled mother’s tea.”

“Well that’s a relief.” Giriltsa replies. Her face frowns after she said that. “But stop slowing me down, damn it. I got a lot of work to do.” She continues hustling past Caitlyn.

Caitlyn sighs before proceeding.

As she heads for the stairs, she catches a glimpse of her other sister washing the utensils. The housemaid shares a glance briefly with her, Gravlya. Caitlyn smiles and nods to her. But she doesn’t say anything; instead keeping up in silence.

Eventually she reaches her mother’s room on the second floor. A frail voice permits entry after some knocking. Caitlyn gently nudges the door.

A senile woman is sitting on a rocking chair. Her gaze is to the book on her lap. She only turns when Caitlyn is three steps away from her.

“Ah…my sweet Caitlyn.” She says. “Is that tea for me, dear?” The woman leans her head toward her, slightly shifting her glasses down her nose.

“Yes, mother. Allow me to put it on the table for you.” Caitlyn bends slightly before a table beside her mother and places her tea on it.

“Oh, thank you dear.” Her mother grasps her chest. “I’m not really thirsty at the moment, but you can expect that cup to be empty in about ten minutes.”

Caitlyn locks her hands as she turns to face her. “Glad to hear it, mother.”

“By the way…” The mother says steadily. “We’re going to celebrate your birthday real soon.”

“My birthday?”

“Correct.” She raises a finger toward Caitlyn. “If I remember correctly, your second year will begin next week.”

Caitlyn brings up her activation date from her memory. The date is coming exactly in a week. Her memory is fascinating for a person of her age she thought. She is grateful that her mother remembers the date of her activation. The sense of recognition, although small, hits warm. It makes her feel accepted in the household.

“So…congratulations.” Her mother gently claps her hands.

Caitlyn smiles at that response. “Thank you, mother.”

“Why don’t you sit down for a moment?” Her mother nods at an empty chair near her.

“Um…”

She is, indeed, the most caressed out of her sisters despite her being there for less than a year. From her experience, her mother likes to spend time with her. Most of the times it prevents her from doing the chores assigned. But she couldn’t make herself to deny her requests. Especially when she is her only family member that treated her like one.

“Okay.” Caitlyn sits at the empty chair.

“So,” Her mother raises her head as she opens her mouth again. “How are you doing with your sisters?”

My sisters?

Gvozdika looked down on her with despair. Gloria just yelled at her. Gravlya didn’t reply to her greetings. Giriltsa just scolded her. It’s possible that her minds are just pulling strings on her. It is however, undisputable that she is the driving factor behind her sisters’ apparent contempt.

“We’re doing fine mother.” Caitlyn forces a smile through, hoping that she doesn’t catch that. “We…got along well.”

Her mother takes a deep breath. “Oh, dear Caitlyn.” She says, reaching for her face. “I know a faked smile when I see one.” She gently rubs Caitlyn right cheek.

Caitlyn grabs her mother’s hand with both of hers. She feels its wrinkling texture. Her might is enough to cause a major fracture.

“I’m sorry, mother.” Caitlyn replies. “I couldn’t bring myself to hand over the bad news to you.”

“Don’t worry, dear. Your old woman prefers the bitter truth more than a sweet lie.” She pauses for a breath. “It’s not your fault that they behave like this. They haven’t lived a decent life lately.” The woman shrugs. “Not the one they dreamed of at least.”

The woman puts her hand down as she sets her gaze to a desk on her right. There sits a lamp and a picture of two people. One is her, the other is a man.

“Your old man dreamed of making a haven where he could protect the unfortunate children left by their parents. Even in his deathbed, this place is just as he dreamed about. Until in some time after his passing that a scheme caught us up. We were forced to pay a huge sum of money, the sum of money that we didn’t have, for something that we didn’t do.

“And without any way to pay our maidservants, they all left. Your sisters are forced to take their place ever since.”

“Was it the reason why they resent me?”

“They…” The woman pauses for a breath. “don’t really resent you dear. They just don’t like it when you add to their burden.”

Caitlyn squints. She thought of the scheme that fell on them. Who did that to them? What did they ever do to deserve that?

“Why would someone do that to us? What did we do?” Caitlyn asks.

Her mother looks down as that question hits her. She gently shakes her head. “I don’t know, dear.” She raises her head again to meet Caitlyn in the eye. “Some people can really dislike people for being…” she shrugs. “people.” The old woman takes a breath and looks out the window before opening her mouth again. “Well, what can I say? Life is unpleasant. Everything in life is not meant to be. That’s why dear, the most righteous thing you could do is to make it more pleasant for the others.”

More pleasant for the others…

Caitlyn’s mind lingers on that last part of her mother’s statement. She does add that it is the most righteous thing to do. The way she sees it, it has to be about her previous statement. So far, she has been slacking in her chores. Not once she finds herself thinking about random things all of a sudden. It shouldn’t be a problem if she keeps up with what she is doing. That is not the case. The way she revels in them interferes with her duty if not halt it entirely.

The door behind her opens. “Sister Caitlyn,” Another voice calls her. “I need you to wash the remaining dishes.”

“Yes, Sister Gravlya.” Caitlyn straightens her posture. She turns to her mother again. “I’m going to leave for the dishes, mother.”

Her mother smiles and nods.

Caitlyn marches past Gravlya who then closes the door after a small greeting with her mother.

On the sink are stacked plates and the utensils. She picks the top plate and turns on the tap before scrubbing it with a foamed sponge. All the while reflecting on what her mother said about the scheme she mentioned.

What is it that actually caught up to them? How could they let that happen?

Thinking of ways that could’ve prevented it would be a waste since there’s nothing can be done to change that. She could only strive to solve the problems she is facing. Either overcoming her slacking behaviour, or resolve the debt that burdens the household.

How am I supposed to do that?

Then a pat on her right shoulder halts her scrubbing. She looks over her shoulder and finds Ilyavna.

“I’ll help you with that.” She says, positioning herself beside her.

“Uh, you don’t have to do that.” Caitlyn replies, shaking her head.

“It’s okay, I insist.” Ilyavna nods toward the sink. “You don’t want to be yelled by your sisters again, do you?” She shuts one eye.

Caitlyn smiles. “Thank you.”

“Besides, I need to start taking responsibilities.” Ilyavna puffs her chest.

Caitlyn only nods. She is grateful to have her. The girl never fails to cheer her up even when the day is not in her favour. She wishes she have something in return for her kindness. Her brows relax as she realizes that she won’t have anything soon when she keeps on slacking on her job. She has to do something.

The next day.

Caitlyn treads under the bright sky. The road is flanked by hilly plains to the right and a wooded valley to the left. The heat turns delicate as she steps into a shade. A humongous cloud cruise overhead. All around it are thin formations like stretched cotton sheet haphazardly woven together. She let a breeze flutter her ponytail and the skirt of her uniform. A breeze that most of the times took her thought with them to a heavenly ballet far from the reaches of any lands.

“Step back, ma’am!” A Proxy extends his right arm toward her; his palm open. “Convoy is coming through.” He points his thumb to his right.

“Convoy?” Caitlyn tilts her head.

The soldier then turns to said direction. Caitlyn steps a bit closer to him, gazing at the same direction with her head extended. Her view is obstructed by the houses and the wooded area to her left. What’s evident is the rumbling noise that keeps getting louder. Until they eventually pass before her and the Proxy beside her.

An eight-wheeler with a roughly bar-shaped front compartment and a large container on its back. Caitlyn believes that is what they refer as truck. It is only slightly larger than what she is aware of. Its back end is open, revealing some more Proxies sitting inside with a bunch of other containers. A handful more of those trucks follows. She notices that most of them are vacant.

“What’s happening?” Caitlyn asks the Proxy beside her.

“Recruitment fair, ma’am.” He answers. “They’re gathering fresh troops for the war.”

War…?

“What war?” Caitlyn frowns, more of a concerned look.

“The war against the Terran Vindicators.” He nods. “The Primus have been on their edge for a long time now. And I don’t think he’ll call it a day until their reign is vanquished.”

“Why are we fighting against them?”

The soldier steals a glance to the ongoing convoy before replying.

Caitlyn follows his gaze. There’s another eight-wheeler climbing up the road. It has a different shape and seemingly more compact than the trucks. Its top is relatively flat; slightly curving at the front, meeting the bottom section of the hull which also has a curved front. What’s notable to her is the bulge on top of its hull with a flat top that has a long pole-like object sticking out of it. There are another two smaller ones perching on the bulge.

“I suggest you check the fair, ma’am. I believe the commissar there can do a better job explaining than me.”

The ground quakes harder as the soldier finishes his sentence. A vehicle emerges in front of Caitlyn. One that is roughly comparable as the previous two in size, but has such a distinct form that kept Caitlyn’s eyes wide and fixed.

It has seven wheels on each side. Unlike the other two, they are not encased in rubber tires. Instead, they are attached side by side and sewn together by what appears to be a metallic belt that circumvent the wheels as the vehicle rolls through the road. Only half of the formation is visible from the bottom up, the rest is concealed by its extended side-hull. Its overall shape is relatively rectangular with a curving on its front. It also has a similar bulge with the previous vehicle as well as a pole-like object sticking out of it. Only many times larger. The pole object even extends beyond the frontmost tip of its hull. And the bulge is not just a bulge; rather a combination of a skewed nonagon and a rectangle.

“That there is a tank, ma’am.” The solider says to her, seemingly noticing that she has her wide-open eyes directed at that vehicle. “Very lethal, when supported.”

“A tank.”

“I think you have some interest in the field. I highly recommend you visit the fair. All Androids like you are fit for the job. The splendid wages and prestige are the cherry on top of that.” The soldier says to her in a friendly tone.

“Huh…”

Another tank passes by. It hooks Caitlyn’s attention again as it climbs the road. She watches it disappear to the other side. Nothing else follows that tank.

“Guess that’s the last of it.” The solider says, stepping aside. “Sorry for the inconvenience, ma’am. You may proceed now.”

“Thank you, sir.” Caitlyn smiles and nods at him.

She has a grocery task this morning. Her mind lingers at the sight that she has just beheld. The vehicle looks surreal at first glance. But they are truly distinctive and don’t seem like it could be found parking on one side of the streets. She wants to believe she is not seeing things. Thus, she decides to head for the fair the grocery. That led to a double time. Without her realizing, she is now marching at an unusually fast pace.

Caitlyn arrives at the fair thirty minutes later. Having procured all the items in her shopping list, her left arm is occupied for holding the bag stuffed with the groceries. The town centre sees a lot of people coalescing around the military personnel in the area. A Proxy is standing in front of his tent demonstrating his rifle. A group of female personnel with a uniform similar to her are establishing a tent. Some men are seen erecting what appears to be a shooting target inside the tent. Beside them are mannequins wearing various uniforms, including the maid ones. A handful of the crowds stop by to admire their elegance.

The commotion is further amplified by a man standing on an elevated position yelling through a loudspeaker. Caitlyn gazes at him as she walks past.

“Rise o’ children of the motherland! Our enemies have once more took up arms to snatch The Primus’ blessing from us!” The man waves his arm around as he utters his words. “Are we going to let those thralls impose their superstitious views upon us!? Are we going to let the same view that once brought only bloodbath to our people return!? We shall teach them our way instead! We shall liberate them from their wretched belief! And the beacon of knowledge, the beacon of science established by The Primus himself, shall pull them out of the filth just like it once did with us! Scientia, victrix!”

The beacon of science…

The Primus employed all the scholars, teachers, thinkers, and researchers at his disposal to mass-educate the citizens once he consolidated his rule. It transforms the Artificial Creationist from a divine decree driven state into a nation with reason as the order of the day. The people are either developing a concept, or supporting the development of a concept. That is perhaps the beacon of science the man is referring to. One novelty the ArC still holds to this day is the ability to mass-produce high-quality Androids for civil and military use. Caitlyn is one of them.

The Terran Vindicators are looking to replace them with something else. The man calls it superstitious views. The country appears to have had a grim past with them. A bloody one if his words are to be taken. Perhaps that is the reason they are fighting them. If any of it rings inside her is that uniting for a cause is better than a free for all battle royale.

The man proceeds along those lines. His thundering voice is probably heard from anywhere across the small town.

A few steps back behind him is another sight that caught Caitlyn’s eyes. A female officer with a service cap. The ArC insignia shines bright in its face. Her brown hair is straight past her shoulder. There is a tiny braid behind her right ear, to which a denim ribbon is hanging. She is wearing a black double-breasted greatcoat with golden trims tightened on her waist by a silver belt; her white shirt as well as the frills and a pin attached to its collar underneath are visible. The coat has a turnback at the front that reveals her legs. For her bottoms, there are folded skirt that goes about her knee and a pair of tightened boots both of black shade.

The young woman suddenly meets Caitlyn’s gaze, seemingly noticing that she is being watched. Caitlyn immediately flinches away her face. It remains that way until she is way past her. She keeps making her way through the commotion until she finds the mesmerizing vehicle parked on one corner of the fair.

“Tanks…” She says before trotting closer.

A group of people is surrounding the area. Some are gazing at the mighty vehicle. A handful has their attention fixed to a crewman handing explanation, possibly a commander. Caitlyn approaches him, slipping amidst the townsfolk for a better view. As soon as she got the better hearing of what the crewman is saying,

“Who would like a free ride?”

A free ride…

Sounds like an opportunity for her to be in that tank thing. It has to be something to ride on those giant cars. Thus,

“Ah, yes!” The crewman responds excitedly. “You ma’am with the maid uniform. Thank you for raising your hand.” He points at Caitlyn.

“Huh?” She looks around confusingly.

Only then she realizes that she raised her hand. She just got here. The crewman’s offer is the only sentence from him that catches her ears. She hasn’t heard any explanation at all. Yet for some reason, she decides to pounce at that offer.

The crowds around shift slightly, enough for her to move.

“Uh, okay…” She jerks her head before stepping forward.

“What a fine maid to ride our tank.” The crewman says to her.

“Thanks.” Caitlyn smiles and nods.

“Allow me to keep an eye over that grocery of yours.”

Caitlyn hands over the grocery before climbing up to the driver hatch in front of the turret; the driver who had been sitting there climbed out of his hatch when she took the offer and assist her.

“Easy…” The driver says to her as she puts her legs inside. “There we go. If you wish to pop your head out of the hatch, just stand at the seat okay?”

“Okay.” Caitlyn says to him. She turns to the crowds for a brief second and is amazed at the fact that she can now see the top of everyone’s head. A fascinating sight. Everyone was pretty much taller than her a few moments ago.

“Now sit down, ma’am. We’ll drive you soon.” The driver jumps down from the tank’s hull. Caitlyn finds that odd.

“Wait, who’s going to drive?” She asks the man.

The man then slams his fist into the side hull of the tank. “Get moving, she is in place.” He says to the tank. Meanwhile his partner who is holding her grocery disperse the crowd slightly more.

“Alright, ma’am.”

Caitlyn flinches at the suddenly heard rough voice seemingly emerging out of nowhere.

“First, I want you to sit down nicely. I’m down here.” The voice says.

Caitlyn does what the voice asks of her. On her front is a control panel with series of buttons, levers, and a steer that she doesn’t understand. She quickly notices a glowing screen to her right, on the interior across her. It shows a line that wiggles continuously.

“Good, now you see me. At least, my interface.” The wiggles intensify as the voice speaks.

“You can talk?”

“I’m basically you manifesting a vehicular form.” The voice says. “Though not exactly since I’m a male, but you get my point.”

“Huh…” Caitlyn tilts her head.

“My name is Zalatovich by the way. I’m the one that’s taking you for a drive.” The tank says to her. “Now, sit tight. We’re going off.”

The engine roars as soon as he finishes that statement. The tank moves shortly after.

“Whoa.” Caitlyn exclaims as the sudden boost pushes her toward the seat.

The tank strolls for a lap through the countryside. Caitlyn pops her head out of the hatch when the vehicle stabilizes. The breeze streams against her face. A chilling stream of air under the warmth of the day. They cruise through gardens, wheat and flower fields, as well as houses. In the

distances are mountains scraping the skies. Her face is beaming at the spectacle. All appears to be oddly shorter as she gazes upon them.

“So, how do you like it?”

“All of you can move by yourself then?” Caitlyn asks him.

“There is a switch for that actually. It just happens that my commander granted me full control for this affair.”

“Can you rotate your…uh…” Caitlyn pauses. Not knowing what the term is, she continues “head?”

“It is called turret, ma’am. Yes, I can. Here…” Zalatovich raises his barrel and rotates his turret as soon as he says that.

“Woahh…” Caitlyn skips a blink. Her attention is all to the turret as it rotates.

Amazing…

Apart from its impressive stature, the vehicle also has a built-in software that could interact with the crew as well as operating it. Caitlyn realizes that she has never been this amazed in her life before. It must have been spectacular for those who get to ride them on a daily basis. Watching the enemies run as one of them barges in is probably a common sight for the crews.

Eventually Zalatovich reaches the fair again. “Consider enlisting ma’am. We shall appreciate you dearly. We’re departing in six days.”

Enlisting means she has to leave her household behind. All the problems it is suffering from won’t follow her into the war. Which sounds like an escapism from a certain view. An act of denying the reality presenting before her. An act of cowardice.

Caitlyn couldn’t stop thinking about it as she makes her way back home. The Proxy she met at the intersection claims that the salary for their service is impressive. However, she is not sure whether that is worth leaving her mother and sisters behind. Not to mention Ilyavna. Worse her death would harm them even more.

It is noon when she reaches the intersection where she saw the convoy. Two men in black suit is standing on the other end of the crossing. One of them notices her presence. She tries not to bother with them as she crosses the road. Unfortunately, they fall on her as soon as she reached the other side.

“Good afternoon, ma’am.” One of them says.

Caitlyn inches away slightly. But she doesn’t feel threatened thanks to the Proxy from before watching them. As far as she knows, he will commit non-lethal wound to those insisting agitations to citizen.

“Afternoon, sir.” Caitlyn squints as she meets the men’s faces; the sun slightly messing with her view.

“We suspect you are associated with Klara Zhel’niyya.”

Caitlyn’s eyes widen as the name is mentioned. “She is my mother.”

“Perfect.” The man snaps his fingers. “Now, please listen to me ma’am. We’d like to pay for your troubles.”

Caitlyn raises an eyebrow. “Excuse me?”

“Your family is in quite of a debt, isn’t it?”

“How do you know?” Caitlyn tilts her head.

The man smashes his palms against each other. “Well there’s no need for that.” He states that sentence quickly. “Let’s just say, you’re going to be free of that soon enough.”

“Really?”

“Of course.”

His partner hands him a pad as well as an electronic pen.

“Just sign right here.” The man shoves the pad to her.

All her problems flashes to mind as she stares at the blank white screen of the pad. She has to overcome her slacking behaviour. The household conditions already don’t favour them. She must not add to their burden.

That, or…

Paying the debt.

And now there are two men offering to do it for them. Clearly a chance to save her family.

“I don’t have a sign.”

“Just, write your name then.” The man nods.

“Okay.”

Caitlyn takes the pen and write her name on the pad. The two men then withdrew their gadgets as quickly as they pulled them out.

“Thank you for your cooperation, ma’am.” He says again. “I can assure you that you’ve made the right choice.”

They then turn around and walk away from her.

Caitlyn sighs a relief. It’ll be over soon. Their debt will be lifted. Her mother and sisters will surely be grateful for it.

“Good day, ma’am.” The Proxy guarding the intersection greets her as she continues walking by.

Back home, she finds Gvozdika on the front. It doesn’t take long until she notices Caitlyn. The young woman nonchalantly crosses her arms. Caitlyn rushes toward her.

“Where have you been?” Gvozdika asks as Caitlyn reaches her.

“I…uh…” Caitlyn rubs the back of her head. “There is a…recruitment fair.” She sinks to herself, pointing her indexes to her right.

“Recruitment fair?” Gvozdika tilts her head.

Caitlyn nods, “Yes.”

“You don’t intend of joining, do you?”

“Of course not, Sister Gvozdika.” She says, smiling hesitantly. “No way I’m interested in what they are up to.”

Gvozdika takes a deep breath. “We need that grocery for breakfast.” She shrugs. “But I guess you came just in time for lunch.”

Caitlyn hands the grocery to her per her request.

“Now sweep the lawn, Sister Caitlyn. And please…actually do it this time.”

Caitlyn presents a single nod. A short but sure gesture. She proceeds to grab a broomstick and begin doing what’s asked of her. Her shoulder light, knowing that this burden on her family will be over soon.

The day quickly turns dark. All the children are already asleep.

When Caitlyn is wiping the kitchen sink…

“CAITLYN!!!” A thundering voice calls to her.

She turns around and finds Gloria striding toward her at an unusual speed and might in each step.

“Sister Gloria.” She greets her. But she doesn’t show a sign of stopping anytime soon. The frown on her face grows ever more evident as she is closing in. Her left palm is clenching. On her right hand is a letter and an envelope.

Without a warning, she yanks Caitlyn’s uniform near the collar; her left fist tight on it.

“What have you done!?” The tone on her last word is higher than the rest.

Gravlya and Giriltsa emerges from the corners at Gloria’s yell.

“Huh…?” Caitlyn stutters. She really has no idea what she did.

Gloria casts the papers on her right hand aside and shoves Caitlyn down with both of her hands against the kitchen sink. Her back slams against the shelves while her head just hit its edge. Caitlyn dares to raises her sight. She finds before her a wrath incarnate.

Gloria hangs the letter she was carrying in front of Caitlyn’s face. Caitlyn finds a statement written as clear as the war on the horizon.

…the approval to yield the properties of Gregori Zhel’niyya to Prime Respite…

Signed, Grauwelle Caitlyn.

Caitlyn’s core sinks. It is as if she is just shot point blank with a tank’s main gun.

“You sold us out, you MUG!”

“I’m sorry, Sister Gloria.” Caitlyn pants as she utters those words. “I didn’t know it would be like this.”

How could she know? No one informed her beforehand. She really thought those two men would help without any repercussion such as written.

“Oh…right…you didn’t know.” Gloria rolls her eyes, turning around. Gravlya and Giriltsa walks closer as she does that. “Guess it’s right for me to be here then,” She turns her attention back at Caitlyn, nodding at her. “Because it’s time to teach you a lesson!”

Her harsh words are followed by a severe kick to Caitlyn’s chest.

“Aaghh!” Caitlyn presses her hands against the part where Gloria’s foot landed.

Gloria chuckles. “Good thing they installed pain receptors on you, eh?” She sweeps the back of her feet against Caitlyn’s left abdomen.

“Grrghh!” Caitlyn cowers as she strives to minimize the pain. Her body collapses sideway.

Then another kick; as powerful as a football player’s penalty. But instead of a ball, it is Caitlyn’s stomach.

“Aaahh!”

“I should’ve done this a long time ago!” Gloria yells again.

“That’s right, make her repent.” Giriltsa adds to that in a loud and flat tone.

Caitlyn pulls her legs closer. But then Gloria stomps on her right waist. She slowly raises her shaking hands at Gloria.

“P-please Sister Gloria…I’m sorry.” She stutters.

“Sorry doesn’t help us in any way.” Gloria replies. She follows it up with a kick to Caitlyn’s face.

Then another.

And another.

She thought for a moment that her sisters would appreciate her deed. How naive that thought is. How poorly that aged.

Gloria pants as she takes a step back. It appears that she is merely taking a break. It is when she hears something rolling on the kitchen sink. Caitlyn steals a peek. A dough roll is now on Gloria’s hands.

The pain starts to grow unbearable for her. She is recently activated anyway. Caitlyn eventually gives up. With her heavy breath, she musters her strength to acquire a deep one and relaxes herself. All she would do now is to cover her head. Not to minimize the pain, but to conceal the sight of what Gloria is about to do next.

“I don’t remember agreeing for you to be here…” Gloria says, slamming the dough roll to Caitlyn’s face. The crash is heard across the house.

“And so far…you only make our life harder!” The dough roll again crashes against Caitlyn’s face.

“You should just DIE!” Gloria slams Caitlyn for the third time.

Then the fourth.

And fifth.

“Hh…hghh…hh…”

Caitlyn’s body is shaking on the floor. Her arms lie flaccid before her face as she lost the strength to lift them. Gloria raises the dough roll again for another score. But that’s when a hand grabs her wrist.

“That’s enough!”

Gloria looks over her shoulder and finds Gvozdika standing firm behind her. She shakes her arm trying to break loose from her grip.

“Let…go!” She exclaims.

Gvozdika does what she says after she yanks her arm for the third time. Then Gloria shoves the letter to her sister’s face.

“You see this, Gvozdika!? She just doomed us all!”

Gvozdika grabs the letter from her. Her eyes moving left and right as she process the text.

“This place now belongs to Prime Respite, that damned corporate entity, thanks to this piece of junk!” Gloria yells again. “She destroyed what father had strived for years to create! She has to be punished! SHE HAS TO PAY!” With all her might she lifts the dough roll high just as her statement ended.

But Gvozdika is quicker. She pulls her back—the moment force enough to turn her around—and slap her face.

“I said enough!” Gvozdika’s tone shocks her sisters. It is one raised to a level never before heard by any of them. “Stand down, Sister Gloria! She doesn’t know.”

Gloria shoots a bitter glare at her.

“You are not the Gloria I know.” Gvozdika says. “Go back to your room, immediately! Whoever you are!”

Gloria sniffles. She then stomps the floor before striding away, throwing the dough roll down in the process. Gvozdika grabs it as it rolls. Her sight is turned to her other sisters when she stands up. They’re still standing there with half-lidded eyes, avoiding Gvozdika’s glance.

“You both aren’t exceptions.”

Gravlya and Giriltsa walks away like nothing happened.

Gvozdika crouches on a knee before Caitlyn once she returned the dough roll.

Caitlyn is panting as she struggles to push herself up with her feeble arms. Her chest feels heavy in addition to the pain. And she realizes that her eyes become wet as a tear trickle down to the floor.

“Sister Caitlyn,” Gvozdika grabs her left shoulder. “It’s okay…”

Her whimpering grows. Three more droplets of tear hit the floor. Gvozdika inches closer to her, positioning her face just beside her weeping sister.

“Hush…” She whispers. “It’s okay, Sister Caitlyn. It’s okay. Don’t worry.”

Caitlyn knows that she didn’t mean those words. How could selling out the entire orphanage and its orchard is okay? It is their only residence and their only way to make a living. How could one not worry about where should they live afterward? Most notably, how could she be okay should something happened to her mother when she heard of this additional burden?

Gvozdika is about to pull Caitlyn closer when she suddenly shoves herself away from her. She quickly rises on her feet before nimbly trudging away; her left arm holding her stomach. Once she is inside her room, she shut the door—locking it—and cower inside the enclosure of her blanket. There she sinks her face to her knee and let her tears run free.

Why does this have to happen? Why it has to be me? Who have I wronged? Why would anyone do this to me?

No daylight touches her for the next five days. She doesn’t bother to open the curtains. There are knocking on the door several times. She doesn’t bother to respond either. Not even when Ilyavna is behind it. Her room is on the second floor and has no balcony. Hence no one could enter without breaking a furniture or two.

Gvozdika once more stands before the door at the evening.

“Sister Caitlyn, please…open up.” She asks in her ever-gentle voice. “I want to talk to you.”

Caitlyn pulls her blanket closer. Her pain is probably nothing compared to Gvozdika’s. She is the oldest after all. Thus, being an example is mandatory for her. Being persistent in her job while keeping the household together in the face of harsh reality has probably shoved plenty if not hundreds of swords through her back. Caitlyn fears that she adds into them a single force of a giant hammer that pushes those swords even deeper. How could she face her after that?

“Caitlyn please…” Gvozdika knocks again. “It’s just between us. Please…”

At this point, Caitlyn lost count how many times she pledges. She is such a determined woman. If she couldn’t enter per Caitlyn’s consent today, she will return the next day. And it will go over and over again. So, it’s probably better to let her in now. She saved her too anyway.

Caitlyn hesitantly rises from her bed and opens the locks on the door. She then returns to her bed and cover her body with the blanket again.

The door creaks. Gvozdika gently enters the room and shut the door.

She hears her approaching her bed. Her hand reaches for the curtain. But Caitlyn grips the curtain just as she does.

“Please, don’t.”

“Isn’t it too dark for you?”

Caitlyn shakes her head.

Gvozdika proceeds to light a candle which she then puts on a desk. She pulls a chair beside Caitlyn’s bed and sit there.

“Sister Caitlyn, I appreciate that you want to change our situation for the better.”

“But I did it wrong, didn’t I?”

“Well…” Gvozdika sighs. “It is my fault. I should have told you.”

Caitlyn pulls her blanket tighter.

“Prime Respite found us shortly after we’re in debt. For years they have offered us to pay for it, in exchange for our properties. And for years, I have rejected their offer.” Gvozdika turns her attention to the walls and ceilings of Caitlyn’s room. “This mansion is father’s legacy. It is a witness to his sweat and blood. They have to get through me if they wanted to grip this place.”

“Now it belongs to them, isn’t it?”

Gvozdika flinches her head. “Sort of…”

“Sort of?” Caitlyn’s eyes widen.

Gvozdika nods. “I took this matter to court. They manipulated you to sign the deal with them. It is against the regulation. So, they aren’t allowed to touch this place for the next twelve years. In fact, they are prohibited from entering this region at all.”

Caitlyn turns slightly to her sister. “I’m not hearing things, am I?”

“No, you’re not. Being a corporation, screwing up can cost you dearly. But we have to pay them away within that timespan if we wish to keep this place. The sum is…too much given our capabilities. I am only confident in keeping this mansion.”

“I see.” Caitlyn returns her sight back to the walls before her.

Gvozdika turns away. “I’m sorry for what happened to you. I could have prevented it, but…”

“I understand, Sister Gvozdika.”

“I’ll make sure the others apologize to you. One way or another.”

Caitlyn gently nods.

“We can make it. As long as we stick together and not giving up, I believe we can.”

Caitlyn takes a moment to appreciate her. She finds comfort in her soothing voice. Turns out the way she looked down on her isn’t really genuine. She does care for her, even concerned. Maybe she was just tired when she heard Caitlyn haven’t finished her job. It felt like she is actually sick of her behaviour. But then realizing that she lacks the energy to change that, she is forced to accept it. Who can blame her after all her responsibilities?

“I will start working tomorrow.”

Gvozdika raises her attention to her. “You don’t have to. If you still need time you can-”

“I insist.”

Her words halt Gvozdika’s. A smile is her first response to that. “Very well. But take it easy, okay?”

Caitlyn nods.

“That’s all I have to say.” Gvozdika stands up. “I’ll see you tomorrow.”

Hearing the footsteps of her sister, Caitlyn twists her body. She finds Gvozdika walking back to the door. Something urges her to move. So, she rises up and trots to her.

“Sister Gvozdika…” She calls her.

In a split second after Gvozdika turns around, Caitlyn wraps her arms around her.

“Thank you. Thank you very much.”

Gvozdika rubs her hair. “Anything for my youngest sister.”

Caitlyn tightens her embrace. “I love you, Sister Gvozdika.”

Gvozdika wraps her arm around Caitlyn. She pats and rubs her back.

“We love you too, Sister Caitlyn. Don’t ever act like we don’t.”

Caitlyn doesn’t feel like letting go. The embrace is such a solace for her. She still holds the responsibility for what she did. But at least she can now be at ease with it. Deep down she wishes to be the one who pulls the swords out of her and mend her wounds.

They gently let go one minute later. Gvozdika returns to her work while Caitlyn returns to her bed as soon as she locks the door again.

Paying the debt is now out of the table apparently. There is no shortcut to that. Her option therefore is to change her behaviour. From a slack to disciplined. Who could provide better guarantee…

…than the military?

Caitlyn grips her hands. Another chance to set things right is there. The Proxies will shape her discipline into its utmost rigorous form. And if what the Proxy at the intersection meant what he said, the salary could full Prime Respite’s hands so they won’t lay it on her family’s properties. Those sweet promises however, comes at an unsettling yet obvious risk.

“Death…”

The ArC is mobilizing for a war. As far as she is aware of, people die there. A lot of them both humans and Androids. Caitlyn could no longer perceive that as dreadful as it’s supposed to be. Because it’s her only path to salvation. Besides, she is an Android. It would at least take more than what’s required to kill a human. She believes that she could get through when she does her best.

Caitlyn takes a deep breath.

She promised to Gvozdika to start working tomorrow. But she didn’t specify what work is she about to do. Moreover, the fair is scheduled to leave tomorrow as Zalatovich said.

“So be it…”

Caitlyn picks a sheet of paper and a pen in her room and begin writing a letter. Then she grabs a duffle bag and fills it with her things, mostly two set of clothing beside the uniform she is wearing. Once everyone is asleep, right at one hour before midnight, she rushes to a convenience store which opens for twenty-four hours and purchases some cooking ingredients.

Back home, she unloads her grocery and begin mixing measures of them. Her product meets its completion two hours later. A cake with chocolate icing and white frosting along its top and bottom circumference. She returns to her room and packs her bag as well as her letter. Caitlyn gently intrudes her mother’s room; finding her still asleep. She tip-toe closer and kisses her in the forehead.

“Farewell, mother.” She whispers. “I will atone for what I did. I will fix our situation.”

Once she shut the door, she heads down to the dining table and put the letter beside the cake. She then tucks a candle in the centre. A single candle that represents her age, the relative amount of time since her activation. Caitlyn takes a deep breath after covering the cake with a food cover.

“Here I go.”

Caitlyn leaves the mansion once more and rushes for where the fair was. There she boards a truck along with several people that just make it. And as dawn break on the horizon, the convoy makes their departure.

Her seat is next to the open end of the container. She watches in awe as her hometown grows ever smaller. All the while recalling what she has written in her letter.

Dear my beloved mother and sisters…

I hope you will all do fine in my absence. Don’t let it be known that contempt drove me into this, rather my love for all of you. I apologize for making the past year harder for all of you. I don’t intent for that to be. Now I’m in safe hands. The Proxies will take care of me. They will surely change me. And while that is happening, you don’t have to drag me around like you always did.

I promise that upon my return, I will be a different Caitlyn. The one who will make you proud. The one who will stand on her own feet and carry years’ worth of weight which have been sitting on your shoulder. But before that, I first have to do my duty.

To serve the ArC.

To serve The Primus.

To serve science.

Scientia, victrix.

Sincerely, Grauwelle Caitlyn.

P.S. Please take care of Ilyavna for me.


Writer: PrimDom

I miss you, My Lord ….

Entri Writchal #4
Tema: Prompt Adik Kecil


Suara sirine ambulan berdenging keras di dalam kepalaku. Menutupi suara-suara yang meminta pertolongan. Pandanganku pun kabur, tak ada yang bisa kulihat.

Yang kurasakan saat itu hanyalah … kekhawatiran seseorang pada genggaman tanganku

Kota Beta, 26 Juni 2022

Seorang mahasiswa yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Yang konon katanya, jika ia serius, dirinya itu mampu mendapatkan nilai sempurna pada semua mata kuliah. Selain kepintarannya, dia juga memiliki fisik yang kuat. Dengan berbagai ilmu dan teknik bela diri yang dikuasainya, kejuaraan-kejuaraan yang ada sering dimenangi oleh dirinya. Tetapi semua hal itu ia tutupi demi menjalani kehidupan yang normal. ‘Tidak memiliki tekanan ataupun tuntutan dalam menjalani hidup’, itu adalah prinsip hidupnya.

Selain kelebihan itu, dia juga mampu melihat berbagai macam warna yang dikeluarkan banyak orang. Merah, biru, jingga, hijau, putih, bahkan hitam semua itu keluar dari semua orang yang ia lihat. Setiap warna menginterpretasikan sifat-sifat yang dimiliki. Pada dasarnya, warna tiap orang tidak akan pernah berubah. Akan tetapi, terkadang terdapat abu, noda, ataupun hal-hal lainnya yang sulit dijelaskan. Hal ini disebabkan karena terjadinya guncangan pada orang tersebut. Stress, benci, dendam, iri, hingga cinta, semua itu mampu mengganggu warna yang ada.

Raditya Rafat, itulah namanya. Tidak memiliki kedua orang tua. Kecelakaan bus saat keduanya pergi untuk menuntaskan pekerjaan, itu yang menjadi alasannya. Adik satu-satunya yang dimiliki pun telah direnggut oleh sesuatu yang tinggal di atas langit sana. Saat ini, dirinya hidup sendiri menduduki bangku mahasiswa universitas teknik pada semester 5. Meskipun begitu, ia tidak pernah memasangkan kesedihan pada wajahnya. Bahkan dirinya itu pun tidak pernah tersenyum ….

~***~

“Makan apa ya hari ini …,” ucap Rafat sembari berjalan-jalan mencari makanan di pinggir jalan.

Tidak ada kuliah untuk hari ini. Ujian akhir semester baru saja selesai. Pada saat itu, Rafat melihat banyak sekali warna yang terdistorsi. Hal itu disebabkan bentuk stress dan depresi yang dialami orang-orang. Meskipun tidak berdampak secara langsung saat Rafat melihatnya, tetapi tetap akan terasa pusing dan mual, sama halnya saat menaiki mobil yang terguncang-guncang.

Maka dari itu, Rafat memutuskan untuk sedikit menjauhi kampus, kurang lebih 1 minggu lamanya. Sebenarnya, memang sudah tidak ada kegiatan di dalam kampus, tetapi terkadang ada kakak tingkat atau dosen yang selalu memanggil adik tingkatnya untuk datang ke kampus. Ia akan menolak semua suruhan dan ajakan itu semua. Bermain bebas, itulah yang ia inginkan saat ini.

“MekDi sepertinya oke juga.” Dapat dikatakan bahwa Rafat ini sudah memiliki pemasukan yang pasif setiap bulannya. Koneksi yang dirinya miliki serta kemampuan bersosialisasi yang hebat membuatnya memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi pada pandangan kenalannya. Karena dasar kepercayaan itu, Rafat memiliki modal yang cukup fantastis dari kenalan-kenalannya itu untuk membiarkan dirinya memainkan saham. Tetapi, setelah modal itu berubah menjadi bentuk yang menggunung, para investor menarik semua modalnya itu. Dan mereka juga mulai tertarik untuk menanamkan modal yang lebih tinggi lagi. Hanya saja, Rafat menolaknya.

‘Tidak pernah mengalami kerugian’, mungkin terdengar seperti mimpi para trader. Kemampuan analisisnya sudah tidak dapat dinalar lagi. Mungkin juga banyak investor yang berbondong-bondong untuk menanamkan modalnya juga pada Rafat karena alasan tersebut. Namun, dirinya itu hanya menerima modal dari teman yang sudah meninggalkan dirinya itu.

Temannya itu menitipkan adiknya serta seluruh hartanya kepada Rafat.

Aku penasaran dengan kabar Alifha. Mungkin minggu ini aku akan mendatanginya. — pikir Rafat yang sedang mengunyah ayam goreng.

Selepasnya makan, ia berjalan kembali menuju kosnya. Sepanjang perjalanan ia melihat siswa-siswi SMP dan SMA yang sudah memulai sekolahnya kembali secara luring. “Jadi pandeminya hanya sampai sini, ya. Mungkin aku juga harus mulai memikirkan semuanya untuk ke depannya.” Meregangkan badannya dan mulai berlari sekencang mungkin menuju kosnya. “Permisi, pak.” Salamnya untuk satpam yang sedang menjaga kos tersebut.

“Hati-hati, nak! Jangan lari-lari!” seru satpam.

Sampai di kamar kosnya, dirinya itu merebahkan diri, menarik selimut, dan mulai tertidur. “Mikirnya nanti saja, saat ini lebih baik tidur.”

Kamar yang sempit, hawa udara yang mulai terasa panas sebab jam sudah menunjuk pukul tepat 12 siang. Suasana yang benar-benar sempurna untuk tidur. Rafat yang terbaring di kasurnya langsung tertidur begitu lelap. Suara jangkrik dan kicauan burung yang nyaring terdengar jelas oleh Rafat, meskipun dirinya itu sudah tertidur.

Ahh … damainya~

Tak lama setelah dirinya terjatuh dalam dunia mimpi, terdengar sebuah ketukan pintu kamar kosnya. Rafat yang mendengarnya langsung membuka mata dan menegakkan badannya. “Siapa ya?” gumam Rafat yang sedikit kesal karena tidurnya terganggu.

Suara ketukan itu terdengar lagi, “Ya, ya, sebentar.” Rafat berjalan menuju pintu dan membukanya. Silauan matahari yang terlihat setelah berada dalam ruangan yang gelap membuatnya sedikit pusing. Saat melihat ke depan, tidak ada siapa-siapa di sana.

“Halo Kak!” terdengar seperti suara anak kecil di dekatnya.

Saat Rafat melihat ke bawah, ia melihat seorang gadis dikucir juga poni panjang menutupi mata kanannya. Gadis itu juga tersenyum begitu manis kepadanya sembari mendengkap bonekanya. Dan gadis itu seperti sedang menahan tangisan.

“Umm, ada apa ya?” tanya Rafat.

“Kau! Itu adalah kau!” Wajah gadis itu semakin berseri-seri. Dan seketika gadis itu memeluk Rafat.

Di sana, Rafat hanya terbingung dengan apa yang terjadi. Gadis itu terus menerus memeluknya sembari bergumam kesenangan.

“Umm, apa kamu anak tersesat?”

Gadis itu melepaskan pelukannya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, aku benar-benar mencarimu, ‘Tuan Tidak Memiliki Warna’.”

Untuk sesaat Rafat membantu dan menatap gadis itu dengan tatapan tajamnya. Tak disengaja juga ia memegangi bahu gadis itu dengan sedikit keras. Rafat terus menatap ke dalam mata gadis itu. Dan yang ia lihat adalah ‘kehampaan’.

“Kau bisa melihat warna orang, ya?” tanya Rafat.

“Betul sekali!” Menjawabnya dengan penuh riang meskipun Rafat masih memegangi bahunya dengan begitu keras. “Aaa—” Reflek gadis itu seperti berteriak kesakitan tetapi mulutnya langsung ia tutup.

“Ah, maafkan aku.” Rafat melepaskan bahunya. “Lalu apa yang kau inginkan?”

Entah kenapa warna gadis kecil ini terasa sangat tidak jelas. Seperti kosong menuju kehampaan — pikir Rafat sembari terus menerus melihat lebih dalam warnanya.

“Aku ingin tinggal bersama dan mengabdi kepada kakak!”

“Eh?” — Rafat yang sedang serius tiba-tiba memasang wajah bingung yang datar — “, tolong ulangi lagi ….”

“Aku ingin tinggal bersama dan mengabdi kepada kakak!” dengan wajah riang yang sama seperti sebelumnya.

“Tu—Tunggu dulu! Apa maksud dari ‘mengabdi’ ini? Dan kenapa tinggal bersama?”

“Karena aku diciptakan untuk selalu berada di sisi Tuan.” Menjawabnya dengan wajah yang serius.

“Tuan? Aku tidak paham … Tunggu, apa kamu berpikir jika aku adalah reinkarnasi dari Tuanmu itu?”

Gadis kecil itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Ibuku berkata, manusia yang tidak memiliki warna sama sekali adalah Tuanku. Dan dia hanyalah satu … anda, Tuanku.” Gadis kecil itu langsung membungkuk dan menekukkan lututnya. Poni gadis itu terkibas angin, yang Rafat lihat adalah mata kanannya terlihat sangat hitam.

“Tolong perlihatkan mata kananmu,” dengan spontan Rafat menyuruhnya.

“Tapi, Tuan ….”

“Tidak apa-apa.”

Gadis itu menggerakkan tangan untuk mengangkat poninya. Seperti yang tadi Rafat lihat, matanya itu hitam.

“Saat aku diciptakan, aku tidak memiliki mata sama sekali. Ibuku mengajariku untuk memanfaatkan keempat indra yang lain. Namun satu ketika, Ibu menyuruhku untuk memasangkan sesuatu kepada mataku. Tanpa ku ketahui, aku tiba-tiba bisa melihat ….” Penjelasan secara singkat dari sang gadis tersebut.

Untuk sekian lamanya, Rafat kembali terkejut saat melihat gadis kecil itu. Ia membatu untuk memproses semua yang dilihatnya tadi. Karena dia sendiri sudah terlalu capek, dia membiarkan gadis itu untuk tinggal bersamanya.

“Ya sudahlah, kau boleh tinggal bersamaku.”

“Terima kasih, Tuanku.”

“Tolong hentikan panggilan ‘Tuan’ itu. Panggil saja aku dengan ‘Kakak’, seperti saat kamu pertama kali memanggilku.”

“Baik kak! Hehe.” Gadis itu memajang wajahnya yang sangat berseri.

Bagi Rafat, tinggal bersama orang lain bahkan orang asing merupakan masalah baginya. Hanya saja, dirinya itu merasa bahwa harus menerima gadis itu.

“Siapa namamu?”

“Tolong beri aku nama, Kakak!”

Dia terkejut untuk sekali lagi, “Ibumu tidak memberi— ah, ya sudahlah. Kalau begitu, saat ini namamu adalah Evalina. Kupanggil Eva. Bagaimana?”

“Evalina … Eva … Nama yang cantik, Tu—Kakak! Hehe.”

Rafat menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamar kosnya.

Mungkin aku harus meminta izin kepada pemilik kos. Lebih baik aku menggunakan alasan bahwa dia adalah adikku saja.

“Maaf jika kamar ini sempit. Oh ya, apa kamu sudah makan? Apa yang kamu suka?” tanya Rafat.

“Tinggal bersama kakak saja sudah merupakan kebahagiaan bagi Eva. Makanan, apapun yang kakak berikan, Eva menyukainya.”

Mendengar ucapan itu, Rafat seperti teringat sesuatu. ‘Déjà vu’ itulah yang dirinya rasakan saat ini.

Aku seperti pernah mendengar perkataan itu. Tapi entah di mana.

~***~

Kota Deutyerdaf, 10 Agustus 1918

Akhir dari Perang Dunia I sudah mulai terlihat. Langit mulai terlihat membiru kembali. Tawa riang dan kesenangan mulai menular satu sama lain antar korban perang. Tangis dan duka akan keluarga yang meninggal mulai luruh sedikit demi sedikit. Di sepanjang jalan, semua orang mulai membangun kembali rumahnya. Tidak hanya sendiri, orang-orang silih membantu satu sama lainnya. Noda pada warna mereka mulai terhapus. Warna yang timbul pun kian terlihat jelas.

“Tuan, ini bunganya!” seorang gadis kecil menyebarkan bunga tulip. Orang-orang menerimanya dengan senyuman yang luar biasa ceria.

Tulip ya ….

“Apa perlu, Tuan?” seorang pelayan mengulurkan tangannya, menawarkan tangannya untuk membawa bunga itu.

“Tidak perlu, biar aku saja yang memegangnya.”

Wangi. — Dia menghirup bunga itu untuk waktu yang lama. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanannya.

“Akhirnya kita sampai.” Sebuah rumah besar yang sudah bobrok. Terlihat bekas bakaran dan juga lantai yang retak-retak. Dengan santainya, mereka berdua menginjak-injak lantainya, seperti sedang mengecek sesuatu.

“Di sini, Tuan.” Pelayannya itu memberitahu Tuannya.

“Tolong angkat penghalangnya,” perintah sang Tuan.

“Baik, Tuan.” Meskipun fisiknya yang terlihat seperti sudah tua, sang pelayan sebenarnya memiliki kemampuan fisik yang lumayan kuat.

Setelah mengangkat penghalang tersebut, terlihat sebuah tangga menuju ke bawah dengan ujungnya yang sangat gelap. Pelayan itu berusaha untuk menyalakan sumber cahaya yang dimilikinya. Tetapi Tuannya menghentikannya, “Tidak perlu.” Sang pelayan pun mendudukkan kepalanya.

Pria itu berjalan menyusuri tangga-tangga menuju dalamnya kegelapan dan diikuti oleh pelayannya. Sang pelayan sadar bahwa dirinya saat ini sedang berada di dalam saluran pembuangan, tetapi ia tidak mengeluh dengan bau yang ada. Tak lama di sana, mereka sampai di sebuah tempat dengan sebuah pintu yang diterangi oleh dua buah lampu.

“Tolong jubahku dan topengnya. Kau juga gunakan topengmu.”

“Baik, Tuan.”

Tuannya tersebut menggunakan topeng berwarna putih terang tak bermotif dan jubah berwarna hijau gelap. Hal itu menandakan bahwa dirinya adalah salah satu petinggi di bidang militer. Yaratsch, itulah namanya. Dia adalah seorang komandan divisi strategi militer paling jenius di benua Eropa. Meskpiun begitu, ia tidak terkenal sama sekali. Ia hanya mendapatkan kehormatan yang layak dari negaranya untuk menjalani sisa hidupnya dengan damai.

“Rafael, kenapa kamu menggunakan topeng itu?” Yaratsch bertanya ke pelayannya itu.

“Karena … lucu?” Pelayannya itu menggunakan topeng dengan bentuknya yang persis seperti wajah rubah. Bahkan ia juga melakukan beberapa posenya.

“Terserah saja. Tolong jangan lakukan apapun, sebelum aku memerintah.”

“Baik, Tuan.”

Yaratsch mendorong pintu dengan salah satu lengannya dan di dalamnya terlihat sebuah cahaya yang begitu terang. Ruangan yang megah dan luas, kesannya seperti sebuah tempat yang mirip seperti aula konser orkestra. Debu-debu di sana terasa sangat halus dan juga hangat. Di sana sudah banyak orang yang datang menggunakan jubah dengan warna dan arti yang berbeda.

Saat Yaratsch memasuki aula itu dan menapakkan kakinya selangkah, pandangan semua orang langsung tertuju padanya. Suara sepatunya yang khas nan gagah itu terdengar menggema di aula. Keributan pun menjadi hening seketika. Orang-orang mulai berbisik membicarakan dirinya.

Berjalan menuju kursi paling depan. Yang lainnya mulai terkejut lagi karena dengan jubah warna seperti itu bukannya duduk di kursi VIP melainkan kursi tamu. “Rafael,” Yaratsch memanggil pelayannya.

“Ya?”

“Tolong kondisikan situasinya dan sebisa mungkin jangan terlalu berlebihan.”

“Baik, Tuan.”

Yaratsch duduk, sedangkan Rafael berdiri dan menghadap ke seluruh tamu. “Sshhh ….” Rafael menyuruh mereka semua untuk diam. Tidak hanya itu, Rafael juga memancarkan aura intimidasi dari sekujur tubuhnya terutama pandangan tajamnya. Tamu lain gemetar setelah melihat mata Rafael. Tatapannya itu sangat horor.

Tak lama dari sana, acara pun dimulai. “Salam sejahtera, salam hormat untuk seluruh hadirin yang sudah datang kemari.” Basa-basi dari sang pembawa acara mulai terdengar.

Singkatnya, di sini adalah tempat di mana semua barang itu dilelang. Tidak hanya barang, bahkan ….

“Oh … sandera perang pun ada,” gumam para tamu.

Mereka melakukan lelang dengan kelipatan 50 Dalc. Tidak hanya barang antik ataupun rampasan perang, di sini pun ada sandera, mantan budak, hingga subjek penelitian — pikir Yaratsch sembari mengamati semuanya.

Seluruh manusia yang dilelang di sana ditelanjangi agar para tamu bisa melihat spesifikasi yang ada.

Ternyata banyak juga sandera mantan bangsawan di sini dan yang membelinya … Aku dapat menebaknya — Yaratsch memandangi Rafael dan memberikan sebuah kode hanya dengan tatapannya. Ia meminta Rafael untuk menyelidiki semua orang yang membeli para mantan sandera dan bangsawan.

Rafael pun menggunakan alat komunikasi jarak jauh yang tersembunyi untuk berkomunikasi dengan rekannya yang di luar. Rekan yang di luarnya menggunakan teknologi saat itu untuk mengidentifikasi para pemenang lelang dari frekuensi suaranya.

“Tuan, apa yang akan anda lakukan untuk selanjutnya?”

“Beritahu pada Alpha-1 dan juga regu Beta-3 … Bunuh mereka semua.”

Code:11912-L.” Rafael menyampaikan pesannya lagi.

Tujuan Yaratsch di sini adalah untuk menyelamatkan para sandera perang yang ada. Hal itu dibutuhkan untuk memenuhi perjanjian perdamaian. Namun, Yaratsch berpikir untuk menembak dua burung dengan satu anak panahnya. Ia berniat untuk menumpas segala macam tindak kejahatan lainnya. Perbudakan, penggelapan dana, korupsi, pasar gelap, hingga perampokan, semuanya itu akan Yaratsch tumpas.

Semuanya berjalan begitu lancar, tidak ada objek yang benar-benar tidak memiliki tawaran. Hanya saja, semuanya sedikit terhenti saat mencapai objek terakhir.

“Dia adalah subjek penelitian dari Adam’s Project: Hawa. Mungkin tidak sempurna seperti yang lainnya, tetapi kami akan tetap membuka harga untuk dirinya. Kami mulai dari 0 Dalc,” ucap pembawa acara.

Gadis kecil dengan rambut hitam terang yang pendek. Tubuhnya sangat tidak berisi, seperti baru saja melalui banyaknya siksaan dan tidak diberi makan sama sekali. Matanya pun ditutupi oleh perban. Rantai panjang dan besar yang mengikat leher dan kedua tangannya. Kondisi yang benar-benar ironis.

Adam’s Project, ya. Tak kusangka mereka memiliki subjek itu di sini. Mungkin mereka berucap tidak sempurna, sepertinya mereka keliru — Yaratsch memiliki kemampuan untuk melihat bahkan membedakan seseorang berdasarkan warna yang dilihatnya. Dapat dikatakan, itu adalah bakatnya.

Penjelasan singkat, Adam’s Project adalah proyek yang dilakukan oleh banyak ilmuan negara di benua Eropa. Rasa keingintahuan yang luas terhadap alam semesta menjadi alasan dari proyek ini. Para ilmuan melakukan penelitian terhadap sub-Dimensi yang ada pada sampel DNA manusia purba. Mereka melakukan transplatasi dengan berbagai makhluk hidup untuk membandingkan hingga melihat masa lalu dari makhluk hidup tersebut. Namun sayangnya, beberapa dari mereka memanfaatkan hal ini untuk menciptakan manusia buatan, Homunculus.

“Kami buka untuk 3 menit,” pengumuman dari pembawa acara.

Sudah pasti mereka semua tidak akan ada yang ingin mengambilnya. Mungkin aku harus merelakan yang satu ini — saat Yaratsch berpikir seperti itu. Entah kenapa ia tidak bisa melihat warna dari gadis kecil itu.

Aku tidak bisa melihat warnanya! Bukan karena dia tidak memiliki mata … Hanya saja aku seperti sedang berhadapan dengan seorang mayat.

Para tamu bersorak untuk menyuruh para panitia membukakan perban pada matanya, “Bukakan perbannya!”, “Jangan ada sehelai kain pada barang lelang! Apa kalian berniat menipu kami?!”

Tentu saja mereka berniat menipu kalian, karena dia pasti tidak memiliki bola mata.

Gadis kecil itu menggerakkan kepalanya dan seolah-olah sedang menatap Yaratsch. Sorot lampu yang menerangi tubuh kecil telanjang itu tidak bisa mengalihkan pandangan Yaratsch. Sejak saat itu, Yaratsch memiliki pikiran bahwa gadis kecil itu bukanlah subjek tidak sempurna bahkan gagal. Gadis itu adalah subjek sempurna tanpa cacat sedikitpun. Dia adalah subjek yang berhasil menarik jiwa Hawa, pasangan hidup Adam. Lubang hitam pada wajahnya itu bukanlah menggambarkan kekosongan, Yaratsch berhasil melihat sesuatu. Ia melihat kekecewaan dan juga kesedihan sang Hawa.

Kesedihan akan sikap cucu-cucunya yang berperilaku seperti iblis penuh nafsu dan juga serakah. Mereka melempari gadis kecil itu dengan kata-kata kasar dan tak senonoh.

“Rafael.” Yaratsch bangun dari posisi duduknya dan memanggil pelayannya.

“Ya, Tuan?”

“Perintah seluruh regu, alihkan seluruh perintah ke Code: R-54 — sisakan para sandera dan budak. Dan ikuti aku.”

Rafael yang mendengarnya terkejut setelah Tuannya menyuarakan perintah tersebut. “Baik, Tuan.” Rafael mengikuti Tuannya itu yang sedang berjalan mendekati panggung tersebut.

Jika objek lelang tidak ada yang membeli, maka akan dihancurkan … kan? — Yaratsch sudah menyadarinya. Seorang penembak jitu dibalik bayang-bayang gelap di ujung panggung sudah menodongkan senjatanya kepada gadis kecil itu. Dengan memerintahkan Rafael untuk mengurus penembak itu, dirinya bisa mendekati sang gadis dengan leluasa.

Di atas panggung, Yaratsch berdiri tepat di depan gadis itu. Jubah hijau gelapnya itu menutupi cahaya yang sedang menyoroti gadis kecil. Di dalam bayangannya sendiri, Yaratsch melontarkan sebuah pertanyaan kepada sang gadis kecil, “Apakah kau ingin hidup?”

Gadis itu tidak menggerakkan tubuhnya, bahkan mulutnya pun tak kuasa untuk mengucap. Namun, Yaratsch sadar akan sesuatu. Pertanyaan yang ia lontar, memicu warna gadis itu. Warna kuning yang tipis samar-samar keluar dari wajahnya. Tersirat, gadis itu ingin menangis tetapi tidak bisa.

“Aku akan mengambil gadis ini! 200 Dalc. Sekaligus biaya ganti rugi senjata yang sudah dirusak oleh pelayanku di sana. Ayo kita kembali, Rafael.” Yaratsch menghancurkan rantai dan menutupi tubuh gadis kecil dengan jubah hijaunya. Dia juga memberikan uang 200 Dalc secara langsung pada penjualnya. “Aku sarankan kau dan kalian penyelenggara segera keluar dari sini. Terima kasih.” Yaratsch memberi hormat dan juga peringatan kepadanya, dilanjut dengan berjalan keluar ke arah jalan yang sama saat mereka masuk.

“Rafael, berapa regu yang siap?”

“10 regu, Tuan.”

“Kerahkan semuanya, selamatkan para budak dan sandera, dan bunuh semua babi-babi tidak tahu adab itu.”

Rafael beserta regu dan anggota lainnya di pintu keluar mulai masuk kembali ke dalam. Pembantaian terjadi secara brutal. Kejadian dan kasus itu diingat sebagai Blood Auction Festival. Petinggi lainnya menutup mata dan telinga mereka karena tak ingin berurusan dengan Yaratsch. Maka, tidak ada yang mampu menyentuh sang gadis kecil jika sudah berada di tangan Yaratsch.

Sesampainya di kediaman Yaratsch, “Kau, katakan namamu siapa?” Yaratsch menanyakan hal tersebut kepada gadis kecil itu. Hanya saja, sang gadis hanya menggerakkan kepalanya kiri dan kanan seperti sedang mengamati sesuatu. “Hei, katakan nam— ah, mungkin begitu, ya. Tunggu sebentar.” Yaratsch pergi menuju dapur untuk mengambilkan segelas air. “Minumlah.”

Tangan sang gadis masih gemetar karena tak memiliki tenaga sama sekali untuk melakukan sesuatu. Terpaksa Yaratsch yang menyuapinya. Tak hanya minum, dirinya juga memberikannya makanan. “Tenang saja, kau tidak akan mengalami hal buruk lagi di sini.”

“Te … ri … ma kasih,” ucap gadis itu secara pelan dan lemas.

“Makan saja dulu, aku akan kembali lagi.” Saat Yaratsch bangkit dari duduknya, gadis kecil itu memegangi pakaian Yaratsch. Wajah gadis itu seperti meminta agar Yaratsch untuk tidak pergi.

Trauma berat, ya ….

“Baiklah, aku akan menemanimu hingga selesai makan. Pelan-pelan saja.”

Untuk pertama kalinya, Yaratsch tersenyum hanya karena melihat gadis itu. Bahkan pelayannya, Rafael, terkejut dan turut senang melihat Tuannya tersenyum. Rafael datang menghampiri Yaratsch, “Kamar untuknya sudah saya siapkan, Tuan.” Suara Rafael terdengar oleh sang gadis kecil dan membuatnya sedikit ketakutan.

“Terima kasih, Rafael,” ucap Yaratsch. “Tidak apa-apa, dia adalah temanku. Kau juga bisa meminta tolong kepadanya nanti.” Hanya dengan anggukan kepalanya, Yaratsch paham dengan maksud sang gadis kecil. “Setelah makan, aku akan mengantarmu ke kamar.”

Setelah Yaratsch berhasil menidurkan gadis itu, ia berbincang dengan Rafael.

“Tuan, bukankah lebih baik Anda memberi anak itu nama?” saran Rafael.

Yaratsch duduk di kursi halaman depan, menatapi bintang-bintang di langit. “Sudah lama aku tidak melihat bintang. Bintang ….” Seketika sebuah nama terlintas pada pikiran Yaratsch. “Rafael, aku sudah tahu nama yang akan kuberikan.”

Rafael membungkukkan badannya, “Ya, Tuan?”

“Mulai sekarang, aku akan mengangkat anak itu dan kuberi nama ‘Eva’, Carina Eva. Bagaimana?”

“Nama yang indah, Tuan.” Rafael melihat Tuannya tersenyum dan tertawa begitu lebar. Momen itu sangatlah langka.

~***~

Kembali pada saat jaman sekarang.

Kota Beta, 27 Juni 2022

“Hei Eva, bangun!”

Eva dengan dengan pakainnya yang acak-acak karena tidurnya tidak bisa diam. Bahkan, saat terbangun, pakaiannya terlepas dengan sendirinya. “Uwaa!” dengan spontan Eva terkejut dengan sendirinya.

“Hei Eva! Jangan berteriak!” seru Rafat.

“Maafkan aku, kak.” Eva merapikan pakaian serta tempat tidurnya.

“Gunakan kamar mandinya sana, mandi, dan ganti pakaianmu,” suruh Rafat sembari melihat cermin menyisir rambutnya.

“Anu, kak … Eva tidak punya pakaian lain,” ucap Eva di depan pintu kamar mandi tanpa menggunakan busana apa pun.

“Eva … Cepat masuk ke kamar mandi!” Rafat menutup pintu kamar mandinya.

Hadeh, sepertinya aku harus pergi mencari pakaian untuknya.

“Kak! Airnya sangat panas!” teriak Eva.

Rafat secara reflek berlari ke kamar mandi, membuka pintu, dan mengatur suhu airnya. Ia juga memberi tahu cara mengatur suhunya. “Apa kau sudah paham?”

“Paham, kak!”

Mungkin kehidupanku akan lebih ramai setelah ini, haha.

Eva yang selesai mandi masih menggunakan pakaian lamanya. Rafat mengajak Eva untuk ikut dengan dirinya berkeliling kota. Tanpa menjawab ‘Ya’, Rafat langsung paham hanya dengan melihat kelakuan Eva. Rasa senang Eva saat diajak berjalan-jalan bersama Rafat, sangat terlihat jelas oleh mata Rafat.

“Berwarna kuning terang,” gumam Rafat.

“Kenapa kak?” tanya Eva yang tak sengaja mendengar gumaman Rafat.

Rafat hanya tersenyum dan mengusap-usap kepala Eva, “Tidak, bukan apa-apa. Ayo kita pergi! Jangan pernah angkat ponimu itu, ya?”

“Siap, kak!”

Mereka pergi menuju sebuah tempat perbelanjaan. Di sana, Eva sangat kagum dengan sebuah gedung yang sangat megah dan terkesan sangat modern. Dirinya itu sangat berinisiatif hingga menarik-narik pakaian Rafat untuk pergi menuju berbagai tempat. Rafat pun terasa sangat menikmatinya. Ia seperti melihat almarhum adik perempuannya yang sudah tiada.

Adik … ya? Aku merasa Tuhan seperti sedang mempermainkan perasaanku — pikir Rafat yang terus menerus terpikirkan adiknya.

“Kak! Eva ingin minuman dengan bola-bola hitam itu!” memanggil Rafat sembari menunjuk-nunjuk satu tempat.

Meskipun terasa seperti itu, Rafat hanya bisa terus melangkah maju dan mendoakan keluarganya yang telah berada di atas langit. “Kamu ini banyak makan juga.” Menyubit pipi Eva sembari tertawa karena melihat wajah lucu dari Eva.

Seperti ini … Boleh juga.

“Setelah ini kita beli pakaian untukmu, ya?”

“Ayaye.”

Mereka pergi menuju toko pakaian. Banyak sekali jenis pakaian yang dilihat oleh Eva. Saking banyaknya ia sampai kebingungan untuk memilihnya. “Kakak, kakak! Bagaimana ini?! Eva tidak bisa memilih!”

“Hahaha! Santai saja, kita punya banyak waktu untuk ini.”

Disaat Eva mencoba satu per satu pakaian, Rafat melihat-lihat beberapa aksesoris di sana. Ia seperti iseng untuk melihat-lihat saja. Namun, pada akhirnya ia membelinya. “Kakak! Lihat Eva!” — memamerkan pakaian yang sedang dipakainya — “Bagaimana kak?”

Rafat dan kasir di sana menahan senyum dan tawanya. Mereka melihat Eva memakai pakaian itu dengan salah, sehingga terkesan lucu untuk dilihat. “Kemarilah, biar kakak yang rapikan.” Rafat merapikan beberapa bagiannya, seperti aksesoris pada kepalanya, ikatan pita pada bajunya, serta bagian lengannya. “Nah, kalau begini ….” Rafat terkejut sesaat begitu melihat Eva menggunakan pakaian itu.

Dia sangat imut …. — pikir Rafat.

“Walah! Nona ini sangat manis.” Pujian beberapa orang yang sedang mengantri di kasir.

Mendengar hal tersebut, Eva akhirnya memutuskan untuk membeli pakaian itu. “Kakak! Eva ingin baju ini,”

Dengan senyum, Rafat menjawab dengan singkat, “Ya, boleh kok.”

Pada akhirnya mereka membeli beberapa pakaian lainnya. Setelah berada di toko pakaian yang cukup lama, mereka beranjak menuju lantai paling atas. Di sana terdapat semacam food court. Lagi-lagi Eva terkejut melihat gerai-gerai makanan yang sangat banyak. Cahaya jingga yang terang seperti sedang menyoroti mereka berdua.

Eva berlari ke arah depan dan tidak sengaja tersandung oleh kaki seseorang. Spontan Rafat menghampirinya, “Maafkan adikku.”

“Ah, ya, tidak apa-apa.”

Rafat langsung melihat apakah ada luka pada Eva, “Apa kamu tidak apa-apa?”

Eva yang terjatuh di bawah lantai melihat ke arah Rafat. Dirinya sedang ditutupi oleh tubuh Rafat, duduk di dalam bayangannya. Tatapannya itu terfokus pada mata Rafat. “Aku melihatnya … Aku melihatnya,” gumam Eva.

Rafat sendiri kebingungan dengan maksud gumaman Eva itu. Tetapi, tanpa disengaja, Rafat melihat dan terjatuh ke dalam mata Eva. Tubuhnya sedikit bergeming, terbeku untuk sesaat. “Kakak, kenapa?” Eva langsung menyadarkan Rafat.

“Maaf, aku tidak apa-apa. Ayo kita pesan makanan.”

“Hum!” Eva langsung berdiri dan melihat-lihat ada makanan apa saja di sana.

Mungkin ini hanya perasaanku saja atau memang aku baru melihat sesuatu … Seperti masa lalu seseorang. — pikir Rafat.

Saat Rafat berjalan-jalan menemani Eva mengelilingi terdapat seorang karyawan salah satu gerai memanggil namanya, “Rafat, kan?”

Dirinya yang mendengar itu sedikit terkejut, “Eh?”

“Manajer! Ada Rafat di sini!”

Manajer?! Tunggu! Berarti dia di sini! — Rafat menyadari seseorang yang ia kenal sedang berada di sana juga.

Dengan reflek Rafat menarik lengan Eva sembari membawa belanjaannya di tangan satunya, “Eva! Ayo kita pindah dari tempat ini!”

“Eh? Kenapa kak?”

Tak lama sebelum mereka meninggalkan tempat itu, “Rafat! Aku merindukanmu!” terdengar orang berteriak memanggil dirinya.

“Sialan!” Rafat terpaksa harus membalikkan tubuhnya untuk membalas orang yang tadi memanggilnya. “Hehe …. Halo, kak Putih.”

Terlihat seorang gadis yang lebih pendek dari Rafat dengan rambut yang sangat putih, seputih salju tanpa ada noda. Hanya dalam sekali melihat, Eva terkejut dengan warna yang dipancarkan oleh gadis itu. “Merah terang, merah yang sangat elegan,” ucap Eva.

“Cantik, kan? Dia itu adalah seorang manusia dengan bentuk dari keeleganan itu sendiri. Nadila Yuriana, putri dari seorang seniman jenius.” Rafat menjelaskan dengan suara yang kecil namun terdengar oleh Eva.

Mungkin dalam pikiran Eva saat ini, ia hanya terkejut melihat warna merah terang tanpa noda sama sekali.

“Halo Rafat! Sudah lama sekali ya, hehe!” Nadila memeluk Rafat seakan-akan dia itu seperti pasangan yang sudah lama tidak bertemu. “Apa kamu tidak merindukanku?” Dengan wajah manisnya.

“Tolong menjauh!” Rafat mendorong badan Nadila yang terlalu menempel dengannya.

“Kamu itu tidak pernah berubah, ya,” — ucapannya terhenti setelah melihat ada anak kecil yang berdiri di belakang Rafat — “Ra—Rafat, kamu! —” ucapannya terpotong.

Dengan ringannya, tangan Rafat menjitak kepala Nadila. “Tidak perlu berpikir yang aneh-aneh.”

“Hei! Aku ini lebih tua darimu loh!” Nadila memegangi kepalanya.

Dengan wajah meremehkan, “Heh, memangnya aku pernah peduli dengan itu? Pendek.” Karena kesal mendengar ejekannya itu, Nadila menggigit lengan Rafat yang tadi digunakan untuk menjitaknya.

Melihat kakaknya disakiti, Eva terkejut hingga beranjak dari belakang Rafat dan berusaha untuk memisahkan mereka berdua, “Jangan sakiti kakak!” Eva mendorong Nadila dengan lumayan keras. Wajahnya seriusnya itu terlihat jelas oleh Nadila dan Rafat. Sorot matanya yang tajam serta berlinang air mata di sana.

“Eva … Santai saja, kak Putih hanya main-main,” ucap Rafat. Setelah mengucapkan itu, Eva memeluk Rafat. Pada akhirnya Rafat menggendong Eva untuk menenangkannya. “Tunggu sebentar, nanti akan kujelaskan semuanya.”

“Baiklah, aku akan menunggumu. Aku juga akan menyiapkan beberapa makanan untuk kalian berdua.”

“Terima kasih.”

Di pangkuan, Eva terus menerus mendekap dan memegangi pakaian Rafat. Dengan berbagai cara, Rafat mencoba untuk menenangkan dirinya. Tapi sangat sulit untuk menenangkannya. Seketika, Rafat mendapatkan sebuah ide. “Eva, lihat mataku.” Dengan mata yang sudah berair-air, Eva melepaskan genggamannya dan melihat mata Rafat.

Hanya dengan sekejap, Eva menjadi lebih tenang. Ia juga meminta untuk diturunkan dari pangkuan. “Maafkan Eva, sudah berbuat nakal.”

“Tidak, Eva tidak nakal. Sekarang Eva ingin makan apa?”

Eva mengusap-usap wajahnya dengan lengannya, “Eva ingin apa saja yang kakak berikan.”

“Ya sudah, ayo kita duduk.”

Tadi aku hanya ingin mengetes sesuatu, entah kenapa malah berhasil.

Eva menikmati makanan yang dihidangkan oleh Nadila. Momen itu digunakan Nadila untuk menanyakan banyak hal kepada Rafat. “Pertama, siapa anak itu?”

“Aku sendiri tidak tahu siapa dirinya. Ia datang ke kamar kosku begitu saja. Dia juga memanggilku,” — ucapannya terhenti karena berpikir, jika ia mengatakan bahwa dia dipanggil dengan panggilan ‘Tuan’, apa yang akan dipikirkan oleh Nadila — “dengan sebutan ‘Kakak’.”

“Oh, seperti itu ya … Siapa juga yang percaya dengan cerita seperti itu!” menggebrakkan meja.

Rafat terkejut dengannya, “Kalau kau memang penasaran, kenapa tidak kau tanya sendiri saja kepadanya?”

“Kau bercanda kan?!”

Karena Rafat mengetahui sifat dari Nadila yang sangat keras kepala, ia terpaksa untuk menjelaskan semua yang ia ketahui. Pada awalnya Nadila sendiri tetap tidak percaya dengan apa yang terjadi, tetapi memang seperti itulah keadaannya. Nadila menanyakan banyak hal lagi, seperti masa lalunya, alasan dia menerimanya, dan juga apa yang akan dilakukan oleh Rafat ke depannya.

“Lalu, bagaimana dengan pendapat Alifha?” tanya Nadila.

“Aku belum memberitahunya. Mungkin besok.”

“Baiklah, garis besarnya aku paham dengan kondisimu saat ini.”

“Terima kasih.”

Seketika Nadila menggenggam tangan Rafat, “Kalau begitu, bagaimana jika aku menjadi ibu—” Omongannya terhenti karena wajahnya ditutupi oleh tangan Rafat.

“Jangan memikirkan hal aneh-aneh.” Rafat beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Eva, “Bagaimana Eva? Apakah makanannya enak?”

Eva tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan mulut yang penuh dengan makanan. Lalu ia menelan semua makanan itu, “Benar-benar enak!”

“Baguslah jika begitu.”

Nadila memperhatikan Rafat dan Eva, ia hanya tersenyum yang penuh rasa syukur. “Akhirnya kamu menemukan jalan hidup baru ya, Rafat,” ucap Nadila

“Ya, kak? Kenapa?” Rafat mendengar Nadila seperti memanggil namanya.

“Tidak, bukan apa-apa.”

~***~

Aku menitipkan Eva dan Alifha jika terjadi sesuatu padaku.’ Itulah yang kukatakan pada Nadila tadi — Rafat merasakan suatu firasat buruk mengenai sesuatu. Sebenarnya Rafat sendiri tidak ingin berkata demikian sebelum pergi kembali menuju kosnya. Namun, untuk jaga-jaga, Nadila harus mengetahuinya.

“Eva, sebelum tidur, kamu harus mandi terlebih dahulu,” ucap Rafat sembari membuka pintu kamar kosnya.

Eva mengucapkan salam dan membuka alas kakinya, “Baik, kak.” Tak segan-segan, Eva melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Ia membuka pakaiannya tepat di depan Rafat. Tetapi, Rafat sendiri sudah tidak terlalu peduli. Jadi, Rafat mengabaikannya begitu saja.

Rafat sendiri kelelahan dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memandangi langit-langit kamar, melihat lampu yang sangat terang. “Apa yang harus aku lakukan selanjutnya … ya?” gumam Rafat karena terpikirkan perkataan Nadila sebelumnya. Laron-laron terbang mengelilingi lampu. “Padahal saat ini sedang musim panas, tapi banyak sekali laron.” Rafat bangun dari tempat tidur dan menyapu sayap-sayap laron yang berjatuhan di lantai. Tak disengaja, ia melihat debu-debu yang mulai menumpuk di pojokan kasurnya. Masker dan sarung tangan digunakan guna menghindari kotoran yang tak diduga.

Tok … tok …. — terdengar suara ketukan pintu yang ritmenya lumayan lambat. Suaranya sangat konstan.

Rafat spontan melirik ke arah kamar mandi, lalu menguncinya dari luar. Ia juga melihat ke arah jam, “Pukul 21.48. Sangat malam dan juga tidak ada suara memanggil namaku,” gumam Rafat. Dirinya memfokuskan fungsi otak ke syaraf-syaraf perabanya.

Dua orang, ya? — itulah yang dirasakan oleh sekujur tubuh Rafat.

Karena Rafat sudah mempersiapkan semuanya, ia membuka pintu. “Ya, ya, tunggu sebentar.”

Begitu membukanya, udara malam menerobos masuk ke dalam kamar. Bahkan, bulu kuduk Rafat berdiri tegak. Sebuah pistol sudah ditodongkan di kepala Rafat.

Glock 42 — Rafat mengamati pistol yang digunakan.

Pria yang menodongkannya bahkan tidak berbicara sama sekali. Ia berniat untuk langsung menarik pelatuknya. Namun, gerakannya kalah cepat dibandingkan dengan reflek Rafat. Pistolnya itu terlempar lumayan keras ke dinding sebab ditampar oleh Rafat.

“Siapa kalian?” tanya Rafat dengan santai … dan tatapannya yang sangat mengancam.

Teman pria itu menodongkan senjatanya dari belakang. Saat begitu pun mereka tidak berbicara sama sekali. Dan lagi-lagi mereka tidak segan-segan untuk menyerang Rafat. Akan tetapi, mereka mungkin tidak sadar. Tangan Rafat sudah memegangi sebuah sapu yang sebelumnya ia hendak gunakan. Dirinya masih mengingat retakkan pada sapu itu. Dengan memanfaatkan kerapuhan itu, ia mematahkannya. Lalu, melemparkan sisi tajamnya menuju arah pria yang memegangi pistol.

Siapa sangka, lemparan itu akan tepat tertancap pada dada kirinya. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh ….” Rafat berhitung mundur. “Dalam tiga detik lagi, kau akan merasakan namanya sakit yang luar biasa pada punggung bagian kiri.”

Pria itu panik dan malah mencabut kayu itu. Bukannya meredakan rasa sakit, darah yang bercucuran malah semakin banyak. Saat berusaha menutupi lukanya dengan sobekan kain dari pakaiannya, tiba-tiba dirinya terjatuh sembari memegangi dada kirinya. “Ughh! —”

“Bingo! Selamat tinggal. Tersisa satu orang lagi,” ucap Rafat dengan santainya. “Apa kau tidak khawatir dengan kawanmu itu?” Rafat memancingnya agar mendapatkan celah untuk menyerang. Dan sepertinya gertakan itu gagal, pria itu malah mengeluarkan dua buah pisau dari kantung sampingnya.

“Eh! Terkunci, Kakak!” suara Eva dari dalam kamar mandi.

Setelah mendengar suara Eva, pria itu sedikit menggerakkan alisnya. Seakan-akan Eva adalah incaran sebenarnya. Demikian, celah terlihat oleh Rafat. Karena tak ingin melewatkan kesempatan itu, Rafat langsung menerjang maju.

Dengan reflek, pria itu bergerak mundur. Tersandung karena temannya hingga melepaskan salah satu pisau dari tangannya. Rafat yang menerjang maju merebut pisau itu dan mulai untuk menikamnya. Saat ingin menikamnya, pria itu mendorong tubuh Rafat dengan sangat keras pada bagian dadanya. Mungkin terlihat sepele, tetapi sebenarnya Rafat memiliki kelemahan pada paru-parunya.

Melihat keadaan Rafat yang terengah-engah, pria itu kembali berdiri dan menerjang maju. Posisinya seperti siap untuk menikam tepat pada bagian kepala Rafat. Saat ujung pisau itu hampir menyentuh dahi Rafat, gerakan pria itu menjadi terhenti.

“Maaf saja, tapi kita ini sama-sama pria.” Rafat memukul dengan keras organ vital laki-laki yang berada di bawah. Untuk sesaat pria itu tidak aka sadarkan diri. “Aku harus memindahkan mereka semua.” Memindahkan kedua orang itu menjadi terasa lumayan berat saat Rafat harus mengatur napasnya. Lokasi kamar Rafat yang berada di lantai 1 memudahkan dirinya untuk memindahkan tubuh kedua pria itu. Dan juga karena Rafat mengetahui jalan belakang, ia bisa memanfaatkannya.

Dia meletakkan kedua tubuh pria bersebrangan. Lalu, ia mengambil pistol dan menembakkan ke bahu pria yang terakhir ia kalahkan. Pistolnya diletakkan di tangan pria yang tertancap kayu. Dengan begitu skenarionya akan terlihat seperti ‘Perkelahian Jalanan’.

Rafat kembali ke kamarnya, membukakan pintu kamar mandi. Di sana Eva sudah menangis tersedu-sedu karena ketakutan. “Maafkan aku, Eva. Tadi aku ketiduran.” Mudahnya ia berbohong.

Eva dengan badan yang masih basah tanpa busana berlari menuju Rafat, lalu memeluknya. Dirinya itu ingin berteriak dan menangis, tapi ia tidak bisa. Tangannya tak kuasa untuk melepas genggamannya pada tangan Rafat. Tubuhnya pun gemetar, terpancar ketakutan yang luar biasa.

“Kakak … Eva takut ….” Cengkraman tangannya semakin kuat.

Rafat mengambil handuk dan menutupi tubuh Eva. “Keringkan badan dan pakai pakaianmu, ini sudah malam. Nanti kamu masuk angin.”

Maafkan aku. Tapi, kamu tidak boleh mengetahui semuanya tentangku — pikir Rafat.

Tak lama setelah memakai pakaian, akhirnya Eva tertidur. Setelah kejadian itu, Rafat sendiri merasa harus terjaga semalam penuh. Biasanya Rafat sendiri tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi. Karena apa pun itu masalahnya, semuanya akan selesai tanpa butuh usaha khusus.

Rafat menelepon Alifha, adik dari almarhum temannya. “Halo, Alifha. Besok kakak akan datang ke apartemenmu bersama dengan seseorang.”

Siapa?” tanya Alifha.

“Adikku. Dan juga kakak ingin Alifha melakukan sesuatu.”

Keesokan harinya, Rafat dan Eva berkunjung ke apartemen Alifha. Jarak yang dekat membuat mereka berangkat tanpa menggunakan kendaraan. Pakaian Rafat sedikit berbeda dengan hari sebelumnya, terlihat lebih rapi. Eva juga mengenakan pakaian yang baru saja dibeli.

“Kakak, kita ke mana?” tanya Eva.

“Bermain ke rumah adik kakak yang lainnya.”

“Kakak punya adik?” Genggaman Eva semakin erat.

“Ya, dia itu adik yang sangat hebat.”

Mendengarnya, Eva menjadi kesal. Rafat pun menyadarinya, tapi ia memiliki maksud untuk berkata demikian. Perasaan buruk Rafat masih terus menghantui dirinya. Ia hanya takut apa yang akan terjadi pada Eva jika dirinya itu terjerat suatu masalah berat.

Sebenarnya aku sudah tahu, yang kemarin malam itu memang mengincar Eva — Rafat mulai berpikir, rencana apa yang harus dirinya lakukan. Sepanjang perjalanan, Eva hanya melihat wajah Rafat yang sangat serius menatap ke depan dengan tangan memegangi dagunya.

Ting! — terdengar suara bel setelah Rafat memencet sebuah tombol di depan kamar bernomor S-102.

Bahkan tidak sedetik, pintu kamarnya langsung terbuka begitu saja. “Kakak! Aku kangen sekali! Sudah lama kakak tidak datang ke sini,” muncul seorang gadis kecil imut dengan busana kaos dan juga celana pendek mendekap Rafat.

“Ah, Alifha … Sepertinya sudah kebiasaanmu, ya. Saat aku datang, kamu langsung memelukku.”

“Hehe,” Alifha menggesek-gesekkan kepalanya ke badan Rafat.

Alifha masih belum berubah juga ternyata. Syukurlah — Rafat mengusap-usap kepala Alifha.

“Alifha, kakak ingin mengenalkan kepadamu, adikku—Eva.” Eva berdiri tepat di samping Rafat sembari memegangi pakaiannya. “Ayo perkenalkan dirimu, Eva.”

“Salam kenal, kak,” ucap Eva dengan nada malu-malu.

Sepertinya Eva terkejut karena melihat warna Alifha yang terkesan tidak normal.

“Eehh … Jadi dia, ya?” Alifha menyubiti pipinya Eva karena gemas. Ia juga menyadari mengenai mata kanan Eva yang tidak ada. Namun, ia memilih untuk diam saja. “Halo Eva, salam kenal juga, ya.”

“Alifha, apakah kau sudah melakukannya?”

“Yang kemarin kakak minta, kan? Alifha sudah menemukannya.” Alifha menyuruh mereka berdua masuk. Saat ingin masuk, Eva sedikit ketakutan dan terus-menerus menarik pakaian Rafat.

“Tidak apa-apa, Eva.”

Sepertinya dia masih belum terbiasa dengan warnanya Alifha, warna yang tidak menentu, selalu berubah — pikir Rafat.

“Maaf, ya. Aku tidak menyiapkan apa-apa.” Berjalan mengambil gelas untuk dituangi es jeruk dari dalam kulkasnya.

Rafat sedikit terkejut saat melihat kondisi kamar Alifha, “Kau ini perempuan, tapi kamarmu seperti kapal pecah.” Kamarnya sangat berantakan. Karena tak tahan dengan kondisi itu, Rafat dengan gesit membersihkan dan merapikan semua barang yang ada di kamar Alifha.

“Hoo, kakak memang hebat.” Tepuk tangan dengan wajah kagum. Karena kesal, Rafat menyubit pipi Alifha hingga merah. “Aaa~ Swakit kakak.”

Eva yang melihatnya hanya bisa cemburu. Saking cemburunya, pipinya membesar.

“Kita sudahi bercandanya. Alifha tolong tunjukkan berkas dan jurnalnya.”

“Tunggu sebentar,” Alifha mengambil laptop dan membukanya. Ia seperti menjelajahi sebuah situs yang entah apa itu isi dan bentuknya. Tampilannya sedikit berbeda dengan browser yang ada. “Reruntuhan Laboratorium, Peninggalan Perang Dunia I, Penjualan Budak, Bom Atom Jepang 1945, semua itu mengarah pada satu judul jurnal yang kutemukan ini, ‘Adam’s Project: Hawa’,” — Alifha memberikan laptopnya kepada Rafat untuk menunjukkan isi jurnalnya — “di sana tertulis bahwa, bangsa Eropa dulunya sangat menginginkan bentuk pertama dari nenek dan kakek moyang manusia, Adam dan Hawa.”

“Dan tujuannya adalah waktu, ya?”

Alifha terkejut saat mendengar Rafat berbicara demikian, “Hebat sekali. Benar, bangsa Eropa menginginkan sebuah pengetahuan yang di mana mereka dapat pergi ke masa lalu dan kembali ke masa depan.” Penjelasan singkat Alifha.

“Sebodoh itu kah bangsa Eropa dulu. Lalu, siapa penulis jurnal ini?” sembari membuka dan mencari-cari di hingga halaman terakhir.

“Yaratsch, dialah penulisnya. Dari laman ini, aku menjelajahinya lebih dalam lagi. Namun, yang aku temui, pengunggahnya adalah —” ucapan Alifha terhenti karena teringat sesuatu. “Namamu Eva, kan?” mendekati Eva yang sedang anteng menikmati es jeruk. “Jangan-jangan, kamu yang —”

Rafat menarik lengan Alifha, “Hentikan Alifha. Jika memang itu adalah dirinya, dia pasti sudah memberitahuku dari tadi. Dan juga aku tidak melihat kecurigaan pada warnanya —” ucapan Rafat tepotong oleh Eva.

“Tidak, bukan Eva yang mengunggahnya. Tetapi, Eva tahu siapa yang mengunggahnya,” ucap Eva dengan santai.

Seketika, terasa seperti petir menyambar Alifha dan Rafat. “Kau mengetahuinya?! Eva?” tanya Rafat. Eva menjawab hanya dengan menganggukkan kepalanya.

“Ibuku — ‘Eva’ sebelum diriku yang mengunggah jurnal itu. Dan Yaratsch itu adalah ayah angkat dari ibuku.”

“Jadi kamu dan ibumu itu adalah objek dari Adam’s Project?” tanya Alifha.

Eva menggeleng-gelengkan kepalanya dan menjawab, “Hanya ibuku saja yang termasuk dalam objek Adam’s Project. Aku … hanyalah salinan yang diciptakan oleh ibuku untuk bertemu dengan kakak,” menunjuk Rafat.

Entah kenapa aku merasa kesal dengan kegilaan dunia ini. Manusia buatan? Jangan bercanda!

“Alifha, kakak ingin bicara empat mata denganmu. Eva tunggu dulu di sini, ya.” Rafat mengelus-elus kepala Eva, lalu pergi ke depan pintu kamar. Di luar, Rafat membuka dawainya dan menghubungi seseorang dengan nama ‘Fumiko Kana’. Dengan bahasa inggris Rafat berbicara, “Halo Kana. Mungkin ini akan menjadi terakhir kali aku menghubungimu dengan serius. Tolong katakan kepada anggota yang lainnya ….” Rafat menyampaikan sebuah kalimat kode dan memberitahunya untuk segera dipecahkan, lalu melaksanakannya pada lusa.

Hei, Rafat! Katakan apa yang terjadi!” Fumiko berteriak marah karena bingung dengan apa yang terjadi.

“Aku punya perasaan yang buruk tentang masalah ini, jadi aku meminta bantuan kepada kalian. Dan … mungkin ini akan menjadi kekalahan pertama dan terakhirku.” Rafat tersenyum begitu saja dan menutup teleponnya.

Alifha terdiam setelah mendengar perkataan kakaknya itu. Wajahnya berubah menjadi lebih ganas, “Kakak! Apa-apaan perkataanmu tadi?! Apa maksud dari ‘terakhir’-mu itu tadi?!?” Berjalan mendekati Rafat dan menarik kerah bajunya. Tak hanya itu, Alifha bahkan mengangkatnya, “Cepat tarik kembali kata-katamu!”

“Tidak,” jawab Rafat dengan singkat.

Kekesalan Alifha meningkat, “Kakak!” Ia menyikut perut Rafat dan membantingnya ke lantai. Duduk di atas perutnya, memukuli wajahnya dengan begitu keras. Namun, Rafat sama sekali tidak membalasnya. Luka yang dulu disebabkan oleh Alifha pun muncul kembali, rahang bawah Rafat mengalami dislokasi.

Tangan Alifha mulai berhenti. Wajah Rafat pun dibasahi oleh sebuah bentuk tangisan kecewa. “Kakak … Aku mohon, jangan tinggalkan Alifha. Pertama orang tua Alifha, paman, lalu kak Dayyan, dan sekarang kak Rafat juga ingin meninggalkan Alifha?! Kenapa kalian semua begitu ingin meninggalkanku?! KENAPA KAK!?!” menarik-narik kerah Rafat.

“Apa kau sudah puas memukulku?” tanya Rafat dengan kondisi wajahnya yang sudah babak belur.

“Alifha belum puas.” Ia mendaratkan satu lagi pukulan telak pada hidung. Saat berdiri, Alifha juga meludah pada wajah Rafat. “Sekarang Alifha sudah puas.”

“Menjijikan.” Rafat mengelap wajahnya yang sudah bersimbah darah dan ludah Alifha. “Lagian siapa juga yang ingin mati. Meskipun memang benar peluang matiku nanti sangat besar —”

Alifha memukul perut Rafat dengan sangat keras, “Ucapan kakak itu benar-benar menyebalkan.”

“Akhir dunia, sudah sangat dekat,” ucap Rafat sambil mengatur napasnya.

“Apa maksud kakak?”

Adam’s Project, mereka bukan hanya mengincar pengetahuan mengenai masa lalu dan masa depan. Tetapi, tentara manusia buatan, manipulasi nuklir, sumber daya tak terbatas, asal-usul keberadaan manusia, dan Tuhan. Mereka mengincar semuanya. Pada 70 tahun yang lalu, mungkin ini adalah sebuah lelucon. Saat ini, teknologi sudah berkembang.”

“Lalu, kenapa kakak berpikir mengenai kematian?”

Rafat bersandar pada dinding, “Kemarin malam, kamar kosku diserang dua pria. Dan sepertinya, yang mereka cari bukan hanya Eva.”

“Namun, kakak juga?”

Rafat menganggukkan kepalanya, “Betul sekali. Mereka sudah menemukan ‘sang Adam’, dengan cara membiarkan sang Hawa — Eva, mencarinya.”

Alifha tidak memberikan tanggapan dan hanya mengatakan, “Percaya diri sekali kakak, menyebut diri sendiri ‘sang Adam’.”

“Hmph.” Rafat tertawa kecil dan beranjak menuju Eva berada. “Alifha, mohon bantuannya nanti.”

“Terserah kakak.” Alifha masih kesal dengan kata-kata Rafat.

~***~

Dua hari kemudian ….

“Alifha, Eva telah direbut oleh mereka,” suara Rafat dalam telepon. “Kakak, membutuhkan bantuanmu.” Telepon itu langsung ditutup dan Rafat pergi bersiap-siap.

Aku benar-benar ceroboh. Namun, memang sesuai perkiraanku.

“Kakak … Jangan kalah,” gumam Alifha.

Rafat pergi menuju gudang di dekat kampusnya. Semua barang-barang rahasia disimpan di sana. Senjata api, senjata tajam dan beberapa perlengkapan lainnya ia bawa. Alat komunikasi jarak jauh pada telinga sudah terpasang dan terhubung dengan Alifha.

Mungkin sedikit mengejutkan jika seorang mahasiswa diperbolehkan membawa barang-barang tersebut. Rafat ini sangat berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Saat SMP, dia pernah memenangi sebuah kompetisi melawan para jenius di dunia. Lalu, ia juga lulus dari sebuah instansi pendidikan internasional yang berada di Indonesia hanya dalam tiga hari. Normalnya, dibutuhkan tiga tahun untuk lulus. Meskipun tanpa sebuah pengetahuan dan pelatihan militer, ia mampu melawan 10 orang dewasa sekaligus saat di bangku SMA. Karena beberapa kejadian juga, dirinya diberikan surat izin untuk membebaskan dirinya memiliki barang-barang tersebut.

“Eva, tunggu kakak,” Rafat keluar menggunakan motorsport-nya. Teknologi yang terpasang pada motornya sudah jauh lebih canggih dibanding yang lain. Dan semua itu adalah perbuatan Rafat dan Alifha. “Gemini, tolong arahkan aku ke tempat Eva. Sagitarius, bantu Alifha menjalankan tugasnya,” Rafat berbicara dengan para AI-nya.

Baik,” jawab serentak.

“Halo, Alifha. Apakah suaraku terdengar?” ucap Rafat sembari fokus berkendara.

Terdengar jelas, kak. Sagitarius sudah sampai di komputerku.

Rafat tersenyum, “Tolong katakan kepada Kana, ‘200, 250, 500, dan 1425 meter di depanku akan ada seorang teroris.’ Apa kamu bisa menyampaikannya?”

Baiklah, kak.

“Gemini, tolong kendarai secara otomatis.” Rafat mengeluarkan seperti pil obat dari dalam kantungnya.

Tuan, ini bukan jadwal Anda meminum obat tersebut,” ucap Gemini.

Kakak! Kamu meminum obat itu lagi?!” teriak Alifha.

“Berisik sekali, kalian berdua! Tenang saja, yang seperti ini tidak akan membuatku mati.” Rafat meningkatkan kecepatannya.

Sepanjang perjalanan, Rafat tidak bertemu dengan masalah lain. Akhirnya dia tiba di sebuah tempat, seperti sebuah gedung tak terpakai. Lokasinya sendiri berada di tengah kota, yang berarti banyak kendaraan dan pejalan kaki berlalu-lalang. “Musuhku kali ini sangatlah cerdik.” Rafat berjalan masuk menuju basement gedung tersebut.

Lebih baik kakak tunggu bala bantuan dari kak Kana,” saran Alifha.

“Tidak, lebih baik aku melakukannya sendiri. Komunikasi akan kakak putuskan di sini.”

Kakak terlalu gegabah.”

“Kakak masih memiliki ‘kemampuan’ yang lain.”

Kakak! Jangan pernah gunakan—” suara Alifha terputus karena Rafat mematikan jalur komunikasinya.

Rafat mulai memasuki gedung, di sana tidak ada penjaga sama sekali. Ia sadar dengan beberapa CCTV yang terpasang. Maka dari itu, ia meminta Alifha untuk mengnonaktifkan seluruh sistem keamanan dan memancing semua orang dalam gedung itu untuk pergi ke lobi.

Nguunggg! — terdengar suara alarm yang cukup keras. Langkah kaki pun terdengar jelas di sebrang tembok tepat di mana Rafat berada. Kesempatan untuk menerobos masuk.

“Eva sepertinya berada di lantai tiga.”

Sepanjang lorong, Rafat menghabisi semua orang hanya dengan kemampuan bela dirinya. Ia mengambil perlengkapan dan pelindung kepala dari orang yang baru saja dikalahkan. Tak disangka dengan cara tersebut, dirinya bisa berjalan dengan santai hingga lantai ke-3. Selama di perjalanannya, ia menghabisi para teroris dan menyembunyikan tubuhnya di tempat yang tidak terlihat.

Karena Rafat yang terlalu terburu-buru, para teroris sadar dengan keberadaan Rafat di dalam gedung sana. Ia memusatkan kinerja otaknya pada indera perabanya, “20 orang ya, memang terlalu banyak. Tapi sepertinya aku bisa melakukannya. Gemini, tolong nyalakan sistem pemadam kebakaran.” Pandangan semua orang seketika tertutup oleh cipratan air. Dengan celah itu, Rafat memusatkan kendali otaknya hanya pada otot. Pengelihatannya menjadi gelap, tetapi kemampuan fisiknya seperti hewan buas dari padang sabana. Memangsa musuh-musuhnya, jumlah yang banyak pun bukan menjadi sebuah masalah.

Sampai saat ini, Rafat sama sekali belum menggunakan senjatanya. Dengan tubuhnya yang basah kuyup, ia membiarkan Gemini memasuki jaringan sistem pada gedung itu. “Gemini, tolong bukakan pintu ini.”

Baik, Tuan. Dibutuhkan waktu 30 detik untuk memecahkan kata sandi.”

Saat Rafat mengembalikan fungsi otaknya ke seluruh tubuh, napasnya menjadi sangat tidak karuan. Tubuhnya tumbang hingga tidak dapat digerakkan. Detak jantungnya berdegup sangat kencang.

Aku harus mengontrol semuanya — Rafat berusaha untuk menstabilkan keadaan tubuhnya.

Tak disangka, salah satu dari teroris yang baru dikalahkan ada yang tersadar. Ia mengeluarkan sebuah pistol dari kantung belakangnya. Kepalanya yang masih sangat pusing membuat dirinya kesulitan membidik kepala Rafat yang terkapar di lantai. Sesaat setelah menarik pelatuknya, Rafat menyadari sesuatu di dekatnya. Dengan usaha menghindar, kepalanya selamat dari tembakan tersebut.

“Dasar kau monster,” teroris yang menembak tadi berjalan mendekati rafat, menodongkan pistolnya tepat di kepala Rafat. Suara rintikan air yang terjatuh sedikit demi sedikit mulai menghilang. Ketegangan muncul di antara Rafat dan teroris itu.

Muncul suara Gemini dengan tiba-tiba, “Tuan, pintu akan saya buka.” Suara itu terdengar jelas oleh teroris itu dan membuat dirinya lengah.

Kesempatan! — Rafat memutar tubuhnya dan menendang kaki teroris itu hingga terjatuh. Lalu, menghantam wajahnya dengan sebuah tendangan telak.

“Tak kusangka tembakan tadi akan mengenai kaki kiriku.” Berjalan pincang menuju ruangan Eva berada.

Tuan, pendarahanmu harus dihentikan.

“Aku tahu. Namun, aku harus segera membawa Eva dan keluar dari sini.” Rafat membuka satu per satu pintu yang terdapat di lorong itu. Ia menahan rasa sakit kakinya sembari memegangi senjata api yang ia bawa, Magnum. Pintu ke-12 yang ia buka, terlihat Eva sedang duduk dengan badan terikat di sebuah tempat tidur. Rafat menghampirinya, lalu melepaskan ikatannya.

Peringatan! Tekanan darah Anda menurun,” Gemini mengingatkan Tuannya.

“Berisik, Gemini! Matikan semua pemberitahuan kondisiku!” Rafat memangku Eva dengan satu tangan. “Kita akan keluar dari sini dengan selamat.” Ia berjalan keluar, mencari tangga untuk pergi menuju ke atap gedung. “Taurus, apakah kamu sudah mendapatkan data-data dari organisasi mereka?” tanya Rafat ke salah satu AI-nya. Saat Rafat berjalan menuju lokasi kamar Eva, ia menyentuh setiap perangkat yang memungkinkan tersambung ke jaringan di gedung tersebut dan yang bersangkutan.

Semuanya sudah saya pindahkan ke perangkat nona Alifha, Tuan.”

“Bagus.”

Aku harus segera pergi ke atap. Kana pasti sudah menungguku.

Suara langkah di tengah kesepian, memangku seorang gadis kecil dengan jalan pincangnya. Rencana Rafat, semuanya berjalan sesuai yang diperkirakan. Semua teroris yang dipancing oleh alarm buatan menuju lobi pasti sekarang sedang mengejar Rafat. Dan bagian lantai atas sudah dibersihkan oleh pasukan penembak jitu Fumiko Kana. 

Suara tetesan air menggema sepanjang lorong di gedung gelap itu. Tapi itu hanya sesaat.

Aku mendengar dentuman yang lumayan besar.

“Ada bom?!” Rafat melirik ke sekitarnya dan mencari sumber dentuman itu.

Tidak! Bukan bom! Ini adalah gempa.

Dengan tenaga yang tersisa Rafat berlari menuju ke atas. Wajahnya yang pucat karena kehilangan banyak darah, tubuhnya yang kedinginan, dan pandangannya yang sudah mulai kabur, semuanya itu dipaksa oleh kegigihan Rafat. Saat ini, Rafat masih berada di lantai 7. Untuk menuju atap — tepatnya di atas lantai 8, ia harus menaiki tangga yang berada di sisi lain gedung.

Dentumannya semakin besar! — air mata Rafat mulai mengalir.

“Sial! Bukan waktunya menangis! Aku harus terus berlari!”

Aku tak ingin mati! Aku masih ingin bertemu banyak orang! Aku masih belum menemukan kakakku! — Rafat terus menerus memaksakkan kedua kakinya itu hingga berwarna biru hitam bengkak pada bagian mata kakinya.

Sesampainya di lantai 8, ia melihat beberapa pasukan Fumiko Kana menjemput Rafat dan Eva.

“Ayo, Nak! Kemari!” dalam bahasa Jepang.

Oh, tidak! Suara dentumannya sudah sampai di permukaan.

“Larilah! Cepat!” teriak Rafat.

“Eh?!” para pasukan Fumiko Kana kebingungan.

Karena mereka tidak mendengarnya, Rafat mengeluarkan senjata apinya dan menembaki mereka supaya lari. Tubuh rafat yang sudah sampai batasnya, terkapar menatap langit-langit dengan Eva berada pada pelukannya. Pilar-pilar gedung pun mulai retak.

“Ini gempa! Kita harus lari!” ucap pasukan Fumiko Kana. Mereka mulai kembali ke atap untuk menaiki helikopter.

Aku mendengar suara helikopter. Kana, sudah di atas sana. Tapi … tubuhku sudah tidak kuat.

“Ka—kak?” Eva terbangun dari pingsannya.

“Eva sudah bangun, ya. Maaf. Sepertinya aku tidak bisa membawamu keluar dengan selamat.” Rafat sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Ia mencoba untuk mengelus-elus kepala Eva.

Lantai-lantai mulai jatuh, pilar-pilar gedung pun mulai berhancuran. “Tidak, kakak sudah berusaha. Selama Eva berada di sisi kakak, tidak masalah apa pun yang terjadi.”

Kau itu memang aneh, Eva. Sejak awal datang ke kamar kosku pun kau memanggilku ‘Kakak’. Lalu memanggilku ‘Tuan’. Tetapi, sifat polos dan lugunya sangat lucu — air mata Rafat mulai keluar deras.

“Gemini, alihkan semua AI-ku ke perangkat Alifha,” ucap Rafat, lalu ia melemparkan alat komunikasi di telinganya ke atas.

Gempa itu meruntuhkan gedung, tempat di mana Rafat dan Eva sekarang berada. Meskipun kondisinya sangat mengerikan, Rafat sama sekali tidak ingin pasrah. Ia menggunakan kemampuan terakhirnya, kemampuan “Mata Batin”. Warna, jin, dan makhluk lainnya yang dapat ia lihat, itu bukanlah sebatas kemampuan supernatural biasa. Rafat mampu memasuki pikiran seseorang dan mengintip masa lalunya, bahkan mampu mengubahnya. Tetapi terakhir kali ia melakukannya, pembuluh darah pada kedua matanya itu pecah. Darah mengalir pada matanya.

Saat ini, Rafat ingin melakukan hal serupa. Ia merasuki semua pikiran para teroris dan ‘menghipnotis’ mereka semua untuk membentuk sebuah matras untuk mendarat. Efek yang diterima Rafat bukan lagi pecah pembuluh darah, namun kedua bola matanya meleleh. Selain itu juga, beberapa sel otaknya mulai terbakar karena tak kuat menampung semua memori orang yang ia masuki.

Sakit sekali! Tapi aku harus terus melakukan ini.

Dari luar, terlihat gedung itu sudah hancur rata seperti sebuah istana pasir yang dihantam keras oleh ombak. Orang-orang di sekitar pun terkejut dan berlarian menjauhi lokasi. Fumiko Kana masih tetap mencari keberadaan Rafat. Dirinya itu benar-benar tidak menyerah.

Di lain sisi, Rafat dan Eva berhasil mendarat dengan selamat, tetapi tertutupi oleh puing-puing bangunan. “Eva … Eva … Eva.” Rafat mencoba untuk memanggil Eva yang berada pada pangkuannya itu. Ia mencoba meraba dan membangunkan Eva. Tubuh Eva sama sekali tidak menanggapinya dan suhunya pun sangat dingin. Rafat juga mencoba untuk meraba lagi dan ia menyadari, Eva tertusuk oleh tiang penyangga pada bagian pinggangnya.

Rafat sendiri sudah tidak bisa melihat dan menggerakkan tubuhnya lebih dari itu. ‘Menyerahkan diri’, mungkin itu yang sudah ada dipikiran Rafat. Ia tidak dapat berpikir lagi untuk menyelamatkan diri.

“Ka… kak… Dingin ….” gumam Eva terdengar pelan pada telinga Rafat.

Rafat terkejut dan hanya bisa memasang senyum, lalu memeluknya.

Waktu singkat bersamamu memang benar terasa menyenangkan. Sejujurnya di saat seperti ini aku ingin sekali melihatmu. Tapi, sepertinya Tuhan sudah merenggut kedua mataku. Sayang sekali.

Jumlah teroris, 45 orang dan jumlah korban, 47 orang

Adam dan Eve diusir dari surga sebab Eve — Hawa, memakan buah terlarang.

~***~

12 tahun pun berlalu begitu saja. Setelah kejadian itu, Fumiko Kana dan seluruh rekan Rafat menghentikan serta menghapus segala jejak dari penelitian Adam’s Project. Alifha yang memiliki semua datanya, membantu melacak jejak yang masih tersisa. 

Dan di zaman ini juga, Alifha sudah mendirikan sebuah rumah sakit. Tepatnya, sekitar empat tahun yang lalu, Alifha menemukan sebuah catatan yang di mana almarhum kakaknya, kak Dayyan sangat ingin mendirikan sebuah rumah sakit. Dan dari sana, ia memiliki tekad untuk membangun rumah sakit.

Kota Gamma, 18 Mei 2034

Seorang gadis kecil berdiri dengan posisi kepala menunduk. Seperti orang yang putus asa terhadap sesuatu.

“Ini adalah tagihan rumah sakit untuk kakakmu. Di mana orang tuamu?” ucap salah satu petugas di sana.

“A-anu, kami sudah tidak memiliki orang tua.” Gadis kecil itu murung dan bingung, bagaimana cara ia membayarnya.

“Aduh ….”

Terdengar suara langkah sepatu mendekat, “Permisi, bisakah aku saja yang membayarnya?”

Gadis kecil itu melihat seorang pria gagah dengan tongkatnya mengulurkan tangannya. Seperti meminta tagihannya. Petugas itu memberikan tagihannya ke pria tersebut. Dan pria tersebut meminta sang gadis kecil membacakan jumlah tagihannya. Setelah sang gadis kecil membacakan jumlahnya, pria itu hanya tersenyum.

“Aku akan membayarnya, tolong antarkan aku ke loket pembayaran.”

“Baik, Tuan.” Petugas itu menuntun pria itu.

Sang gadis kecil mengkuti pria itu. Melihat bahwa pria itu benar-benar membayarkan seluruh biaya rawat inap kakaknya itu. “Tuan, terima kasih,” ucap gadis kecil itu dengan senang. Wajahnya pun kembali riang. Pria itu masih tetap memasangkan senyumnya saja tanpa merespon rasa syukurnya sang gadis kecil.

“Sepertinya kakakmu sudah sadar,” ucap sang pria.

Dengan wajah terkejutnya, “Benarkah?!”

“Temani kakakmu yang baru bangun.” Pria itu menyuruhnya untuk segera mendatangi kakaknya.

Hanya dengan memberi salam dan terima kasih, gadis kecil itu pergi berlari menuju kamar kakaknya. Entah benar atau tidak apa yang dikatakan pria tadi, yang diharapkannya itu hanya keselamatan kakaknya. Gadis dengan penampilan compang-camping berlarian di koridor rumah sakit. Banyak orang yang melihatinya, akan tetapi dia tidak peduli.

Beberapa saat yang lalu, kakaknya itu mengalami kecelakaan jalanan. Ia tertabrak oleh sebuah mobil yang sedang dikendarai oleh orang mabuk. Tepatnya, saat sang kakak sedang membelikan sebuah boneka untuk adiknya. Semua itu terjadi di depan mata adiknya sendiri.

Hanya saja, semua itu akan berlalu begitu saja. Kebahagiaan terpancar penuh di dalam kamar tersebut. Warna kuning dan biru cerah benar-benar mewarnai dari setiap sudut ruangan. “Kakak! Syukurlah ….” Sang adik langsung memeluk kakaknya yang baru saja terbangun dari tidurnya. “Tidak tahu harus bagaimana lagi, jika kakak meninggalkanku.”

“Sepertinya kakakmu sudah membaik, ya.”

“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Tuan.” Sang adik langsung mengatakan ke kakaknya bahwa Tuan itu adalah orang yang telah membayar semua biaya pengobatan.

“Ha-Hawa —” kepalanya merasa kesakitan. “Ah iya, aku mengingatnya. Aku mengalami kecelakaan.” Sang kakak beranjak dari kasurnya dan membungkukkan badannya, “Saya ucapkan terima kasih karena telah menjaga adik saya dan juga membayar biaya pengobatan saya. Suatu saat hutang budi Anda akan saya balas.”

“Haha, kalian ini sangat lucu. Meskipun aku buta, tapi aku bisa melihat warna kalian.”

Mereka berdua terkejut karena pria itu membawah ‘melihat warna’. “Apakah Tuan bisa melihat warna juga?”

“Tentu saja. Dari awal, aku memang ingin mengasuh kalian. Pendidikan, pakaian, makanan, dan lainnya, aku akan menanggungnya.”

Mendengar hal tersebut, kakak beradik itu sangat senang. Mereka juga menerima penawaran itu. Dan juga mereka bersumpah, “Kami bersumpah akan membuat nama baik Tuan tidak tercoreng.”

“Haha, jangan panggil aku dengan ‘Tuan’ —” ucapannya terpotong karena ada orang lain yang berbicara juga dari belakangnya.

“Pria ini jangan kalian panggil dengan sebutan ‘Tuan’,” ucap seorang gadis dengan jas dokternya.

“Yang kak Alifha katakan itu benar. Jangan panggil ‘Tuan’. Panggil dia dengan panggilan ‘Kakak’. Bukankah begitu … kak Rafat? Sepertinya kepulanganmu dari Australia lebih cepat dari yang dijadwalkan,” ucap gadis lainnya dengan pakaian yang sangat anggun, auranya pun sangat terasa hangat.

“Ternyata kalian berdua sedang berada di sini ya, Alifha, Eva.” Mereka bertiga tertawa dan saling bertukar salam. “Benar sekali, jangan panggil aku ‘Tuan’. Tapi panggil aku dengan ‘Kakak’,” ucap Rafat.

“Baik, kakak.”

“Mungkin aku belum memperkenalkan diriku dengan benar. Aku, Raditya Rafat, hanya seorang manusia biasa yang tak bisa melihat.”

Gadis dengan pakaian anggun menggandeng tangan Rafat, “Perkenalkan, aku adalah Eva, adik dari kakak satu ini.”

“Dan aku adalah Alifha, kalian berdua bisa mengandalkanku jika ada apa-apa,” ucap gadis dengan jas dokternya.

Setelah mendengar mereka berkenalan, kakak adik ini pun mengenalkan dirinya sendiri. “Perkenalkan aku, Hawa, kedua orang tua kami sudah tiada. Dan kami hidup dengan cara bekerja paruh waktu.”

Paruh waktu? Umur mereka mungkin sekitar … 5 dan 7 tahun — pikir Rafat.

“Sebelumnya kuucapkan terima kasih karena sudah ingin menampung dan mengasuh kami,” — sang kakak berjalan mendekati Rafat dan memeroleh tangannya — “Aku adalah Adam, salam kenal, kak Rafat. Sepertinya saat aku terpingsan, mimpi yang kulihat adalah masa lalu Anda, kak Rafat” Ia mencium tangan Rafat.

Rafat hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Selamat datang di keluarga, Adam, Hawa. Jika yang Adam lihat demikian, maka itu adalah benar.”

~***~

Kembali ke masa di mana akhir dari Perang Dunia ke-2 hampir terlihat.

Hiroshima, 5 Agustus 1945

“Wah! Ayah, lihat itu! Ada kereta di tengah jalan!” seorang gadis terkagum-kagum melihat keindahan kota di sana. Banyak orang-orang menggunakan pakaian kimono. “Ayah! Pakaian mereka sangat lucu!” Bahkan udara di sana masih terasa sangat segar, meskipun saat itu sedang berada pada musim panas.

“Hei, Eva! Jangan berlarian ke sana kemari. Banyak orang yang berlalu-lalang,” seorang dengan pakaian berjas ditemani oleh seorang pelayan tua. “Dasar, padahal dia itu sudah besar.”

“Apakah perlu saya menegurnya, Tuan?”

“Tidak perlu, kita di sini untuk menikmati sisa liburan kita. Oh ya, apakah kamu bisa mencari sebuah penginapan untuk kita tempati?”

“Baik, Tuan.” Rafael pergi meninggalkan mereka berdua.

Dan sekarang hanya tinggal mereka berdua, Eva dan Yaratsch. Eva saat ini mampu melihat dengan satu matanya. Itu adalah pemberian dari mata kanan Yaratsch.

Saat ini kami benar-benar bisa berbagi pengelihatan.

“Ayah!” Eva berlari ke arah Yaratsch dan sedikit ketakutan, ia juga menunjuk ke arah langit. “Ayah, langit itu sangat gelap.” Setelah Eva menerima mata kiri Yaratsch, dia juga mampu melihat berbagai warna.

Semoga saja firasat burukku ini salah — Yaratsch sangat gelisah sesampainya di sana.

“Sekarang masih jam empat sore, apakah kamu ingin pergi ke suatu tempat?” tanya Yaratsch.

“Kemana pun! Asalkan bersama ayah, Eva akan merasa senang.” Eva tersenyum kepada ayahnya di bawah langit jingga.

Mungkin itu adalah terakhir kalinya dirinya itu tersenyum.

Tanpa kusadari, semuanya berlalu begitu saja. Aku terbangun dalam tidur panjang. Dan yang kulihat di sana hanyalah kedengkian yang sang pekat. Rasa mual membuat seluruh tubuhku bergetar. Semua roh manusia beterbangan ke sana kemari. Tidak ada lagi kesenangan di dalamnya. Saat kuberjalan di dalamnya, aku benar-benar tidak bisa merasakan kehangatan kasih sayang. Semuanya telah tiada. Rasanya seperti berada di dunia lain.

Ingatan terakhirku … ayahku memasukkanku ke dalam sebuah kotak di dalam tanah. Dia juga seperti sedang menahan tembakan yang mengarah kepadaku. Bahkan untuk saat terakhir pun, aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku kesal. Aku sedih. Tapi aku tidak bisa menangis, aku hanya bisa berteriak keras tanpa ada yang bisa mendengarku.

Hiroshima, 6 Agustus 1945 pukul 18.20

Hari di mana Amerika Serikat menjatuhkan bom nuklir di kota ini. Akibat dari radiasi yang dipancarkan membuat makhluk hidup di sana mengalami beberapa keanehan. Hanya saja, tubuh Eva saat itu tidak merasakan apa pun selain mualnya. Seakan-akan tubuh buatannya itu tidak terpengaruh oleh radioaktif.

Di tengah kegelapan, Eva berjalan entah ke mana arahnya. Ia memasuki pegunungan dengan pohon-pohon yang rindang. Tanpa makanan, tanpa minuman, tubuh Eva sudah mencapai batasnya. Hingga ia sampai di sebuah gubuk yang kumuh. Di dalamnya tidak ada siapa-siapa, tetapi persediaan makanannya terlihat sangat banyak. Kondisi rumahnya pun terasa sangat kering untuk seukuran gubuk kumuh di pegunungan.

Karena tubuhnya sudah tidak kuat untuk bertahan lagi, Eva terbaring di depan gubuk itu. Tak lama, kabut di daerah pegunungan itu semakin tebal.

Aahhh … Aku akan mati. Tapi, memang seharusnya seperti ini — pikir Eva.

“Kamu tidak akan mati kok,” terdengar suara anak kecil laki-laki seperti berbicara tepat di samping telinga Eva. 

Siapa?

“Ternyata ada orang yang datang ke dunia ini.” Seorang kakek membawa pacul berjalan mendekatinya. “Kau tidak seharusnya datang kemari, nak.”

Nak? Mungkin dia memanggil diriku…. — Eva kehilangan kesadarannya.

Kakek itu membawa Eva ke dalam gubuknya dan membantunya menghangatkan tubuh. Ia juga menyiapkan makanan berupa sup agar mudah dicerna oleh Eva. Dengan mengambil beberapa tumbuhan herba dari belakang dapurnya, ia membuat suatu obat pil kecil. Entah dengan sihir atau ilmu apa, gelas dengan air hangat juga muncul pada tangan kanannya.

“Sepertinya kamu sudah sadar.” Kakek itu berjalan mendekati Eva sembari membawa air dan obat. “Sebelum kamu makan, minumlah obat ini lebih dahulu.” Eva sedikit ketakutan setelah melihat wajah dari kakek tersebut dan seperti menjauhinya. “Tenang saja, ini adalah obat agar organ pencernaanmu tetap dalam kondisi baik-baik saja.”

Karena sadar bahwa perutnya seperti terasa melilit, Eva terpaksa memakan obat tersebut. Setelah itu, ia menyantap sup yang telah dibuat oleh kakek tersebut. “Terima kasih atas makanannya.” Makanan itu habis dengan begitu cepat dan Eva menyerahkan mangkuknya kembali kepada kakek itu.

“Apa kamu ingin menambah?” Kakek itu menawarkan makanannya lagi. 

Dan Eva hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Terima kasih, kakek.”

“Baguslah. Jika kondisimu sudah membaik, kakek ingin berbicara denganmu. Aku akan menunggumu di depan gubuk ini.”

Karena tak ingin membuang-buang waktunya, Eva menahan lengan kakek tersebut. “Tidak perlu, kakek. Eva sudah membaik.”

“Kalau begitu, kamu harus cepat keluar dari gunung ini. Jika kamu terlalu lama di sini, tubuhmu akan terus semakin muda hingga kembali menjadi sebuah bentuk roh tanpa wujud fisik.”

Benar juga, aku … menjadi anak kecil lagi.

“Tetapi, aku sudah tidak tahu harus ke mana lagi.” Eva pasrah dan bingung dengan keadaannya sekarang.

“Tidak sulit kok, mungkin aku bisa menunjukkan suatu tempat yang bagus untukmu.” Seorang anak kecil tiba-tiba muncul di samping Eva.

“Si-siapa?”

Anak kecil itu berdiri menghadap Eva, “Aku adalah Sulaiman.” Mendengar perkenalannya saja, hati Eva langsung berdegup kencang. “Sejujurnya, aku senang dengan manusia seperti ayah angkatmu itu. Dia benar-benar mengerti hati dari setiap manusia. Namun, sepertinya ia sudah tiada, ya?”

“Ayahku salah satu korban.”

“Maka dari itu, aku ingin kamu menemukan sosok yang mirip dengan ayahmu. Hal itu ditujukan untuk mencegah segala peluang terjadinya akhir dunia.” Anak kecil itu meraih tangan Eva, lalu menundukkan tubuhnya.

Eva menjawabnya dengan ragu-ragu, “Mungkin … bisa saja. Tapi, aku tidak yakin bagaimana caranya.”

“Untuk masalah cara, kamu bisa menentukannya setelah sampai di tempatnya.”

“Baiklah, aku menerimanya. Lagipula, sekarang ku sudah bingung ingin melakukan apa. Jika itu untuk bertemu ayah kembali, maka kuterima.”

“Terima kasih.” Anak kecil mengangkat tangannya. Lalu, tiba-tiba muncul cahaya yang menyambar tubuh Eva di tengah tebalnya kabut itu.

Sang kakek itu seperti menyerahkan sesuatu kepada Eva, “Mungkin ini akan membantumu di sana.”

Saat Eva melihatnya, “Apakah kakek serius?” Ia melihat uang yang luar biasa jumlahnya.

“Itu adalah uang yang kudapat dari orang-orang berdoa. Kau bisa menggunakannya.” Kakek itu hanya tersenyum dan melanjutkan ucapannya, “Aku bukanlah dewa, hanya sebuah roh yang bersemayam di gunung ini.”

“Baiklah, sekarang aku akan memindahkanmu,” ucap Sulaiman. “Semoga kamu berhasil.”

“Terima kasih.” Eva menutup matanya. Cahaya-cahaya itu menarik Eva menuju tempat lain. Saat Eva membuka matanya, di depannya itu terdapat sebuah gua besar. Tanpa disadari juga, tubuh Eva kembali seperti umur 6 tahun. Di tengah hutan tanpa manusia, Eva baru menyadarinya.

Aku tidak butuh uang ….

Beruntungnya, setelah Eva dipindahkan, ia sadar bahwa terdapat kemampuan ghaib khusus pada dirinya. Berbicara pada hewan dan tumbuhan, itu adalah kemampuan yang ia dapatkan. Dengan kemampuannya Eva masih bisa terus bertahan hidup dan juga terus mengemban tanggung jawab untuk terus mencari sosok yang serupa dengan Yaratsch.

Namun, ia masih bingung dengan klasifikasi yang dibutuhkan agar sesuai dengan sosok ayahnya itu. Meskipun sudah berlangsung sekitar 50 tahun lamanya, Eva masih tidak menyerah untuk menemukannya. Semua cara dan bantuan dari setiap tumbuhan dan hewan sudah ia coba. Hasilnya tetap nihil, ia tidak dapat mengetahui caranya.

Sejenak ia memiliki pikiran untuk menyerah, “Apakah aku harus menyerah?” Ia menangis menatap langit yang mendung dari daratan tinggi. 

Aku sangat merindukan ayah. Sudah lama sekali aku tidak melihat bermacam warna manusia … Warna! Benar sekali! Aku baru menyadarinya — Eva beranjak dari posisinya dan mengusap air matanya.

Sulaiman yang mengawasinya dari jauh hanya tersenyum dan mengatakan, “Hmm, akhirnya kamu sadar juga. Sepertinya aku akan kembali lagi ke tempat kakek tua itu.”

Dengan kepercayaan dirinya yang baru, Eva meminta hewan dan tumbuhan lainnya untuk mencari manusia yang tidak memiliki warna. Hasil yang didapatkan memang lebih akurat, tetapi tetap saja hasilnya masih nihil. Hingga 8 tahun kemudian, ia mendapatkan informasi bahwa seorang bayi lahir dengan prediksi kelamin yang salah, lalu ia juga terindikasi tidak memiliki roh di dalamnya. Namun, bayi itu tetap hidup meskipun kritis karena penyakit yang dibawanya.

Dalam pertumbuhan, bayi itu sering diganggu oleh hal-hal mistis. Eva melindungi bayinya dengan cara meminta bantuan para serangga serta akar tumbuhan untuk selalu melindunginya. 

Sadar akan tubuhnya yang sudah mulai menua, Eva berpikir untuk membuat kloning dirinya sendiri. Akan tetapi, ada sebuah peraturan yang dilanggar nantinya. Jika klon itu lahir sebelum Eva meninggal dunia, akan terjadi suatu hal yang tidak dapat diprediksi antara Eva dengan kloningnya.

Maka dari itu, Eva membuat teknologi untuk melatih kloningnya agar mampu bertahan hidup setelah terlahir nanti. Sedikit lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas tersebut, sekitar 9 tahun ia membangunnya sendiri. Dengan pengetahuan yang ia miliki, Eva mampu mengembangkan janin kloningnya selama 3 tahun.

“Akhirnya, aku berhasil mengembangkannya.” Tubuh Eva yang mengeriput karena sabar menunggu janin kloningnya. Boneka dan pakaian yang ia siapkan untuk kloningnya pun sudah selesai dirajut.

Mungkin kloningku nanti akan memiliki ingatan yang baru, tetapi ambisiku akan terus tertanam dalam hatinya.

Eva berjalan menuju kursi. Mengambil sebuah kotak, lalu memasukkan pakaian serta bonekanya. Dia duduk di kursi dengan posisi kotak berada pangkuannya. Di hadapannya saat ini hanyalah janin yang sudah siap menerima roh.

“Akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan sosok ayahku.” Eva memasang sebuah alat di kepalanya. Dibantu dengan para hewan dan tumbuhan untuk memasang alat lainnya.

Terima kasih semuanya ….

Saat mesin itu menyala, roh Eva ditarik ke dalam sistemnya. Dan mulai menginfusi rohnya ke dalam sang janin. Sebelum infusi benar-benar selesai 100%, Eva membuat dunia virtual yang di mana dirinya menjadi sosok ibu bagi kloningnya. Ia mengajari banyak hal di sana.

Enam tahun pun berlalu.

Sang janin sudah berkembang menjadi seorang anak kecil yang sudah siap tinggal di dunia luas. Saat ia membuka matanya, ia melihat sosok mayat tersenyum yang menghadap pada dirinya sembari memegang sebuah kotak. Mayat itu seperti dijaga oleh para tumbuhan, hewan, bahkan mikroorganisme. Sebuah makam yang sangat cantik.

Kloning ini berjalan, mengambil kotak tersebut lalu memakai yang ada di dalamnya. Tanpa mengetahui ingatan lama dari tubuh aslinya, sang kloning berjalan keluar mencari sosok yang dicarinya. Mungkin sekitar sebulan hingga ia benar-benar melihat sosoknya itu.

Sosok itu berlari tepat di depan pandangannya.

Kakak?! — pikir sang kloning pergi mengejar sosoknya yang sedang berlari menuju kamar kosnya.

Sesampainya di kos itu, ia ditanya oleh penjaga di sana. Dan kloning itu hanya menjawab, “Aku adalah adik dari kakak yang tadi berlari masuk.”

“Aduh! Nak Rafat parah banget sih! Ayo masuk saja, dik.”

Dengan izin tersebut, sang kloning berjalan mencari kamar dari sosoknya tersebut. Setelah menemukannya, tanpa basa-basi, ia langsung mengetuk pintunya.

Saat pintunya terbuka, sontak ia mengatakan, “Halo Kak!” Meskipun dirinya itu tidak paham dari mana rasa bahagia tersebut datang, ia benar-benar menahan rasa ingin menangisnya.


Penulis: Garpit

The Only Child

Entry for Writchal #4
Theme: Unexpected Sibling


Snack’s ready, me laying in this dirty bed for the last time, and the TV remote by my side. Finally, after a week full of exams, I can have my holiday. My lovely parents will pick me up this evening and I will get away from this choking uncared boarding house. There’s only a small desk with a TV on top cramped in front of the bed. I don’t even get an AC here. As an only child, I can live peacefully back at home. I can lay on my comfy bed, watch movies on the TV, and enjoy dinner together with my parents. I miss them so much. 

I turn on the TV and start to watch a murder documentary as there’s nothing more interesting on this old TV. Hour by hour my eyes get more tired from watching documentaries of entire families being killed mysteriously. I yawn before placing my head on the pillow and turn off the TV. Slowly I close my eyes as the sleepiness spreads to my whole body. 

Suddenly I was awakened by the loud banging on my door. I was having such a calm time. Why can’t I just rest in peace? This is still the afternoon, whoever is knocking is not my parents and I don’t care about it. I go back to sleep and close my ears with pillows. That person keeps on knocking, louder and louder. With a fuming head I slam open the door. 

Behind it is a little girl. Her dress is torn. Her shaking hand is holding an old teddy bear with lots of stitches. She wipes the sweat off her dirty forehead and smiles. “Hello,” says her. 

“Who are you?” 

“I’m your sister.” 

“No, you must be mistaken. I’m an only child. Why are you knocking on my door?” “I want to meet you, my brother.” 

I roll my eyes then smile. “Once again, I can’t be your brother. The brother you’re searching for is not here. Do you want me to help you find him?” 

“No, he’s right in front of me. I love you brother.” 

The girl hugs me. I try to release her grip and move her back a bit. 

I squat down. “Hey, I’m not your brother, okay. Hope you can find him. I’m sorry but don’t knock on my door again, okay?” 

She starts to tear up. “But I am your sister.” 

Soon after, she starts crying. 

“Hey, please don’t cry. I’m sure you’ll find your brother soon. I’m sorry that I can’t help you now. I’m really tired.” 

I slowly close my door. The little girl’s cry can still be heard, but not for long. After a few minutes, the cry fully stops. Well, I hope she finds her brother. For now, I better get back to sleep. I keep yawning before I lay on the bed and close my eyes. 

Loud banging awakened me again. I wipe my face and look at the door with pain in my eyes. Is it that little girl again? Why is she knocking this door again? She’s being too loud. “Abie, please open the door,” says a familiar voice. 

That’s not the girl, It’s my mom. They’ve arrived. I quickly run to the door and open it with a smile. Mom is standing behind it with a frown. The same little girl stands behind her, holding her teddy bear tight.

“Abie! Did you just leave your sister here alone? How dare you?” screams Mom. “So she is actually my sister?” 

“Obviously, I gave birth to her. Now pick your stuff up and get in the car,” says her while leaving the building, bringing the little girl with her. The girl keeps looking at me with teary eyes. 

Mom seems very pissed. I shouldn’t waste time then. I pack up my stuff with haste, though I can’t stop thinking about that little girl. How can she be my sister? She looks like a 7 year old, yet I’ve only been in this boarding house for a year. This just doesn’t make sense at all. 

I zip up my bag and lock the door. I give the room key to the owner and head to the front of the boarding house. Mom and Dad are already waiting in their car. I miss seeing this car. I walk closer and find the little girl is already asleep in the back seat. I put my bag on the back and sat next to the girl. Dad Starts the car and we’re on the road back to my home. 

Something is not right with that girl. I look closer at her and don’t find any resemblance with my parents. Her sharp nose is very different from my short and large nose. Her pale skin doesn’t match my skin tone nor my parents. Not only that, her hair is light brown, very different from anyone here. There’s no way she’s my Mom’s child. I should ask MOm about this. 

I place my head on the front seat. “Mom, is she really my biological sister? Her looks are very different from ours.” 

Mom sighs. “Just because she is different doesn’t mean she is not my daughter. You don’t know how much sacrifice and pain I have to endure to give birth to her.” “But she looks like a 7 year old. Why didn’t I see her at all before I went to the boarding house? Are you hiding her from me?” 

Dad looks at me. “Please keep your voice down. I’m driving.” 

I look down. “Sorry. So, why?” 

Mom looks at me. “She was at home even before you went. Don’t tell me you don’t notice your sister at all.” 

“Impossible. I’ve been an only child since birth. You even said it before I went to the boarding house.” 

“What are you talking about?” says Mom, looking at me weirdly. “Oh I see what’s going on. You just hated your sister, didn’t you?” 

“No, I don’t hate her. This just doesn’t make any sense.” 

Mom looks away. “Well you’re the one not making any sense. Don’t talk to me anymore, I want to rest.” 

This definitely isn’t right. I must know why they want to lie to me about the little girl. She’s clearly not my sister. 

“Dad, why—” 

“Shut up. I’m focused on the road,” says him with a raised voice. 

My parents don’t even want to talk to me anymore. Dad used to love talking anytime. Mom likes to joke about everything. What is happening? Why are they so different now? I don’t feel good about any of this. I can’t even sleep anymore, I’m too confused by all of this. Something is definitely wrong with that little girl, but I don’t know what. Whatever is making my parents think that girl is my sister, I must find it out.

*** 

I arrived at my home. Finally I’m back to the place I love, after a year being away. The little girl jumps out of the moving car and my mom quickly follows her inside the house. My dad parks the car in the garage. I step out and go inside the living room, bringing my bag. 

A half circle sofa stands in front of an LED TV. Small coffee table stands between them. A smooth rug stretches from one side of the room to the other side. My favorite bat from my childhood stands beside the TV. This room should be bringing me comfort, but now I just feel uneasy knowing that little girl is here. I walk up the stairs behind the TV and go to my room at the end of the hallway with floorboards. My back hurts from bringin the heavy bag. I step on the creaking floorboard outside of my room. A year away almost made me forget about this. Then, I open the door only to find that the little girl is jumping on my bed. 

I drop my bag. “Hey! This is my bedroom. Get out of here!” 

She stops jumping and starts crying on my bed, closing her face with her teddy bear. Mom runs up the stairs and bumps me while running to the girl. 

“Why do you shout at her?” says Mom while patting the girl. 

“This is my room.” 

“Your sister doesn’t have a bedroom yet. Let her sleep here tonight. She needs rest.” “Well I need rest too,” complains me. “Where am I going to sleep tonight then?” “At the sofa. No more talking and don’t ever shout at her again. I have to make dinner,” says Mom. 

She leaves the room while scratching her head. I’m worried about her but I’m too mad at the moment. I left the room, bringing my bag with me. I throw it to the sofa and lay there to rest my back. There’s nothing weird with that girl so far. She seems like a normal kid. Then what makes my parents turn against me? I have to watch that girl’s behavior more closely. 

Dad just left the garage, holding a rag he used to clean the car. 

“Dad, can I talk for a—” 

“No!” shouts Dad. He sighs. “I’m sorry. I’m just really tired now. We’ll talk tomorrow.” He walks angrily to the kitchen, passing Mom who’s setting up the dining table. I walk up to her. 

“Mom, do you need help preparing dinner?” 

“Sure, set up the table for me. I’ll bring dinner in.” 

She leaves the dining room while I tidy up the table cloth. I set up plates, placing them one by one. Then I place the fourth plate for the chair that no one ever uses. It feels weird that this seat will be used. Then, I place the glasses as Mom brings in plates of dinner. “Dinner’s ready!” shout Mom to upstairs. 

The little girl runs down the stairs while still holding the teddy bear then sits on my usual seat. 

“That’s my seat,” tells me. 

The girl looks at Mom. “But I want to sit here.” 

Mom pushes forward the girl’s chair. “Let her sit here. You sit there,” says her, pointing to the unused chair.

“But I always sit there.” 

Dad comes back from the kitchen. “Stop with the chit chat. I want a calm dinner.” I’m forced to sit on the unused chair. Mom and Dad sit on their usual chairs. Soon after, we started eating. I devour the food on my plate. It’s been so long that I haven’t tasted home cooking. I keep on eating while observing the girl’s behavior. She seems normal, even after dinner is finished. 

Soon it was night. Everything has been tidied up and now everyone is asleep, except for me. I’m laying on the couch, watching my phone as I’m used to sleeping very late. As it reaches midnight, I lay my phone on the coffee table. I yawn then pull up my blanket. My eyes are closed, but then I hear footsteps from upstairs. 

I wake up and don’t think about it much. It’s probably someone going to the toilet. I go back to sleep, but there’s more ruckus. The footsteps now sound heavier. “There’s definitely something wrong up there.” 

I pick up my bat next to the TV and walk up the stairs. I glance to the hallway but there’s nothing. Where are those footsteps coming from? 

There is more sound coming from my bedroom. Something like an old woman speaking, but I don’t understand anything she’s saying. Is there a burglar there? I walk slowly to my room, holding my bat tight next to me. Peeking into my bedroom’s keyhole, there’s a bright light blocking my view. I step forward to look closer, accidentally stepping on the creaking floorboard. The sound stopped. The light dims out in a flash. I open the door only to find the little girl sleeping on my bed. I look around but there’s nothing weird about this place. The window is locked. I don’t see anything that can make a light just like the one I saw. Whatever it is, it has to do with this girl and I’m going to find out. I will check this again tomorrow. 

*** 

Tomorrow has come. Mom is preparing dinner. Dad is cleaning his car. That little girl is in my bedroom the whole day. I go to the dining room again. 

“Mom, do you need help preparing dinner again?” 

She doesn’t answer me. She doesn’t even look whenever I talk. 

“Mom?” I ask again. 

She doesn’t budge and sets the table without acknowledging me. It’s like I don’t even exist to her. 

“That’s it. I’m confronting the girl now.” 

I walk upstairs and look at the keyhole again, avoiding the creaking floorboard. There it is. The same light I saw yesterday. I bash open the door and instantly petrified by what I see. It’s a bear with an exposed skull and rotting skin. Maggots crawl out of its mouth. Red circle glows from beneath it. It stares at me with its empty eye sockets that spew out black goo. The girl sits next to the monster, but she looks so disgusting. Her skin is pale and flabby. Seems like she’s drained out of her blood. The same black goo drips from her eyes. Her teddy bear is nowhere to be seen. 

“Kill him,” growls the bear.

I run away before they even move. I jump down the stairs and pick up my bat from the side of the TV and hold it tight. All I hear is nothing. There’s no sound from upstairs. Mom or Dad is not seen anywhere. What is happening? 

Then I hear a knife being sharpened from the kitchen. 

“Mom?” 

She pushes the door, hitting the wall. Her hand holds a knife steadily. Her look is empty, staring at me. 

“Mom, are you okay?” 

Dad steps out of the garage, holding a wrench. He looks as weird as Mom. Whatever monster that I saw must be controlling them, but I don’t know how to stop it. The girl steps to the top of the stairs, looking back to normal. She holds the teddy bear again. 

“Mom, Dad, there’s a thief! Save me,” cries her. 

Mom charges forward, pointing her knife at me. I dodge to the side and hide behind the TV. 

“Mom, please wake up. This is Abbie, your only son.” 

She doesn’t say anything. Dad strikes the TV, pushing it to me. I fall down with the TV on top of me. Mom runs to me. I manage to push it away in time and get away with my bat. “Dad, wake up, please. Don’t listen to that monster.” 

They both attack me. I hit the wrench out of my Dad’s hand with my bat, but Mom manages to cut my arm. I run away to the back of the sofa while tears drop from my chin. “Please remember me. I don’t want to hurt you. I love you.” 

They keep attacking me but I try to not hurt them and keep evading away. “Mom, Dad, remember me please.” 

“Oh, poor you,” says the girl. 

The constant attacks made me forget about the girl. She’s now standing at the base of the stairs. 

She giggles. “Seems like they don’t remember you anymore. Just give up.” I dodge Dad’s punch and jump back from Mom’s knife. 

“Stop controlling them. Give them back.” 

She laughs. “Why would I do that? I’ll live a happy life with them. While you…” she laughs again. “You’ll be dead now.” 

Mom lunges towards me and cuts my leg. I cover my wound while screaming in pain. I move away from her. Dad punches me straight in the chest and I fall down. I can’t keep dodging everything. I must attack back if I want to survive even though they’re my parents. 

I hit my attacking Dad in the arm and knock him down. I stand up but instantly get attacked by Mom. She tries to stab me. I hit her in the head. She fell, hitting her head on the floor. 

“Mom, I’m so sorry.” 

I look back at the girl. 

“You! You made me hurt my parents.” 

She walks happily over the fallen TV. “I didn’t do anything. You hurt your own parents.” 

“No, you force them to attack me.”

She sighs. “It’s not me dumb dumb. I’m just a weak little girl with wonderful parents. I wonder how much fun we will have after you’re gone.” 

“I won’t let you take them from me.” 

I run to her and bash her with my bat. She fell over. Her teddy bear fell out of her hand. “Abbie, what’s happening?” says Dad from behind me. “Why does my arm hurt?” “Dad, are you okay?” 

I run to them, putting my bat on the coffee table. My mom wakes up from the floor, holding her head. 

“My head really hurts. Abbie, did I fall on the floor?” 

I hold my Mom’s hand. “Mom, I miss you.” 

“Why am I holding a knife?” asks her confused. 

“It’s because of her,” says me pointing to the girl. 

She stands up, holding her wounded face. She’s back to her disgusting self. “How dare you do that. You will suffer now,” screams her. 

She runs to her teddy bear and picks it up. Her skin smoothed and went back as a normal child. All of the sudden Mom stabs my arm. I jump back and get hit on the back by Dad. I kick him and get waya. As soon as the girl grabs that teddy bear, my parents get controlled again. That teddy bear must be her source of power. 

I grab back my bat, holding the pain of blood flowing on the handle. I will end this. I run towards her but Dad blocks my path. I hit him as hard as I can but the girl runs away. Mom screams from my back, running towards me with a knife. I strike her. She loses control and ends up stabbing Dda right in the guts. 

“No!” 

The girl laughs. “Oh look what you do now. He wouldn’t be hurt if you just give up.” “You monster!” 

She picks the knife from Mom’s hand and attacks me. Another swing, another cut. I try to attack back but she manages to cut me several times. I move back then swing hard. She dodges it as Mom strikes me. My head is spinning. I swing back and forward randomly and manage to hit the girl away. I fell to the ground. My bat rolls away to where the girl fell when I hit her. 

“No. Mom.” 

The girl knife was deep in Mom’s neck. The girl stands up with shaking legs, holding her bloody teddy bear tight. I try to move but I have no more strength to pull myself up from the puddle of my own blood. 

She picks up my bat and laughs. “I will end this now.” 

She hit me in the head with the bat. I blacked out. 

*** 

Suddenly I was awakened by the sound of a hammer hitting wood. I try to move but my whole body is roped up. My mouth is sewn together. I look at my surroundings and realized that I’m in a coffin, right at my home’s back garden. The moon is shining bright above. The little girl shows up with her teddy bear and a wooden board on her other arm. 

“Oh look. You’re still alive,” says her smiling. “Well that won’t be a problem soon.”

I try to speak back but that only hurts me more. 

“Isn’t it sad being forgotten by your own family. The ones you trusted the most.” I try to scream, the string slowly rips my lip. 

“Don’t panic. I will let you see them one last time.” 

She puts down the board and snaps her finger. Both of my parents show up then sit next to her. Dad’s gut is spewing out. Mom’s neck is almost fully decapitated. They both hug the girl with their lifeless body. 

I keep trying to scream, ripping my lips even more. 

“That’s it. you’re being too loud.” 

Slowly I rip my lips just to say something but it was too late. The girl throws the wooden board over me. I scream in pain as tears run down my cheeks. 

I heard the girl say one last thing before she buried me alive. “I’m the only child in this family.”


Writer: P. C.

Last Will

Entri Writchal #4
Tema: Tragic love


Mungkin sudah sangat lama aku ingin mengatakan ini tapi biarlah, waktuku sudah tidak banyak lagi,dan pada akhirnya engkau sendiri yang menyadarinya, ini bukanlah perkara mudah mengatakannya kepada teman masa kecil ku.

Keyakinan bahwa, alam sesudah kematian merupakan awal dari kebahagiaan yang abadi selalu ditanamkan oleh lingkunganku sejak kecil, anak anak disekitarku juga demikian, tidak ada yang salah dengan hal ini. Bahkan menurutku ada sisi positifnya, kita yang terlalu sibuk mengejar suatu urusan kehidupan dunia bisa saja lupa dengan balasan untuk perbuatan kita di dunia, Entah engkau akan terenkarnasi menjadi nasi putih gagal panen yang langsung dibuang. Atau mungkin seorang anak pejabat kaya raya.

Triiiiingg……triiiiiinggg….

“Marsintoh kelas 1-2, mulai hari ini saya akan bekerja, maksud saya belajar di kelas ini, mohon bantuannya”

Kalimat yang aku ucapkan di hari pertamaku sekolah sangatlah buruk,huhuhu aku sampai ingin menangis, disaat yang sama ada sesorang yang tidak terduga memanggil namaku.

“Umm…  Ntoh. Apakah kau masih ingat aku?”

“Sebentar…. “

Kalau aku bilang ini kebetulan, pasti indeks keberuntunganku berada diatas 83%, untuk sekali roll, Sutejo. Teman masa kecil yang istimewa, mungkin dalam hidupku aku belum pernah menemukan orang se-Menarik dia, Sebuah kejutan ia masih mengingatku padahal aku sudah pergi dari kota ini selama 5 tahun.

“Mana mungkin aku lupa! Hibinyan sudah besar rupanya,… waktunya menggelitik…”

Hari pertama yang luar biasa, seperti biasa keadaan kelas setelah bel pulang berbunyi sangatlah ricuh, disaat yang seperti itu aku langsung pergi ke bangku Sutejo. Dalam beberapa jam saja rasa yang tidak biasa ini kembali, tanpa  kusadari, aku pun menyukainya

Sebentar mengapa tiba-tiba semua terlihat gelap, pandanganku kabur, kepalaku terasa sakit sekali—–

Brag…

“Bagaimana dok, keadaannya?

“Kalau bergini terus ini akan jadi masalah yang besar—“

Diriku terbangun di sebuah ruangan rumah sakit, kupikir saat itu aku mati, ternyata tidak, sulit dipercaya kedatanganku ke kota ini mendatangkan penyakit yang kukira sudah sembuh sedari 5 tahun lalu, Tumor Otak Stadium 4, mungkin sulit untuk percaya anak berumur 16 tahun terkena penyakit mengerikan ini.

“Tetaplah kuat, Ntoh!!”

Suara seseorang yang memanggil dari balik jendela perawatan, aku tau kau disana tapi rasanya sangat sulit untuk membalas dukungan itu, karena keadaan ini, dan hanya dengan senyum sambil menahan rasa sakit ini saja ku balas dukungan mu, Sutejo. 

“iya, aku akan berjuang lebih keras lagi”

Kucoba jawab dengan suara lemah, tanpa ku sadari airmata mulai menetes

Sebenarnya aku senang, sangat senang, bahkan bisa dibilang ini kesenangan di momen ini lah aku merasa sebagai orang paling Bahagia di dunia karena masih ada orang yang menyayangiku setelah kedua orang tuaku pergi entah kemana. Setelah itu Sutejo pun diperbolehkan menghampiri tempat tidurku oleh dokter, 

Sutejo sudah menungguku, sambil menangis dan memegang selembar kertas yang tidak bisa kubaca dari kejauhan. Dia memelukku dengan erat, airmatanya keluar,membasahi pundak seorang wanita 158 cm. aku sudah tau hal ini akan terjadi suatu saat nanti, Kesedihan akan kepergian diriku

“1 hari tersisa, ini bukan main main, Ntoh, aku ingin mewujudkan kebahagiaanmu, berhenti bersenda gurau, untuk menutupi kesedihanmu.”

Aku tahu menutupi hal ini darinya merupakan hal yang buruk, tapi aku tidak ingin dia bersedih, namun pada akhirnya aku membuatnya bersedih, sungguha aku tidak pandai berbohong 

Sebenarnya ada jalan lain untuk menundanya, yaitu dengan operasi, tapi itu memakan cukup biaya, dan dokter menyarankanku untuk melakukannya malam ini, Sutejo langsung menyetujuinya.

Aku sadar kesempatan hidupku hanya tergantung pada keajaiban, operasi ini sebenarnya sia sia, sebelum, aku dibius, dan mungkin kesempatan sadarku untuk terakhir kalinya, aku menatap jendela luar aku bisa melihat dia disana, 

“Aku mencintaimu.. untuk hari ini, sampai hari terakhirku.. Meski begitu, apakah aku yg mengatakannya di akhir..?”

“Aku hanya berharap kebahagiaanmu di masa depan.”

“Aku harap kita bisa bertemu di reinkarnasi selanjutnya”

“Selamat tinggal…”

Jadinya mati ya gaes ya


Penulis: Kiped

Xdress

Entri Writchal #4
Tema: Oneshot


Aku sedang tertidur lelap di kamar sempit yang aku tinggali seorang diri. Akhirnya, aku dapat menikmati awal dari liburan panjang setelah lama bekerja keras. Kemudian, aku terbangun karena mendengar ketukan dari pintu kama. Ketika membuka pintu, aku disambut oleh sesosok gadis kecil yang membawa boneka di tangan kanannya. Lalu, ia mengucapkan “Halo Kak!” sembari tersenyum.

Namun seketika senyuman itu hilang dari wajahnya. Senyum tersebut berubah menjadi raut wajah bingung. Dia memeluk bonekanya dengan erat menutupi mulutnya. Kemudian kata-kata itu keluar dari mulutnya.

“Loh, Kakak… siapa?”

Tidak pernah terbayang bahwa suatu hari aku akan merasa lega ketika adik perempuanku tidak mengenaliku.

“Eeeeeh… aku adalah teman kakakmu.” Kuucapkan dengan suara feminin.

Aku berusaha menutupi rasa cemasku sebisa mungkin. Apakah dia akan percaya denganku. Apakah dia akan mencurigaiku.

Ekspresi wajahnya seketika berubah. Senyum kembali menghiasi wajahnya.

“Kau dengar itu, Kani? Kak Raki punya teman yang sangat cantik!” Ucapnya kepada boneka kepiting ditangannya.

Perasaan sedih dan senang datang bersamaan kepadaku saat mendengar kata-kata tersebut. Di satu sisi aku senang karena dia menganggapku cantik, di sisi lain aku sedih karena telah membohonginya.

“Ehehe…” tawaku kecil.

Kemudian pertanyaan lain keluar dari mulutnya.

“Perkenalkan, aku Riho. Nama kakak siapa?”

“Eeeeh… panggil saja aku Rika. Kakakmu sedang pergi ke luar kota dan akan kembali besok. Sebelum dia pergi, dia memintaku untuk menjaga tanaman-tanamannya. Oleh karena itu aku ada disini sekarang.”

Kemudian dari kejauhan tampak seorang perempuan yang berjalan kesini. Benar saja, aku lupa bahwa hari ini ibu datang berkunjung.

“Riho, jangan jalan sendiri- Eh…” Ucap ibu.

Aku pun memberikan penjelasan yang sama kepada ibu seperti yang kujelaskan pada Riho. Kemudian ibu mengajak Riho pergi dan bilang akan berkunjung lagi besok saat “aku” kembali.

Aku menutup pintu kamarku dan berbaring di kasur. Memikirkan apa yang harus kulakukan besok.

Seharusnya aku tidak crossdress saat keluargaku berkunjung.

[Esok harinya]

Ibu datang kembali bersama Riho. Aku pun menjelaskan kepada mereka bahwa Rika adalah temanku dan aku memintanya untuk menjaga tanaman-tanamanku selagi aku pergi. Rika sudah pergi karena ada urusan mendadak. Untungnya mereka memercayai penjelasanku. Kemudian ibu mengajakku pulang ke rumah secara tiba-tiba. Aku meminta waktu kepada ibu untuk menyiapkan barang-barangku sebelum pulang.

“Ibu akan membantumu menyiapkan barang-barangmu.”

“Tidak perlu, bu.”

Wajah ibu terlihat bingung.

“Aku bisa menyiapkannya sendiri, sebaiknya ibu mengajak Riho berkeliling tempat ini saja, Riho kan jarang datang kesini.”

Ibu pun mengiyakan kata-kataku dan mengajak Riho berkeliling. 

Aku masih selamat, meskipun aku sudah menyembunyikan pakaian, make up, dan wig yang kupakai kemarin, ibu bisa saja melihatnya jika membantu menyiapkan barang-barangku. Aku akan memikirkan cara menyimpannya nanti saat aku kembali kesini. Lagi pula, ibu bisa saja memaksa masuk kesini jika aku terlalu lama menyiapkan barang.

Aku pun pulang bersama ibu dan Riho.

“Raki, teman perempuanmu itu sangat cantik ya. Bahkan lebih cantik dari pacarmu. Dan sepertinya kau juga cukup dekat dengannya. Bahkan sampai membiarkan dia menginap di tempatmu.”

Aku terpaku sejenak sambil mencoba untuk mencerna kata-kata ibu. Aku tidak menyangka crossdress ku sebaik itu. Aku pun hanya tertawa kecil dan berharap percakapan ini tidak berlanjut. Namun tiba-tiba Riho pun ikut mengiyakan perkataan ibu.

“Benar, kak Rika sangat cantik. Lebih cantik dari pacar kakak. Riho juga suka dengan suaranya, mirip dengan suara kakak!”

Aku pun hanya tertawa kecil dan langsung pergi ke kamarku agar percakapan ini tidak berlanjut lagi.

Esok harinya, ibu pergi bekerja dan di rumah hanya ada aku dan Riho. Tiba-tiba ada suara ketukan dari pintu. Aku pun menjawab ketukan itu dan membuka pintu.

Pacarku berdiri di depan pintu dan langsung memelukku.

“HAAALOOOOOOO! AKU MERINDUKANMU! Aku sengaja datang tiba-tiba karena ingin memberimu kejutan!”

Dia pun mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah coklat dalam wadah yang berbentuk hati. Dan di saat yang berbahagia ini, Riho tiba-tiba datang berlarian ke arah kami.

“Kak, kak… saat aku dan ibu menjemput kak Raki, ada perempuan cantik yang tinggal di kamarnya. Namanya Rika, dan dia sangat cantik. Bahkan ibu bilang kalau Rika lebih cantik dari kakak loh!”

Dan begitu saja, aku kehilangan pacarku…


Penulis: Compass

Somnolence

Entry for Writchal #4
Theme:
 wc4


Somnolence

I woke up to a vacant space. 

After labouring with the fray. 

Quiet is this place. 

Unlike the battlefield where I was supposed to stay. 

Then I realise. 

I have gone back in time many paces.

I noticed a door in the corner. 

On the left side of the room. 

A dark room. 

My world of worlds. 

I was here. 

I am not here. 

But I was. 

I am still me. 

I am me here.

The world outside is completely dark. 

But I feel more afraid here than in the unlit room. 

Why is there no light? 

The world outside is completely dark. 

A wall has appeared. 

The wall is blocking the door. 

A great effort. 

I strain again and again.

A knock on the door. 

light and delicate. 

The door swings open and I am pushed into a shadowed room 

A familiar figure stood thereof. 

Pristine white. 

Inlay. 

Blue trim. 

Slender and straight. 

Vibrant colours. 

Small flowers. 

Don’t remember flowers. 

Don’t remember the flowers.

Hello, big sister. the figure exclaims. 

A pleasant sight. 

I look at her and see the most beautiful girl. 

A girl with the most beautiful personality. 

A girl with the most beautiful face. 

Lovely smile. 

How I missed your face. 

Saying good bye. 

The white streak, the blue trim, the vivid colours. 

I am left with you. 

Nothing else.

But I have not seen her in years. 

Fumbling in my hands, I gave the most charming smile I could. 

Everything I had. 

The words escaped my mouth and tears dissolves in my eyes. 

I was on my way out of the woods.

Is this a mirage? 

Is this how it used to be? 

Could I go home again? 

Could I still live my life?

The figure grabbed my hand. 

soft, and tender. 

The indescribable feeling overcame my senses. 

Two flowers bloomed in my mind. 

A door in the distance was lit up. 

Familiar flowers. 

Familiar voices 

A young face I used to love. 

A girl. 

A beautiful young girl. 

A girl. 

The door opened, and I was back in time.

Memories took me away, disconcerting me. 

A bell rang. 

Darkness. 

All around me was darkness. 

Immense darkness. 

My face aching, my hand aching. 

Sleeping. 

Sleeping. 

I realized I was, and I was freezing cold. 

A thousand footsteps thundered, and I was cowering in the corner. 

Thud. 

Footsteps. 

Running.

Thundering.

A voice called out to me. 

A soft, tender voice. 

Then there I was. 

Back in the room. 

Familiar faces around me. 

Familiar faces. 

Warm faces. 

But I could not tell who they were. 

Not in that world. 

My world. 

It can’t be. 

“Big sister!” the figure exclaimed to me, yet again.

The figure sat next to me. 

It’s so warm here. 

It’s so peaceful here. 

I am finally home.

I sighed.

I’m finally home.

“Big sister, do you remember how we used to play those games in our summers?”

The figure teased me.

“Do you remember how we used to build sand castles in the sea?”

I could not respond.

Could not speak.

Could not do anything.

I was gone.

This is not the world I left when I died.

Those wonderful times.

Another lifetime.

Another world.

Something within me twisted.

“Big sister, I want to do it again!”

My sister pleaded with me.

“Big sister, I want to play”

She put her hand on my shoulder.

Her hand was so warm.

Her touch was so comforting.

“You are cold.” 

She said.

I was crying.

The sound of the rain, the wind, and the voices around me were muffled.

Why could I hear her?

Why was she comforting me?

Why did she come back?

“The winter is not nice, Big Sis.”

She whispered to me.

“I miss you.”

I said. 

I was happy.

Content.

I couldn’t stop the tears.

I couldn’t stop the tears.

“I miss you, too.”

She said.

The way she was looking at me.

I had forgotten.

“Stay here with me, big sis.” She said.

her voice filled my head.

She said, “Don’t go, please don’t leave me, Big Sis”

The figure placed a tender hand on my shoulder.

I am always here.

Don’t leave.

Stay here, I will be here for you.

I promise, big sis.

I will be here for you.”

I closed my eyes.

As I was struck with sorrow.

The moment came when we parted. 

She disappeared. 

I wanted to go back to her. 

Don’t leave me alone. 

I’ll get old. 

I’ll die. 

I’ll be alone. 

I will have nobody. 

I wailed in tears. 

I wanted to touch her. 

I Couldn’t. 

And then I woke up.

Familiar sight of hospital tent.

Familiar smell.

Familiar beds.

I wanted to leave.

I wanted to leave.

The rain was pouring down heavily.

I wanted to go home.

But I couldn’t go home. I no longer have one.

She’s always here.

A dream.

She’ll be here for me.

A lie.

A murderer I have become.

A mass murderer.

I can no longer stay with her. 

I will never see her face again. 

her tender voice. 

her gentle touch. 

I will never hear her say my name.

Because I can no longer go to where she resides now.

Because…


Writer: Von Grenadus

Writchal #4 – Unexpected Rendezvous

Mengikuti tren sebelumnya, Writchal #4 dijalankan selama 6 minggu dari 15 Mei hingga 26 Juni 2022. Challenge kali ini diusungkan dari ide impulsif sekumpulan orang yang kebetulan sedang berdiskusi di VC sekre belakang Discord Genshiken. Setelah menerima beberapa masukan dan introspeksi Writchal sebelumnya, sampailah kita pada penggunaan writing prompt untuk Writchal kali ini.

“Anda sedang tertidur lelap di kamar sempit yang Anda tinggali seorang diri. Akhirnya, Anda dapat menikmati awal dari liburan panjang setelah lama bekerja keras. Tiba-tiba, Anda terbangun karena mendengar ketukan dari pintu kamar Anda. Ketika membuka pintu, Anda disambut oleh sesosok gadis kecil yang membawa boneka di tangan kanannya. Lalu, ia mengucapkan “Halo Kak!” sembari tersenyum.”

=====

Sampai halaman ini ditik, terdapat 7 submisi dari massa Genshiken. Namun, hanya 6 yang akan ditampilkan karena 1 penulis meminta agar karyanya tidak di-publish. Di sisi lain ada 2 penulis yang mengaku akan terlambat dalam mengumpulkan entri Writchal #4 dan sudah mengabari Divisi Story Genshiken sebelumnya, sehingga submisinya akan diterima. Dengan berakhirnya Writchal #4 ini, tercetak sejarah Writchal pertama pada tahun kepengurusan 2021-2022 yang tidak menggunakan tema, melainkan menggunakan writing prompt. Akhir kata, semoga karya-karya ini dapat memberikan pengalaman yang positif bagi pembaca.

=====

Submisi Writchal #4 meliputi:

Thus it might just be the end of me, fellow mortals. May your journey forth be as sinless as your honesty.

See you, if chance permits.

What Awaits upon the End of a Journey?

Entry Writchal #3
Tema: Coming of Age, Fantasy, Psychological, Drama, Romance, Philosophical


“Woah, keren!” 

“Ceritakan lagi, ceritaaa!!” 

“Jadi, bagaimana akhirnya?” 

Sekelompok anak kecil sedang berkumpul di suatu ruangan, mendengarkan dongeng dari seorang  kakek tua. Mereka semua saling menggigiti ibu jari mereka masing-masing, banyak yang mengeluh karena sang  kakek yang sengaja melambatkan temponya bercerita. 

“Ah, sebentar. Aku lupa.” Kakek itu tertawa lebar dan sedikit terbatuk-batuk. 

Setelahnya, seisi ruangan semakin menjadi. Semuanya saling berteriak dan mengeluh tak terkendali.  Anak kecil yang duduk berdekatan sang kakek mulai menarik-narik jubah tua miliknya. Sang Kakek hanya  terkekeh kecil dalam keributan ini. 

“Jadi, selanjutnya… Si Pahlawan akan—“ 

Hanya dengan satu kalimat yang keluar dari bibir keriputnya langsung membuat seisi ruangan sunyi  dalam sekejap. Semuanya langsung kembali duduk manis di tempatnya masing-masing. Ia menghela napas  sejenak. 

Sang Kakek terus melanjutkan ceritanya, sekarang sudah memasuki klimaks. Mungkin tak ada yang  menyadari, tak satupun dari anak-anak kecil yang sedang berada di dalam ruangan mengedipkan matanya  sekarang. Seolah perkataan kakek itu memiliki semacam sihir, memikat semua pendengarnya.  

Ah, bukan seperti itu. Aku tidak punya sihir apapun. Aku juga tidak berpikir penyampaian ceritaku  sebagus itu.  

Tapi, aku tahu seseorang. Dia bisa memakai sihir, dan semua hal luar biasa lainnya. Dia benar-benar  orang yang penuh keajaiban. 

“Lalu ziiing! Si monster lumut berhasil dikalahkannya setelah perlawanan yang panjang. Semuanya  tersenyum dengan luka dan keringat kebanggaan dari wajah mereka.” 

Sang kakek menutup buku cerita miliknya. “Selesai.” 

Prok. Prok. Prok prok. Prok prok prok prok. 

Ruangan langsung dipenuhi oleh riuh rendah tepuk tangan dan sorakan. Bisa dilihat wajah-wajah  senang dan penuh semangat dari para bocah laki-laki, juga ada beberapa yang meneteskan air mata dari  beberapa bocah perempuan. Sang kakek menghela napas, ia merasa lega. Jarum jam sudah menunjukkan pukul  delapan malam. Anak-anak pun berdiri serentak, mengucapkan terima kasih dengan kompak. Satu per satu  mulai membentuk antrean untuk meninggalkan ruangan untuk pulang ke rumah masing-masing. 

Sampai sekarang, mungkin aku masih merasa sedikit kesepian tanpamu, tapi aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Kek? 

“Apa yang menunggu di akhir sebuah perjalanan panjang?” 

Itulah pertanyaan yang sering kali mengganggu pikiranku. Aku hanya memandangi kota dari kejauhan dari atas bukit sambil menggigit malas buah apel yang sedang kupegang.  

Namaku Lacke. Hanyalah seorang pemuda biasa yang membosankan. Aku tinggal di sebuah gubuk  kecil di atas bukit. Sejak kecil aku selalu hidup sendiri, tak memiliki satu pun kerabat. Aku sudah tinggal di  gubuk kecil ini sejak aku masih berusia lima tahun, sejak seorang pak tua membolehkanku untuk tinggal secara  cuma-cuma. Oh iya, apabila kalian penasaran—dia meninggal sebulan setelah itu. Kuburannya ada di lereng  bukit sekarang. 

Setiap hari, aku hanya menjalani hidupku di bukit ini. Tak ada yang spesial. Paling tidak, aku cukup  ahli dalam menangkap kelinci liar dan memanjat pohon untuk mengambil buah-buahan. Namun, hanya  sebatas itu saja. Aku hanya menjalani kehidupan sehari-hariku di bukit ini—tak kurang, tak lebih. Begitulah,  dan lama-kelamaan aku mulai memikirkan pertanyaan seperti itu. 

Mati? Tentu saja aku pernah memikirkan itu. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana rasanya mati. Tak  ada yang bisa bercerita soal itu. Benar, mati hanya sekali dan kau tak bisa kembali lagi. Oleh karena itu, aku  hanya penasaran soal apa saja yang bisa kulakukan sebelum aku mati. Tapi, aku masih tak punya ide sama sekali  soal itu sampai sekarang.  

Mungkin, mati sekarang bukanlah ide yang buruk. 

Apa yang bisa kulakukan sekarang? Keseharianku hanya berisi kekosongan seperti ini.  

Perlahan kesadaranku mulai menipis, mataku mulai menutup. Namun, beberapa detik kemudian, aku  merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Aku seketika membuka mataku lebar-lebar, dan pandanganku  berputar-putar. Aku sedang menggelinding menuruni lereng bukit. Aku sudah hidup di bukit ini bertahun tahun, dan aku tahu kecuraman lereng bukit ini. Aku takkan bisa selamat setelah sampai di dasar nanti. Entah  apa yang aku pikirkan untuk duduk di atas sana saat aku mengantuk. Aku menutup mataku rapat-rapat. 

Sekujur tubuhku rasanya sakit semua. Aku tidak suka ini. Ini rasanya menyakitkan. 

Apakah mati itu rasanya seperti ini? 

Wooosh! Srak! 

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku berhenti menggelinding, rasanya aku dihentikan oleh sesuatu secara  lembut. Aku membuka mataku. 

“Whoa, whoa. Apa yang terjadi di sini, anak muda?” 

Seorang kakek tua berjubah hitam sedang menggendongku sekarang. Aku hanya bisa merasa  kebingungan.  

“Aduh, ah…” Rasa sakit langsung menyergapku. Aku baru menyadari bahwa sekujur tubuhku  sekarang penuh luka dan bersimbah darah. Kakek tua itu buru-buru menurunkanku.  

“Tunggu sebentar…”

Aku hanya bisa meringis kesakitan. Pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan rasa sakit yang  seperti ini. Rasanya perih sekali. Namun, aku tiba-tiba melihat sesuatu yang sama sekali tidak bisa kupercaya  dengan mata kepalaku sendiri. Seketika aku langsung melupakan seluruh rasa sakit yang sedang kurasakan. 

Kakek tua itu tiba-tiba menggumamkan sesuatu, lalu cahaya berwarna-warni mulai keluar dari kedua  tangannya. Ia mendekatkan tangannya kepada luka-lukaku. Seketika, lukaku langsung menutup dan tubuhku  terasa hangat.  

“Hm? Kau tak tampak begitu terkejut, ya.” 

“Eh—ah—” Aku menjadi sedikit tergagap, bingung hendak berkata apa.  

Kakek tua itu tertawa kecil. “Ya ampun. Memangnya kau tak pernah mendengar dongeng?” “Ngg… tak pernah…” 

“Kau serius?” 

“I-itu benar…” 

Kakek tua itu tersenyum. Cahaya di tangannya meredup. Luka di sekujur tubuhku sudah pulih  sepenuhnya, justru sekarang badanku merasa segar. Darah dan kotoran pada pakaianku juga sudah bersih. Aku  kehabisan kata-kata.  

“Di mana orang tuamu?”  

Aku hanya menggeleng pelan. 

Kakek tua itu mengamatiku secara perlahan. “Apakah kau tinggal sendirian?” 

“… Begitulah.” 

Kakek tua itu tersenyum takzim. “Ah, benar. Yang sepertimu memang ada, ya. Maafkan aku.” 

“… Hm.” Aku masih tak bisa berkata apapun. Aku yang selama ini sendirian menyulitkanku untuk  mengikuti percakapan dan rangkaian kejadian ini.  

“Kuberitahu saja.” Kakek itu kembali mengangkat kedua tangannya, dan cahaya berwarna-warni  seperti yang tadi keluar dari tangannya. “Ini namanya sihir. Ini sangat hebat, lho. Kau bisa melakukan berbagai  hal luar biasa dengan ini. Seperti menyembuhkan lukamu yang tadi, itu tak ada apa-apanya.” 

Meskipun tak menunjukkannya, sebenarnya aku cukup terkejut sekarang. Sihir. Aku pernah  mendengarnya dari percakapan orang-orang di kota dulu, namun tak pernah tahu apa itu. Melihatnya secara  langsung di depan mata kepalaku seperti ini, entah mengapa… rasanya hebat. 

“Sihir? Tapi bukankah itu sudah lama sekali hilang…” Paling tidak, itulah yang dulunya sering  kudengar dari orang-orang. 

“Oh? Jadi kau tahu tentang sihir.” 

“A-aku hanya pernah beberapa kali mendengarnya dulu…” 

“Begitu, ya.”

Hening sejenak. Situasi menjadi canggung untuk beberapa detik.  

“Dari yang kau dengar, sudah berapa lama sihir hilang dari dunia ini?” 

“Eng—aku tak terlalu ingat… Tapi sepertinya sudah lama sekali… kurasa sudah tak ada yang  memakainya sekarang.” 

Kakek tua itu mendekat kepadaku, menatap wajahku dari dekat. Ia nyengir lebar. “Kalau begitu,  menurutmu kenapa aku bisa memakainya sekarang?” 

Aku beringsut mundur untuk menjaga jarak. “A-aku tidak tahu…” 

“Ayolah, tebak saja. Memangnya wajah ini tidak memberimu ide sama sekali?” 

Aku berpikir sejenak. Yah, memang dia sudah kakek-kakek, sih… memang mungkin saja dia sudah  hidup sangat lama sejak zaman sihir. 

“Berarti… Kakek sudah hidup sejak zaman sihir masih ada di dunia ini?” 

Dalam sekejap, senyum di wajah kakek tua itu langsung berubah terkejut. “Tunggu dulu. Apa yang  kau bilang tadi?” 

“E-eh? Anu… apakah kakek sudah—” 

“Kau bilang kakek?” 

“I-iya…” jawabku dengan kebingungan. Memangnya ada apa? 

Kakek itu memegangi wajahnya sendiri, merapalkan sesuatu. Untuk beberapa detik, cahaya sempat  keluar dari kedua tangannya. Sekarang ia menatapku tajam. “Bagaimana dengan sekarang?” 

Aku semakin kebingungan. “A-ada apa?” 

“Kau… sungguh tak melihatnya?” 

“Melihat apa?” 

“Eng… sudahlah, lupakan saja.” Kakek itu mengusap wajahnya, lantas kembali tersenyum. “Maaf, tapi  kau harus melupakan semua yang terjadi di sini. Yah, paling tidak aku bersyukur bisa menyelamatkanmu tadi.” 

Setelah itu, Kakek tua itu memegang dahiku dengan tangannya yang kembali memancarkan cahaya.  Ia menggumamkan sesuatu, sama seperti saat tadi ia menyembuhkan lukaku dengan cahaya aneh ini. Apakah  masih ada luka di dahiku? 

Cahayanya meredup, kakek tua itu menurunkan tangannya. Wajahnya tampak terkejut. 

Kakek itu segera memegang dahiku kembali, kini cengkeramannya lebih kuat. Cahaya kembali  memancar dan kakek tua itu kembali bergumam, kini lebih cepat. Setelah ia selesai, tak ada apapun yang terjadi.  Ekspresi terkejut di wajah kakek itu sekarang berubah menjadi panik.  

“… Kek?” 

“K-kau tidak tertidur? Kau tidak merasa mengantuk?”

Aku memegangi dahiku. “Apakah masih ada luka di dahiku?” 

“Tidak, bukan begitu.” Kakek tua itu mengusap wajahnya, menundukkan kepalanya. “Itu barusan  adalah sihir untuk manipulasi ingatan. Seharusnya itu mempan terhadap semua makhluk hidup yang  kutemui…” 

Aku mengusap-usap dahiku. Sudah sejauh ini, dan aku masih kebingungan soal semua yang terjadi di  sini sekarang. “Hm…” 

“Hei, Nak. Kau… masih mengingat semuanya? Soal pembicaraan kita barusan?” 

Aku hanya mengangguk pelan.  

“Saat aku menyembuhkan lukamu juga?” 

Aku kembali mengangguk pelan, sementara kakek tua di hadapanku ini semakin kelabakan. “Anu… apakah kau benar-benar tak bisa melupakannya?” 

“Aku… tidak tahu.” 

Kakek tua itu menghela napas panjang. “Apakah kau akan memberitahu orang lain soal semua yang  terjadi hari ini?” 

“… Aku juga tidak tahu.” 

“Begini, tolong, tolong! Jangan beritahukan soal hari ini kepada siapapun! Kumohon!” Kakek tua itu terdengar sangat gelisah, ia tiba-tiba bersujud di hadapanku. Kini aku benar-benar tak tahu harus apa. 

“A-anu…” 

“Tolong! Aku mohon kepadamu! Aku rela melakukan apapun!” 

“Y-yah, maksudku, aku juga jarang mengobrol dengan orang lain juga… aku menghabiskan  keseharianku di bukit ini.” 

“Benarkah?!” Kakek itu mengangkat wajahnya, ia tampak putus asa.  

“I-iya…” 

“Terima kasih! Terima kasih!” Aku langsung dipeluk erat olehnya. Jujur saja, aku sebenarnya tak  merasa begitu nyaman dipeluk erat oleh seorang kakek-kakek seperti ini.  

“… Kau tidak berbohong, kan? Kau berjanji kepadaku?” 

“Ah… Baiklah. Aku mengerti.” 

Kakek tua itu menghela napas panjang. Ia langsung mengempaskan punggungnya di atas rumput. “Aku sungguh berterima kasih, anak muda. Aku sungguh berterima kasih.” 

Aku tak menjawab. Embusan angin bertiup menyela pohon-pohon dan rerumputan, menerbangkan  anak rambutku dan jubah kakek tua itu.

“Anu… kakek. Apakah aku boleh bertanya sesuatu?” 

“Ah, silakan. Tanyakan apa saja yang kau mau.” Kakek tua itu tersenyum lebar. “Ah, tapi kalau kau  ingin bertanya soal sihir atau yang lainnya, tolong jangan bercerita kepada siapapun, oke?” 

Aku mengangguk lemas.  

“Kakek… bagaimana kalau aku mati sekarang?” 

Senyum di wajah kakek tua itu langsung menghilang, digantikan oleh wajah keheranan. “Maaf?” … 

“Jadi, begini…” 

“Hei—hei! Jangan bercanda hal seperti itu, Nak! Itu tidak baik!” Kakek tua itu segera mengguncang  pundakku.  

“Tapi… aku serius. Aku tidak sedang bercanda.” 

Kakek itu terkesiap seketika. “Nak! Apa yang kau katakan?!” 

“S-sudah kubilang, aku tidak bercanda…” 

Akan tetapi, kakek itu sepertinya tetap salah paham dengan perkataanku dan terus mengoceh  setelahnya. Aku tidak tahu bagaimana cara menghentikan racauannya.Aku hanya bisa menghela napas panjang. 

“Jadi, Kakek tidak mau menjawabnya, ya…” 

Mendadak, ocehan kakek itu berhenti. “E-eh, tidak! Bukan begitu juga… anu…” 

Kakek itu pun menenangkan dirinya dan mengambil napas panjang. Ia memperbaiki posisi duduknya. 

“Maaf. Padahal aku sudah berjanji sebelumnya. Baiklah, aku akan mencoba untuk menjawabnya  sebisaku terlebih dahulu.” 

Kakek itu menangkupkan kedua tangannya. “Jadi, kau bertanya, bagaimana kalau kau mati sekarang,  begitu?” 

“Iya.”  

“Apakah kau ingin mati sekarang?” 

“Entahlah… mungkin… iya.” Aku menjawabnya dengan penuh keraguan. 

“Hmm.” Kakek tua itu menundukkan kepalanya. “Kau punya suatu alasan untuk itu?” 

“Aku… juga tidak terlalu tahu. Selama ini, aku merasa kosong. Aku terus hidup, tapi tak pernah  melakukan apapun. Makanya, aku mulai bertanya-tanya apakah aku masih perlu melanjutkan semua ini atau  tidak…”

“Jadi, berarti aku yang menyelamatkanmu tadi hanyalah menghalangi keinginanmu untuk mengakhiri  hidupmu?” 

“Tidak… yang barusan itu kecelakaan. Aku tidak sengaja tertidur di puncak bukit dan terjatuh…” “Jadi yang barusan itu bukan karena kehendakmu?” 

“… Bukan.” 

“Apakah setelah ini kau akan mencoba lagi? Bunuh diri?” 

“Soal itu… aku juga tidak tahu.” 

Mata kami berdua bertatapan sejenak, namun aku langsung memalingkan wajahku. Kakek tua itu  menyeringai tipis. “Kau ini memang penuh kebimbangan, ya, Nak.” 

“Memangnya kenapa? Kalau kau merasa memang ingin mengakhirinya, kenapa tak kau lakukan?” Aku tidak menjawab. Justru itulah yang aku bingungkan sekarang.  

“Aku bisa tahu setelah melihatmu sekarang. Kau kesepian, bukan? Kalaupun kau mati, takkan ada  yang tahu ataupun menangisimu. Apakah aku salah?” 

Aku menggeleng. “Sepertinya… memang begitu adanya.” 

“Kalau begitu, apa yang menghalangimu dari itu? Kalau kau mau, kau bisa melakukannya kapan saja.” Aku mengepalkan kedua tanganku, sekujur badanku mulai gemetaran. “Sebenarnya… aku takut.” “Hm? Takut?” 

“Aku memang merasa kosong untuk terus hidup di sini, tapi aku juga tak tahu apa yang akan terjadi  setelah aku mati nanti. Tak ada seorangpun yang pernah bercerita soal apa yang terjadi setelah seseorang mati.  Setiap orang hanya bisa mati sekali, dan itu memang wajar. Aku juga tak terkecuali.  

“Di saat yang sama, aku terus-menerus bertanya kepada diriku sendiri. Apakah ada hal yang bisa  kulakukan di dunia ini sebelum aku mati? Karena mati hanya sekali, dan aku takkan bisa kembali lagi ke dunia  ini. Kalau saja hal seperti itu memang ada, aku ingin melakukannya. Tapi, sampai sekarang, aku tak pernah  menemukannya. Oleh karena itu, aku mulai berpikir… bahwa apakah sekarang adalah saat yang tepat untuk  mengakhiri semuanya…” 

Kakek tua di hadapanku sekarang menggumam panjang sambil mengelus-elus janggutnya. “Ya ampun.  Kau ini benar-benar cocok dengan ‘hidup segan, mati tak mau’. Heheh,” Kakek itu tertawa kecil. Aku juga  setuju, aku tak bisa membalas perkataannya. 

“Jadi, pada intinya, kau ingin melakukan sesuatu yang berguna sebelum kau mati, bukan? Hanya  sesederhana itu.” 

Aku mengangguk lemah. 

“Eng… begini. Kau ingin menemukan sesuatu yang ingin kau lakukan sebelum kau mati?” Aku kembali mengangguk lemah. “Ya, kurang lebih begitu.”

“Hm, baiklah. Satu tahun. Untuk satu tahun dari sekarang, apakah kau mau ikut denganku?” “Hm?” 

“Seperti yang kau lihat, aku ini seorang penyihir, namun aku juga seorang pengembara. Aku  menjelajahi banyak tempat di dunia ini. Bila kau ingin mencari sesuatu yang ingin kau lakukan, kau bisa  mencarinya bersamaku. Bagaimana?” 

Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna perkataan kakek barusan. “Anu…” 

“Aku tahu ini keputusan yang besar, tapi kupikir pemuda kesepian sepertimu tak butuh waktu yang  lama untuk memutuskan. Kau tak punya banyak hal yang perlu dipertimbangkan juga, kan?” 

Kakek itu benar. Aku hanyalah seseorang yang kesepian, kosong, dan tanpa tujuan yang tinggal  menunggu kematian. Namun, hanya saja… 

“… Ke mana saja kakek akan berkelana?” 

Kakek tua itu langsung tersenyum lebar. Wajahnya langsung kembali bersemangat dalam seketika.  “Haha! Tentu saja, seluruh dunia!” 

Aku kembali lagi terdiam, tak bisa langsung memahami perkataan kakek ini secara langsung. “Oi, apa yang kau bengongkan. Jadi, apa jawabanmu?” 

“Eng… Anu…” 

“Aku ini penyihir yang hebat. Banyak sekali hal tak mungkin yang bisa menjadi mungkin dengan sihirku. Kau tak percaya denganku?”  

“T-tentu saja aku percaya hal itu. Hanya saja…” 

Kakek itu menaikkan sebelah alisnya. “Hanya saja?” 

“Aku sama sekali tidak tahu dunia luar akan menjadi seperti apa. Aku saja jarang meninggalkan bukit  ini…” 

“Heh. Itu sudah jelas. Oleh karena itu, kau akan ikut denganku, bukan begitu?” 

Aku memainkan jemariku perlahan. Menundukkan wajahku. Aku masih merasa gelisah. 

“Tenang saja, Nak. Yah… aku memang tidak bisa menjaminmu dunia luar itu seperti apa. Tapi, satu  hal yang bisa kujamin, dunia luar itu sangat luas dan penuh hal baru yang bahkan tak pernah kau bayangkan  sebelumnya.” 

“Apakah dunia luar… menyenangkan? Atau…” 

“Hei, barusan kukatakan, bukan? Aku tak bisa menjamin apapun. Semua hal bisa terjadi di luar sana.  Menyenangkan, ataupun tidak. Aku hanya tak ingin mengecewakanmu.” 

Aku merapatkan gigiku. Mengapa aku begitu gelisah? Aku tak punya apapun yang menghalangiku  untuk menerima tawarannya. Ini mungkin adalah tawaran sekali seumur hidup yang mungkin takkan pernah  kudapatkan lagi kelak. Aku harus melakukannya.

Aku mengangkat wajahku, menatap kakek itu dengan penuh keyakinan. “Aku akan ikut denganmu,  Kek.” 

Kakek itu langsung tersenyum lebar. Ia berdiri sambil memegangi tanganku, memaksaku juga ikut  berdiri. “Itulah jawaban yang kutunggu. Baiklah, kita berangkat sekarang!” 

“E—eh?!” Aku mengeluh pendek. “S-sekarang?” 

“Tentu saja! Menurutmu kapan lagi?” 

Aku sebenarnya hendak mengeluh soal ini, namun kuurungkan. Aku hanya punya waktu satu tahun  dengan kakek ini untuk menemukan hal yang ingin kulakukan di dunia ini dengan berkeliling dunia. Aku  berjanji dengan diriku sendiri, aku takkan melewatkan satu hari pun dengan percuma.  

“Namaku Eon. Kau?” Kakek itu mengulurkan tangannya.  

Aku menjabat tangannya dengan yakin. “Lacke, Kek.” 

… 

“Bagaimana hari ini, Kek?” Seorang penjaga panti bertanya sambil mengelap beberapa perabotan di  ruangan tengah. 

Kakek itu meluruskan janggut panjangnya. “Hmm… Menyenangkan, seperti biasa.” “Sejak kau datang ke sini, kau selalu melakukan ini. Apa kau tidak bosan?” 

Kakek itu tertawa renyah. “Hah? Bosan? Kau pasti bercanda.” 

“Yah… tapi…” 

“Tak mengapa. Memang inilah yang kuinginkan.” 

Penjaga itu menyeduh secangkir teh, menyajikannya di meja kecil di dekat sang Kakek. “Tapi… kau  dulunya adalah pengembara, bukan? Pengembara yang sangat terkenal. Kau berkeliling dunia, melanglang  buana ke semua macam tempat. Menulis cerita tentang semua tempat yang kau datangi. Tak ada yang pernah  mengira bahwa kau akan ‘pensiun’ dari kehidupanmu sebagai pengembara dan akhirnya menetap di tempat  seperti ini.” 

“… Dan kau penasaran?” Kakek itu menyeruput teh hangat miliknya. 

“Yah… tentu saja. Selama ini tak pernah ada yang menanyakanmu karena kau selalu saja menghindari  pertanyaan itu.” 

“… Oh, sampai di mana kita tadi? Uh…”  

Si penjaga panti menghela napas. “Mulai lagi. Berpura-pura pikun. Hentikan itu, semuanya juga sudah  bosan dengan itu.” Ia mengambil teh milik sang kakek, pergi meninggalkan sang kakek sendirian di dalam  ruangan.

“Ah, sepertinya aku membuatnya marah…” 

Sang kakek terdiam, menatap takzim ke arah jendela sambil menerawang jauh. Ia menyeringai halus. 

Tentu saja aku tidak pikun. Malahan, aku masih ingat semuanya sampai detik ini. Semuanya, sampai  mustahil bagiku untuk melakukannya. Ya ampun. 

Hanya saja, aku takkan pernah membeberkannya. Apapun yang terjadi. 

Itulah yang sudah kuputuskan pada hari itu. Dan aku takkan pernah mengingkarinya. … 

Semuanya benar-benar di luar perkiraan akal sehatku. 

Di saat Kakek Eon mengajakku untuk pergi berkeliling dunia dalam setahun, aku masih penasaran  bagaimana itu bisa mungkin. Aku tahu aku tak pernah pergi kemanapun, tapi dunia itu luas, bukan? Sangatlah luas. Bagaimana seseorang akan mengelilinginya hanya dalam setahun? Aku tak pernah terpikir bagaimana cara untuk melakukan hal seperti itu. 

Namun, Kakek Eon tak berbohong soal dirinya. Ia benar-benar seorang penyihir hebat. Dia bisa  melakukan apapun. Ia bisa melakukan sihir teleportasi untuk berpindah tempat ke mana pun di bumi ini dalam  sekejap, yang membuat berkeliling dunia dengan cepat tak mustahil. Membuat sesuatu tak terlihat,  menghasilkan barang dari tangannya, menggunakan sihir elemen, dan banyak lagi. Benar-benar serbaguna. 

Hampir tak ada hal yang tidak bisa dilakukannya.  

Yang aku masih belum mengerti, kenapa Kakek Eon masih bersikeras untuk menutupi ini semua dari  orang-orang. Ia adalah seseorang yang sangat cocok untuk menjadi pahlawan. Kakek Eon juga banyak  membantu orang lain dalam perjalanan. Setelah menggunakan sihirnya di depan orang lain, ia langsung  memanipulasi ingatan semua orang yang sedang menyaksikannya—dan setelah itu, takkan ada yang mengingat  apa yang barusan terjadi. Terus terang, ini membuatku sedikit bingung.  

Saat daerah sekitar sepi, aku sering kali mencoba untuk bertanya. “Kek, kenapa kau selalu  menyembunyikan kekuatanmu dari semua orang?” 

“Oh?” Kakek Eon menoleh kearahku, menyeringai tipis. “Kau ingin tahu soal itu?” “Kau bisa melakukan apa saja, kan? Sihir Kakek sangat hebat. Kau bisa menjadi pahlawan terkenal.” Kakek Eon tertawa keras. “Kakek sepertiku? Pahlawan? Kau sedang bercanda.” 

“Tapi… aku tidak sedang bercanda…” 

Ini sudah yang kelima kalinya aku menanyakan soal ini kepada Kakek Eon. Aku hanya penasaran,  namun tetap saja. Mungkin saja, dia punya suatu alasan tersendiri dan tidak ingin memberitahuku. Lagipula,  Kakek Eon memang orang misterius yang bisa menggunakan sihir. Pasti ia sudah menyembunyikan banyak hal  yang lainnya selama ini juga. Tapi, yang kuanggap aneh, Kakek Eon sepertinya tidak memakai sihir 

penyamarannya. Semua orang yang berinteraksi dengannya sejauh ini memanggilnya ‘Kek’, seperti seorang  kakek-kakek biasa dipanggil. Namun, aku sebenarnya tidak terlalu mempedulikan hal itu sekarang. 

Tak terasa, sudah hampir satu tahun berlalu. Saat pertama kali mengikuti Kakek Eon, aku mulai  menyadari sesuatu, bahwa dunia luar tidak semengerikan yang aku kira sebelumnya. 

Ya, kami berdua benar-benar sudah mengarungi seluruh dunia. Berbagai macam negara, daerah, cuaca,  orang, suku, semuanya sudah pernah kutemui. Semuanya hal-hal yang baru bagiku dan sangat menyenangkan.  Tidak ada hal-hal tak terduga maupun tidak menyenangkan seperti yang Kakek Eon pernah katakan kepadaku  dulu. Tentu saja ada satu-dua masalah kecil yang muncul di tengah perjalanan, namun Kakek Eon bisa langsung  menyelesaikannya dengan sihirnya. Kakek Eon membantu banyak sekali orang, saling tertawa bersama, lalu  berpisah setelah ingatan mereka dimanipulasi. Tentu saja, tak ada yang mengingat apapun setelah mereka  melihat ataupun bertemu dengan Kakek Eon, kecuali aku. Yah, pokoknya perjalanan secara keseluruhan adalah  pengalaman yang luar biasa dan sungguh menyenangkan bagiku.  

Hanya saja, masih ada satu hal yang masih mengganjalku sampai sekarang. Kakek Eon sudah sebaik  ini untuk memberikan kesempatan denganku untuk ikut dengan perjalanan panjangnya, namun sampai  sekarang aku masih belum memenuhi tujuan utamaku untuk mengikuti perjalanan ini.  

Aku masih belum menemukan sesuatu yang ingin aku lakukan. Dari semua yang sudah kulewati  bersama Kakek Eon, aku masih belum bisa menemukannya. Sekarang, aku merasa bersalah dengan diriku  sendiri. Aku tidak menepati janji yang kubuat kepada diriku sendiri tepat sebelum memulai perjalanan ini.  

Sekarang, apa yang harus kulakukan? 

“Nak.” 

Aku terbuyar dari lamunanku sejenak. Aku melihat Kakek Eon sedang berdiri di ambang pintu kamar  penginapanku. “Iya, Kek?” 

“Maukah kau menemaniku malam ini?” 

“… Menemani? Boleh saja, tapi… ada apa?” Kakek Eon tidak biasanya bertanya seperti ini. Bila ia  ingin aku menemaninya di malam hari, biasanya ia langsung membawaku bahkan sebelum aku mengiyakannya  tanpa perlu repot-repot bertanya. 

“Tak apa, hanya saja…”  

Aku mulai merasa sedikit cemas. Ini pertama kalinya aku melihat Kakek Eon berwajah seperti itu.  Biasanya ia terlihat senang dan bersemangat terutama saat ia menggunakan sihirnya di hadapanku, namun  sekarang ia tampak cukup murung dan lesu. 

“Kek, kau tidak apa-apa…?” 

“Ah, kau tak terlalu untuk memikirkanku. Masih terlalu cepat bagimu seribu tahun untuk  mencemaskanku, tahu.” 

Kakek Eon memasang wajah tersenyum sebelum meninggalkanku di dalam kamar. Aku memang tidak  terlalu berpengalaman soal ini, tapi… hanya saja firasatku mengatakan bahwa pasti terjadi sesuatu dengan  Kakek Eon.

Malam telah tiba. Kami berdua berjalan menyusuri jalanan malam yang ramai. Mulai berjalan menjauh,  memasuki daerah hutan di tepian kota. 

“Anu, Kek… kita akan berjalan ke mana? 

“Diam saja dan ikuti aku.” 

Aku cukup terkejut dengan jawaban dingin itu. Ya, sesuatu pasti sudah terjadi kepada Kakek Eon. 

Kami berdua berjalan melewati sebuah lorong di tengah hutan yang gelap gulita. Tiba-tiba aku merasa  merinding luar biasa. Dari semua tempat di dunia ini yang sudah kudatangi, belum pernah ada yang seperti ini.  Penerangan hanya bersumber dari api kecil yang dihasilkan dari tangan Kakek Eon dengan sihirnya.  

“A-anu… Kek… tempat ini…” 

Kakek Eon tak merespons, hanya terus berjalan menatap ke depan tanpa menoleh sedikitpun. Aku jadi  tambah takut. Aku ingin sekali bertanya tentang tempat ini, namun urung setelah melihat wajah Kakek Eon  yang tampak benar-benar serius. 

“Kita sudah sampai.” 

Di depanku sekarang hanyalah sebuah dataran kosong muram yang tak bisa kulihat ujungnya. Udaranya dipenuhi dengan kabut. Jarak pandangnya sangat terbatas. 

Aku sebenarnya masih ketakutan sekarang, sama sekali tidak tahu-menahu tempat apa ini. Namun,  entah mengapa tubuhku merasa tenang dan rileks. Aku melirik ke arah Kakek Eon di sebelahku. Sepertinya tempat aneh ini bukan dari ulah sihirnya. Lantas, apa yang sedang terjadi di sini? 

“Nak. Selamat datang di Alam Permulaan.” 

Aku melirik ke arah wajah Kakek Eon dengan gemetaran. “… Alam Permulaan?” 

“Kau tahu sosok dengan kedudukan tertinggi di dunia ini, kan?” 

“… Sang Pencipta?” jawabku dengan ragu-ragu. 

“Ya, benar. Sekarang, dia ada di sini.” 

Aku langsung membelalakkan mata. Menelan ludahku dengan kuat-kuat. Bulu roma di sekujur  tubuhku langsung berdiri tajam. 

“D-di sini…? 

“Ya. Aku baru pernah sekali datang ke sini, dan itu sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Saat itu, aku  mendapat semacam petunjuk sebelum datang ke tempat ini. Lalu, beberapa jam yang lalu aku mendapatkan hal  yang sama… dan sepertinya dalam petunjuk itu, aku disuruh untuk mengajakmu juga.” 

“Anu… Kakek tid—” 

Tidak. Jelas saja Kakek Eon sedang tidak bercanda. Dari tadi sejak mengajakku ke tempat ini, ia tak  pernah tersenyum sekalipun. Kakek Eon yang kukenal tak pernah bertingkah sedingin ini.  

“Selamat datang, kalian berdua.”

Aku sedikit terkejut. Aku menoleh cepat ke arah seluruh penjuru mata angin. Suara barusan itu… 

“Ya. Beliaulah Sang Pencipta.” Setelah itu, Kakek Eon langsung duduk bersimpuh dan menundukkan  kepalanya. “Kau, lakukan sepertiku sekarang.” 

“Ya ampun. Kau masih saja kaku seperti biasanya, ya.” 

“M-maaf.” Kakek Eon langsung kembali ke posisi duduk biasa.  

“Nak. Kau.” 

Aku langsung merinding. “S-saya…?” 

“Ya, kau. Jangan seperti kakek tua di sebelahmu itu. Duduklah dengan santai saja. Tak perlu sungkan.  Lagipula, aku sendiri yang mengundangmu ke sini.” 

Aku masih gemetaran. Aku diundang ke sini…? 

Aku melirik ke arah Kakek Eon. Ia sedang berkeringat dingin, menatap tanah di depannya dengan  wajah ketakutan. Bila Kakek Eon saja sampai seperti ini, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan  di saat seperti ini. 

“Yah, aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan melakukan apapun pada kalian berdua atau  apapun, kok. Aku berjanji.” 

Aku menelan ludah. Apakah aku harus percaya kata-kata itu…? Aku sungguh tidak tahu. 

“Jadi, daripada berlama-lama, mari kita langsung ke alasan langsung aku mengundang kalian berdua  ke sini. Kau, Anak Muda, ada hal yang harus kau ketahui, mumpung kau sekarang sudah di sini. Eon, tolong.” 

“Saya mengerti.” 

Kakek Eon lantas berdiri, memegang tanganku. “Ayo.” 

Kami berdua baru berjalan sebentar, dan Kakek Eon kemudian menjentikkan jarinya. Setelah itu, tiba tiba sekelilingku berubah drastis. Sekarang kami berdua sedang berada di dalam sebuah perkotaan yang ramai.  Meskipun aku sudah berkeliling dunia dan mendatangi segala macam tempat, namun aku belum pernah  melihat yang seperti ini. Pakaian yang dikenakan orang-orang terkesan kuno dan ketinggalan zaman.  Bangunan-bangunan di sekitar juga sama, tampak kuno dan sederhana. Rasanya seperti aku kembali ke sebuah  zaman di masa lampau. Aku paham mungkin ini adalah ulah dari sihir Kakek, namun sejauh ini aku belum  pernah melihat yang seperti ini. 

“Kau tahu tempat apa ini?” 

Aku mendengar percakapan orang-orang di sekitar, sepertinya bahasa yang mereka gunakan bukanlah  bahasa kuno atau apapun—hanya logatnya saja yang terdengar berbeda. “Apakah ini… Kota Centro?” 

“Benar sekali. Bahasa yang mereka gunakan sama sekali tidak pernah berubah, bahkan sejak ribuan  tahun yang lalu.” 

Aku menelan ludah. Jadi ini adalah… Kota Centro di masa lampau?

“Kota ini memang dikenal sebagai Kota Permulaan, awal dari segalanya. Kau sudah mengerti  sejarahnya, kan?” 

Aku mengangguk. Siapa yang tidak tahu sejarah kota ini? Semua orang tahu apa yang terjadi di tempat  bersejarah ini. Ya, aku bisa ceritakan dengan singkat.  

Di masa lampau, pernah ada seorang kaisar yang berniat untuk menaklukkan dunia. Ia memang sangat  hebat dan cerdas, namun hatinya benar-benar jahat dan ia menghalalkan cara apapun untuk meraih apa yang  ia impikan. Sudah separuh dunia ia kuasai, dan ia tak berhenti sampai di situ. 

Namun, pada akhirnya negara-negara yang belum ditaklukkan oleh kaisar itu membentuk aliansi  bersama dan melakukan perlawanan balik. Dan pada sebuah hari yang ditakdirkan, kaisar jahat itu berhasil  dikalahkan. Itu adalah tonggak balik dari kemajuan dunia dari zaman kegelapan saat kaisar itu berkuasa. Selesai. 

“Lihatlah itu.”  

Aku kehabisan kata-kata saat melihat apa yang ada di hadapanku sekarang ini. Sebuah patung raksasa  yang terbuat dari batu terlihat mencolok di persimpangan jalan. Di situ terukir sesosok pria yang sedang dalam  posisi telentang, dengan puluhan pedang yang menusuk setiap inci tubuhnya. Jujur saja itu membuatku sedikit  ngeri dan mual, namun aku masih bisa menahannya. Apa ini? Kenapa patung seperti ini bisa ada di tengah kota  seperti ini? Siapa yang memiliki ide untuk membuat patung seperti ini? 

“Jadi begini, Nak. Aku punya pengakuan kepadamu…” 

Aku menoleh ke arah Kakek Eon. “Pengakuan?” 

“Sosok yang terukir di patung itu… adalah aku.” 

“E—eh, apa?” Apa yang Kakek katakan barusan? Apakah aku tidak salah dengar? 

Kematian Kedua Sang Pembawa Bencana. Itulah nama dari patung ini.” 

Aku mulai menyadari sesuatu. “Itu… berarti…” 

Kakek Eon mengangguk lemah. “Akulah sang kaisar kejam itu. Pembawa bencana terburuk yang  pernah hidup di masa lalu.” 

Isi kepalaku mendadak menjadi kosong untuk beberapa detik. Aku kesulitan memproses apa yang  barusan kudengar. 

“Kalau kau mau, kau bisa memastikannya.” Kakek Eon menunjuk ke arah patung tersebut. Aku pun  perlahan mendekat ke patung itu, memperhatikannya dengan cermat.  

Ini adalah wajah Kakek Eon. Tak salah lagi. Wajahnya persis seperti wajah Kakek Eon yang kukenal  sampai sekarang, ia tidak tampak sedikitpun lebih muda. Memang cukup sulit untuk memastikannya bila hanya  dilihat sekilas, tapi tak salah lagi. Tapi, kalau orang-orang di zaman sekarang tahu wajah kaisar itu dan melihat  Kakek sekarang, maka…! 

“KEK!” Aku langsung berlari menghambur ke arah Kakek Eon. Sebelum orang-orang di sekitar  mengenali wajahnya…

“Hei, hei, tenanglah, Nak. Tenang.” Kakek Eon langsung memelukku, mencengkeram punggungku  erat. “Aku tahu apa yang kau cemaskan. Ini bukanlah dunia yang sebenarnya. Ini hanyalah sebuah gambaran  dunia yang kubuat sendiri. Sekarang, coba kau sentuh orang di sebelahmu.” 

Aku awalnya agak ragu-ragu, namun aku akhirnya tetap mengikuti perkataan Kakek Eon. Dan betapa  kagetnya setelah aku mencobanya. Tanganku langsung menembus tubuh orang di sebelahku begitu saja. Orang  itu juga tampaknya tak memberikan respons apapun. 

“Mereka juga tidaklah asli. Mereka takkan bisa menyentuh, mendengar maupun melihat kita. Jadi,  tenanglah,” pungkas Kakek Eon seraya menjentikkan jarinya. 

Setelah itu, sekeliling kami berdua kembali melebur menjadi ketiadaan seperti ruang kosong yang tadi.  Kira-kira sihir apa yang barusan itu, ya? Pasti semacam sihir rumit yang tidak kumengerti sama sekali. 

“Jadi, begitulah, Nak. Patung itu tadi dibuat beberapa tahun setelah ‘kematian’ keduaku. Kau masih  tidak percaya soal diriku yang sebenarnya di masa lalu?” 

“T-tidak, bukan begitu… Tapi…”  

Aku tidak ingin menganggapnya berbohong, aku hanya merasa bahwa semua ini serba terlalu cepat  dan mendadak. Tapi tetap saja… 

“Aku tahu itu memang sulit. Siapapun pasti takkan percaya itu dalam sekali dengar.” “Kalian berdua.” 

Kami berdua langsung menghentikan langkah kami. Suara ini. 

“Lacke, katakan. Apakah kau ingin tahu lebih banyak soal Kakek di sebelahmu itu?” 

Aku menggigit bibirku. Aku sedang berhadapan dengan Sang Pencipta dunia ini sekarang. Aku sangat  takut untuk salah mengatakan sesuatu, namun aku tetap harus mengatakan ini sekarang. 

Aku mengepalkan kedua tanganku dengan kuat. “Saya ingin tahu.”  

“Baiklah. Eon, mulai sekarang aku yang akan mengambil alih. Kau sudah cukup menjalankan  bagianmu. Aku yang akan melanjutkan dari sini.” 

“Dimengerti.” Kakek Eon berkata lirih. 

“Lacke, sekarang berjalanlah lurus ke depan.” 

Aku sedikit terkejut, langsung mengambil langkah tanpa banyak pertimbangan. Aku sedikit menoleh  ke sebelahku, lalu menoleh ke belakang. Kakek Eon tidak ikut?! 

Kakek Eon hanya tersenyum di tempatnya berdiri. Entah kenapa… aku merasa bahwa aku baru  mengenal Kakek Eon lebih dalam di waktu seperti ini. Sebelumnya, aku hanya mengira bahwa ia adalah seorang  kakek yang periang dengan sihir-sihirnya yang hebat. Aku tak pernah menyangka bahwa semuanya akan  menjadi seperti ini.  

“Berhenti, dan duduklah.”

Aku menghentikan langkahku, dan duduk bersimpuh. Apa yang akan terjadi sekarang? 

Tak lama setelahnya, tiba-tiba banyak gambaran berkelebat memenuhi kepalaku secara bersamaan.  Kepalaku merasa pusing luar biasa. Perlahan, aku mulai menyadari sesuatu. Tidak, semua gambaran ini… aku  tak pernah melihatnya sebelumnya. Apa-apaan semua ini? 

Namun, sebelum aku menyadarinya, aku sudah tak sadarkan diri di tengah prosesnya. … 

Aku tidak bisa tidur malam ini. Dan mungkin juga untuk beberapa hari ke depannya. Sial, aku bahkan  mungkin tidak tidur untuk berminggu-minggu karena ini. 

Tengah malam di kamar penginapan. Aku menatap nanar langit-langit kamar yang remang. Hari ini,  banyak sekali yang terjadi sampai kepalaku hampir tidak bisa mengikuti. 

Hanya beberapa menit waktu yang kuhabiskan di Alam Permulaan. Namun, aku merasa sangat  kelelahan hari ini. Semua yang terjadi di Alam Permulaan itu benar-benar menguras pikiranku.  

Aku ingin cepat-cepat tidur. Melupakan semua ini. Rasanya, aku tidak ingin semua ini nyata. Namun,  bagaimanapun aku mencoba untuk melupakannya, semuanya menjadi semakin susah untuk dilupakan dan  selalu terngiang-ngiang setiap saat.  

Singkat cerita, semua kelebat gambar yang memenuhi kepalaku saat itu adalah ingatan. Sang Pencipta  memberikan keseluruhan ingatan Kakek Eon di masa lalu kepadaku. Setelah memutar beberapa cuplikan  ingatan itu di dalam kepalaku sekarang, aku bisa tahu. Kakek Eon adalah benar-benar seorang kaisar bengis itu  di masa lalu. Sosok manusia terkejam yang pernah ada. Ia sudah hidup lebih dari seribu tahun sejak zaman itu  sampai sekarang. 

Dari ingatan itu, aku bisa melihat bagaimana Kakek Eon menjalani kehidupannya selama lebih dari  seribu tahun itu. Dari sejak ia berkuasa, hingga menjadi sosoknya yang sekarang. Selain itu, aku juga  menyaksikan sebuah kisah yang saat ini menarik perhatianku.  

… 

Saat menjadi kaisar, Kakek Eon meninggal karena usia tua. Setelah meninggal, jiwa Kakek Eon masih  ditolak oleh Sang Pencipta. Ia dianggap telah membuat kerusakan yang terlalu besar di muka bumi ini. Sang  Pencipta pun memberikan hukuman kepada Kakek Eon untuk membereskan seluruh kerusakan yang telah ia  buat di dunia ini. 

Mekanismenya sederhana. Sang Pencipta memberikannya kekuatan sihir yang tidak ada tandingannya,  yang dapat melakukan banyak sekali hal—bahkan yang mustahil sekalipun—namun dengan beberapa  pengecualian. Pertama, sihirnya takkan bisa mempengaruhi hati orang lain. Kedua, sihirnya takkan 

memengaruhi aliran waktu. Ketiga, sihirnya juga tak bisa memanipulasi kematian ataupun kehidupan dari  sesuatu. Sang Pencipta mengklaim bahwa aspek aliran waktu dan kematian akan menjadi terlalu berbahaya  untuk dimanipulasi oleh sesosok makhluk hidup. 

Lalu, setiap ada orang yang merasakan kesedihan dan kesengsaraan dari seluruh penjuru dunia, Kakek  Eon akan merasakan rasa sakit yang luar biasa dalam dadanya. Segala jenis sihir penyembuhan takkan bisa  mengobati rasa sakit itu. Rasa sakit itu hanya akan hilang sampai seluruh orang di dunia ini tidak merasakan  kesedihan apapun. Ia juga tidak bisa mengambil jalan pintas untuk mengubah hati orang lain untuk menjadi  bahagia hanya dengan sihir, sesuai dari pengecualian yang tadi. Ia tidak bisa memanipulasi kebahagiaan orang  lain, melainkan ia harus menciptakannya.  

Kakek Eon juga diberikan tubuh yang abadi. Ini tentunya juga untuk mencegah segala jalan pintas yang  bisa ia ambil untuk melarikan diri dari semua ini—lewat bunuh diri atau semacamnya. Sang Pencipta benar benar membuat sebuah sistem di mana Kakek Eon akan terus mengabdi demi membahagiakan orang lain dan  menghilangkan kesedihan dari dunia ini sepanjang hidupnya. Tak ada jalan pintas sama sekali. 

Sang Pencipta menyebut misi jangka panjang ini sebagai misi seorang Pemelihara. Yakni untuk  memelihara dunia ini dari segala macam kesedihan dan hal-hal buruk. 

Begitulah hukuman yang diberikan kepada kaisar terkejam dunia ini. Tak ada jalan pintas untuk keluar  dari semua ini. Sang Pencipta tidak main-main untuk membuat Kakek Eon membereskan semua masalah dan  kerusakan yang telah ia buat di dunia ini.  

Tentu saja pada awalnya, Kakek Eon sama sekali tidak tertarik untuk mengambil peran Pemelihara iniIa hanya akan berusaha untuk terus menjalani kehidupan keduanya seperti kehidupan sebelumnya dahulu. Ia  akan muncul dan menyatakan diri sebagai kaisar yang hidup kembali dan kembali menguasai dunia.  Sesederhana itu. 

Tapi, kenyataannya tidak begitu. Saat ia mengumumkan secara terang-terangan ke seluruh dunia soal  kebangkitannya, tak satupun manusia yang menyambutnya dengan bahagia. Justru semuanya menolak  keberadaannya kembali di dunia ini. Bahkan seluruh bawahan tepercaya, tangan kanan, dan orang-orang yang  kenal baik dengannya sebelum ia mati sekarang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan kemarahan.  Kakek Eon diserang secara mendadak saat sedang sendirian di dalam ruangannya oleh mantan tangan  kanannya saat di kekaisaran dulu. Jantung Kakek Eon tertusuk dengan telak, namun tentu saja ia adalah  makhluk yang abadi sekarang. Ia hanya merasakan rasa sakit yang luar biasa, namun ia tidak bisa mati. 

Setelah menyadari ada yang aneh dengan tubuh Kakek Eon, sang mantan tangan kanan tersebut  langsung berteriak dan kabur. Ia tak bisa selamat dari serangan sihir milik Kakek Eon, namun seisi istana sudah  mengetahui kekacauan yang terjadi. Tidak memakan waktu lama untuk kabar bahwa sosok manusia terkejam  di masa lalu sekarang telah hidup kembali—dan kabar buruknya, ia sekarang abadi dan memiliki sihir yang  jauh lebih kuat dari siapapun. Berita ini langsung menggemparkan seluruh negeri, dan juga dunia. 

Singkatnya, semuanya langsung menjadi kacau pada saat itu. Seisi dunia hendak melancarkan  serangan apapun untuk melenyapkan keberadaan Kakek Eon, namun tidak ada yang bekerja dengan baik. Ia  benar-benar abadi. Semua bagian tubuhnya yang hancur ketika menerima serangan hanya akan pulih kembali.  Namun tentu saja ia tetap merasakan rasa sakit yang luar biasa dari semua itu. Semua kegilaan ini membuatnya  hilang kesabaran. Dalam situasi terdesak, ia sempat terpikirkan sesuatu.

Hm. Bagaimana bila aku melenyapkan seluruh manusia di dunia ini untuk menghilangkan rasa sakit sialan ini? Aku memiliki sihir yang hebat sekarang, begitu pikirnya. Sang Pencipta mengatakan bahwa rasa sakit  ini hanya akan hilang saat semua kesedihan dan kesengsaraan yang dialami seluruh manusia di dunia ini  menghilang. Tentu saja Kakek Eon takkan melewatkan kesempatan ini. 

Akhirnya, dalam satu kesempatan, ia melancarkan serangan sihir dalam skala besar yang  meluluhlantakkan seisi kota dalam satu kali serangan. Tak ada satupun jiwa yang selamat dari serangan sihir  itu. Lenyap sudah seisi Kota Centro dalam sekejap. Kakek Eon berdiri dengan jemawa di atas bekas kehancuran  Kota Centro, tertawa dengan panjang dan luwes setelahnya. Rasa sakit di dadanya juga berkurang, walaupun  hanya sedikit. Ia merasa sudah menemukan jalan pintas yang mudah dengan situasinya sekarang. 

Tapi, semua itu hanya untuk sesaat. Tak lama setelah tawa panjang itu, Kakek Eon langsung  memuntahkan darah dari mulutnya terus-menerus, seluruh organ dalamnya terasa hancur berantakan. Rasa  sakit ini jauh lebih parah dari sebelumnya—bahkan lebih sakit daripada kematian yang pernah ia rasakan  sebelumnya. Namun kembali lagi—karena dia abadi—ia hanya bisa menahan rasa sakit itu. Mati bukan  menjadi jalan pintas yang mudah baginya. 

Rupanya, berita soal kehancuran instan negara itu cepat sekali menyebar ke negara-negara yang lain.  Hal itu hanya menambah kesedihan dan kecemasan dalam hati orang-orang di seluruh dunia. Bukannya  berkurang, namun rasa sakit itu hanya semakin bertambah parah dan terus-menerus menggerogoti tubuh  Kakek Eon dalam setiap napasnya.  

Setelah beberapa hari dirundung rasa sakit itu, Kakek Eon tidak bisa berbuat banyak. Ia sudah tidak  tahan lagi. Akhirnya, ia mulai berniat untuk mulai mengikuti apa yang ditugaskan Sang Pencipta kepadanya.  Mencoba melakukan sedikit pekerjaan dari seorang Pemelihara. 

Awalnya, ia hanya berniat untuk membantu seorang anak kecil yang hidup di suatu daerah kumuh.  Tentu saja, saat itu ia menggunakan sihir untuk mengubah penampilannya menjadi seorang laki-laki tampan  di usia 30-an. Ia membelikan sebungkus makanan untuk anak kecil itu dengan setengah hati.  

“Terima kasih banyak, Pak! Terima kasih!” 

Setelah mengatakannya, anak kecil itu langsung berbalik badan dan berlari dengan cepat. Kakek Eon  hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Awalnya ia hanya ingin sedikit menjalankan perannya sebagai  Pemelihara agar rasa sakit di tubuhnya ini dapat berkurang. Namun… 

Senyum itu. Gigi anak kecil yang ompong itu terlihat dengan jelas dari senyum lebarnya. Setelah  melihatnya, Kakek Eon tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa aneh. 

Aku hanya memberinya sebungkus roti yang murah. Ia tampak senang, dan rasa sakit yang kurasakan  sampai sekarang masih tidak berubah. Tapi… 

Itu adalah perasaan yang baru bagi Kakek Eon. Ia melihat tangan yang barusan ia gunakan untuk  memberikan makanan itu.  

Aku… apakah aku baru saja berbuat sesuatu yang baik? Atau… 

Merasa penasaran, Kakek Eon berjalan mengikuti jalan yang dilewati anak itu barusan. Setelah  beberapa saat berjalan, ia mulai mendengar suara yang sayup-sayup.

“Ini enak sekali, Kak!” 

“Hehe, sudah kubilang. Paman itu baik sekali!” 

“Kalau dia orang baik, apakah aku boleh menikahinya nanti, Kak? Boleh, kan?” 

“Bodoh. Tak mungkin dia mau menikahi anak-anak kotor seperti kita. Mendapat makanan darinya  saja sudah keajaiban, tahu. Tapi tak apa, Kakak akan selalu mendukungmu sampai kau besar nanti!” 

“Mmm! Kakak yang terbaik!” 

Ada dua bocah yang sedang makan di dalam sebuah gang kecil yang tersembunyi ini. Bocah laki-laki  yang tadi dengan adik perempuannya. Sepertinya mereka berdua saling berbagi roti yang kuberikan tadi. 

Aku juga hampir tertawa dengan si adik yang berkata hendak menikahiku tadi. Tapi, apa-apaan? Itu  hanyalah candaan anak kecil. Tapi, kenapa? Kenapa aku tertawa akan itu? 

Dan kenapa… kenapa… 

Bruk. Kakek Eon tiba-tiba terduduk simpuh di atas tanah. 

Kenapa… lututku gemetaran? Kenapa aku tiba-tiba terjatuh di atas tanah?  

Aku sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi kepadaku. Rasa sakit dalam dadaku sempat bertambah  ringan, meskipun hanya untuk sesaat. Setelah itu, rasa sakit dalam dadaku malah bertambah lagi. Tapi, kali ini  rasanya berbeda… sakitnya tidak terasa mencabik. Melainkan, rasanya seperti sesuatu yang hangat dan pilu… 

Dan kenapa… air mata ini tak mau berhenti mengalir di kedua pipiku sekarang? Kenapa? Ada apa ini? Kenapa sekarang aku menangis seperti anak kecil? Kenapa?  

Tolong, siapapun… beritahu aku… 

“Paman, paman tidak apa-apa?” 

Tanpa Kakek Eon sadari, kedua bocah tadi sudah berada di sampingnya. Wajah mereka tampak cemas. “Ada apa, paman?” Kini sang adik perempuan yang bertanya. 

Kakek Eon langsung menunduk, lantas mengusap wajahnya dan menarik ingusnya dengan cepat. Ia  mengangkat wajahnya, menatap kedua bocah itu bergantian.  

“Saya tidak apa-apa, kok.” 

Wajah bocah laki-laki itu tampak terkejut. “Paman… kau tersenyum!” 

“A-apa? Tersenyum?” tanya Kakek Eon. 

“Yah, soalnya tadi Paman kelihatan murung terus…” 

Kakek Eon memegangi kedua pipinya. Aku… barusan tersenyum. 

“Tampannya…” kata sang adik perempuan lirih dengan pipinya yang memerah. 

Kakek Eon menoleh ke arah sang adik perempuan. Apa? Apa yang barusan…

“Anu… Paman… apakah paman mau menikahiku nanti—” 

“Hei!” Sang kakak langsung sigap menutup mulut adik perempuannya. “Anu, Paman, soal itu…” 

“Yah, mungkin saat kau sudah besar nanti,” jawab Kakek Eon dengan tersenyum. Aku tidak  seharusnya berbohong seperti ini. Namun entah mengapa… instingku secara tidak sadar mengatakan apabila  aku berbohong, aku akan membuat bocah perempuan ini sedih. Dan aku juga tidak mengerti… kenapa aku harus  mengikuti instingku yang seperti ini sekarang. 

“Hei, kau ini! Bukannya berterima kasih, kau malah berkata tidak sopan begitu! Sekarang minta maaf!” Sang kakak memarahi adik perempuannya. 

“E-eh? A-anu… maafkan aku, Paman…” 

“Haha… hahaha…” 

“Sekarang Paman tertawa! Ada apa, Paman?” 

“Tidak, saya hanya…” 

Meskipun hanya untuk momen ini, hanya untuk beberapa saat… 

Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku sudah sering sekali merasa  puas dan senang dalam kehidupanku yang sebelumnya. Namun, kali ini rasanya benar-benar berbeda. 

Rasanya… seperti aku bisa tertawa dan tersenyum sebebasnya. 

Rasanya… seperti aku terlahir kembali. 

… 

Dan hanya dengan begitu, Kakek Eon merasa ingin mencobanya lagi. Ia mulai lebih sering  mendedikasikan waktu, pikiran dan kekuatannya untuk membantu orang lain. Perlahan tapi pasti, ia semakin  dikenal oleh orang banyak. Sihir teleportasi yang sekarang ia punya juga semakin memudahkan dirinya untuk  berpindah antar tempat. Walhasil, sekarang seluruh dunia mengenal sesosok pahlawan baik hati dan tampan  yang muncul setelah tirani kekaisaran dan kebangkitan sang kaisar sebelumnya. Mereka tidak tahu, bahwa  mereka berdua sebenarnya adalah orang yang sama. 

Hanya dalam waktu beberapa tahun, Kakek Eon berhasil kembali lagi menjadi pemimpin dunia. Kota  Centro yang dulunya ia luluhlantakkan dalam sekejap beberapa tahun yang lalu sekarang sudah kembali  sepenuhnya, juga berkat usahanya. Kota ini sekarang kembali lagi menjadi pusat dari pemerintahan dunia, dan  sekarang Kakek Eon berhasil memimpin di sana. Ia juga membuat cerita palsu kepada masyarakat soal tentang  sang kaisar abadi yang kembali binasa dari kesombongannya sendiri saat menghancurkan seisi kota pada saat  itu untuk menghilangkan kegelisahan masyarakat dunia soal kaisar abadi yang bangkit kembali pada saat itu.  Ia sempat berpikir bahwa, mungkin dengan menjadi pemimpin dunia ini, ia bisa melenyapkan kesedihan di  hati seluruh manusia dengan lebih cepat.

Tapi, sebenarnya tidak sesederhana itu. Walaupun sudah bekerja keras sebagai seorang Pemelihara untuk membahagiakan semua orang dari posisi yang ia miliki sekarang, rasa sakit yang dirasakan oleh Kakek  Eon masih belum hilang sepenuhnya. Pada beberapa kesempatan, hati dan pikirannya sempat bereaksi secara  impulsif untuk memanipulasi orang lain seperti dirinya yang jahat di kehidupan pertamanya. Ia sangat takut  apabila hal itu semakin menjadi, ia tak ingin kembali ke dirinya yang lama. Pasti ada sesuatu yang ia lakukan  dengan salah. 

Setelah mencari, Kakek Eon akhirnya menyadari akan sesuatu yang sudah ia abaikan sejak lama.  Padahal ini hanyalah sesuatu yang sangat sederhana baginya. 

Tanpa ia sadari, ia merindukan perasaan itu. Saat pertama kali ia memberikan makanan kepada kedua  kakak-beradik itu. Saling berbagi kebahagiaan dengan orang lain yang ia temui secara acak. 

Kakek Eon mulai berpikir. Ya, tidak ada jalan pintas untuk memelihara dunia ini hanya dari menjadi  seorang pemimpin. Menjadi pemimpin dunia berarti meminimalkan waktu untuk berinteraksi langsung  dengan banyak orang—malah cenderung menjauhi banyak orang karena posisinya sebagai orang yang penting.  Hal itu tentunya hanya akan menghambat misinya sebagai Pemelihara. Akhirnya, ia sampai pada sebuah solusi.  Ia tak boleh mencolok di mata orang-orang. Ya, tidak perlu menjadi pemimpin dunia. Lagipula, pasti masih  banyak orang lain di luar sana yang lebih cocok untuk melakukannya dibandingkan dengan tiran kejam  sepertinya. 

Mengapa tidak menjadi pengembara saja? Sederhana. Mengembara ke banyak tempat, dan kau bisa  bertemu dengan siapa saja yang kau mau. Sang Pencipta sudah memberi Kakek Eon keabadian dan kemampuan  sihir yang luar biasa. Tak perlu buru-buru. Perlahan saja, dan membahagiakan semua orang di dunia ini  bukanlah hal yang mustahil. Tapi, tentu saja apabila ingin menjadi pengembara yang takkan menarik perhatian  banyak orang, Kakek Eon perlu melakukan sesuatu yang sangat besar. 

Memanipulasi ingatan seluruh manusia di bumi ini. 

Kakek Eon sudah memutuskan bahwa ia ingin membantu orang lain sebanyak mungkin tanpa diingat  seorangpun. Banyak orang yang mengingat sosoknya hanya akan membuatnya semakin sulit untuk  menjalankan misinya sebagai Pemelihara. Ia juga sudah mengerti betul bahwa jalan yang akan ia lalui akan  menjadi jalan yang panjang, dan dipenuhi kesepian. Namun, ia sudah memantapkan dirinya. 

Akhirnya, Kakek Eon mengumpulkan energi sihirnya dengan matang selama satu bulan penuh.  Sebelum meluncurkan sihirnya, ia memberikan jabatannya kepada tangan kanannya di pemerintahan secara  diam-diam. Pada awalnya, si tangan kanan tentunya menolak dan kebingungan dengan ini. Namun, Kakek Eon  tidak memberikan penjelasan apapun. Ia langsung kembali ke ruangannya dan bersiap-siap. 

Setelah semuanya siap, ia akhirnya meluncurkan sihir skala global itu. Ia berhasil menghapus ingatan  manusia di seluruh dunia terhadap sosoknya sekarang. Sekarang tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang  mengingat soal sosoknya. 

Sihir manipulasi ingatan milik Kakek Eon akan menghapus ingatan dan menggantinya dengan sesuatu  yang lain. Ingatan yang menggantikan biasanya akan terbuat dengan sendirinya, yaitu skenario yang mungkin  terjadi tanpa interferensi dari ingatan yang dihapus tadi. Jadi dalam kasus ini, seharusnya ingatan orang-orang  soal ‘pahlawan’ dan ‘pemimpin dunia’ yang telah melekat padanya sekarang seharusnya sudah berpindah 

kepada mantan tangan kanannya di pemerintahan yang sekarang menjadi mengambil jabatannya sebagai  pemimpin—dan si tangan kanan itu sendiri juga takkan ingat pernah bekerja dengannya.  

Dengan begini, Kakek Eon sekarang bukanlah siapa-siapa di mata orang-orang. Ia tidak perlu cemas  soal dirinya menjadi terkenal lagi meskipun ia akan bertemu dan membantu banyak orang lain kedepannya.  

Pengembaraan pun dimulai. Sama seperti dulu, ia akan menjelajahi banyak tempat dan berusaha sebisa  mungkin membahagiakan semua orang yang dia temui. Dengan sihirnya yang sangat beragam dan hebat, ia  menyelesaikan segala macam masalah yang bisa dia temukan selama ia mengembara. Masalah perorangan,  politik, komunitas, atau yang bahkan berskala negara. Ia akan berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan  semua masalah sampai ke akar-akarnya, dengan tujuan agar semua orang bisa benar-benar merasa bahagia.  

Tentu saja semua ini bukan tanpa pengorbanan. Kakek Eon harus terus mengerahkan segenap pikiran  dan tenaganya untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Sihir teleportasi, manipulasi ingatan, dan  penyamaran menjadi yang paling banyak ia gunakan dalam menyelesaikan permasalahan, terutama urusan  antar hubungan manusia. Berpindah-pindah ke banyak tempat, menyamar menjadi orang lain, dan banyak hal  lainnya. Semuanya harus ia lakukan sendiri tanpa bantuan dari orang lain sama sekali. Apabila  permasalahannya memang besar dan rumit, itu bisa memakan hingga berbulan-bulan, atau bahkan tahunan  bagi Kakek Eon untuk menyelesaikannya hingga tuntas ke akar permasalahannya—bahkan dengan  kemampuan dan sihirnya yang luar biasa. Setelah masalah diselesaikan, ia akan memanipulasi ingatan seluruh  orang yang bersangkutan untuk melupakan soal sosoknya. Dengan begitu, ia sendiri bisa yakin bahwa ia telah  berbuat sesuatu yang baik untuk orang-orang. 

Semuanya memang sangat melelahkan baginya, namun Kakek Eon merasakan bahwa ada sesuatu yang  berubah. Ia mulai merasakan rasa sakit yang ia alami sekarang sedikit lebih ringan dari biasanya seiring waktu  berjalan. Itu artinya cara yang ia lakukan sekarang bekerja lebih baik daripada menjadi seorang penguasa seperti  dahulu. Ia juga kembali familiar dengan perasaan yang tak pernah ia rasakan selama ia menjadi seorang  penguasa. Tentu saja, yaitu berbagi kebahagiaan dengan orang lain secara langsung.  

Setelah beberapa tahun hidup sebagai Pemelihara, Kakek Eon mulai merasa nyaman dengan dirinya  sendiri. Bila terus begini, semuanya akan baik-baik saja, begitu pikirnya. Namun, sebenarnya Kakek Eon baru  akan mengerti sebuah hal penting yang masih ia lupakan setelah sebuah reuni dengan seseorang. Atau bisa lebih  tepat dibilang, benang merah takdir yang mulai melilitnya tanpa ampun. 

“Permisiii!” 

Kakek Eon membalikkan badannya. Sepertinya ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.  “Apa ada yang bisa saya bantu—” 

Kakek Eon langsung dihadapkan dengan seorang wanita berjubah tudung, ia mengira bahwa wanita  itu berusia 25 sampai 30-an. Ia sedang mengelap keringat di dahinya, sepertinya ia kehabisan napas setelah  berlari. Wajahnya sangat cantik, bahkan membuat Kakek Eon sempat tersipu sejenak. 

“Anu, Tuan… apakah saya pernah bertemu dengan anda sebelumnya?” 

Kakek Eon menaikkan sebelah alisnya. “Tidak…? Saya tidak tahu, tapi sepertinya tidak…”

Wanita itu berjalan semakin mendekat. Wajahnya tampak cemas dan kebingungan. “Anu, begini… Apakah Tuan memiliki waktu luang?” 

“Hmm… Ada apa memangnya? Apakah anda punya keperluan dengan saya?” 

“S-sebenarnya…” Wanita itu kemudian mengalihkan pandangannya. 

Baru sebentar berbicara dengan wanita itu, Kakek Eon langsung menyadari sesuatu. Raut wajahnya  memang cemas, namun ia sebenarnya juga sedang menyimpan sesuatu yang lain yang takut untuk ia utarakan.  Sudah tak terhitung jumlahnya Kakek Eon sudah menemui orang seperti ini dalam pengembaraannya— lagipula, memang salah satu target utama pekerjaan seorang Pemelihara adalah kelompok orang yang seperti  ini. Kakek Eon pun langsung mengambil inisiatif. 

“Bagaimana kalau kita membicarakan ini sambil makan siang di suatu tempat?” Kakek Eon tersenyum  untuk meyakinkan wanita itu. 

“B-baiklah…” 

“Anda punya rekomendasi tempat?” 

“Anu… kalau soal itu… mungkin yang di sana saja.” Wanita itu menunjuk sebuah kedai yang hanya  berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat mereka berdua berdiri. 

“Hm, baiklah. Ayo kita lanjutkan di sana.” 

Mereka berdua pun berjalan ke arah sebuah kedai terdekat. Bangunannya terasa kecil dan sederhana  dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain di kota ini. 

“Selamat datang.” Sang pemilik kedai menyapa dari tempatnya berdiri setelah pintunya dibuka. 

Mereka berdua pun duduk di salah satu meja. Suasana di dalam cukup sepi, sedang tidak ada pelanggan  lain selain mereka berdua. Menu sudah disediakan di atas masing-masing meja. 

“Tak perlu sungkan. Saya yang akan mentraktir untuk ini,” kata Kakek Eon. 

“T-tidak! Saya yang akan membayar,” jawab wanita itu dengan nada yang cukup tinggi. Kakek Eon  paham akan apa artinya itu, dan tidak membantahnya lebih jauh lagi. 

Wanita itu pun berjalan ke arah kasir untuk membayarnya, dan kembali lagi ke kursinya. Kakek Eon  tersenyum tipis. Wanita berdikari, ya. 

“Baiklah.” Kakek Eon menelungkupkan kedua tangannya di atas meja. “Jadi, apakah kita bisa mulai  sekarang?” 

Sang wanita mengangguk pelan. 

“Hm. Jadi, sebelumnya anda berkata bahwa anda pernah bertemu dengan saya. Di mana, dan kapan  tepatnya?” 

“Soal itu… sebenarnya… saya tidak tahu…” 

“Anda bahkan juga tidak ingat soal itu?”

“T-tapi…! Saya benar-benar… tolong tunggu sebentar.” Wanita itu merogoh tasnya, lalu ia  mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Lalu ia langsung menyodorkannya ke arah Kakek Eon. 

Kakek Eon membuka lipatan kertas itu dan mulai membacanya. Tulisannya tidak rapi dan penuh  coretan, seperti tulisan anak kecil. Seiring ia membaca, ia mulai menyadari sesuatu. 

“Eng… Apakah ini surat wasiat?” 

“B-betul. Itu surat wasiat dari kakak saya.” 

Kakek Eon berhenti membaca, menutup kembali lipatannya. Ia menyodorkannya kembali ke wanita  itu. “Anu… saya mungkin tidak sopan, tapi sebaiknya anda tidak boleh membiarkan orang asing seperti saya  untuk membaca isi surat wasiat milik kakak Anda…” 

“Tidak, bukan begitu… tolong baca isinya terlebih dahulu.” 

“Tapi, saya pikir saya tidak bisa membacanya…” 

“Tolong bacalah, Tuan!” 

Sang wanita tiba-tiba menaikkan nadanya, membuat Kakek Eon sedikit terkejut. “Ya ampun,  tenanglah dulu. Tapi, saya benar-benar tidak bisa membaca ini. Seperti yang saya bilang, saya tidak bisa  sembarangan untuk membaca sesuatu seperti ini…” 

“Anda bukan orang asing!” 

Kakek Eon mengerutkan dahinya. Ia juga separuh terkejut. “Maaf?” 

“Anda… saya yakin saya pernah bertemu dengan Anda… hanya saja, saya sama sekali tidak bisa  mengingatnya…” 

Kakek Eon berpikir sejenak. Apa mungkin karena saat itu? Saat aku memanipulasi ingatan semua  manusia di bumi ini? Tapi kenapa dia sepertinya tahu sesuatu soal diriku… 

“Saya tahu ini terdengar sangat bodoh dan tidak bisa dipercaya. Tapi, begini… kakak saya meninggal  ketika kami berdua masih kecil. Dia meninggal karena sebuah penyakit parah. Setelah itu, beberapa tahun  kemudian, semua ingatan dalam kepala saya tiba-tiba berubah.” 

Kakek Eon mengangguk-angguk. Sepertinya tebakanku benar. 

“… Anda tidak merasa bahwa saya barusan mengatakan hal yang aneh?” 

“Tidak. Lanjutkan saja.” Yah, lagipula itu aku yang melakukannya, sih. 

“B-baiklah. Jadi, begini… saya tidak tahu persis semua saja yang terjadi sebelum ingatan saya berubah.  Saya masih ingat bahwa saya adalah seorang yatim piatu bersama dengan kakak saya dulu. Saya sempat  dipindahkan ke panti asuhan beberapa tahun sebelum ingatan saya berubah. Tapi, ada satu hal yang tidak saya  mengerti…” 

Wanita itu kembali merogoh tasnya. Kali ini, ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dan  menyodorkannya kepada Kakek Eon.

“Saya sama sekali tidak tahu kenapa ada gambar-gambar ini di kamar panti saya.” 

Kakek Eon melihat isi kertas-kertas itu. Gambarnya memang tidak terlalu bagus, namun ia bisa melihat  dua sosok anak kecil dengan seorang pemuda sedang tersenyum dalam gambar itu. Hampir semua gambar di  kertas itu diisi oleh ketiga figur itu.  

“Itu semua gambar dan tulisan saya sendiri. Dua anak kecil dalam gambar itu jelas kakak saya dan saya  sendiri, tapi saya sama sekali tidak tahu soal pria yang ada di situ. Sebelumnya, saya mengira bahwa saya hanya  menghabiskan masa kecil bersama dengan kakak saya saja. Tapi, sepertinya saya juga pernah bertemu dengan  pria ini di suatu tempat, dan saya tidak bisa mengingatnya sama sekali. Dari sinilah saya sadar bahwa ada yang  aneh dengan ingatan saya.” 

Kakek Eon berhenti melihat kertas-kertas itu sejenak. Tunggu dulu. Sepertinya firasatku tidak enak  soal ini… 

“Saya tidak tahu apa-apa soal pria yang ada di situ. Namun, setiap kali saya melihatnya, dada saya  terasa sesak. Saya tidak tahu mengapa. Semakin saya mengingat dan melihatnya, dada saya terasa semakin sesak.  Lalu, setelah kembali membaca wasiat milik kakak saya, saya akhirnya mengerti. Semuanya menjadi jelas.” 

Kakek Eon mulai berkeringat dingin, ia mulai bisa membaca ke mana arah pembicaraan ini menuju.  “Anu… apakah saya benar-benar boleh untuk membaca surat wasiat kakakmu ini?” 

“Ya, silakan. Saya memang ingin Anda membacanya…” 

Kakek Eon kembali membuka lipatan surat wasiat itu. Sekarang, ia benar-benar akan membaca semua  isinya. 

*** 

Hei, Gi. Ini kakakmu. Yah, pertama, maaf kalau tulisanku jelek. Kita berdua memang belum pernah  sekolah sebelumnya, kan? 

Lalu, pak dokter bilang kalau aku tidak akan hidup lebih lama lagi. Yah, itu memang menyebalkan, sih.  Aku masih anak kecil, dan masih banyak yang ingin aku lakukan. Tapi hei, kita berdua yatim piatu dan tidak  punya uang. Jadi, kupikir tidak buruk juga bila seperti ini. 

Hanya saja, aku cemas denganmu. Aku takkan bisa menjagamu lagi. Kau masih kecil, dan kau perlu  seseorang untuk menjagamu. Dan soal itu, sepertinya aku tahu seseorang.  

Kau tahu, aku minta maaf soal hari itu. Aku seharusnya tidak marah-marah kepadamu pada hari itu.  Kalau kau memang serius menyukai orang itu, kejar saja dia. Kau juga tahu dia orang yang baik, kan? Kalau  itu kau, aku yakin pasti bisa melakukannya. Orang itu pasti bisa menjagamu dengan baik kelak.  

Aku baik-baik saja di sini. Malah, aku jauh, jauh lebih cemas denganmu. Jaga dirimu baik-baik, ya. 

*** 

Kakek Eon menyelesaikan surat wasiat itu dengan membelalakkan matanya. Sekarang ia paham  sepenuhnya apa yang sedang terjadi sekarang. 

“Saya… telah jatuh cinta kepada Anda, Tuan.” 

Deg. Kakek Eon tersadar dari lamunan singkatnya setelah mendengarnya. 

“T-tidak, tidak, bukan begitu…” 

“Memang begitulah keadaannya sekarang, Tuan.” 

“Tidak! Anda pasti salah orang…” 

“Saya yakin bahwa saya tidak salah orang.” 

“Dan bagaimana Anda bisa seyakin itu?” Bagaimana ini semua bisa terjadi? Ini semua cuma kebetulan,  bukan?! 

Kakek Eon masih berusaha untuk tetap bersikap tenang, namun ia benar-benar tak habis pikir.  Penyamaran yang digunakannya selalu ia ubah setiap kali ia berpindah kota, dan ia tak pernah lupa untuk  memastikannya. Meskipun ia memang selalu memilih sesosok pria dewasa untuk penyamarannya, wajah dan  perawakan yang ia tampilkan dengan sihirnya selalu berbeda-beda.Ia yakin sihir penyamarannya masih bekerja  sekarang. 

“Soal itu… sejujurnya, saya sendiri juga tidak terlalu mengerti. Saya langsung merasakannya begitu  saya melihat Anda tadi…” 

“Merasakannya…?” 

“…Betul. Kembali lagi, saya mungkin tidak waras saat mengatakan ini. Saya mengatakan sebelumnya  kalau dada saya terasa sesak saat melihat gambar-gambar ini, bukan? Itulah yang terjadi tadi.” Wanita itu  kemudian meletakkan tangannya di depan dadanya sendiri. “Begitu saya melihat sosok Anda, dada saya  langsung terasa sesak. Bahkan jauh lebih sesak dari biasanya, membuat saya kesulitan bernapas. Seakan, saya  mendengar hati saya berkata, ‘Aku harus mengejar orang itu. Apabila kulepaskan, aku pasti akan menyesal  seumur hidupku’ di dalam kepalaku.” 

Kakek Eon mulai menyadari apa yang terjadi. Tidak, tidak. Aku telah membuat kesalahan. Ini semua  terjadi karena kelalaianku. 

Benar. Kakek Eon memang bisa memanipulasi pikiran dan ingatan, tapi ia tidak bisa mengubah hati  seseorang. Itulah masalah yang sedang terjadi kepada wanita di hadapannya sekarang.  

Sepertinya, pemahaman terhadap waktu oleh Kakek Eon memang sudah berubah. Hidup abadi dan  mengembara membuatnya merasa semuanya berlalu tanpa terasa. Ia sama sekali tak merasa semua sudah  berlalu selama itu. Bocah perempuan kecil di lokasi kumuh puluhan tahun yang lalu itu sekarang sudah tumbuh  menjadi wanita dewasa yang cantik nan jelita di hadapannya sekarang. Rupanya, yang dikatakan oleh wanita  itu saat ia kecil dulu bukan hanya sebuah candaan semata—dan perasaan itu masih melekat kuat sampai  sekarang. 

Kakek Eon menatap wajah wanita di hadapannya sekarang itu. Tak ada keraguan dalam tatapan  matanya. Ia benar-benar serius soal ini. 

Kakek Eon langsung memikirkan banyak hal dalam kepalanya. Takkan ada sihirnya yang bisa  memengaruhi wanita ini sekarang. Hatinya sudah tertambat kepada Kakek Eon sejak pertemuan mereka  puluhan tahun yang lalu. Ia harus segera menemukan solusi dari ini semua. 

Kakek Eon tidak bisa menggunakan alasan penyamarannya. Wanita itu tidak mempunyai ingatan apapun soal wajah Kakek Eon ketika bertemu pertama kali dulu. Ia memang selalu mengubah penyamarannya,  namun ia selalu menyamar menjadi seorang pria dewasa sejak dulu. Meyakinkan wanita itu bahwa ia  sesungguhnya adalah kakek tua yang sedang menyamar hanya akan memperumit masalah. 

Meninggalkan wanita ini sekarang bukanlah jalan keluar. Lagipula,sepertinya sumber kegelisahan dan  ketidaknyamanan darinya juga bersumber dari semua permasalahan ini. Meninggalkan wanita ini berarti  mengabaikan tugasnya sebagai seorang Pemelihara. 

Atau… menerima pengakuan cintanya…? Apakah itu bisa menjadi solusinya? 

Kakek Eon menggaruk kepalanya dalam frustrasi, menggeleng. Tidak, tidak, tidak! Ingat siapa dirimu  di masa lalu! Kau sama sekali bukan orang yang pantas untuk itu! 

Kau sedang dalam misimu sebagai Pemelihara. Kau sama sekali tak bisa melibatkan siapapun dalam  ini. Bukankah kau sudah berkomitmen? Isi hati Kakek Eon berkecamuk. 

“Maaf, tapi tetap saja… Saya tidak bisa menerima lamaran Anda. Saya tidak bisa menjamin untuk  membahagiakan Anda…” 

“Tidak apa-apa! Saya sudah bisa hidup mandiri sekarang. Sebenarnya… saya bekerja sebagai model pakaian sekarang. Saya sudah bisa mencukupi diri sendiri. Saya bukan lagi anak yatim piatu seperti dulu—” 

Bruk! 

“Sudah, cukup!” 

Kakek Eon memukul meja. Ia kehabisan ide atas apa yang bisa ia lakukan dalam momen itu. Baru  pertama kali ini ia merasa sebuntu ini terhadap suatu permasalahan. Ia merasa sangat frustrasi. 

“Saya minta maaf sekali lagi, tapi tetap saja, saya tidak akan menerima lamaran ini. Ini semua terlalu  mendadak, dan saya juga takkan membahasnya lebih lanjut lagi. Oleh karena itu—” 

Kakek Eon menghentikan perkataannya secara tiba-tiba. Wanita itu seketika berlinangan air mata di  hadapannya. Kakek Eon segera mengaktifkan sihir ruang miliknya, membuat hawa keberadaan mereka berdua  lenyap dan membuat mereka berdua tak terlihat. Suara juga takkan bisa keluar dan masuk dariruang buatannya. Pelayan dari dapur hendak mulai mengirimkan makanan ke meja, namun ia dibuat kebingungan ketika melihat  dua orang yang duduk di sana barusan tiba-tiba lenyap menghilang tanpa jejak. 

“Tenanglah, Nona. Maaf, saya tidak bermaksud untuk…” 

“Saya sudah… saya sudah berusaha… tsk… hiks…” 

“Saya minta maaf.” Kakek Eon sekarang mengelus-elus punggung wanita itu, berusaha  menenangkannya.  

“Saya… selama ini… selalu mencari Anda…”

Kakek Eon tertegun seketika. Mencari? 

“Maafkan saya, Nona.” Kakek Eon pun akhirnya tak punya pilihan, ia menempelkan tangannya ke  dahi wanita itu untuk melihat isi ingatannya dengan sihir. Ia terpaksa melakukan ini karena ia tak ingin  membuat kesalahan lagi. Apabila ia tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan wanita ini, ia mungkin bisa  bersikap lebih rasional dan lebih waspada ke depannya. 

Memang benar, ingatan soal Kakek Eon sudah lenyap dari kepala wanita itu. Wanita itu juga tidak  berbohong soal latar belakangnya sama sekali. Soal kakaknya yang meninggal di usia kanak-kanak, rasa sesak yang ia rasakan di dadanya, wasiat milik kakaknya, dan semuanya. Setelah beranjak dewasa, parasnya juga  mulai berubah jelita, dan ia pun mulai mencoba keras untuk memasuki dunia permodelan pakaian. Memang  sangat sulit, namun dengan usahanya yang juga tidak setengah-setengah, ia akhirnya berhasil sukses dalam  industri tersebut. Ia berkeliling dunia dalam pekerjaannya. Di setiap kota yang ia singgahi, ia selalu mengadakan  acara amal yang ia adakan secara mandiri untuk anak panti asuhan ataupun anak tidak mampu dalam kota itu sebagai bentuk rasa pedulinya, juga sebagai pengingat untuk pengalaman masa lalunya. Pada saat waktu luang  seperti itulah, ia akan mengenakan jubah tudung seperti yang sedang ia kenakan sekarang, berkeliling mencari  kota. Untuk mencari seseorang. 

Kakek Eon melepaskan tangannya. Wanita itu mulai menjadi lebih tenang sekarang, hanya terisak  ringan. 

“… Sudah merasa lebih tenang?” 

Wanita itu mengangguk lemah. 

“Baiklah.” Kakek Eon kembali lagi ke kursinya. “Jadi, apakah Anda benar-benar… menganggap saya  seseorang yang berharga?” 

Wanita itu kembali mengangguk lemah. 

“…Saking berharganya, sampai kau ingin menikah denganku?” 

Wanita itu kembali mengangguk, kini sambil menundukkan kepalanya. 

Kakek Eon menghela napas. “Baiklah, saya mengerti.” 

Wanita itu mengangkat kepalanya. 

“Saya akan memikirkannya. Berikan saya waktu satu bulan.” 

Dalam sekejap, kedua mata wanita itu langsung berbinar-binar seolah wajah sedihnya barusan tak  pernah terjadi. “S-sungguh, Tuan?” 

Kakek Eon mengangguk. 

Wanita itu kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajahnya. “Terima… kasih…” “Tapi, ada satu syarat.” 

Wanita itu tampak sedikit terkejut. “A-apa itu, Tuan?”

“Dalam waktu itu, saya akan ikut dengan Anda dan mengamati keseharian Anda. Apabila saya benar benar akan menikah dengan Anda nantinya, saya harus tahu seperti apa orang yang akan saya nikahi, bukan?” 

“Begitu…” Wanita itu mengangguk-angguk. 

“Bagaimana? Apakah Anda keberatan?” 

“T-tidak sama sekali, Tuan!” Wanita itu menggeleng cepat.  

“Baiklah, kalau begitu.” Kakek Eon kemudian menjentikkan jarinya, menghilangkan ruangan khusus  yang ia buat sebelumnya. Untung saja isi kedai masih kosong, kemunculan mereka berdua yang tiba-tiba setelah  sihir ruangan itu dibatalkan bisa menyebabkan keributan yang akan merepotkan bagi Kakek Eon. Hanya  pelayan saja yang sedikit kaget melihat Kakek Eon bersama dengan wanita itu yang tiba-tiba mendatanginya  untuk membayar makanan setelah melihat mereka berdua menghilang dari kursi barusan. 

Setelah itu, dimulailah masa percobaan bagi wanita model itu. Sayangnya, Kakek Eon sebenarnya  tidak berencana untuk benar-benar menikahinya di akhir nanti—soal bagaimana jalan keluarnya saat itu tiba akan ia pikirkan nanti. Ia hanya ingin sedikit bernostalgia dengan salah satu figur penting yang pernah  ditemuinya di masa lalu. Namanya Gi, seorang wanita model pakaian. Ia ingin melihat secara langsung,  bagaimana bocah perempuan pemalu yang pernah ia temui puluhan tahun yang lalu itu sekarang sudah tumbuh  menjadi seorang wanita dewasa yang mandiri. 

Hari-hari pun berlalu. Selama satu bulan mengamati, tentunya Kakek Eon takkan memakai sihir  apapun selain sihir penyamaran yang selalu ia gunakan sepanjang waktu. Setiap harinya, Kakek Eon akan terus  bersama dengan Gi untuk mengamati kesehariannya dari jauh. Itu berarti, apabila Gi benar-benar akan sering  berpindah kota sesuai dengan ingatan yang ia intip, maka ia juga harus mengikutinya. 

Dan sampai sejauh ini, itu terbukti benar. Pada hari-hari kerja yang sibuk, Gi akan menjadi sangat  sibuk dengan jadwalnya. Dari pagi buta sampai malam hari, hampir tak ada waktu istirahat yang cukup baginya. Ia selalu berpindah-pindah kota dan penginapan setiap beberapa waktu karena pekerjaannya. Sama dengan  ingatan yang sempat Kakek Eon intip sebelumnya. Itu membuktikan bahwa ia benar-benar bekerja keras, tidak  hanya sedang berusaha untuk membuat dirinya terlihat lebih baik di hadapan Kakek Eon. 

Gi menggunakan akhir pekannya untuk mengunjungi panti asuhan yang ada di kota yang sedang ia  kunjungi, memberikan sejumlah bantuan finansial dan berinteraksi dengan anak-anak di dalamnya. Ia juga  akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian masyarakat sekitar. Ia selalu menggunakan jubah  bertudung dan nama samaran setiap kali menghabiskan hari liburnya. Semua ini juga masih sama persis dengan  ingatan yang dilihat Kakek Eon. 

Kakek Eon sudah bercerita kepada Gi bahwa ia adalah seorang penyihir, dan ia tampaknya sama sekali  tidak keberatan dengan itu. Lagipula, reputasi penyihir pada zaman itu sudah kembali membaik setelah  sebelumnya dicap sebagai amunisi mematikan dalam peperangan saat zaman Kakek Eon masih berkuasa dulu. Sesekali mereka makan bersama, mengobrol ringan. Gi sekarang tampak jauh lebih tenang saat mengobrol  dengan Kakek Eon dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka dulu. 

Pekan berlalu, dan tenggat waktu satu bulan sudah dekat. Memang rencananya, Kakek Eon juga ingin  mengambil sedikit jeda dari misinya sebagai Pemelihara. Ia benar-benar menikmati waktunya saat mengawasi  Gi. Meskipun mereka berdua hanya sempat mengobrol dan berinteraksi untuk beberapa menit sehari, namun 

ia tetap menikmati hari-hari yang mereka habiskan bersama. Sering kali, ia mengamati Gi yang bermain-main  dengan anak-anak panti asuhan dari kejauhan sembari membaca buku.  

Semua ini membuat Kakek Eon merasakan ketenangan dalam jiwanya. Sering kali, ia bahkan  melupakan rasa sakit di dadanya yang sebenarnya masih sering mengganggu kesehariannya. Ia merasa begitu  tentram dan rileks. Ia belum merasakan hal seperti ini sepanjang ia hidup—entah di kehidupan pertamanya,  maupun sepanjang misinya sebagai Pemelihara sekarang. 

Lama-kelamaan, Kakek Eon mulai melupakan janji yang sudah ia buat. Walaupun setelah lewat satu  bulan, ia belum meninggalkan Gi. Ia perlahan mulai menikmati kehidupan barunya. Hanya bersantai dan  mengamati Gi yang ceria dari kejauhan dengan anak-anak panti. Gi juga sepertinya tak masalah dengan Kakek  Eon yang berada di sekitarnya, ia sama sekali tidak mengungkit soal perjanjiannya dengan Kakek Eon soal  waktu percobaan itu. 

Sampai pada suatu hari. Setelah mereka berdua berpindah kota, rutinitas berjalan seperti biasa. Di  akhir pekan, Gi akan memakai jubah tudungnya untuk menyembunyikan identitasnya dan mengunjungi panti  asuhan di kota tersebut. Namun, ada sebuah masalah. Di kota tersebut, tidak terdapat panti asuhan. 

Gi sudah bertanya kepada banyak penduduk sekitar, namun mereka semua menjawab bahwa tidak ada  panti asuhan di kota ini. Kakek Eon merasakan ada sesuatu yang aneh. Sebuah kota biasanya selalu mempunyai  sebuah panti asuhan untuk menampung anak-anak yatim dan tidak mampu di dalam kota. Namun, kota yang  kali ini mereka kunjungi sepertinya tidak mempunyainya. 

Kakek Eon tidak terlalu memikirkan soal masalah itu pada awalnya. Gi sepertinya juga demikian.  Mengetahui kota kali ini tidak memiliki panti asuhan, Gi langsung berkeliling kota untuk mengumpulkan  seluruh anak-anak yang tinggal di jalanan. Ya, tidak mempunyai panti asuhan bukan berarti kota tersebut tidak  mempunyai anak-anak yatim-piatu maupun yang kurang beruntung. 

Gi mengumpulkan mereka semua di penginapan, dan bermain-main dengan mereka semua. Berbagi  sedikit kebahagiaan bersama anak-anak jalanan dan yatim-piatu, seperti yang biasa ia lakukan. Kakek Eon tetap  mengawasi dari pojok ruangan sambil menyamarkan hawa keberadaannya. Namun, semuanya tidak berjalan  mulus setelahnya. 

Keesokan harinya. Tiba-tiba, penginapan tempat Kakek Eon dan Gi menginap menjadi ramai. Beberapa orang dengan penampilan tidak biasa langsung berduyung-duyung memasuki pintu depan,  mengejutkan Gi dan anak-anak yang lain. Kakek Eon melihat mereka. Ia bisa merasakannya. Beberapa dari  mereka adalah penyihir. Ia mempunyai firasat yang buruk soal ini. 

Anak-anak menjadi ketakutan, mereka semua bergerumbul di belakang Gi. Gi berusaha menenangkan  mereka sejenak, lantas maju selangkah untuk menghadapi sekelompok orang tersebut.  

Sekelompok orang tersebut menanyakan soal apa yang Gi lakukan bersama dengan anak-anak itu di  dalam penginapan. Gi menjawab dengan nada bergetar, bahwa ia hanya sedang bermain-main dengan mereka.  Kakek Eon menyadari langsung bahwa Gi sebenarnya juga sedang ketakutan. Ia hanya berusaha bersikap  tenang dan tegar di depan anak-anak.

Percakapan berlangsung cukup alot. Sekelompok orang itu menyuruh Gi untuk membatalkan semua  kegiatannya bersama anak-anak ini. Tentu saja Gi menolaknya secara halus pada awalnya, namun lama-lama  percakapan berubah menjadi semakin intens dan menegangkan. Kedua pihak sama-sama keras kepala. 

“Lagipula, kenapa kota ini tidak memiliki panti asuhan? Itu aneh sekali. Setiap kota seharusnya  memilikinya,” sergah Gi. 

“Memangnya ada peraturan yang seperti itu? Tidak ada sama sekali!” Orang yang berdebat—yang  sepertinya merupakan pemimpin dari kelompok itu—menyanggah dengan tak kalah keras. 

“Tapi, dengan begitu, mereka semua ini kasihan, tahu! Mereka kelaparan dan harus tidur di luar setiap  hari! Pemerintah kota ini seharusnya—” 

“Oi, kau tidak punya hak untuk bilang begitu. Kau bahkan tidak pernah meminta izin atau apapun  untuk mengadakan kegiatan seperti ini kepada kami, otoritas kota.” Kakek Eon meningkatkan kewaspadaannya.  Seperti yang ia duga, mereka pasti ada hubungannya langsung dengan petinggi kota ini. 

“Memangnya hanya berkumpul dengan anak-anak seperti mereka ini juga memerlukan izin dari  kalian segala?!” 

“Tentu saja! Kau bahkan bukan penduduk kota ini, bukan? Kau hanya pengunjung di sini!” Orang  itu semakin menaikkan nadanya, ia seperti hampir berteriak.  

Kakek Eon sudah bersiap untuk melakukan sesuatu, namun Gi membuat isyarat dengan tangan di  belakang punggungnya bahwa ia tidak apa-apa. Kakek Eon sebenarnya merasa cukup ragu dengan ini, namun  ia bisa melihat senyuman percaya diri Gi dari belakang. Ia berusaha untuk percaya. 

“Apapun yang terjadi, saya akan ada selalu berada di pihak anak-anak ini.” 

Pemimpin kelompok itu mendecak. “Sudah cukup! Pokoknya, hentikan semua ini. Kalau kau hendak  mengadakan sesuatu seperti ini, kau harus melaporkannya kepada otoritas kota terlebih dahulu. Memang  begitu aturannya. Semua yang menginjakkan kakinya di kota ini perlu mematuhinya, tak peduli siapapun itu.  Cukup sampai di sini. Kalian semua, ikut dengan kami!” 

Pemimpin kelompok itu mengisyaratkan anak-anak untuk berbaris dan meninggalkan penginapan, mengikuti mereka. Namun mereka semua tampaknya masih terlalu takut untuk mematuhi instruksi itu.  Pemimpin kelompok itu kembali mendecak dan meninggalkan penginapan bersama dengan kelompoknya.  

“Dasar anak-anak sialan tidak berguna. Cepat! Berbaris yang rapi, dan keluar dari sini!” 

Pemimpin kelompok itu membentak dengan lantang, dan akhirnya anak-anak itu mengikuti  instruksinya dengan wajah ketakutan. Secara spontan, Kakek Eon langsung berdiri dan merangsek menuju  kelompok orang itu.  

Tap. 

Gi langsung menangkap tangan Kakek Eon. Kakek Eon yang terkejut menoleh ke arah Gi. Dengan  wajah lesu, Gi menggelengkan kepalanya. 

Meskipun begitu, Kakek Eon bisa merasakan Gi sedang gemetaran hebat ketika memegang tangannya.  Cengkeramannya juga terasa sangat kuat. Dia pasti juga merasa sangat marah sekarang. 

Anak terakhir sudah keluar dari pintu depan penginapan, mengikuti kelompok orang itu. Gi dan  Kakek Eon pun kembali berjalan menuju kamarnya masing-masing dengan lemas. Tidak ada yang bisa mereka  lakukan sekarang.  

Mereka berdua sudah sampai di kamar Kakek Eon. Begitu Kakek Eon memasuki kamarnya, Ia juga  menarik Gi untuk masuk. 

“Tunggu dulu Tuan, kenapa—” 

Kakek Eon menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia memasukkan kuncinya ke dalam kantong  pakaiannya. “Hentikan saja. Aku tahu apa yang kau pikirkan.” 

Gi tidak membalas perkataan Kakek Eon, ia hanya bisa mengalihkan sorot matanya.  

“Aku tahu kau mau melakukan sesuatu untuk anak-anak itu, kan? Hentikan saja. Kita tak bisa  melakukan apapun untuk malam ini. Untuk membawa mereka kembali, kita butuh informasi soal kota ini dan mencari tahu soal masalah mereka dengan anak-anak itu—” 

“Tapi, tidak ada waktu untuk itu, Tuan!” Gi memotong dengan keras.  

“Tenanglah! Tak ada yang akan berakhir baik apabila terburu-buru. Kita harus memikirkan solusi  untuk ini dengan baik dan matang. Untuk sekarang, kau akan tidur di kasurku. Aku akan berjaga sambil  memikirkan solusi yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan semua ini.” Kakek Eon kemudian duduk di  kursi dan menyalakan lilin di mejanya.  

“Tapi—” 

“Jangan membantah! Ikuti perkataanku untuk saat ini. Percayalah denganku.” 

Gi pun akhirnya mengempaskan badannya di atas kasur sambil mendecak. Sepertinya kekesalannya  sedang memuncak. Namun, mau bagaimana lagi. Untuk menyelesaikan masalah di daerah yang belum pernah  ia datangi sebelumnya, Kakek Eon harus mengumpulkan informasi terlebih dahulu. Ia pun membuka diari  pengembaraan yang ia miliki. Mungkin ia mempunyai informasi soal daerah terdekat dengan kota ini yang  pernah ia kunjungi sebelumnya. 

Satu jam ia membaca diari miliknya, dan ia tidak menemukan banyak informasi yang berguna. Yang  ia dapatkan, kota-kota terdekat dari sini yang pernah dia kunjungi tidak memiliki banyak masalah yang  tergolong aneh. Kakek Eon memijat dahinya. Membolak-balik halaman diarinya dengan malas.  

Sesaat kemudian, ia mendengar suara dari arah kasur. Sepertinya Gi mulai berdiri, ia belum tidur dari  tadi. 

“Apapun yang kau rencanakan, kau tidak akan bisa keluar dari sini. Tidak dalam pengawasanku,” kata  Kakek Eon tegas tanpa mengalihkan pandangan dari diarinya. 

“Saya hanya ingin minum sedikit, ya ampun…” 

Kakek Eon melirik ke arah Gi. Ia memang hanya sedang meminum air dari cangkir miliknya. 

Selesai meneguk dari cangkirnya, Gi menoleh ke arah Kakek Eon. “Anu, Tuan… apakah hanya firasat saya saja, tapi… wajah Anda terlihat aneh?” 

Kakek Eon langsung mematung seketika. Sebelumnya ia memang yakin dalam pengawasannya,  namun mendengar perkataan itu membuatnya panik dalam seketika.  

Ada apa dengan penyamaranku? Apakah dia melihat sesuatu yang aneh dalam penyamaranku? 

Kakek Eon tidak ingin penyamarannya terbongkar di depan Gi, paling tidak untuk sekarang. Sampai  sekarang, penyamarannya belum pernah bocor kepada siapapun. Tapi, dengan Gi yang dulu bisa mengenalinya  langsung bahkan setelah ingatannya terhapus, mungkin ini adalah sesuatu yang berbeda yang tidak bisa ia duga  sebelumnya.  

“… Aneh, katamu?” 

“Iya. Aneh, Tuan. Lihat—” Gi melangkah mendekat kepada Kakek Eon. Ia mulai menyentuh kedua  pipi Kakek Eon, memutar kepalanya hingga wajah mereka berdua sekarang saling berhadapan dari dekat.  

“H-hei! Apa yang kau lakukan—” 

Cup. 

“Ap—eh? Eh?!” 

Tanpa ada hujan, tanpa ada angin. Dalam sekelebat, Gi mencium Kakek Eon tepat di bibirnya. Kakek  Eon langsung refleks menggeser kursinya untuk menjauh. Ia menjadi salah tingkah. “Apa yang barusan kau  lakukan?!” 

“Maafkan saya, Tuan.” 

“Yang barusan itu… Apa—” 

Gi sekarang sedang merapalkan sesuatu dengan cepat di mulutnya. Kakek Eon merasa seperti pernah  mendengar itu. Ia seketika bergerak untuk menghentikan Gi. Namun, ia kalah cepat. Gi dengan cepat langsung  menempelkan sebuah kertas di dahi Kakek Eon. Seketika, kesadarannya mulai memudar dengan cepat.  

“Maafkan saya, Tuan. Saya telah berbuat kesalahan. Saya akan bertanggung jawab soal ini. Saya…  benar-benar… minta maaf…” 

Sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, Kakek Eon melihat sosok Gi yang mulai berderai air mata dan tersenyum pahit. Ia benar-benar ingin bangun dan melakukan sesuatu soal itu, namun ia tidak bisa. Ia  langsung tertidur lelap setelahnya. 

Malam akan berlangsung panjang, dan Kakek Eon sekarang hanya akan menghabiskannya dengan  terlelap di atas kursinya. 

“AAAAHH!!” 

Kakek Eon langsung bangkit dari tidurnya. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat. Ia kehabisan  napas seperti setelah berlari untuk waktu yang lama. 

Apa… yang barusan kumimpikan itu?

Kakek Eon barusan bermimpi buruk soal Gi. Ia melihat ada sebuah kertas sihir yang terjatuh di lantai  kamarnya. Ia memungutnya, dan ia seketika panik. Itu adalah kertas sihir tingkat tinggi yang sangat mahal dan  langka. Dengan kertas sihir itu, penggunanya bisa memohon hal-hal di luar nalar dengan satu syarat yang  bebannya setimpal. Dalam kasus ini, Gi pasti meminta agar Kakek Eon bisa tertidur lelap dengan waktu yang  lama dengan syarat menciumnya secara langsung di bibir. Tapi, Kakek Eon juga masih bingung dengan semua  ini. 

Memangnya hanya dengan ciuman bisa setimpal dengan membuatku tertidur lelap untuk waktu yang  lama? Tunggu dulu, lagipula bagaimana caranya bisa mendapatkan kertas ini?! Ini bukan atribut sihir biasa  yang bisa didapatkan dengan mudah. Sial, pasti aku melewatkan banyak hal ketika melihat ingatannya dulu… 

Kakek Eon sadar ia harus bergerak cepat. Apabila Gi benar-benar ingin melakukan sesuatu terhadap  anak-anak itu, dia pasti berada dalam istana kota sekarang. Tapi, itu semua tidak lebih dari sekadar perkiraan.  Kakek Eon harus benar-benar mencari lokasi pastinya, dan tentu saja tidak ada waktu untuk mencarinya dengan berkeliling untuk sekarang. Ia terpaksa harus memakai sihir skala besarnya kali ini. Ia menggunakan  sihir pendeteksi dengan radius satu kota penuh. Sihir berkala besar memakan banyak sekali stamina dan energi  sihir miliknya, jadi Kakek Eon biasanya jarang menggunakannya. Namun, sekarang bukanlah saatnya untuk  ragu.  

Konsentrasi penuh. Kakek Eon mulai melancarkan sihir deteksinya. Kepalanya akan cepat pusing  dengan segala informasi yang ia peroleh dalam waktu singkat, jadi ia benar-benar harus mencarinya dengan  cepat. Setelah beberapa detik, Kakek Eon akhirnya menemukannya. 

Dugaanku benar. Dia sekarang berada di istana kota. Di bawah tanah. 

Sihir deteksi Kakek Eon hanya bisa mendeteksi hawa keberadaan benda dan makhluk hidup. Ia tidak  tahu apa yang sedang terjadi dengan Gi sekarang. Namun, ruang bawah istana kota bukanlah tempat yang  normal untuk sekadar jalan-jalan di malam hari.  

Kakek Eon langsung bersiap untuk merapal sihir teleportasinya. Namun seketika itu juga, ia baru  teringat akan sesuatu. Ia tidak bisa berteleportasi ke suatu tempat apabila ia belum pernah ke sana atau tidak  melihatnya secara langsung. Ia baru datang di kota ini, dan belum berkeliling ke banyak tempat. Ia menyumpahi  dirinya sendiri. Ia jadinya harus berteleportasi secara bertahap hingga mencapai istana kota. Ini tentunya sangat  menghambat pergerakannya. 

Kakek Eon butuh sekitar sepuluh menit untuk berteleportasi bertahap menuju istana kota. Sihir skala  besar dan teleportasi beruntunnya sampai ke istana benar-benar menguras energi sihirnya dengan drastis. Di  atas semua itu, ia juga harus menghilangkan hawa keberadaan dan penampilannya dengan sempurna setiap  waktu—karena penyihir dalam istana dan di jalanan kemungkinan masih bisa mendeteksinya apabila ia lengah. 

Penjagaan di istana sepertinya sedang diketatkan, ia merasa bahwa jumlah penjaga yang berpatroli tidak  sebanyak ini. Ia mulai kehabisan napasnya dan berkeringat deras. 

Duar!  

Kakek Eon tiba-tiba mendengar suara ledakan. Suara itu terdengar dari lantai. Para penjaga mulai  curiga, dan mulai bergerak untuk mencari sumber suara.

Kakek Eon juga langsung sigap bergerak. Dengan sunyi, ia bergerak mendekat kepada setiap penjaga  yang ia temui dan langsung menyerang tengkuk mereka, membuat mereka pingsan seketika. Kakek Eon juga  berusaha bergerak dengan cepat dengan berusaha mencari sumber suara barusan dan sebisa mungkin untuk  tidak membuat suara. 

Duar! Duar! Duar!  

Kali ini, ia mendengar suara ledakan beruntun. Dinding-dinding istana mulai bergetar. Kakek Eon  memepercepat langkahnya. Pasti sesuatu yang gila sedang terjadi di bawah! 

Kakek Eon pun akhirnya menemukan tangga menuju bagian bawah tanah istana. Ia mendengar dua  ledakan lagi dalam perjalanan menuju ke bawah. Ia kembali mempercepat langkahnya saat menuruni tangga.  

Dengan kepayahan, akhirnya ia sampai di ruang bawah tanah istana kota. Ruang bawah tanah istana  biasanya berisikan penjara-penjara kriminal bangsawan. Kakek Eon sudah sangat sering melihat pemandangan  seperti ini. Namun, pemandangan kali ini terlihat berbeda.  

Penjara bawah tanah istana sekarang tampak seperti habis dilanda bencana. Semua jeruji besi pada sel hancur berkeping-keping. Lantai penjara dipenuhi dengan reruntuhan dan puing-puing dari dinding penjara  yang hancur. Bau darah, debu, dan asap memenuhi ruangan. Beberapa titik api kecil masih menyala di beberapa  sudut ruangan. 

Kakek Eon akhirnya bisa melepaskan sihir penghilang tubuhnya. Ia memakai sihir api miliknya untuk  penerangan. Begitu dapat melihat keseluruhan ruangan secara jelas, Kakek Eon kehabisan kata-kata.  

Gi sedang terduduk di pojokan salah satu sel di ujung penjara. Kakek Eon hanya bisa merasakan hawa  kehidupan Gi yang sudah sangat lemah sekarang. Di sekeliling Gi terdapat banyak jasad anak-anak yang  terbakar habis. Ada juga jasad seorang penyihir di dekatnya bersamaan dengan jasad seorang penjaga istana  yang kehilangan kepala di dekatnya. Di beberapa sel, terdapat jasad orang dewasa yang juga terbakar dengan  parah. 

Kakek Eon mulai memeriksa kondisi Gi dari dekat. Sebagian besar bagian tubuh atas Gi terkena luka  bakar yang mematikan, dan terdapat juga beberapa luka tusukan besar di badannya yang darahnya masih  sedikit menetes. Kakek Eon juga baru menyadari kalau darah sampai menggenang di lantai sel.  

Pertama, Kakek Eon menggunakan sihir pembaca pikirannya pada Gi untuk memastikan apa yang  sebenarnya terjadi di penjara bawah istana ini. Ia memegang dahi Gi dan mulai merapal. 

… 

Dari yang ia lihat, sepertinya Gi membeberkan identitas aslinya sebagai model terkenal agar dapat  masuk ke dalam istana. Ia masih mempermasalahkan soal anak-anak yang tadi. 

Gi dan petinggi kota sempat terlibat dalam perdebatan hebat. Dari Gi maupun pemerintah kota,  keduanya tidak ada yang mau saling mendengarkan dan mengalah. Setelah mendengar bahwa anak-anak itu  sekarang berada dalam penjara bawah tanah istana, Gi kehilangan kesabaran dan berteriak penuh amarah di 

dalam istana. Di saat itulah, para penyihir dan penjaga istana sepertinya memutuskan untuk mengurungnya di  penjara bersama dengan anak-anak itu. 

Gi berjalan bersama seorang penjaga istana bertombak dan penyihir menuju penjara bawah tanah.  Anak-anak itu dikurung di sel yang berbeda-beda, beberapa dari mereka bahkan dikurung bersama dengan  narapidana yang menempati sel itu sebelumnya. Mereka semua terkejut dengan kedatangan Gi, namun  tentunya tidak dapat berbuat apa-apa soal itu. Gi dikurung dalam sel yang kosong di pojokan penjara. 

Setelah penjaga dan penyihir itu pergi, Gi langsung melancarkan aksinya. Ia berhasil menyelundupkan  banyak kertas sihir ledak tingkat tinggi ke dalam istana di dalam pakaiannya—sepertinya ia selalu menyimpan  itu dalam pakaiannya untuk saat-saat seperti ini. Bahkan jeruji penjara istana bukan tandingan sebuah kertas  sihir tingkat tinggi yang ia miliki. Gi menempelkan selembar kertas peledak itu di jeruji selnya, lantas merapal  sebuah mantra. 

Duar! Kertas sihir itu meledakkan jeruji sel dengan hebat. Suara ledakannya memekikkan telinga.  Sangat berisiko, namun rencana Gi berhasil. Ia berhasil keluar dari selnya hanya dengan luka-luka kecil. 

Gi tentunya menyadari kalau suara ledakan barusan akan memancing perhatian istana dengan segera.  Ia pun langsung bergerak cepat, menempelkan kertas sihir miliknya ke semua jeruji yang berisikan anak-anak  itu. Ia berteriak, menyuruh mereka untuk menjauh dari jeruji untuk sesaat. Ia pun merapalkan mantra seperti  sebelumnya, dan semua kertas itu meledak secara bersamaan. Ledakan beruntun yang terjadi sangat hebat,  hingga membuat seisi penjara seperti dilanda gempa. Semua jeruji berhasil diledakkan dengan telak.  Narapidana maupun anak-anak jalanan langsung berhamburan keluar dengan luka-luka. Namun, semua tidak  berjalan semulus itu. 

Hanya beberapa detik setelah Gi meledakkan semua jeruji, penjaga dan penyihir yang barusan  mengantar Gi sudah kembali. Murka, penyihir itu langsung melancarkan sihir api dalam skala yang cukup besar.  Narapidana lama yang hendak kabur menjadi target pelampiasan amarah sang penyihir. Tak ada yang selamat  dari mereka setelah serangan itu. Anak-anak semakin ketakutan setelah melihat pemandangan itu, mereka  semua beringsut mundur dan mengambil perlindungan di belakang Gi.  

Gi dan anak-anak itu terus mundur, hingga mereka menyentuh dinding. Mereka tidak bisa mundur  lagi, sementara penyihir dan penjaga yang marah terus bergerak mendekati mereka.  

Pada awalnya, nyali Gi sempat menciut ketika ia melihat serangan api dahsyat itu. Ia hendak  mengambil selangkah maju, namun… 

Salah seorang anak tiba-tiba berteriak kencang, dan merangsek maju dengan cepat. Lalu, satu-persatu  anak-anak yang lain juga mengikutinya.  

“Demi Kak Gi!” 

“Maju!! Jangan takut!” 

“Aaaaahh! Semuanya, maju!” 

Di luar perkiraan Gi, anak-anak jalanan itu justru berubah berani, bergerak kompak untuk maju dan  membelanya. Gi tahu betul apa yang akan terjadi setelahnya, tapi ia sudah sangat terlambat untuk mencegahnya.

Dalam sekejap, penyihir itu mengeluarkan sihir apinya, kini bahkan lebih besar dari yang tadi. Api itu  langsung melahap habis gerombolan anak-anak itu. Tak lebih dari sepuluh detik, hanya jasad hitam dan abu  yang tersisa dari luapan api itu. 

Melihat pemandangan itu, Gi langsung kehilangan kendali. Ia berteriak parau penuh keputusasaan,  dan langsung merangsek maju. Penyihir itu kembali melancarkan sihir api miliknya, dan menghantam telak Gi.  Namun, Gi tidak berhenti sampai di situ. Ia terus maju dan melawan api itu, mengabaikan tubuhnya yang  terbakar dengan cepat. Sampai akhirnya, ia berhasil menerobos sampai berhadapan langsung dengan penyihir  itu. Penyihir itu sepertinya sama sekali tidak menyangka soal ini. Dalam sekelebat, ia mengeluarkan kertas sihir  ledak dari pakaiannya dan langsung menempelkannya ke tubuh penyihir itu. Ia merapal mantra dengan cepat,  dan langsung mundur dengan cepat setelahnya.  

Duar! Ledakan itu telak. Penyihir itu tumbang seketika. 

Masih ada satu penjaga lagi yang harus diurusi. Gi kembali merangsek maju untuk menyerang, namun  penjaga itu sepertinya sudah mengetahui taktik sederhana Gi. Ia lebih terbiasa dalam pertarungan jarak dekat.  Ia menusukkan tombak miliknya bertubi-tubi ke tubuh Gi. Setelah Gi merasa bahwa ia sama sekali tidak bisa  mendekati penjaga itu, ia pun mencoba sesuatu yang lain. 

Ia mengambil seluruh kertas sihir yang masih tersisa. Kebanyakan sudah bolong dan basah oleh darah,  dan hanya menyisakan selembar yang kondisinya masih cukup baik. Gi meremas kertas itu, dan melemparkan  gumpalan kertas itu ke arah penjaga itu. Di saat yang bersamaan, ia merapalkan mantranya dengan cepat.  Walhasil, lemparan itu berhasil meledak tepat di depan wajah penjaga itu. Penjaga itu pun tewas seketika. 

Setelahnya, ia langsung melepaskan tombak itu dari tubuhnya, dan menyeret tubuhnya menuju jasad  anak-anak yang terbakar habis. Sekarang, sudah tidak ada yang bisa ia lakukan. Seluruh amunisi kertas sihirnya  sudah habis dan rusak. Ia sedang sekarat, hanya tinggal menunggu saja. 

Baru beberapa saat kemudian, ia mendengar lamat-lamat suara langkah kaki mendekat untuk  memasuki penjara bawah tanah. 

… 

Kakek Eon sudah paham sepenuhnya akan situasinya sekarang. Ia sekarang hendak menggunakan sihir penyembuhnya. Namun, setelah beberapa detik mencobanya, ia sadar bahwa ia sudah sangat terlambat  untuk melakukannya. Dalam kondisi primanya, ia bisa menyembuhkan luka fatal yang sudah sangat parah  dengan segenap kekuatannya. Namun, dengan energi sihirnya yang sudah sangat terkuras seperti sekarang, itu  mustahil dilakukan. Ia bisa merasakan Gi masih bernapas perlahan dengan denyut nadi yang sangat lemah. Ia  tak punya pilihan lain. 

Ini adalah saat-saat terakhir Gi. 

“Uhuk, uhuk…”

Gi terbatuk lemah. Kakek Eon memegang tangan Gi dan merapalkan sihir teleportasi. Saat menyusup  ke dalam istana tadi, sepertinya ia sempat menemukan sebuah tempat kosong yang tidak dilewati sama sekali  oleh penjaga yang berpatrol. Untuk sekarang, hanya sebatas ini yang bisa ia lakukan.  

Bruk. Pendaratan mereka tidak terlalu mulus dan sepertinya membangunkan Gi. 

“Tuan…?” Gi membuka matanya perlahan, menatap lurus wajah Kakek Eon di hadapannya sekarang.  

“Jangan banyak bergerak.” Kakek Eon berusaha selembut mungkin untuk membaringkan tubuh Gi. Gi bahkan tidak berteriak kesakitan apapun, wajahnya terlihat tenang. Sepertinya ia sudah tidak bisa merasakan  bagian tubuhnya yang terbakar parah sama sekali. 

“Ini… di mana… Kenapa… Anda ada di sini… uhuk!” 

Kakek Eon mengeluarkan sihir penyembuhnya yang lemah di daerah dada Gi. “Maafkan aku.  Sepertinya aku tidak bisa berbuat banyak.” 

“Bukankah sekarang Anda seharusnya sedang tidur…” 

“Apa yang kau bicarakan? Selembar kertas seperti itu takkan bisa menghambatku semudah yang kau  pikirkan, tahu.” 

“Padahal, saya sudah meminta agar kertas itu untuk menidurkan Anda hingga fajar… tapi sepertinya  saya gagal, ya.” Gi mengulas senyuman tipis di wajahnya. 

“Ya ampun. Kau ini memang gegabah. Sangat gegabah.” 

“Sepertinya, saya takkan bisa bertahan lebih lama lagi, ya.” 

“… Kupikir begitu.” Kakek Eon mengatakannya dengan nada berat. 

Gi terbatuk dengan cukup keras, mengeluarkan banyak darah. Kakek Eon membagi sihir  penyembuhannya. Tangan kirinya menyembuhkan daerah dada, sementara tangan kanannya di daerah leher Gi. Ia juga meningkatkan intensitas penyembuhan, meskipun energi sihir yang ia miliki tinggal sangat sedikit. 

“Tuan… kenapa…” 

“Hanya ini yang bisa kulakukan. Kalau kau punya kata-kata terakhir, katakan saja. Aku akan  mendengarkannya dengan baik.” 

“Ya ampun, bahkan di saat seperti ini…” 

Hening sejenak. Kakek Eon masih harus berfokus untuk mempertahankan sihir yang ia gunakan. Ia  tak bisa berbuat banyak di saat seperti ini. 

“Perkataan terakhir, ya. Apakah saya boleh mengatakan apapun?” 

“Silakan saja.” 

Gi menutup matanya perlahan. “Apa ya, yang harus saya katakan… Kurasa saya hanya ingin membuat  pengakuan.” 

Kakek Eon mendengarkan dengan takzim.

“Sebenarnya, saya bukanlah seseorang yang baik. Saya sama sekali bukan seperti yang Anda lihat dari  luar. Saya sebenarnya tidak terlalu suka dalam bermain dengan anak-anak seperti mereka. Saya selama ini  melakukannya demi membuat diri saya terlihat baik di mata orang lain. Terutama Anda, Tuan… orang yang  selama ini saya cari dan saya cintai.” 

Fokus Kakek Eon menjadi terganggu. “Kau sedang berbohong. Aku tidak memercayai itu.” 

“Tidak… saya tidak berbohong. Niatan saya selalu seperti itu sejak pertama kali melakukannya dulu.  Sampai sekarang pun tidak berubah. Namun, hanya saja…” 

“Hanya saja?” 

“Saat melihat mereka semua mati begitu saja di hadapan saya… saya tidak bisa mengendalikan diri saya sendiri. Saya merasa bahwa saya adalah orang paling payah sedunia karena tidak bisa mencegah itu terjadi. Beritahu aku, Tuan. Apakah saya salah dengan berpikir seperti itu?” 

Kakek Eon berpikir sejenak. “… Saya tidak berpikir kalau itu salah.” 

“Kenapa…?” 

“Pada akhirnya, kau tetap peduli dengan anak-anak itu, bukan? Tak peduli niatan awalmu seperti apa. Kau bahkan rela sampai berbuat sejauh ini. Tidak salah lagi, kau pasti melakukannya untuk mereka. Meskipun  kau tidak menyadarinya, namun kau sudah banyak berubah dari tujuan awalmu yang seperti itu.” 

“Bagaimana… Anda bisa tahu sampai sejauh itu?” 

Kakek Eon tersenyum tipis. Ia sudah berurusan dengan berbagai macam orang untuk tahu seperti apa  orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, ataupun orang-orang yang licik. 

“Siapa saja bisa melihatnya. Saat bersama anak-anak… kau terlihat begitu senang. Kau selalu  tersenyum lebar. Kau tampak begitu bahagia, menikmati setiap detiknya. Semua yang kau tunjukkan ketika  bersama dengan anak-anak itu… sama sekali tidak terasa palsu. Semuanya terasa tulus, penuh kasih sayang.” 

“Apakah… saya memang terlihat seperti itu di mata Anda, Tuan?” 

Kakek Eon tertawa lirih. “Tidak hanya saya sendiri. Saya yakin, semua orang yang melihatmu juga  akan berpikir demikian.” 

“Tapi, sepertinya tadi saya berubah menjadi orang kesetanan di dalam, sih… apakah Anda  melihatnya? Saya tidak terlalu ingat banyak hal saat itu terjadi…” 

“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Kau sendiri sudah melakukan yang terbaik dalam situasi yang  sedang kau hadapi, dan saya sangat menghargai akan hal itu. Berbahagialah dengan apa yang sudah kau capai.” Kakek Eon memilih untuk tidak mengungkit soal fakta bahwa Gi barusan sudah membunuh dua orang dengan  tangannya sendiri. Sepertinya Gi tidak mengingat apapun saat ia mengamuk tadi. Terkadang, sesuatu memang  lebih baik untuk tetap menjadi rahasia hingga akhir. 

Gi memasang senyum lemas. Ia memejamkan kedua matanya untuk sejenak. “Kalau begitu,  syukurlah… uhuk!”

Gi kembali batuk berdarah dengan kencang. Kakek Eon berusaha untuk tetap fokus dan menambah  intensitas sihir penyembuhannya, tapi ia sudah tidak bisa melakukannya lagi. Energi sihir dan tenaganya sudah  mulai habis. 

“Selama ini, saya… hanya tak ingin mengecewakan Anda dan Kakak. Saya sudah berusaha keras untuk  mendapatkan pekerjaan, agar dapat mandiri menghidupi diri sendiri. Saya juga sudah mencoba untuk terlihat  baik saat bermain dengan anak-anak jalanan. Saya selalu mencari Anda di waktu luang yang saya miliki. Semua  itu dengan harapan… agar saya dapat menjadi orang yang pantas apabila saya bertemu dengan Anda suatu saat  nantinya. Dan lihatlah, sekarang Anda berada tepat di hadapan saya. Pada akhirnya, saya sama sekali masih  belum pantas…” 

“Siapa yang bilang begitu?” 

Seketika, raut wajah Gi berubah. Ia menatap Kakek Eon, tampak kebingungan. 

“Kau sudah pantas, kok. Saya mengakuimu sekarang. Saya sudah cukup mengamatimu selama ini.  Meskipun tidak mulus, namun kau sudah melakukan yang terbaik hingga sekarang.” 

“Apakah itu berarti… lamaran saya…” 

Kakek Eon hanya mengangguk seraya memasang senyum lembut di wajahnya. Ia mengelus ubun ubun Gi dengan lembut. “Kau lulus.” 

Setelah itu, terdapat setetes air mata terjatuh dari kelopak mata Gi. Ia juga tersenyum tipis sambil  menatap langit malam yang berbintang. “Kakak… akhirnya… aku berhasil melakukannya…” 

Kakek Eon tiba-tiba teringat sesuatu. Ia akhirnya menghentikan sihir penyembuhan yang ia lakukan.  “Sebenarnya, saya juga punya pengakuan.” 

Sekarang, ia menempelkan dahinya dengan dahi Gi. Ia mengerahkan semua energi sihirnya yang masih  tersisa, menggunakannya untuk membagi ingatan yang ia miliki saat ia bertemu dengan Gi dan kakaknya saat  mereka masih kecil dulu. Hanya memori yang singkat, namun Kakek Eon merasa bahwa ia harus melakukannya. Setelah melakukannya, ia sudah benar-benar kehabisan tenaga dan energi sihirnya. Sihir yang ia gunakan untuk  menyamar menjadi pria dewasa selama ini juga mulai menghilang. Sekarang ia kembali ke wujud aslinya,  seorang kakek tua yang kurus dan penuh keriput. 

“Ingatan ini… begitu, ya. Seperti yang saya duga. Saya pernah bertemu dengan Anda sebelumnya.  Bersama dengan Kakak juga.Dan ternyata Anda selama ini menyamar, yah… saya tak pernah bisa menebaknya.  Uhuk, uhuk!” 

Kondisi Gi menjadi semakin parah dengan cepat tanpa sihir penyembuhan Kakek Eon. Kini, waktunya  benar-benar sudah tidak lama lagi.  

“Tapi, perasaan saya takkan berubah, kok. Tuan memang selalu menjadi orang yang baik hati dari dulu  sampai sekarang. Perasaan ini akan saya bawa sampai mati. Yah, tapi tetap saja, waktu saya memang sudah  tidak banyak lagi, ya? Uhuk-uhuk.” Gi memasang senyuman polos, sedikit bercanda. 

“Kau, bahkan di saat seperti ini… masih saja…” Kakek Eon mulai menitikkan air mata.

“Sebenarnya, saya masih menyesal karena tidak bisa menyelamatkan anak-anak itu, tapi apa boleh buat  sekarang. Aku… hanya bisa berharap… mereka semua… baik-baik saja… di alam sana.” Napas Gi semakin  lemah, tempo perkataannya juga melambat. 

“Keberadaan Anda… dan Kakak… adalah sesuatu… yang tak tergantikan… dalam kehidupan saya.  Saya benar-benar… merasa bersyukur… untuk bisa… bertemu dengan Anda… sebelum saya mati. Saya…  benar-benar… bahagia.” 

Kakek Eon hanya bisa terdiam di tempatnya sembari terisak lirih. Rasanya benar-benar menyakitkan  untuk mendengar perkataan Gi yang terputus-putus seperti ini. 

“Tuan… Terima kasih… untuk segalanya. Dan…” 

Gi berhenti sejenak, mengambil napas yang sangat panjang. 

“Saya mencintai Anda… Tuan Eon.” 

Senyap. Yang tersisa hanyalah isakan lirih Kakek Eon. Barusan itu adalah napas terakhir Gi. Kakek Eon  berusaha menghentikan isakannya, ia menutup kedua kelopak mata Gi yang masih sedikit membuka. Ia  meninggal dalam keadaan tersenyum, wajahnya tampak begitu damai.  

“Aku… juga mencintaimu, Gi.” 

Kakek Eon berusaha tersenyum, walaupun suasana hatinya sekarang sedang begitu getir. Ia  membopong tubuh Gi yang mulai dingin, meninggalkan lingkungan istana dalam senyap. 

Ah, benar. Ini adalah kedua kalinya aku menangis seumur hidupku. Yang pertama kali, saat itu aku  juga sedang bersama denganmu. Bukankah begitu, Gi? 

Kakek Eon membawa jasad Gi ke hutan perkotaan yang terisolasi dari orang-orang. Pagi harinya,  Kakek Eon sudah mengisi kembali sejumlah energi sihir miliknya. Ia menggunakannya untuk mencari kuburan  kakak Gi—ia berniat memakamkan Gi di sebelah kakaknya apabila bisa. Namun, setelah dua hari penuh  mencari dengan berteleportasi yang tak terhitung jumlahnya, kondisi jasad Gi mulai memburuk. Kakek Eon  memutuskan untuk menyerah mencari. Ia memutuskan untuk memakamkannya di kota terakhir mereka  bertemu.  

Maaf, Gi. Aku tidak bisa menemukan kuburan kakakmu. Tapi tenang saja, aku takkan melupakan  kalian berdua seumur hidupku. Kakek Eon berkata dalam hatinya setelah selesai mengubur jasad Gi. Ia  berencana untuk berkunjung setiap bulannya. 

Kakek Eon mulai merenungi soal kehidupan keduanya ini seiring ia melanjutkan pengembaraannya.  Ia sudah berkeliling dunia—mengunjungi berbagai macam tempat, dan bertemu dengan berbagai macam  orang. Sudah tak terhitung berapa banyak permasalahan yang dia selesaikan, dan kebahagiaan yang sudah dia  berikan kepada orang-orang. Namun, pertemuannya dengan Gi adalah sesuatu yang sangat spesial.  Mengajarkannya perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. 

Perasaan bahagia. Khawatir. Cinta. Frustrasi. Keputusasaan. Kesedihan mendalam setelah  ditinggalkan oleh seseorang yang berharga. Gi adalah orang pertama yang mengajarinya semua itu. Ia takkan 

pernah melupakannya seumur hidupnya. Terkadang, apabila ia memikirkan sosok Gi, dadanya merasa sesak.  Rasanya menusuk dalam, membuatnya merana.  

Jadi, seperti ini rasanya orang-orang saat kehilangan seseorang yang mereka sayangi. Dulu, aku tak  pernah memikirkan soal ini. Ternyata rasanya bisa sesakit ini.  

Tak terhitung sudah berapa banyak orang yang kubuat untuk merasakan hal memilukan seperti ini di  masa lalu. Ya ampun, memangnya aku diperbolehkan untuk merasa sedih soal ini? 

Benar. Saat ini, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan. Melanjutkan misiku sebagai Pemelihara, dan  melanjutkan hidup. Kali ini, akan kulakukan untuk Gi juga. 

Akhirnya, Kakek Eon mulai kembali fokus kepada misinya. Mencari tahu masalah apa yang  sebenarnya terjadi pada kota tersebut, dan menyelesaikannya. Setelah pencarian dan penyelidikan yang ia  lakukan dengan teliti, rupanya kota itu biasanya akan menunggu hingga anak-anak yatim-piatu dan anak  jalanan di sana menginjak usia dewasa, lalu menculiknya dan menjadikannya budak ataupun dijual ke tempat  lain. Sungguh masalah yang rumit. Namun, sekarang tanpa interferensi apapun yang mengganggu, Kakek Eon  pada akhirnya tetap berhasil mengatasinya dengan sihir dan kecerdasannya, dan sekarang kota tersebut sudah  mempunyai panti asuhan, sebagaimana mestinya dimiliki oleh setiap kota untuk menampung anak-anak yang  kurang beruntung. 

Kakek Eon juga mulai menambahkan beberapa catatan dalam pengembaraannya. Pertama, ia harus  benar-benar teliti dan waspada dalam bertindak. Ia sekarang paham betul dengan batasan kemampuan sihirnya.  Terutama soal ia bisa mengubah pikiran seseorang, namun tidak bisa mengubah hati mereka. Ia harus  memastikan dengan betul bahwa hasil pekerjaannya tidak diketahui siapapun—itu artinya ia harus benar-benar  membatasi penggunaan sihirnya yang berisiko terlihat orang lain dengan mudah, dan memastikan untuk tidak  terlalu berhubungan dekat dengan siapapun agar sosoknya tidak membekas di hati mereka di luar  sepengetahuannya, seperti yang terjadi pada Gi. Itulah yang terpenting.  

Dan dengan begitu, tahun-tahun berlalu dengan cepat. Melewati berbagai zaman dan peradaban yang  semakin berkembang dan berubah.  

Seperti yang sudah ia ikrarkan kepada dirinya sendiri. Menjalani kehidupan. 

… 

Dan begitulah masa lalu dan kisah cinta seorang tiran terkejam yang pernah hidup di dunia ini. Aku  tidak bisa menahan deraian air mataku di akhir kisah cinta dari Kakek Eon tersebut. Aku tak pernah mengira  kalau Kakek Eon memiliki kehidupan yang seperti itu di masa lalu. Padahal, itu hanya salah satu dari sekian  banyak kisah hidup panjang Kakek Eon yang terekam dalam ingatan ini. 

Lalu, bukan hanya itu saja alasanku tidak bisa menutup mataku rapat-rapat untuk tidur sekarang. Ini  juga karena sesuatu hal yang dikatakan Sang Pencipta kepadaku saat itu.

Eon telah melakukannya dengan baik sampai sekarang, bahkan jauh melampaui ekspektasiku. Aku  berubah pikiran tentangnya. Oleh karena itu, dalam waktu tujuh hari, Eon akan menyelesaikan perjalanan  panjangnya. 

Sekarang, apakah kau bersedia untuk menjadi penerusnya? 

Menjadi seorang Pemelihara.  

Begitulah yang disampaikan kepadaku. Itu berarti, Kakek Eon akan segera pergi dari dunia ini. Aku  tidak tahu harus merasa bagaimana soal ini. Kurasa, Kakek Eon sudah menjadi sosok yang tak tergantikan  dalam hidupku. Aku tidak ingin dia pergi… 

Sepertinya percuma saja aku mencoba untuk tidur malam ini. Aku memutuskan untuk bangun dari  tempat tidurku, hendak mencari Kakek Eon. Dilihat dari suasana hati Kakek Eon sejak pulang dari Alam  Permulaan tadi, sepertinya aku tahu di mana dia sekarang.  

Setelah lima belas menit berkendara dari penginapan, aku akhirnya sampai di menara jam kota.  Aku turun dari tumpangan kuda yang kupesan. Mengucapkan satu-dua patah kata terima kasih kepada si  kusir. Kemudian aku mendongak ke atas.  

Sudah kuduga.  

Aku menaiki menara jam itu hingga ke pucuknya. Sepertinya menara jam ini setinggi bangunan  sepuluh lantai, membuatku kehabisan napas ketika menaikinya.  

“Apa yang kau lakukan di sini, Nak?” 

“Uh… selamat malam, Kek.” 

Kakek Eon sedang duduk di balkon yang menghadap langsung ke kota. Aku ikut duduk di  sebelahnya. Dari ingatan yang kuperoleh, Kakek Eon sepertinya suka menghabiskan malamnya dengan  menatapi suasana malam dari ketinggian apabila suasana hatinya sedang tidak enak. Aku melangkah  mendekat, dan duduk di sebelah Kakek Eon.  

“Dari mana kau tahu aku berada di sini?” 

“S-soal itu…” 

“Sudahlah, aku sudah tahu. Ini pasti ulah dari Sang Pencipta, bukan?” 

Aku menelan ludah. Aku tidak punya kata-kata apapun untuk menyanggahnya.  

“Tak perlu takut seperti itu, hei. Santai saja. Kita berdua sekarang sedang menikmati pemandangan  kota dari atas sini, bukan? Tak pernah membuatku bosan.” 

Aku setuju kalau pemandangannya bagus. Hanya saja… 

“Kurasa, aku tak perlu menyembunyikan apapun lagi darimu, ya, Nak.” 

TUNG! TUNG! TUNG! 

Aku refleks menutup telingaku dan bergerak mundur. Menara jam sedang berdetak keras tepat di  belakangku, menandakan tengah malam. Kakek Eon tidak bergerak sesenti pun dari tempatnya duduk, sepertinya ia tak terpengaruh sama sekali oleh suara keras itu. 

“Mulai dari sekarang, tujuh hari lagi, aku akan menyelesaikan perjalananku dan menghilang dari  dunia ini. Lalu, kau mendapat penawaran untuk menjadi Pemelihara untuk menggantikanku. Begitu,  bukan?” 

“I-iya…” 

“Apakah kau akan rindu denganku setelah aku pergi?” 

“Tentu… Tentu saja! Sangat!” 

Kakek Eon tertawa ringan. “Bagaimana, melihatku di masa lalu dari sudut pandangku sendiri? Kau  merasakan rasa sakit di dada yang kurasakan?” 

“Tidak… kurasa tidak begitu. Aku tidak merasakannya…” 

“Begitu, ya. Apakah mengasyikkan? Seberapa banyak yang sudah kau lihat?” 

“T-tidak terlalu banyak. Sampai sekarang, baru ingatan dengan wanita model itu…” 

“Ah, maksudmu Gi? Ya ampun, sudah berapa ratus tahun yang lalu, ya? Sudah lama sekali aku  tidak berkunjung ke kuburannya. Yah, mau bagaimana lagi, kuburannya dulu digunakan sebagai lahan  pembangunan. Apa boleh buat.” Kakek Eon tertawa lepas setelahnya. 

“… Tidak, bukan begitu. Aku bukan bermaksud untuk menertawakan itu. Hanya saja… untuk  seseorang yang sudah hidup lama sepertiku, perspektifku terhadap waktu mulai berubah. Hal yang terjadi  ratusan tahun lahu, terkadang rasanya seperti baru kemarin terjadi.  

“Gi adalah… sosok yang sangat berharga bagiku. Meskipun aku tak bisa berkunjung ke kuburannya  lagi, dia takkan pernah kulupakan dari ingatanku. Kau sudah melihat apa yang dia lakukan di ruang bawah  tanah istana? Dia sangat hebat, bukan?” 

Aku mengangguk-angguk. Gi memang sosok yang luar biasa.  

“Dia adalah cinta pertama dan terakhirku. Yah, walaupun begitu, bukan berarti kita berdua bisa  bersama. Bahkan dari awal, sebenarnya aku sudah tidak pantas untuk jatuh cinta dengan siapapun. Aku juga  sadar diri dengan siapa diriku di masa lalu. Aku sebenarnya sudah sangat kelewatan dengan jatuh cinta  seperti itu, kau tahu?” 

“T-tapi, tetap saja… Anda—” 

“‘Anda sudah berbuat kebaikan selama ratusan tahun juga’, begitu yang ingin kau katakan?” Aku terdiam. Mudah sekali terbaca, rupanya. 

“Kau salah paham. ‘Berbuat baik selama ratusan tahun’ mungkin terdengar seperti sesuatu yang hebat.  Tapi, sebenarnya itu sama sekali tidak. Justru sebaliknya, aku sama sekali tidak merasa bahwa aku telah  menyelesaikan apapun dalam kehidupan keduaku ini.”

Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi langsung mengurungkannya. Dunia ini sudah menjadi jauh  lebih baik sekarang, kan? Tidak ada lagi perang, tak banyak konflik, dan kedamaian di mana-mana. Bukankah  itu karena kerja keras Kakek Eon juga? 

“Kau ingat, kalau aku diberi hukuman dengan rasa sakit di dalam dadaku ini? Sampai sekarang pun  aku masih merasakannya. Memang tidak separah dulu, namun ini sebenarnya masih terasa sakit. Masih banyak  orang-orang di dunia ini yang tidak bahagia dan berada dalam kesedihan. Saat kupikir aku sudah  membahagiakan seluruh orang di dunia ini, rasa sakit ini tetap ada dan tak pernah hilang sepenuhnya. Itu  artinya aku belum berhasil dalam misiku ini. 

“Lalu, apakah kau juga ingat? Saat hari pertama kita berdua bertemu. Itu bukanlah kebetulan. Lebih  tepatnya, itu seperti sebuah takdir.” 

“Takdir…?” 

“Beberapa hari sebelum bertemu denganmu, Sang Pencipta sudah memberitahuku soal hari akhirku  yang sudah dekat. Pada saat itu, aku merasa sangat bingung. Seperti yang kubilang, aku sama sekali belum  menyelesaikan tugasku sebagai seorang Pemelihara. Kukira aku akan hidup abadi—aku bahkan sudah siap  untuk itu. Namun, ternyata tidak demikian.  

“Sang Pencipta juga mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan seorang pemuda, dan ia  menyuruhku untuk berteman dengannya selama satu tahun. Pada awalnya, kukira itu tidak mungkin—karena  pada dasarnya, aku memang tidak boleh berhubungan dekat dengan siapapun demi kelancaran misiku. Namun,  pada akhirnya aku tetap bertemu denganmu di bukit itu. Saat kupikir aku bisa meninggalkanmu dan  memanipulasi ingatanmu begitu saja, aku salah besar. Ini seperti, Sang Pencipta sengaja membuat pengecualian  hanya untukmu agar aku tak bisa menjauhimu. Begitu menyadari hal itu, aku pun menyerah dan mengajakmu  dalam perjalananku.” 

Aku merasa sedikit merinding. Aku adalah pengecualian? Ditakdirkan untuk bertemu dengan Kakek  Eon?  

“Bagaimana perasaanmu sekarang? Kau itu ‘orang yang ditakdirkan’, lho.” Kakek Eon tertawa ringan,  menepuk punggungku perlahan. 

“Aku… masih tidak merasa bahwa aku adalah orang yang pantas sebagai orang yang ditakdirkan seperti itu,” kataku dengan nada pesimis. “Lagipula, aku bahkan masih belum terlalu mengerti apa itu artinya  menjadi seorang Pemelihara. Apakah menjadi seorang Pemelihara berarti… melakukan apa yang Kakek Eon  lakukan selama ini?” 

“Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin saja.” 

“K-kalau begitu, pasti banyak orang lain di luar sana yang jauh lebih cocok dariku untuk menjadi  Pemelihara… Kenapa harus aku—” 

“Sudah, sudah,” potong Kakek Eon cepat. “Sebaiknya jangan terlalu kau pikirkan soal Pemelihara itu.  Bahkan dari awal, seharusnya aku tetap tak boleh membiarkan orang lain yang mengambil tanggung jawab dari  misi yang diberikan kepadaku ini. Kau tidak perlu menanggung beban apapun dari masalah yang kubuat. Kau 

belum menemukan sesuatu yang ingin kau lakukan, bukan? Lebih baik pikirkan saja apa yang terbaik untuk  dirimu sendiri sekarang.”  

“Apa yang akan terjadi… bila aku tidak menjadi Pemelihara?” 

“Hm? Kupikir tidak akan terjadi apa-apa, kok. Ya ampun, kau ini khawatir sekali.” Kakek Eon kembali  tertawa kecil, lalu beranjak berdiri. 

“Dunia takkan berubah hanya karena seorang kakek tua sepertiku menghilang. Maksudku, lihatlah.  Aku mungkin seorang Pemelihara, namun kesedihan dan kesengsaraan takkan pernah menghilang sepenuhnya  dari dunia ini. Jadi, yah, apabila hari itu tiba… 

“Aku hanya akan menghilang dari dunia ini. Begitu saja.” Aku melirik ke arah Kakek Eon sejenak. Ia  tampak tersenyum lebar. Namun, aku merasakan ada sesuatu yang ganjil dari senyuman itu. 

Kakek Eon pun berbalik, mulai berjalan menuruni menara jam. 

“Kek…!” 

“Ah, aku hanya sedikit lapar. Kau mau ikut?” 

… 

Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa tidur di malam itu. Setelah pembicaraan itu dengan Kakek Eon,  semakin banyak hal yang sedang berkecamuk di kepalaku. 

Apakah aku memang orang yang pantas untuk menjadi seorang Pemelihara? Aku tak henti-hentinya  berkata seperti itu dalam hatiku.  

Masih ada masalah yang lain. Apa yang harus kulakukan dengan ingatan Kakek Eon yang berada di  dalam kepalaku sekarang ini? Apakah aku harus meminta… tidak, Kakek Eon sudah bilang bahwa dia tidak  bisa memanipulasi ingatan milikku bagaimanapun juga. Dia juga bilang, bahwa pengecualian yang terdapat  padaku pasti memiliki suatu campur tangan dari Sang Pencipta. 

Aku terus berpikir. Apa hubungan dari semua ini? Pertemuanku dengan Kakek Eon yang ditakdirkan.  Aku yang dijadikan sebuah pengecualian agar bisa bersama dengannya. Ingatan kehidupan Kakek Eon yang  diberikan kepadaku. Menawariku untuk menjadi Pemelihara. Setelah kupikir-pikir lagi, dari semua itu selalu  ada campur tangan dari Sang Pencipta. Tak salah lagi. 

Sang Pencipta secara tidak langsung sudah memilihku sebagai penerusnya sebagai Pemelihara. Tapi  tetap saja, pertanyaan itu masih belum bisa kutemukan jawabannya. Kenapa harus aku? Sang Pencipta pasti  punya suatu alasan untuk ini, yang belum aku ketahui.  

Di hari-hari terakhirnya, Kakek Eon memutuskan untuk tidak berpindah kota. Aku sekarang lebih  sering untuk menghabiskan waktu di dalam kamar, melamun. Selalu terngiang-ngiang soal tempo hari. Mau  bagaimanapun aku menimbang-nimbang soal tawaran itu, aku tidak pernah menemukan jawaban yang pasti 

untuk apa yang harus kulakukan. Terkadang, aku hanya bisa menghibur diri dengan melihat potongan potongan ingatan Kakek Eon sewaktu-waktu. Mencoba mencari jawaban atas kebimbanganku di sana. 

Hari demi hari berlalu tanpa terasa. Sekarang sudah hari terakhir sebelum kepergian Kakek Eon. Aku  akhirnya benar-benar tanpa harapan, buntu. Aku akhirnya memutuskan untuk sedikit berjalan-jalan di luar  penginapan, untuk menjernihkan kepalaku yang sekarang. 

Situasi tidak terlalu berbeda. Hanya keseharian yang normal. Orang-orang yang berlalu-lalang, hari  yang cerah dan sedikit berangin. Kakek Eon juga tidak melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya— berbagi kebahagiaan dan senyuman dengan orang lain yang ia temui di jalanan.  

Ini tidak membantu. Aku masih merasa jenuh dengan semua ini. Terutama ingatan milik Kakek Eon  di dalam kepalaku sekarang ini. Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa dengan ingatan ini. Mau berapa  kali aku mencoba untuk melihat potongan ingatan dari seribu tahun kehidupannya, aku tidak bisa menemukan  jawaban yang pasti dari kebimbanganku ini.  

Apakah aku bisa memanfaatkannya untuk meniru cara hidup Kakek Eon? Tidak, itu tidak mungkin.  Aku bukanlah penyihir hebat sepertinya. Aku bukanlah siapa-siapa, hanyalah seseorang kesepian yang  kebetulan bisa bertualang bersama dengan seorang yang hebat seperti Kakek Eon. Aku hanya bisa merasa  kosong setiap kali melihat Kakek Eon yang bisa melakukan banyak hal hebat dalam kehidupan keduanya itu.  Seperti… semua ingatan ini hanya ada untuk membebaniku.  

Pada akhirnya, aku tidak tahan lagi. Aku tidak bisa memikirkan ini sendiri. Aku butuh masukan orang  lain untuk masalah ini—selain Kakek Eon, tentunya. Tapi, kembali lagi—aku tidak tahu harus bertanya ke  siapa yang cocok untuk masalah ini. 

Aku melihat anak-anak kecil dengan pakaian kumuh yang berlarian di jalan. Membuatku berpikir di  dalam hati. Masih ada anak-anak seperti mereka di jalanan seperti ini, meskipun Kakek Eon sudah berusaha  keras selama ini. Kalau Kakek Eon saja tidak bisa melakukannya, lantas apa yang bisa kulakukan? 

Setelah berjalan sebentar, aku melirik ke salah satu lorong kecil yang gelap. Terdapat seorang anak— yang kuasumsikan yatim-piatu—sedang duduk di sana, tampak murung. Aku tidak tahu kenapa anak  sepertinya tidak dimasukkan ke dalam panti asuhan—namun bukan itu hal yang penting sekarang. Sesuatu  langsung tebersit dalam kepalaku. 

Apakah aku memang bisa melakukan yang seperti dilakukan Kakek Eon? Aku tidak bisa melakukan  hal-hal luar biasa dan besar yang seperti Kakek Eon lakukan dengan sihirnya. Aku tidak cukup pintar ataupun  memiliki kemampuan yang cukup untuk membantu orang lain menyelesaikan permasalahan mereka. Namun,  aku masih berandai-andai. Satu-satunya hal yang biasa dilakukan Kakek Eon, yang masih mungkin bisa kulakukan. 

Apakah aku bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain yang barusan kutemui begitu saja?  Aku pun melangkah mendekati anak kecil di lorong itu. Aku menyapanya dengan canggung. “H-halo.” 

Anak kecil itu menoleh dengan pelan kearahku. Ia tidak memberi jawaban apapun, hanya  memperlihatkan wajah kumal dan pucatnya. 

“A-anu…”

Sial. Bahkan sebelum memulai pembicaraan, aku sudah bingung mengatakan apa. Aku hanya spontan  menyapa anak kecil di hadapanku ini, berpikir bisa sedikit membuatnya lebih bahagia seperti yang biasa Kakek  Eon lakukan. Aku sama sekali tidak mempunyai rencana soal ini. 

Tapi, aku sudah telanjur memulainya, dan aku tidak bisa mundur dari posisiku yang sekarang. Aku  harus memikirkan sesuatu dengan cepat.  

Sekarang, hanya ingatan kehidupan Kakek Eon yang ada bersamaku. Mungkin saja, apabila aku…  

“B-begini… aku tidak punya uang atau makanan. Tapi… begini… Apakah kamu ingin mendengarkan  sebuah cerita? Eng…” 

Aku masih patah-patah dalam perkataanku. Anak kecil itu juga tampaknya tak tertarik. Situasinya  semakin canggung. Tapi kembali lagi, aku tidak bisa mundur sekarang. 

“Judulnya… Sang Penyihir yang terbang tinggi di Gunung Es.”  

Aku sendiri langsung merasakan penyesalan dalam hatiku begitu mengatakannya. Itu hanyalah judul  yang kubuat seadanya berdasarkan salah satu potongan ingatan Kakek Eon yang sudah aku lihat sejauh ini.  

Anak kecil itu menoleh ke arahku, membulatkan kedua matanya. “Penyihir…?” 

“Eh? Iya, penyihir…” 

“Kakak… Kakak tahu soal penyihir…?” 

“Anu… sepertinya begitu…” 

“Kakak mau bercerita? Kakak mau bercerita soal penyihir?” Anak kecil itu beranjak berdiri, mendekat  kepadaku. Matanya semakin berbinar-binar. Kembali lagi, aku hanya bisa mengiyakannya dengan canggung. 

“Terima kasih… Kakak! Sebentar, aku akan panggilkan yang lain…”  

Anak kecil itu mulai berlari-lari kecil, menghilang di ujung lorong. Dia akan memanggil teman temannya yang lain?  

Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan keras. Ya ampun, apa yang baru saja kulakukan?!  Apakah aku dalam masalah sekarang? Kenapa sekarang jadi seperti ini? 

Beberapa saat kemudian, anak kecil barusan kembali dengan teman-temannya yang lain. Sekarang  anak kecilnya berjumlah empat orang.  

Aku mengamati wajah mereka masing-masing. Dua dari mereka tampak berbinar-binar dan antusias  seperti anak yang tadi, dan satunya lagi berwajah masam. Anak berwajah masam tersebut terus saja mengeluh  soal penyihir yang sebenarnya tidak ada. Sedangkan tiga dari mereka semuanya antusias soal cerita penyihir  yang akan kuceritakan. Sepertinya aku sudah memahami apa yang terjadi dengan anak-anak ini sekarang. 

“Baiklah. Kalian semua duduklah.” 

“Eh? Kakak tidak membaca buku cerita?” 

“… Eng… kurasa tidak. Aku hafal ceritanya.” Aku memasang senyum polos.

Entah mengapa, aku menjadi lebih rileks setelah melihat wajah-wajah mereka barusan. Kini, aku mulai  lebih merasa percaya diri dan berusaha untuk mengurangi semua kecanggungan yang ada.  

Akhirnya, aku pun duduk dan mulai bercerita. Ini adalah kali pertamanya bagiku, jadi tentu saja tidak  berjalan mulus. Penyampaianku masih patah-patah, bahasa yang kupakai juga berantakan dan kaku. Lalu di  tengah-tengah, aku juga sering kali lupa dengan alurnya yang harus membuatku berhenti sejenak untuk  mengintip ingatan Kakek Eon kembali.  

Setelah lima belas menit aku bercerita dengan segala kekurangannya, aku mengelap wajahku yang  berkeringat. Aku gugup sekali tadi.  

Prok. Prok. Prok. 

Di luar dugaanku, anak-anak di hadapanku sekarang bertepuk tangan. Hanya satu anak yang dari tadi  memasang wajah masam yang tidak bertepuk tangan. Ia hanya mendecak, dan terus mengeluh soal ceritaku  yang mengada-ngada. Ia lantas berlari menjauh setelahnya. 

“Jangan dipedulikan, Kak. Dari dulu dia memang tak pernah percaya soal penyihir.” “Iya, lanjutkan dong, Kak! Bagaimana nasib penyihir setelah ia mengalahkan naga es itu!” “Lanjutkan, Kak!” 

“Penyihir itu hebat sekali! Dia benar-benar berani!” 

Aku terdiam, menyaksikan antusiasme anak-anak jalanan di hadapanku sekarang ini. Mereka semua  benar-benar mengikuti ceritaku dengan penuh perhatian—terlepas dari penyampaianku yang jauh dari kata  sempurna. Mereka tidak tahu, kalau aku hanya menceritakan ulang soal sebuah potongan ingatan Kakek Eon  dari masa lalu. Aku hanya tidak menyebutkan nama-nama orang secara eksplisit saja, tidak lebih dari itu. Aku  memang masih kebingungan dengan apa yang sedang terjadi sekarang, namun… 

Aku melihat wajah mereka satu per satu. Mereka tersenyum lebar. Mereka tampak senang. Wajah  muram bocah yang tadi, menjadi seolah tak pernah ada sebelumnya. Dan yang terpenting… 

Apakah aku berhasil membuat mereka merasa bahagia? 

“A-apakah kalian merasa senang?” tanyaku dengan ragu-ragu. 

“Hm! Hm!” Salah satu anak mengangguk antusias. “Kakak, apakah Kakak punya cerita tentang  penyihir yang lain? Atau kelanjutan dari yang tadi?” 

“E-eh? Anu, sebenarnya—” 

“Apakah Kakak pernah bertemu dengan penyihir itu?” Salah satu anak yang lain memotong cepat. “Apa? S-soal itu…” 

Wajah penasaran ketiga anak itu semakin mendekat, membuatku kelabakan.  

“Soal itu… tidak. Sayangnya, aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku hanya suka membaca buku  cerita. Kebetulan ini adalah cerita kesukaanku…”

Terdengar nada kekecewaan dari mereka bertiga. Maaf saja, tapi aku memang benar-benar tidak boleh  membocorkan identitas Kakek Eon yang sebenarnya kepada siapapun. Hanya ini yang bisa kulakukan. 

“Yah, tapi meskipun begitu, aku sepertinya masih berada di sini untuk besok, dan aku mungkin bisa  membawakan cerita yang lain—” 

“Sungguh, Kak?! Hore!” Ketiga anak itu langsung bersorak senang, tidak membiarkanku  menyelesaikan kalimatku. Aku hanya bisa ikut tersenyum. 

“Lalu, bagaimana dengan teman kalian yang tadi pergi?” 

“Oh, dia? Dia sama sekali tidak percaya dengan sihir. Begitu mendengar sesuatu soal sihir ataupun  penyihir, dia biasanya langsung marah-marah sendiri. Biarkan saja.” 

“Ya, biarkan saja dia! Dia sama sekali tidak seru!” 

“Padahal sihir itu seru… dia memang aneh!” 

Ketiga anak itu pun sekarang masing-masing membicarakan salah satu teman mereka yang kabur tadi.  Begitu melihat mereka yang seperti itu, aku baru mulai menyadari sesuatu.  

“Sudah, sudah. Kalian tidak boleh begitu. Tidak baik mengolok-olok teman kalian sendiri saat dia  sedang tidak bersama kalian.” 

“Eh? Tapi… dia memang begitu anaknya. Apabila kami semua berkumpul, dia malah lebih suka  menyendiri. Dia memang menyebalkan!” 

“Ingat, Sang Penyihir tadi tidak pernah berkata buruk soal kawannya, bukan? Dia selalu mendukung  mereka. Apabila mereka bertengkar, mereka saling meminta maaf satu sama lain. Kalian tidak ingin menjadi  seperti Sang Penyihir?”  

Seketika, raut wajah ketiga anak itu melunak. Mereka juga terdiam seketika.  

“M-maafkan aku, Kak…” 

“Jangan meminta maaf padaku. Minta maaf pada teman kalian yang tadi. Kalau dia memang tidak  percaya dengan penyihir, bukan berarti kalian harus bermusuhan dengannya, bukankah begitu?” 

Ketiga anak itu kembali terdiam. 

“Berbaikanlah dulu dengannya, dan besok aku akan datang lagi. Kurang lebih di jam yang sama seperti  sekarang. Kalian mengerti?” Aku beranjak mendekat dan berjongkok, mengelus kepala mereka satu persatu.  

“B-baiklah, Kak!” Mereka bertiga kompak menjawab dengan lantang. 

Aku memasang senyum lebar. “Bagus. Kalau begitu, sampai jumpa besok.” 

“Mhm! Terima kasih banyak untuk hari ini, Kak!”  

“Terima kasih, Kak!” 

“Besok… janji, ya, Kak!”

Setelah itu, mereka bertiga langsung berbalik dan berlarian di lorong gelap yang sempit ini. Mereka  masih bersorak senang, sepertinya antusiasme mereka belum luntur. Aku pun beranjak berdiri, meninggalkan  lorong sempit ini.  

Aku berjalan kembali ke penginapan. Sebelum aku menyadarinya, ternyata aku tidak bisa berhenti  tersenyum. Hanya dari pertemuan yang tadi, aku mendapatkan sesuatu yang sangat penting. 

Hari mulai berganti malam. Aku masih melamun di dalam kamarku, menimbang-nimbang banyak  hal. Namun, suara jam di dinding tetap terus berdetak di tengah kesunyian. Tengah malam semakin dekat. Aku  harus mulai memutuskan. 

Aku membuka pintu kamar Kakek Eon. “Kek…?” 

“Oh, masuklah.” 

“Permisi…” Aku melangkah masuk ke dalam. Tirai jendela kamar sedang dibuka lebar walaupun  sedang malam, memang kebiasaan Kakak Eon untuk melakukannya. Kamarnya sekarang berada d lantai dua  penginapan, dan jendelanya menghadap langsung ke jalanan di depan penginapan. Di malam hari,  pemandangan dari jalanan malam yang ramai dan cahaya bangunan di sekitar yang indah memang adalah  kesukaan Kakek Eon.  

Kakek Eon sedang terbaring di ranjangnya, menutup kedua matanya. Aku duduk di kursi sebelah  ranjangnya. 

“Ya ampun, kau jangan terlihat murung begitu. Ini bukan akhir dunia atau apapun itu.” Kakek Eon  tertawa di tempat tidurnya. 

“Jadi… apakah Kakek… benar-benar akan pergi malam ini?” 

“Aku… sejujurnya juga tidak tahu.” 

“Tidak tahu? Jadi…” 

“Hei, hei, bukan begitu.” Kakek Eon melambaikan tangannya. “Bukan berarti juga kalau aku akan  tetap di sini. Aku bilang, aku tidak tahu. Aku juga merasa lebih lemas dari biasanya sekarang, jadi jangan  berharap banyak.” 

Aku mengulas senyum tipis. “Ya, aku mengerti, kok.” 

“Hm? Kau tidak tampak begitu murung, ya. Kau tidak akan sedih ketika aku pergi?” “B-bukan begitu! Tentu aku juga akan merindukanmu, Kek. Hanya saja…” 

Kakek Eon tertawa. “Heh. Tidak apa-apa. Justru seharusnya kau tidak perlu melakukan itu. Kau tidak  perlu merindukanku atau apapun itu…” 

Aku menundukkan kepalaku. “T-tapi…” 

“Yah, maunya aku berkata seperti itu. Tapi, sepertinya aku membuat kesalahan yang sama lagi, ya? Aku sudah meninggalkan kesan yang terlalu kuat untuk kau lupakan. Sama seperti saat dengan Gi dulu.” 

Aku tetap terdiam. Masih belum berani menatap wajah Kakek Eon secara langsung.

“Kalau aku memang akan menghilang dari dunia ini saat tengah malam nanti, Aku ingin berterima  kasih kepadamu untuk satu tahun ini. Aku benar-benar merasa senang kau bisa menemaniku dalam waktu ini.” 

Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Kakek Eon barusan. “T-tidak, itu bukan seberapa…”  

“Ya ampun, ada apa dengan kau ini? Wajahmu suram sekali. Aku berterima kasih kepadamu, lho.  Setidaknya tersenyumlah.” 

“H-hanya saja… saya yang seharusnya berterima kasih kepada Kakek. Saya bisa melihat banyak hal di  dunia ini, juga berkat Kakek. Sungguh… saya berterima kasih…” 

“Hm-hm. Cukup dengan berterima kasihnya. Ya ampun, suasana di sini jadi kaku sekali.” Kakek Eon  melambaikan tangannya. “Jadi, bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang ingin kau lakukan?” 

Aku tersenyum yakin. “Sudah, Kek.” 

Kakek Eon menaikkan sebelah alisnya. “Oh-ho? Benarkah begitu? Beritahu aku.” 

“Saya ingin meneruskan tugas Anda, menjadi Pemelihara.” 

Hening sejenak. Kakek Eon menatap wajahku dengan tatapan keheranan. “… Apa?” … 

Satu jam menuju tengah malam.  

“Apa aku tidak salah dengar?” 

“Tidak, Kek.” 

“Kau serius?” 

“Aku serius.” 

Kakek Eon mengalihkan pandangannya. Ia bergumam lirih. “Kau pasti sedang bercanda…” “Kenapa Kakek sebegitu tidak percayanya denganku? Aku benar-benar serius soal ini.” 

“Tapi, pikirkanlah lagi!” Kakek Eon terduduk di kasurnya, kedua matanya melotot ke arahku. “Kau  tidak perlu repot-repot untuk melanjutkan pekerjaan orang tua ini. Sudah kubilang, kau tidak perlu terlibat  dengan semua masalah yang kubuat ini. Hidupilah hidupmu sebebas mungkin!” 

“Justru itu, Kek. Ini bukan paksaan siapapun. Aku sendiri yang memilih jalan ini.” 

“Tapi kenapa? Kau tidak tahu apa konsekuensi dari menjadi seorang Pemelihara—” 

“Aku tahu, Kek,” potongku cepat. “Aku sudah tahu banyak hal setelah melihat ke dalam ingatanmu.  Dan setelah menimbang-nimbangnya, aku menjadi yakin sekarang.”

Kakek Eon mengusap wajahnya. “Tapi, kau bukan penyihir… bagaimana kau akan menjadi seorang  Pemelihara? Aku saja gagal, lho! Rasa sakit dalam dadaku ini masih belum hilang, bahkan sampai sekarang.  Sampai akhir, aku tidak bisa menyelesaikan misiku sejak lebih dari seribu tahun yang lalu—” 

“Justru di situlah aku berpikir Kakek Eon salah berpikir,” aku memotong. 

Kakek Eon tercekat. “Salah berpikir? Tentang apa?” 

“Menurut saya, Kakek Eon sudah melakukannya dengan sangat baik. Sang Pencipta tidak salah soal  itu.” 

“Hah? Apa yang kau katakan?” 

“Kakek Eon sepertinya melupakan sebuah hal penting dari peran Pemelihara ini. Bukankah begitu?” “Aku? Melupakan sesuatu? Apa yang kulupakan?” 

Aku membenarkan posisi dudukku. “Sejujurnya, aku masih bingung dengan apa yang harus  kulakukan dengan masa depanku sampai hari ini. Sampai tadi siang.” 

“Apa yang terjadi?” 

Aku pun bercerita soal kejadian tadi siang saat aku bertemu dengan beberapa anak jalanan, dan mulai  bercerita soal salah satu potongan kehidupan dari Kakek Eon yang penuh petualangan dan pengembaraan.  Kakek Eon sempat merasa cemas, lalu aku pun memberitahunya kalau aku tidak membocorkan identitasnya  yang sebenarnya saat bercerita—semuanya baik-baik saja. Aku tertawa kecil setelah bisa membuatnya sedikit  panik. 

“Menjadi seorang Pemelihara bukan berarti harus membahagiakan semua orang. Menjadi seorang  pemelihara berarti merawat dan menjaga. Bukankah begitu, Kek?” 

Kakek Eon tidak menjawab, ia hanya mendengarkanku dengan wajah fokus sekarang. 

“Seorang dokter akan merawat pasiennya, dan seorang peternak akan menjaga ternaknya. Namun,  bukan berarti dokter bisa menyelamatkan semua pasiennya, maupun seorang peternak bisa menjaga seluruh  ternaknya setiap waktu. Mungkin saja dokter bisa membuat kesalahan saat dia sedang banyak pikiran, pun  dengan serigala yang tiba-tiba memakan sebagian besar ternak dalam waktu semalam tanpa sepengetahuan si  peternak. Hal itu sangat lumrah terjadi, bukan? 

“Mereka juga manusia, tidak bisa melakukan segala sesuatunya dengan sempurna. Yang terpenting,  mereka sudah melakukan yang terbaik dalam menjalankan tugas mereka. Sama seperti Kakek. Kakek sudah  konsisten menjalankan tugas sebagai seorang Pemelihara dalam waktu yang sangat lama—lebih dari seribu  tahun—dan saya sangat mengagumi hal itu. Kakek Eon tidak bisa membahagiakan semua orang ataupun  memelihara seisi dunia ini dengan sempurna, namun Kakek Eon sudah melakukan yang terbaik untuk  melakukan semua itu.  

“Menurutku, itulah hal terpentingnya. Menjadi seorang Pemelihara itu bukan soal keharusan untuk  membahagiakan dan memelihara seisi dunia ini, namun berusaha sebaik mungkin untuk melakukan kedua hal  tersebut. Begitulah menurutku. Eh, Kek? Ada apa?”

Tiba-tiba, Kakek Eon menitikkan air mata di hadapanku. Aku sendiri tidak tahu kenapa. 

“Ah, sial. Kenapa aku seperti ini…” Kakek Eon mengusap wajahnya. Aku hendak mengatakan sesuatu,  tapi urung. 

“Kau benar, Nak. Kau memang betul. Aku… aku tidak pernah menyadarinya sama sekali. Tidak  sekalipun dalam seluruh kehidupanku ini. Aku telah melupakan sesuatu yang sepenting itu… 

“Kupikir, aku harus menebus seluruh dosa yang telah kulakukan dengan membuat semuanya bahagia.  Hanya itu yang ada di pikiranku selama ini, dan aku tak pernah menyelesaikannya. Aku tak pernah menyadari  arti dari kata itu secara menyeluruh. Ya ampun, aku ini memang bodoh…” 

Kakek Eon tersenyum, mengelap pipinya sambil terisak secara bersamaan. Aku tidak benar-benar tahu  aku harus berekspresi seperti apa di saat seperti ini. 

“Kau tahu, selama ini aku terus berpikir. Aku sudah hidup lebih dari seribu tahun tanpa diingat  siapapun. Gi adalah orang terakhir yang benar-benar mengetahui identitasku di kehidupan keduaku ini. Kau  adalah yang kedua.” Kakek Eon selesai mengelap wajahnya, kembali berbaring di atas kasurnya. Ia menatap  kosong langit-langit kamar. 

“Kupikir, aku masih sangat jauh dari garis finis yang hendak kucapai. Apapun yang kulakukan, rasa  sakit ini takkan pernah hilang sepenuhnya. Lantas, mengapa tiba-tiba aku mendapat seorang teman  pengembaraan seperti dirimu setelah ribuan tahun menyendiri? Saat itu, aku sama sekali tidak mengerti. 

“Awalnya, aku sebenarnya merasa tidak pantas untuk menerima ini. Misiku masih jauh dari selesai,  begitu yang kupikirkan. Namun, saat bersamamu, aku tak bisa menahannya. Setelah sekian lama, aku bisa  bersama dengan seseorang di mana aku bisa tertawa dan bercanda dengan bebas sesuka hatiku. Rasanya benar benar luar biasa. 

“Aku juga tidak menyangka ketika Sang Pencipta mengatakan bahwa waktuku akan habis di dunia ini  setelah satu tahun bersama denganmu. Saat itu, kupikir aku akan dijatuhi hukuman karena misiku yang tak  kunjung selesai. Namun, ketika aku bersamamu, aku sama sekali tidak merasa ini adalah sebuah hukuman.  Malahan, rasanya seperti sebuah anugerah. Aku selalu bertanya-tanya kenapa seperti itu, dan sekarang akhirnya  aku tahu jawabannya.” Kakek Eon kembali terisak lirih. 

“Hei, Nak… beritahu aku… apakah aku sudah menjalankan tugasku dengan baik sampai sekarang?” “Eh? Um, soal itu…” 

“Kalau iya, elus kepalaku.” 

Aku terkejut. “E-Eh?!” 

“Ayolah. Beritahu aku.” Kakek Eon tersenyum lebar. 

“Eng… Um…” 

Aku menjadi salah tingkah dan ragu-ragu. Namun, aku tidak bisa menahan ekspresi wajah Kakek Eon  yang begitu mengharap. Akhirnya, aku memberanikan diriku. Tanganku perlahan meraih ubun-ubun Kakek 

Eon, mengelusnya dengan selembut mungkin. Pertamanya aku sedikit takut, namun akhirnya aku tetap ikut  tersenyum setelah melihat wajah Kakek Eon yang tersenyum lebar seperti anak kecil. 

“Anda sudah menjalankannya dengan baik, kok, Kek.” 

“Terima… kasih… Nak…” 

Setelah itu, kami berdua melanjutkan obrolan ringan bersama. Bernostalgia soal satu tahun yang kita  berdua habiskan bersama. Terkadang, Kakek Eon juga bernostalgia soal masa lalunya—anehnya, aku juga bisa  bernostalgia karena aku memiliki ingatan Kakek Eon, padahal aku tidak pernah mengalaminya secara langsung.  Kami berdua benar-benar menikmati sisa waktu terakhir yang kami punya sebelum tengah malam. 

Sampai tinggal beberapa menit sebelum tengah malam. Aku kelelahan, dan sepertinya begitu juga  dengan Kakek Eon. Kami berdua benar-benar membicarakan banyak sekali hal. Dalam menit-menit terakhir  ini, suasana di dalam kamar sudah menjadi jauh lebih tenang. Wajah Kakek Eon mulai tampak pucat. 

“Ah, aku terlalu banyak bernostalgia, sampai terlupa. Soal masa depanmu. Kalau kau memang seyakin  itu, bagaimana kau akan hidup sebagai Pemelihara? Kembali lagi, kau bukanlah seorang penyihir sepertiku.” 

“Oh, soal itu. Aku berencana ingin menjadi penulis cerita!” 

“Penulis cerita…?” Kakek Eon menaikkan sebelah alisnya. 

“Aku percaya bahwa Sang Pencipta memberikan ingatan kehidupan Kakek kepadaku untuk suatu  tujuan. Dan sekarang, akhirnya aku mengerti alasannya, juga bagaimana untuk menggunakannya dengan baik.” 

“Tunggu dulu. Kau akan menulis kehidupanku ke dalam cerita?” 

“Yah… kurang lebih begitulah.” 

“Tidak! Itu ide yang buruk.” 

Sekarang aku yang terkejut sekaligus kebingungan setelah mendengar itu dari Kakek Eon. “Eh?  Memangnya kenapa?” 

“Itu hanya akan menimbulkan banyak masalah. Membiarkan orang-orang tahu dengan perbuatanku bukanlah ide yang bagus. Kau juga tahu sendiri kan? Aku hanya membuat masalah kepada diriku sendiri setelah  orang-orang mengetahui tentang apa yang kulakukan. Membuat diriku terlupakan dari semuanya adalah cara  yang terbaik untuk menjalankan misi ini—” 

“Tunggu dulu, Kek. Bukan seperti itu.” Aku memotong. 

“Huh?” 

“Sudah kubilang, bukan? Aku bercerita kepada anak-anak itu tadi tanpa menyebut nama Kakek ataupun nama orang-orang yang Kakek temui. Aku akan melakukan hal yang sama nantinya—kebanyakan  ceritaku akan bersifat anonim, seperti di dongeng-dongeng. Tentu aku juga ingin menceritakannya sebaik  mungkin, karena itulah aku ingin menjadi penulis yang hebat.” 

“Tapi, tetap saja… rasanya…”

“Tidak apa-apa. Aku juga sadar, bahwa aku bukanlah Kakek Eon. Aku bukanlah orang hebat yang bisa  membuat perubahan besar seperti yang Kakek lakukan. Kakek Eon sudah melakukan banyak hal hebat dan  membuat dunia ini seindah sekarang, dan tidak ada yang mengetahuinya. Yang bisa kulakukan, hanyalah untuk  memberitahu orang-orang bahwa selama ini, ada ‘seorang tanpa nama’ yang melakukan banyak hal demi  kebaikan dunia ini tanpa pamrih sama sekali. 

“Aku pikir, orang-orang harus mengetahui soal kisah hidup Kakek. Aku sangat mengagumi semuanya. Banyak sekali pengalaman hidup yang tak bernilai di dalamnya. Aku yakin, dunia bisa menjadi lebih baik  apabila banyak orang bisa mengetahui soal kisah-kisah yang hebat ini. Aku adalah orang yang sudah diberikan  seluruh ingatan yang luar biasa ini. Oleh karena itu, inilah tugasku untuk melanjutkan misi Kakek, sebagai  seorang Pemelihara.” 

Kakek Eon hanya terdiam sambil menatapku. Setelah itu, dia tersenyum tipis. Wajahnya benar-benar  putih sepucat susu sekarang. 

“Kalau kau percaya itu yang terbaik, maka terserah kau, Nak. Buatlah itu semua terjadi. Aku akan  percaya kepadamu. Kau pasti bisa melakukannya, aku yakin itu. 

“Jadilah Pemelihara yang baik, Lacke. Aku… mengandalkanmu…” 

Tung. Tung. Tung.  

Jam kota di luar sudah berdenting, menandakan waktu tengah malam. Aku mendekatkan jariku ke  bawah hidung Kakek Eon. Tidak ada napas. Aku pun menutup kedua kelopak mata Kakek Eon yang masih  sedikit terbuka. Sekarang, Kakek Eon terlihat seperti terlelap dalam mimpi indah dengan senyuman di wajahnya.  

Aku menitikkan beberapa air mata, namun aku langsung berusaha menghentikannya. Bukan  waktunya untuk ini. Beberapa saat kemudian, aku langsung merasakan rasa sakit yang luar biasa di dadaku.  Aku langsung jatuh tersungkur di lantai, meremas dadaku dengan gemetaran.  

Jadi, inilah rasa sakit yang dirasakan Kakek Eon selama lebih dari seribu tahun… Dan ini pasti jauh  lebih parah saat pertama kali ia menerimanya.  

Ini sungguh menyakitkan, namun aku tetap berusaha untuk bangkit. Jam kota sudah berhenti  berdenting di luar. Aku merapatkan gigiku dan mengepalkan tanganku. 

Mulai sekarang, aku akan terus menjaga dunia yang sudah ditinggalkan Kakek Eon ini. Aku memang  bukan orang yang hebat atau apapun itu, namun aku tetap akan melakukan yang terbaik. Aku akan  membuktikan kalau aku bisa melakukannya.  

Menjadi seorang Pemelihara, dan memastikan seluruh ingatan dan kisah hidup ini tetap terjaga,  sampai akhir kelak. 

… 

“Kek. Kau yakin kau baik-baik saja?”

“Tentu saja. Memangnya kenapa? Uhuk!” 

“Kau sedang sakit, Kek! Jangan memaksakan diri. Memangnya kau tidak ingin mengambil satu hari  untuk libur, atau apa, begitu? Anak-anak itu bisa menunggu untuk ceritamu di hari-hari lain.” Penjaga panti  bergerak cepat, mencegah sang Kakek bangkit dari tempat tidurnya. 

“Tidak… Aku tetap akan melakukannya. Inilah tugasku. Menyingkirlah.” Sang Kakek masih berusaha  berontak, namun tentu saja tetap tak bisa mengalahkan penjaga panti. 

“Sudahlah, Kek! Tidurlah saja yang nyaman. Kalau besok kau sudah membaik, kau boleh untuk  bercerita lagi. Aku takkan menahanmu seperti ini. Tapi jangan lupa—itu kalau keadaanmu sudah membaik,  ya.” Penjaga panti lantas berjalan keluar kamar, menutup pintu dan kemudian menguncinya dari luar. Sang  Kakek melengos kecewa, dia sekarang terkunci di dalam kamarnya. Ia menatap keluar jendela dengan takzim. 

Aah. Di sinilah aku sekarang. Menyedihkan, rasanya, bukan? 

Ah, kalau kalian belum tahu… ya, ini aku, Lacke. Lihat, aku sudah tua sekarang. Waktu benar-benar  berlangsung tanpa terasa, ya? 

Ya. Aku masih seorang Pemelihara sampai sekarang. Aku tak mengingkari janjiku dengan Kakek Eon.  Aku sudah menjadi penulis dan bercerita ke banyak orang. Aku tak tahu apakah aku sudah melakukannya  dengan baik, tapi aku berjanji aku telah berusaha.  

Soal peran Pemelihara ini, sebenarnya terjadi beberapa perubahan. Sang Pencipta memberitahuku  bahwa peran Pemelihara setelah Kakek Eon takkan memperpanjang usia. Rasa sakit di dada ini masih terus ada,  sampai sekarang. Rasa sakit ini yang selalu mengingatkanku bahwa pasti ada seseorang di luar sana yang masih  menderita dan merasakan kesedihan. Sama seperti yang Kakek Eon katakan dulu—meskipun menyakitkan,  lama-lama kau akan terbiasa, atau bahkan mensyukurinya. 

Sekarang, aku memiliki pertanyaan untuk kalian. Menurut kalian, apa keuntungan dari menjadi  seorang Pemelihara? Sebenarnya, tidak ada sama sekali. Aku tidak mendapatkan kehidupan yang sangat  panjang atau apapun itu, dan aku juga tidak memperoleh sihir yang hebat. Aku juga bukanlah seseorang yang  menganggap peran ini sebuah misi yang penting sebagai bentuk penebusan dosanya. Justru aku harus terus  menahan rasa sakit di dada yang merepotkan ini sampai sekarang. Yang aku dapat hanyalah serangkaian ingatan milik seorang kakek tua. Lantas mengapa aku masih menjalankan peran ini sampai sekarang? 

Jawabannya, sederhana saja. Aku bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Aku bisa melihat lebih  banyak orang tersenyum, dan aku bisa berkelana ke banyak tempat, untuk sekadar menulis buku dan bercerita  kepada anak-anak kecil tentang kisah-kisah hebat ini. Dengan itu semua, aku bisa merasakan ketenangan hati  yang bahkan bisa mengalahkan rasa sakit di dada ini, meskipun hanya untuk sementara. Yah, meskipun sudah  beberapa tahun belakangan ini, aku sudah berhenti mengembara. Badan tuaku sepertinya sudah tidak kuat  untuk melakukan pengembaraan seperti dulu lagi. Apa boleh buat.  

Apakah peran Pemelihara ini bisa diberikan ke orang lain? Bisa. Sama seperti yang terjadi pada Kakek  Eon denganku. Ingatan setiap Pemelihara pendahulu juga akan diwariskan. Namun, kembali lagi, aku ingin  bertanya kepada kalian. Apakah dengan rasa sakit ini, seseorang mau menerima peran ini? Seperti yang  kukatakan, Pemelihara sebenarnya tak mendapat keuntungan apa-apa yang signifikan atau apapun itu. Hanya  mewarisi ingatan saja. Apakah itu sebanding dengan rasa sakit tanpa akhir ini?

Satu pertanyaan lain. Lagipula, apakah peran Pemelihara memang masih dibutuhkan di dunia ini?  Seperti yang terjadi pada Kakek Eon, mau seberapa keras dan lamanya seorang Pemelihara berusaha untuk  membahagiakan dan memelihara dunia ini, itu takkan menghapus segala masalah dan kesedihan di seluruh  dunia ini sekaligus. Rasa sakit ini takkan pernah hilang. Apabila peran Pemelihara lenyap dari dunia ini, juga  takkan membuat dunia ini berubah banyak. Dunia takkan berubah menjadi sentosa selamanya, apapun yang  terjadi. Jadi, kuulangi lagi. Apakah peran Pemelihara benar-benar masih dibutuhkan di dunia ini? 

Apalagi, Sang Pencipta mengatakan bahwa aku dibolehkan untuk tidak mencari seorang penerus. Sang  Pencipta menyuruhku untuk memilih yang terbaik, menurut keputusanku. Aku tahu aku diberi kebebasan,  namun akhirnya aku tetap bingung. Aku tidak bisa memaksakan seseorang untuk menerima peran ini. Di saat  yang sama, kembali lagi. Tetap tak bisa dipungkiri bahwa peran ini memang tak terlalu dibutuhkan, tak memiliki  banyak keuntungan, dan takkan mengubah dunia secara drastis atau apapun itu.  

Apakah peran ini akan menghilang begitu aku mati kelak, ya? 

Krek. Krek. Krek.  

Terdengar suara kunci pintu dibuka. Seorang anak kecil membuka pintu. 

“Hm? Kau…” 

“Kek!” 

Salah seorang anak panti melangkah masuk ke dalam kamar. Aku sepertinya mengingatnya. Dia adalah  anak terpintar di panti asuhan ini, dan ia jarang mengikuti sesi ceritaku karena ia selalu belajar setiap waktu.  

“Kau… bukankah kau anak teladan? Kenapa kau ada di sini?” 

“Tidak! Aku bukan…” 

Si anak teladan hampir menangis, aku mengelus kepalanya untuk menenangkannya. Aku melihat ke  arah ambang pintu. Kunci-kunci kamar milik penjaga panti masih menggantung di sana. Aku tersenyum  simpul. 

“Tenang. Itu bukan salahmu. Salah sendiri, dia lupa untuk mengambilnya kembali.” “Tapi… tapi…” Si anak teladan masih gemetaran. 

Aku tahu anak teladan ini. Dia sangat penurut, dan hampir tidak pernah membuat masalah di antara  anak-anak yang lain maupun penjaga. Namun, ia terkesan selalu dikurung untuk terus belajar karena kepala  pintarnya demi kepentingan panti. Mungkin ia menunggu kesempatan langka ini untuk memberanikan diri  mengunjungiku. 

“Jadi, untuk apa kau ke sini, Nak?” 

“Aku… aku… ingin menjadi seperti Kakek!” 

Aku menaikkan sebelah alis, setengah terkejut. “Hm?” 

“Aku… aku tidak pernah mendengar saat Kakek bercerita kepada anak-anak yang lain. Namun, malam itu, aku tidak sengaja mendengar Kakek bercerita soal pahlawan dengan monster lumut saat itu… dan 

aku benar-benar tertarik dengan itu. Aku ingin mendengar Kakek bercerita lagi… belajar itu sangat menyebalkan…” 

“Sshh. Jangan berkata begitu. Kau anak teladan, bukan? Semua anak-anak yang lain juga  mengagumimu.” 

“Tapi… saat aku bilang aku ingin mendengar Kakek bercerita… para penjaga tak pernah mau  mendengarkanku. ‘Kau adalah masa depan panti’, atau apapun itu. Aku sudah malas mendengarnya.” 

Aku tertawa kecil. Ah, ‘masa berontak’ yang seperti ini memang tinggal menunggu waktu saja, ya. 

“Tapi tetap saja, kau tak boleh seperti itu. Patuhi apa kata mereka, mereka lebih tahu soal apa yang  terbaik untukmu.” 

Si anak teladan hampir menangis lagi. “Pada akhirnya… Kakek sama saja…” 

“Kau patuhi mereka, dan sebagai gantinya, aku yang akan masuk ke dalam kamarmu dan bercerita  kepadamu setiap malam. Hanya kau dan aku, berdua. Bagaimana? Terdengar menyenangkan, bukan?” 

Si anak teladan langsung membulatkan matanya, menatapku dengan antusias. “S-sungguh, Kek?” “Aku berjanji.” Aku tersenyum, berusaha meyakinkannya. 

“Hore!” Si anak teladan mengangkat kedua tinjunya ke udara. “Malam ini, ya, Kek! Dan besok juga!  Lalu, besok besoknya juga! Janji, ya!” 

Aku menelan ludah, menahan senyumku untuk meyakinkannya. Padahal aku sendiri juga sebenarnya  tidak yakin apabila melakukannya tiap hari, tapi apa boleh buat. “Ya. Aku berjanji.” 

“Terima kasih banyak, Kek!” Si anak teladan langsung menghambur menuju pintu, dan meninggalkan  ruangan. Aku menghela napas. Sepertinya aku barusan menambah masalah untuk diriku sendiri… tapi  sudahlah. Selama dia merasa senang. 

Aku kembali menerawang keluar jendela. Aku sepertinya terlalu banyak merenung sendiri sekarang.  Bernostalgia di dalam kepalaku. Persis seperti kebanyakan orang yang sudah tua, memang. Heh. 

Jujur saja, saat ia mengatakan bahwa ingin menjadi sepertiku, aku sempat tebersit sesuatu—apakah  anak itu mungkin saja bisa meneruskan peran Pemelihara-ku ini. Sekarang, rasanya aku bersalah sudah berpikir  seperti itu. Aku seharusnya tak memaksakan peran ini kepada siapapun. Aku hanya berpikir… akan  menyenangkan apabila memiliki penerus. Tapi, kembali lagi, aku tak boleh egois. Andai saja, andai saja… anak  itu ataupun seseorang yang lain akan menerima peran ini—aku hanya berharap untuk kebaikan dan  kebahagiaan mereka sendiri juga. Jangan sampai mereka membebani mereka sendiri dengan peran ini, apabila  suatu saat nanti mereka akan menerimanya dengan sukarela. 

Lalu, kembali lagi ke pertanyaan penting sejak masa mudaku dulu. 

Apa yang menunggu di akhir sebuah perjalanan panjang? Ada seseorang bertemu dengan orang yang  dicintainya sejak lama, dan cintanya berbalas dengan indah di akhir. Seseorang yang lainnya pada akhirnya bisa  benar-benar merasa bahagia dengan dirinya sendiri dan apa yang telah ia capai, dan menjadi pahlawan dan  sumber inspirasi yang sangat berharga bagi seseorang yang lain.

Sepertinya aku juga sudah mendekati akhir dari perjalananku sendiri, ya. Apa yang akan menungguku  di akhir kelak, ya? Apakah aku bisa meninggalkan sesuatu yang bermakna untuk orang lain? Apakah aku bisa  meninggalkan dunia ini tanpa penyesalan? Apakah seseorang akan bersedia menerima peran Pemelihara ini  dan bisa menjalani hidupnya dengan bahagia setelahnya? Dan apabila tidak ada yang menerima peran ini,  apakah dunia masih akan seperti ini seterusnya, ataukah justru membaik atau memburuk? 

Ya ampun, sekarang aku tak bisa berhenti senyum-senyum sendiri saat membayangkannya.


Penulis: MysticaLoof

Redemption Trip to Holy Land

Entry Writchal #3
Tema: Mati


Di Levanṭīnīye, atau dahulu disebut disebut sebagai Levantinopel, Sultan, sekaligus kaisar Latin Timur Baru, Padishah Aḥmed Salajakoğlu, terlihat sangat frustasi dengan wajah yang diliputi oleh kemarahan. Para menteri dan bawahan Padishah paling terpercaya pun tidak berani memecah keheningan di ruang sidang Istana. Mereka takut tanpa sengaja menuang minyak dalam api yang sedang berkobar. Ketika Menteri Ekonomi Kesultanan, Jalāl ud-Dīn Pasha hendak memecah keheningan dengan memberanikan diri membuka pembicaraan dalam sidang istana, tiba-tiba Sultan Aḥmed langsung memotong pembicaraan.

“Jalāl ud-Dīn Pasha ! Apakah kamu memiliki kabar terbaru terkait putraku, Şehzade  Altaïr Çelebi?” Tanya Sultan dengan perlahan dengan penuh ketegasan.

Semua yang hadir di sidang Istana diam seribu bahasa, termasuk Jalāl ud-Dīn. Sultan yang merasa diabaikan itu pun terlihat berusaha menahan amarahnya. Suasana sidang istana sangat mengekang saat itu. Kemurkaan Sultan bisa saja menjadi akhir dari karir, atau bahkan kehidupan mereka. 

Sudah seminggu sejak jejak Şehzade  Altaïr Çelebi, yang tanpa izin dari Sultan, memimpin invasi ke Beylik Dulkadir di selatan, hilang tanpa jejak.  Kabar terakhir yang diterima Sultan dan Levanṭīnīye terkait adalah keberhasilan pasukan Şehzade  mengambil alih beylik, dan kabar kematian seluruh keluarga Bey Dulkadir, termasuk tunangan dan teman masa kecil Şehzade  dalam sebuah kudeta berdarah yang terjadi sebelum Invasi. Setelah itu  Şehzade   meninggalkan posnya dan menghilang tanpa jejak. Baik bawah maupun pasukannya tidak mengetahui keberadaan Şehzade   setelah itu. 

Bey, setara dengan duke, sebelumnya merupakan bawahan Sultan, sebelum perang saudara pecah dan banyak bey yang memerdekakan diri dari Kesultanan saat kekosongan kekuasaan. Namun kini kesultanan telah kembali pulih dan mulai mengintegrasi kembali wilayah-wilayah yang sempat memerdekakan diri. Salah satunya di Dulkadir. 

Suasana tegas di ruangan sidang istana kemudian dipecah dengan kedatangan seorang pejabat kesultanan yang masih muda. Dia belum genap kepala tiga, namun telah memperoleh kehormatan untuk menggunakan gelar “Pasha” dalam namanya.

“Salam Padishah, semoga Dewa yang Maha Tunggal selalu memberkahimu. Sebelumnya saya mohon maaf karena telah mengganggu jalannya sidang istana pagi ini dan yang paling penting terlambat untuk menghadiri sidang istana pagi ini.” Jelasnya sembari menundukkan kepala untuk menghormati Sultan. Berbeda dengan sebelumnya, Sultan yang sekarang terlihat sedikit lega dengan kehadiran Zaganos Pasha, dengan tenang membuka dialog dengan Pasha mudanya. 

“hmm…mmm…Zaganos Pasha, sebelumnya angkat kepalamu,….” Jawab sultan.

“Sebagai komandan pasukan Yeŋiçeri, disiplin merupakan hal yang mutlak. Jadi, apa yang menghambatmu, Zaganos Pasha ?” Lanjut Sultan setelah Zaganos Pasha kembali menegakkan kepalanya. 

“Ada kabar baik Padishah ! Kami berhasil melacak keberadaan Şehzade  . Setelah sidang ini saya akan berangkat sendiri untuk menjemputnya. ” Jawab Zaganos dengan sumringah.

Sultan juga terlihat lega dan lebih tenang dengan kabar ini, begitu juga menteri, pasha dan pejabat kesultanan lainnya. Ini merupakan kejelasan yang mereka tunggu sepanjang minggu ini. 

“Zaganos Pasha ! Mohon jelaskan dengan lebih detail terkait kabar tersebut, termasuk bagaimana Anda akan menjemput Şehzade  .” Sahut seorang Pasha senior dalam sidang.

“Ya, paparkan dengan lebih detail terkait kabar ini, Zaganos Pasha!” Sahut Sultan.

“Baik, Sultan Aḥmed!” Jawab Zaganos.


“Gluk…gluk….gluk……ahhhhhh!” 

Seorang pemuda yang mengenakan pakaian pengelana menghabiskan persediaan air minum yang dia miliki dalam perjalanan melintasi gurun. Namun hal itu bukan masalah berarti karena dia tidak jauh sebuah kota oasis, dan berencana mengisi kembali persediaannya disitu.

“Wah kelihatannya sangat nikmat sekali!” Suara dari seorang gadis terdengar di dekatnya.

“Percuma, aku tidak bisa membagi ini kepadamu. Lagian juga kamu tidak membutuhkannya juga bukan ?” Sahut si pemuda.

“HMNNNNNNN!” Gerutu gadis itu dengan muka masam dan kesal di wajahnya.

“Aku tahu itu!! Tapi kamu sepertinya sangat puas menikmatinya! Aku jadi iri tahu!” Sahut gadis itu dengan muka cemberut. 

Sementara si pemuda itu hanya tersenyum dan tertawa kecil melihat tingkah laku gadis itu. 

“Kau tidak berubahnya ya ….” Gumam si pemuda. 

Perlahan senyuman si pemuda itu itu perlahan menjadi senyuman getir. Si gadis masih memalingkan pandangan ke si pemuda itu ketika ia mencoba untuk mengusap kepala si gadis tersebut, seperti yang biasa dia lakukan di masa lalu. Namun dia sadar satu hal, si pemuda itu tidak bisa menyentuh gadis tersebut. Senyum si pemuda itu berubah menjadi raut wajah kesedihan yang menunjukan penyesalan yang mendalam. 

Di mata si pemuda, dia memang berbicara dan mengobrol dengan seorang gadis, namun dimata orang lain, dia seperti orang yang berbicara sendiri. Hal itu karena gadis yang ada bersamanya sebenarnya merupakan arwah dari seseorang yang telah meninggal. 

Hanım Fatma Abdul-Qadir, Putri Bey Muhammad Abdul-Qadir, Bey Dulkadir.  Memerdekaan diri ketika Kesultanan mengalami kekosongan kekuasaan, kemerdekaannya kini terancam oleh kebangkitan kesultanan yang berusaha kembali mengintegrasi Beylik-Beylik yang memerdekakan diri. Terkenal sebagai diplomat ulung, Muhammad Abdul-Qadir sukses mempertahankan kemerdekaan Beylik dengan permainan diplomatik antara dua kesultanan besar di perbatasannya, Yaitu Kesultanan Salajakiyah di utara dan Kesultanan Mamalik di selatan. Ketika kudeta terjadi di Dulkadir, ia merupakan satu-satunya bekas wilayah kesultanan Salajakiyah yang belum berhasil direbut kembali oleh kesultanan. Meskipun semua pencapaian ini telah berakhir dengan kematian tragis Muhammad dan keluarganya dalam kudeta, termasuk Fatma. 

….

“Hanım hati-hati!” 

Seorang pelayan memberikan peringatan kepada seorang gadis cilik yang berlarian di sekitar Kastil Pegunungan di Manisa, Kesultanan Salajakiyah.

“Hahahahha, coba tangkap aku bibi!” Jawab si gadis cilik itu.

Kesal karena orang tua terlalu sibuk untuk menitipkannya di tempat asing tanpa persetujuannya, gadis bernama Hanım Fatma ini menjadi gadis nakal. Dia selalu melanggar aturan di kastil, membangkang dan tidak pernah menuruti pelayan atau yang ada di kastil. Padahal kastil itu terletak tebing tinggi dan curam di Pegunungan Banteng sehingga sangat berbahaya untuk berkeliaran . Dan benar saja, Hanım terpeleset dan terjatuh ke jurang. 

KYYYYAAAAAHHHHHHH!!

Dalam kondisi kritis itu, Hanım dapat hanya melihat puncak kastil yang terlihat semakin menjauh. Dia tidak berani untuk melihat ke bawah. Dia ketakutannya. Dia berharap ada seseorang yang mau menyelamatkannya. Namun itu tidak mungkin. Dia merupakan gadis yang nakal, semua orang pasti membencinya. Hanım menutup matanya, dia ketakutan untuk melihat bagaimana dia akan meregang nyawa akibat kecerobohannya. 

Tiba-tiba dia merasakan seseorang merangkul tubuhnya. Hanım terkejut dan penasaran, namun ia terlalu takut untuk membuka matanya. Setelah mengalami beberapa kali hentakan dan benturan, kehilangan kesadarannya. Hal terakhir dia ingat, ia kesulitan bernafas sebelum tidak sadarkan diri.

Ketika siuman , orang pertama yang terlihat di ada di hadapannya, adalah seorang anak laki-laki dengan wajah dengan tubuh yang basah kuyup dan penuh luka. Dia terlihat kelelahan, dengan bilah pedang yang patah di dekatnya. Tidak jauh dari tempat mereka, terdapat sungai yang kemungkinan menjadi tempat mereka mendarat, karena Hanım juga mendapati pakaiannya yang dia kenakan juga basah kuyup. 

“Hanım Fatma,….kamu baik-baik saja?” Tanya anak laki-laki itu.

Hanım menganggukkan kepalanya.

“Huh! Merepotkan sekali. Saya sedikit panik ketika mendapatimu tidak sadarkan diri ketika berhasil membawamu ke tepian sungai. Yah…..beruntungnya kamu hanya, Arrggrrhh….pingsan…saja.” Lanjut anak laki-laki itu ketika dia tanpa sengaja mengerang kesakitan ketika menganti sikap duduknya.

Melihat kondisi penolongnya yang memprihatinkan, Hanım tidak kuasa menahan air matanya, Dia menangis sesegukan. Menurutnya semua tidak akan berakhir seperti ini jika dia lebih patuh terhadap penjaga dan pelayan yang ada di kastil. Jika dia tidak tidak terlalu nakal dan keras kepala, mungkin anak laki-laki itu tidak akan terluka separah ini. 

Anak laki-laki itu dengan susah payah karena menahan nyeri karena luka disekujur tubuhnya, ketika dia berusaha untuk menenangkan Hanım dengan mengusap kepalanya.

“Sudah-sudah!…….. Ini bukan sepenuhnya salahmu kok! Lagi pula,….. kamu menjadi keras kepala karena ……kesepian selama tinggal disini bukan, Hanım ….Fatma?”

Tangisan Hanım seketika berhenti ketika anak laki-laki itu dengan halus mengusap kepalanya. Dan mendengar pertanyaan anak laki-laki itu, Hanım mengangguk ringan seraya mengusap air mata yang masih mengalir dengan deras dari sudut-sudut matanya.Sejak tinggal di kasti dan berpisah dari keluarganya, Hanım memang merasa sangat kesepian. 

Mendengar jawaban Hanım, anak laki-laki itu pun tersenyum seraya melanjutkan kalimatnya. 

“Kalau begitu, kamu mau jadi teman saya tidak selama disini?  Saya berjanji tidak akan membuatmu kesepian lagi selama kamu tinggal di kastil ini. Sebelumnya perkenalkan, Saya Altaïr. Salam kenal!”

Kata anak laki-laki itu sebari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Namun bukan jabat tangan yang diperoleh Altaïr, melainkan pelukan erat dari Hanım. Pelukan ini cukup erat hingga menekan luka-luka pada tubuh Altaïr dan mengakibatkannya mengerang kesakitan. Erangan cukup keras untuk membantu penjaga dan pelayan kastil menemukan posisi mereka. Kemudian Altaïr dan Hanım segera memperoleh pertolongan.

Sejak kejadian tersebut, hubungan antara Altaïr dan Hanım Fatma menjadi semakin erat. Mereka selalu bermain dan menghabiskan waktu bersama ketika memungkinkan. Hanım Fatma masih merupakan gadis nakal dan keras kepala, meskipun kehadiran Altaïr membantu pelayan atau penjaga kastil mengendalikan kenakalannya. 

Beberapa tahun kemudian, Altaïr harus pergi untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah Tinggi Levanṭīnīye. Hal ini menyebabkan intensitas pertemuan atau waktu mereka untuk menghabiskan waktu bersama semakin sedikit. Namun, kebersamaan mereka baru benar-benar berakhir ketika Hanım Fatma dipanggil pulang ke Dulkadir oleh ayahnya. Meskipun pada awalnya sangat berat bagi mereka untuk berpisah, namun mereka sudah cukup dewasa untuk menyadari posisi mereka masing-masing, sebagai bangsawan penting baik di Dulkadir maupun di Salajakiyah. 

Setelah Hanım beranjak dari Kastil di Manisa, Altaïr banyak menghabiskan waktunya di Levanṭīnīye untuk menuntut ilmu untuk mempersiapkan dirinya menjadi Padishah Salajakiyah selanjutnya. Sedangkan Bey Dulkadir memanggil kembali Hanım Fatma untuk membantunya memperkuat posisi politiknya di Dulkadir. 


Memimpin tentara tanpa izin Sultan, untuk menginvasi negara lain, merupakan sebuah pelanggaran tingkat tinggi, bahkan untuk Şehzade   sekalipun. Apapun alasannya, Şehzade   harus dibawa ke sidang militer istana untuk mempertanggungjawabkan tindakan untuk menggunakan angkatan perang tanpa izin. 

Sultan memutuskan untuk tentara yang berpartisipasi dalam invasi ke Dulkadir, mendapatkan pengampunan penuh karena mereka hanya mengikuti perintah dari atasan mereka, Şehzade   Altaïr. Namun dengan satu catatan, mereka tidak berusaha untuk menyembunyikan keberadaan Şehzade   dan bersedia untuk kooperatif dan membantu pencarian dengan tidak menyembunyikan informasi terkait keberadaan Şehzade  . Namun, tidak ada satupun berhasil melacak keberadaan Şehzade  , Kecuali badan intelijen dibawah pasukan Yeŋiçeri, yang bernama Beksiçeri. 

Badan intelijen Beksiçeri, secara akurat selalu berhasil melacak posisi mereka melalui agen-agennya yang cakap. Namun semua kesempatan, kemungkinan mereka gagal meneruskan informasi terkait posisinya. Semua agen Beksiçeri yang berhasil melacaknya selalu langsung dihabisi oleh Şehzade  , yang kebetulan selalu berhasil mengkonfrontasi mereka. Şehzade   menjadi brutal sejak kehilangan tunangannya dan menghabisi siapapun yang berusaha untuk menghalanginya ke Tanah Suci. 

Hanya satu agen Beksiçeri yang Altaïr ampuni nyawanya untuk banyak alasan, bahkan setelah agen tersebut berhasil menemukan posisinya. Altaïr sadar waktunya semakin terbatas. Dia harus secepatnya segera sampai di Tanah Suci. Hal ini membuatnya kesulitan untuk tidur dan terus terjaga malam hampir di sepanjang malam. 

Hal itu juga terjadi di kota oasis tempat dia dan arwah Hanım beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. Altaïr masih terjaga, untuk mengantisipasi kedatangan agen Beksiçeri yang mungkin datang menyergap setelah dia membiarkan salah satu agennya meloloskan diri.

“Altaïr…Kamu harus beristirahat! Kita sudah melakukan perjalanan panjang melintasi gurun seharian. Apakah kamu tidak kelelahan?” Tanya Hanım

“Hanım, saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan saya.” Jawab Altaïr

Altaïr mencoba beranjak dari posisi duduknya ketika, tiba-tiba kehilangan keseimbangannya dan hampir saja terjatuh. 

“Upss!” ucap Alitair

“Altaïr!!” Teriak yang setengah berlari mendekati Altaïr. 

Meskipun segera memperoleh kembali keseimbangannya, Altaïr yang tanpa sengaja menunjukkan batasan tubuhnya. Kejadian ini membuat kekhawatiran Hanım padanya mencapai puncaknya. Dia tidak mampu lagi berbohong kelelahan dan kondisi tubuhnya yang mulai menurun. 

“Aku sudah Bilang bukan!” Kata Hanım dengan setengah berteriak. 

“Ah… Hanım…ugh…. ini hanya….” Balas Altaïr yang mencoba mengelak. 

“Cukup! Cukup Altaïr! Berhenti mengelak!” Bentak Hanım.

Altaïr terkejut hingga membisu. Sedangkan mata Hanım mulai berkata-kaca dan nafasnya sesegukan karena mulai menangis. Hanım kemudian menundukkan kepalanya, dan meletakkan kedua tangannya di dada. Kemudian melempar pandangannya kembali ke Altaïr. Dia menunjukkan matanya berkaca-kaca, dan meneteskan air mata kecemasan. 

“Bukan kali ini saja kamu terjaga seperti ini! Hampir disetiap malam!  Bahkan…bahkan sebelum kamu memutuskan untuk membubarkan agen itu hidup, kamu…kamu…kamu tidak bisa tidur nyenyak bukan. Aku merasakannya….aku merasakan bagaimana mimpi buruk itu terus menghantuimu! Aku benar bukan!” Lanjut Hanım.

Altaïr hanya terdiam mendengar Hanım memarahinya. Sudah lama sekali sejak terakhir Hanım memarahinya. 

“Hey! Katakanlah sesuatu! Şehzade   Altaïr!” Teriak Hanım.

Altaïr masih terdiam. Namun tiba-tiba ekspresinya berubah, dan dia tidak mampu menahan gelak tawa. Hal ini membuat Hanım kebingungan. 

“Kenapa kamu malah tertawa! Kalau kamu meninggal karena kelelahan….aku…aku. ….akan ” Lanjut Hanım dengan terbata-bata.

“Bukannya dengan itu saya bisa menyusulmu, (bertindak seakan-akan mampu menyentuh pipi Hanım) menyentuhmu, dan terus berada disampingmu…., bukan? hehehehe…” Balas Altaïr dengan setengah tertawa. 

“Itu tidak lucu, Altaïr! Berhenti bercanda tentang kematian! Terutama kematianmu! Kamu tahu…..kamu tahukan…… kalau bukan karena karena kematian, kita bisa…kita bisaa….” Lanjut Hanım 

Dengan spontan, Altaïr, meletakkan jari telunjuk di bibir Hanım untuk meminta berhenti melanjutkan kalimatnya. Hanım tanpa sadar mengikuti keinginan Altaïr dan berhenti berbicara. 

“Fatma sayang, kematian merupakan ketetapan dari Dewa. Menyalahkannya berarti sama saja dengan menyalahkan Dewa. Hal tersebut tidak pantas bukan sebagai hambanya!” Kata Altaïr. 

“Fatma !?? Tapi…..ta—-tapi….” Kata Hanım dengan menahan tangisannya yang hampir pecah.

Al….ta….ïr…aku….” Lanjut Hanım dengan masih berusaha menahan tangisannya.

Wajah Hanım yang sudah dibasahi air mata sudah menunjukkan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi menahan luapan kesedihan dan kepedihan yang sudah dia tahan sepanjang perjalanan. Sedangkan dalam bayangan Altaïr, terbesit kilasan ingatan masa lalu tentang bagaimana Hanım menangis dihadapannya untuk hal yang sepele. Namun ketika dia melihat arwah Hanım kembali akan menangis di hadapannya, dengan tubuh remajanya, bukan anak-anak lagi seperti dimasa lalu, Altaïr tidak kuasa menahan hasratnya pada Fatma. 

Tanpa keraguan sedikitpun, Altaïr dengan dalam melakukan hal seperti halnya dia mencium Hanım Fatma dengan dalam. Namun, tidak sedikitpun kehangatan, kelembutan dan wangi bibirnya mampu Altaïr rasakan. Hanya dinginnya malam, kekosongan dan kehampaan yang dia rasakan. Meskipun demikian, Altaïr tetap melakukan nya seakan-akan dia benar-benar dapat merasakan Fatma di bibirnya. 

Hanım yang tinggal arwahnya saja saat ini tanpa sadar melupakan kesedihan dan kepedihan yang tadinya memenuhi hatinya. Dia tidak mampu merasakan apapun. Benar benar tidak mampu merasakan apapun, baik dingin, panas, dan kehangatan, apalagi aroma dari Altaïr. Dan tanpa sadar dia juga tenggelam dalam ilusi kepalsuan yang mungkin serupa, atau bahkan sama dengan yang ilusi yang kini menipu Altaïr. Mereka hanyut terlalu dalam, dan kepalsuan yang mereka lakukan menjadi nyata.

Altaïr mendorong Fatma hingga terbaring diatas atas kasur tempatnya beristirahat. Dia akhirnya dapat menyentuh Fatma dan merasakan kehangatan tubuhnya malam itu. Mata mereka terpaut, dan memperhatikan wajah Hanım yang dia cintai sejak kecil dengan seksama. Wajah Fatma memerah karena malu diperhatikan oleh Altaïr. 

Keduanya tidak sadar, sejak kapan mereka saling jatuh cinta satu sama lain. Perasaan ini mulai tumbuh sejak mereka tinggal Di Manisa, dan semakin kuat sejak mereka berpisah. Dengan semakin faksi pro-Mamalik di Dulkadir, sejak aneksasi Beylik Haramian, kekuatan politik di Bey Dulkadir perlahan melemah. Ancaman oposisi yang semakin menguat, serta Sultan Aḥmed yang mengkhawatirkan pengaruh Mamalik yang semakin, menyebabkan Bey Muhammad dari Dulkadir memutuskan menerima tawaran pertunangan putrinya dengan Şehzade   Salajakiyah. Hal ini awalnya sangat ditentang oleh Şehzade  , mengingat masih lemahnya kekuatan militer Sultan di wilayah itu sejak banyak tentara yang dialihkan ke Haramian. Şehzade   mengkhawatirkan pembalasan dari oposisi pro-Mamalik di Dulkadir yang terancam. Bahkan Şehzade   mengumpulkan tentara secara rahasia yang berada langsung dibawah komandonya untuk disiagakan di sekitar Dulkadir.  

Dan benar saja, kudeta berdarah terjadi di Dulkadir. Meskipun dengan semua persiapan yang telah dilakukan , Şehzade   gagal menyelamatkan nyawa Hanım. Penyesalan yang menghantuinya terus menjadi mimpi buruk baginya. Dan sejak itu pula, hubungan dengan ayahnya menjadi semakin renggang.

Malam itu, Altaïr semakin dalam mencumbu Fatma. Tangannya mulai menjadi liar dan menjamah bagian tubuh sensitif Fatma. Fatma pun berusaha menahan desahan erostisnya, meskipun hal itu justru membuat Altaïr semakin bergairah. Mereka benar-benar hanyut aliran hasrat satu sama lainnya. 

Namun semua itu berakhir ketiak ilusi kepalsuan pada akhirnya itu pecah. Altaïr sadar bahwa sebenarnya tidak pernah menyentuh Fatma selama ini. Sensasi kehangatan dan kelembuatan yang dirasakannya sebelumnya kini kembali menjadi dingin dan penuh kehampaan. Keduanya tersadar dari khayalan mereka masing-masing, yang kebetulan paralel. Mereka telah tersadar dari kepalsuan yang mereka ciptakan dan kembali ke dunia nyata.

Mata mereka saling bertemu, dan kedua secara bersalaman memalingkan wajahnya satu sama lain. Mereka sudah kembali sadar, dan merasakan sangat malu dengan apa yang hampir mereka lakukan sebelumnya. Dan ketika mata mereka sekali lagi saling menatap, keduanya sadar bahwa kebersamaan mereka akan segera berakhir, cepat atau lambat. Pada akhirnya, mereka dapat mengungkapkan perasaaan cinta masing-masing dengan formal, yang menjadi simbolisasi perasaan cinta masing-masing yans selama bertahun-tahun terpendam. Terpendam hingga kematian memisahkan mereka. Kemudian mereka menghabiskan waktu untuk saling memeluk bertindak seakan-akan saling memeluk satu sama lain.  

Setelah perjalanan melintasi gurun yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Qaba, Qaba, merupakan tempat yang dahulu digunakan persinggahan dalam Migrasi Suci. Di sini terdapat kuil suci yang disebut Kuil Persinggahan. Yang berarti sekarang kami telah tiba di Tanah Suci. Atau setidak wilayah yang secara administratif merupakan bagian dari Tanah Suci. 

Tanah Suci sendiri merupakan sumber dari kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Disini, terdapat Kuil Hitam Agung yang merupakan tempat paling suci dalam kepercayaan ini. Secara administratif, wilayah Tanah Suci daerah otonomi khusus yang dipimpin oleh seorang Sharīf, dibawah kekuasaan dan perlindungan dari Kesultanan Mamalik, rival utama Kesultanan Salajakiyah.

Setibanya di Qaba, Altaïr pada akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Bayangan penyergapan dari agen-agen Beksiçeri bahkan korp Yeŋiçeri masih menghantui pikirannya. Namun, setidak kini mereka sudah tiba di Tanah Suci, tujuan mereka telah tercapai. Mereka menghabiskan waktu selama 2 malam di Qaba, dengan Altaïr, pada akhirnya bisa tidur dengan nyenyak di malam hari. 

Sebagai arwah, Hanım tidak merasakan lelah, lapar, dan batasan kemanusiaan lain. Meskipun demikian dia sangat khawatir dengan kondisi yang dialami oleh Altaïr selama perjalanan yang selalu diliputi paranoia dan kecemasan. Sehingga Hanım sangat lega ketika pada akhirnya bisa menghabiskan malamnya dengan tenang. Meskipun ketenangan mereka tidak berlangsung lama.

Selepanya dari Qaba, mereka tiba-tiba disergap dan dikepung gerombolan penunggang kuda. Awalnya Altaïr berpikir bahwa penunggang kuda tersebut merupakan penyamun, meskipun sebenarnya tidak terpikir dalam benaknya ada penyamun yang berani merampok ziarawan yang sedang berada di Tanah Suci, kecuali orang yang benar-benar gila. Dan, benar saja, dari potongan baju zirah yang digunakan , serta wajah bertopeng yang tersibak dari jubah penunggang kuda tersebut, mereka merupakan korp Yeŋiçeri. Dan Hanım, meskipun merupakan arwah, namun ia tidak dapat menyembunyikan ketakutannya. Dia bertindak seakan-akan mampu menyentuh pundak Altaïr dan berusaha bersembunyi di balik punggungnya. Altaïr pun tanpa sadar bertindak seakan-akan dia berusaha menyembunyikan Hanım dibelakangnya. Meskipun, sebenarnya gimmick yang mereka lakukan sebenarnya tidak ada gunanya.  

Setelah turun dari kudanya, penunggang kuda tersebut membuka jubah dan menunjukkan diri mereka sebagai bagian korp Yeŋiçeri. Mereka Beksiçeri Altaïr tidak mampu memastikan, karena hampir tidak ada batasan atau perbedaaan antara keduanya. Lebih mengejutkan lagi, Altaïr menemukan salh satu dari mereka tidak atau mungkin baru saja melepas topengnya. 

Rambut panjang kemerahan yang berkilauan memantulkan teriknya matahari di Tanah Suci, kulit kaukasoid dengan banyak bekas luka disekitar wajah dengan bekas luka di pipi kiri yang paling menonjol. Dan bola mata biru terang yang dalam bayangan menatap cerah dan bersinar, namun kini menatapnya dengan dingin dan kosong. Altaïr sangat mengenalnya, jauh sebelum ia jatuh cinta dengan Hanım.

“Charlotte…..” Sahut Altaïr dengan sangat getir.

Charlotte, membacakan secara singkat surat penangkapan dengan cap kesultanan di dalamnya.  Charlotte berusaha untuk memalingkan wajahnya dan menghindari kontak mata dengan Şehzade  . Setelah menunjukkan cap kesultanan sebagai bukti legalitas dokumen, dia kemudian membacanya secara singkat isi surat tersebut.

“Şehzade   Altaïr Çelebi Salajakoğlu, Anda ditangkap atas tuduhan penyalahgunaan kekuatan dan menggunakan angkatan bersenjata tanpa izin! Saya harap Anda dapat bersikap kooperatif! Hai ini akan meringankan dalam persidangan.”

Dengan tatapan kosong dan penuh kehampaan, Charlotte membacakan surat perintah penangkapan dengan lantang dan terasa dingin tanpa emosi sama sekali. Sepertinya mereka mereka orang asing satu dengan lainnya. 

“Apa yang mereka lakukan kepadamu,….Charlotte? sahut Altaïr dengan nada sedih.

Charlotte, merupakan agen Beksiçeri terakhir yang berhasil melacak dan berusaha menangkap Altaïr (charlotte tidak bisa melihat Hanım). Dia gagal dan ketika Altaïr berusaha menghabisinya, identitasnya terbongkar lebih dahulu. Hal ini sangat mengejutkan bagi Altaïr. Dia tidak mungkin menghabisinya, karena dia adalah teman masa kecil yang sangat berharga baginya saat masih tinggal di Istana. Dia kemudian melarikan diri bersama Hanım sebelum charlotte kembali siuman. 

Hanım menatap Charlotte dan Altaïr dengan penuh kebingungan. Apakah mereka sebelumnya saling mengenal? Sedangkan di samping charlotte, seseorang bergerak mendekati Altaïr seraya membuka topeng dan menunjukkan topengnya. Dibalik topeng itu, tampak perawakan yang sangat familiar di mata Altaïr dan Hanım.

“(H)Tuan Zaganos Pasha-(A)Ah….., Lama tidak jumpa,…. Guru.”Ucap Altaïr dan Hanım dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Akhirnya setelah cukup lama, kami bisa melacak mu. Sebenarnya, Beksiçeri telah berkali-kali menemukan keberadaan, sayangnya Şehzade   selalu tidak membiarkan agen-agen tersebut untuk kembali hidup-hidup. Beruntung, kami memiliki dan mengutus dia (sambil menepuk pundak Charlotte). Aku rasa mencegahnya masuk harem istana merupakan keputusan yang….”

Zaganos memulai percakapan.

“Apa yang selama ini kamu lakukan terhadap Charlotte, Sialan !!? Anda mencuci otaknya bukan !?” Potong Şehzade   seraya menarik bilah pedang yang tersimpan di pinggangnya. 

Melihat Şehzade   menarik pedang, dengan refleks, semua pasukan Yeŋiçeri yang mengepungnya seketika juga menarik pedang dan memasang posisi siap bertarung, dalam waktu yang hampir bersama. Kecuali Zaganos, bahkan Charlotte bersama pasukan Yeŋiçeri lainnya mengacungkan pedangnya ke arah Şehzade  . Situasi pun menjadi panas dan tegang. Zaganos Pasha, dengan wajah yang nampak sedikit kecewa, berusaha untuk mencairkan situasi dan meredakan ketegangan.

“Sigh…, memang tidak ada cara lain ya ?” gerutu Zaganos

“Komandan, mundurlah.” bisik Charlotte sebari berusaha untuk melindunginya.

“Baiklah…. Cukup! Yeŋiçeri! Turunkan senjata kalian” Ucap Zaganos lantang sebari menepuk pundak Charlotte dengan keras. Cukup keras hingga Charlotte terkejut.

“KYYYAAAAAAHHHHH”

Pasukan Zaganos termasuk Charlotte perlahan menurunkan pedang yang sebelumnya mereka acungkan ke Şehzade  . Sedangkan Şehzade   sendiri masih mengacungkan bilah pedangnya ke Zaganos, sebelum akhirnya ikut menurunkannya. Ketegangan yang terjadi sebelumnya perlahan mereka. Sedangkan Zaganos, justru dengan memegang pedang di pinggangnya melanjutkan narasinya.

“Sebagai komandan, aku tidak ingin bertanggung jawab memulai pertumpahan darah. Terutama di Tanah Suci. Alasanku menyergapmu disini juga untuk meminimalisir pertumpahan darah yang mungkin terjadi saat penangkapan. Tapi, memang pada akhirnya…(perlahan menarik pedang dipinggangnya)…penangkapan memang mengharuskan pertumpahan darah, Şehzade  .” Ucap Zaganos.

Melihat Zaganos menarik pedangnya, Altaïr kembali mengacungkan pedang yang sebelum diturunkan, ke leher Zaganos. Dan Zaganos juga melakukan hal yang serupa. Mereka pun memasang sikap siap masing-masing untuk bertarung.

“Begini perjanjiannya! Kamu menang, kamu akan mendapatkan penangguhan penangkapan selama 10 hari. Aku menang, kamu harus menyerahkan diri! Setuju?” Cetus Zaganos.

“Terdengar tidak adil ?” Balas Şehzade  

“Saya harus mengalahkanmu hidup-hidup. Sedangkan kamu tidak. Apakah masih kurang adil ?” Lanjut Zaganos

“Sigh….! Baiklah! Aku terima!” Sahut Şehzade   dengan lantang. 

Untuk meminimalisir pertumpahan darah, Zaganos Pasha memutuskan untuk menantang Şehzade   dalam duel pedang. Tantangan ini diterima oleh Şehzade   Altaïr, berikut dengan aturannya. Selama duel, Zaganos menitipkan komando pasukan Yeŋiçeri kepada Charlotte. Meskipun meragukan keputusan komandannya, namun, Zaganos memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Zaganos tahu kehormatan dan kebanggaan dinasti Salajakoğlu yang mengalir di nadi Şehzade  . Zaganos yakin bahwa Şehzade   pasti akan mengikuti apapun hasil dari duel ini, dan tidak melanggar maupun melarikan diri. Mendengar penjelasan, membuat Charlotte teringat potongan kenangan masa kecilnya saat bersama Şehzade  . Hal ini tanpa sadar membuatnya matanya berkaca-kaca.

Sedangkan, Hanım, dengan penuh kecemasan berusaha menghentikan Şehzade   dari pertarungan dengan Zaganos. Dia sangat takut sesuatu terjadi terhadap Şehzade  . Hanım masih mengingat bagaimana, Şehzade   selalu gagal mengalahkan Zaganos selama latihan di Kastil Manisa. 

Namun ketika Hanım menatap mata Şehzade  , dia sadar betapa kuatnya pendiriannya saat ini. Seperti masa lalu, Hanım tidak memiliki kemampuan untuk menggoyahkannya. Şehzade   secara spontan bertindak seakan akan dia sedang mencium Hanım. Masih, dalam delusi tentang bagaimana kehangatan dan kelembutan yang dimiliki Hanım. 

“Saya mencintaimu, Fatma!” bisik Şehzade  

“Altaïr, aku juga….! Oleh karena itu, kembali dengan selamat! Urusan kita di tanah suci belum selesaikan di Tanah Suci, bukan ?” balas Hanım dengan mata berkaca-kaca.

“Saya berjanji, Fatma !” lanjut Şehzade  

Dengan berat hati, Hanım melepaskan Altaïr, yang kemudian maju untuk bertarung melawan Zaganos. Sebelum memulai pertarungan, Zaganos sempat membuka percakapan singkat sebelum duel.

“Sepertinya ada sesuatu yang perlu aku beritahu sebelum duel” Kata Zaganos Pasha

“Lakukan dengan cepat! Saya tidak punya banyak waktu untuk mendengar ceramah dari Anda.” Balas Altaïr

“Sigh…..!.Jadi, kamu tahu alasan mengapa kami tidak segera menyergapmu ketika kami sebenarnya telah berhasil melacak lokasi mu? Itu karena Charlotte masih mencemaskan kondisi pada saat itu. Gadis itu tidak ingin menyergap orang yang kurang tidur, makan, dan kelelahan. Kami akhirnya membiarkan kamu dapat beristirahat di Qaba, dan baru menyergapmu dalam kondisi prima. Dia sepertinya masih sedikit mencemaskanmu” Jelas Zaganos.

“Aneh sekali. Logikanya harusnya anda menyergap seseorang tidak dalam kondisi fitnya bukan ?.” Sahut Altaïr.

Dan dengan demikian, Duel perang antara guru dan muridnya dimulai. Meskipun bukan merupakan keharusan, tetapi semua yang menonton duel ini sadar bahwa duel ini baru akan berakhir jika salah satu dari mereka terbunuh. Bahkan Zaganos yang sebenarnya harus menangkap Şehzade   hidup-hidup memancarkan aura untuk membunuh yang sama kuatnya dengan Şehzade  , yang sedang terbakar amarah karena Charlotte.

Şehzade   memulai inisiatif serangan dengan beberapa serangan beruntun. Semua berhasil ditangkis dengan mudah oleh Zaganos. Setelah rentetan serangan Şehzade   berakhir, Zaganos membalas dengan serangkaian serangan teratur yang sulit ditangkis oleh Şehzade  . Rentetan serangan balasan ini perlahan membuka pertahan Şehzade   dan memungkinkan Zaganos melancarkan serangan mematikan secara langsung terhadap Şehzade  .

Şehzade   berhasil menghindari serangan tersebut, namun serangan tersebut ternyata berhasil menggores bahu kiri Şehzade  , yang dia sadari dari robekan dan noda darah yang mengotori jubah yang Şehzade   dikenakan. Hal ini membuat Şehzade   terlihat sedikit panik. 

Memanfaatkan kebingungan lawannya, Zaganos mengambil inisiatif serangan. Rentetan serangan Zaganos mampu ditangkis oleh Şehzade  , namun hal itu membuat pertahanannya melonggar sebagaimana yang zaganos harapkan. Ketika pertahanannya terbuka , Şehzade   menangkis serangan dengan kekuatan yang berlebihan. Hal mengganggu ritme serangan Zaganos, yang membuatnya tidak mampu memanfaatkan cerah yang sudah susah payah dia ciptakan sebelumnya. Hal ini membuat kehilangan sedikit kekuatan untuk menangkis serangan kuat dari Şehzade  . Beruntungnya luka yang ditimbulkan tidak terlalu dalam karena Zaganos sempat membelokkan arah serangan. 

Meskipun memiliki keunggulan dalam teknik berpedang, namun zaganos kesulitan  untuk menangkis serangan Şehzade   yang masuk. Sedangkan Şehzade   hanya mengandalkan kekuatan kejut untuk mendobrak pertahanan Zaganos, karena tidak mampu mengimbangi teknik berpedangnya. Duel ini menjadi sangat berimbang. Tidak satupun pihak berhasil memanfaatkan keunggulan yang dimiliki untuk menekan lawannya. 

Sejam berlalu, setelah pertempuran pedang yang intens dengan jual beli serangan, dan saling memotong rentetan serangan masing-masing, serta melancarkan serangan balasan yang mematikan. Baik Şehzade   dan Zaganos sama-sama sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun belum ada satupun yang meraih keunggulan. Pada akhirnya, duel ini menjadi duel ketahanan, dimana Zaganos kurang diuntungkan dalam pertarungan semacam ini. Meskipun memiliki keuntungan karena menggunakan baju zirah di balik jubahnya, itu justru mengharuskan Zaganos harus secepatnya mengakhiri duel dengan melakukan serangan telak yang menentukan, sebelum tubuhnya tidak lagi cukup kuat melakukan serangan semacam itu. 

Sekali lagi, serangan demi serangan efektif dari Zaganos sukses membuka celah dalam pertahan Şehzade  . Dia berhasil menacing Şehzade   menggunakan serangan kuatnya ke tempat yang salah, membuatnya pertahanannya terbuka. Şehzade   bertindak cepat dengan menutup celah tersebut. Namun, hal itu membuat kehilangan kontrol terhadap bilah pedangnya, sehingga pedangnya terlempar cukup jauh. Melihat lawannya kehilangan senjatanya, Zaganos justru kehilangan fokus dan kesabarannya yang menjadi keunggulannya selama duel. Akibatnya, dia melakukan serangan yang terburu-buru. Dengan mudah serangannya terbaca dan mampu dihindari oleh Şehzade  . Dan Şehzade   tidak berhenti di situ.

Bencana dimulai ketika Şehzade   tanpa diduga memanfaatkan teknik gulat yang pernah dipelajarinya. Şehzade   menggenggam erat tangan Zaganos. Kemudian dia membanting Zaganos sebelah kiri dengan kekuatan yang luar biasa. Şehzade   membantingnya beberapa kali lagi, kekanan, kedepan, sebelum terakhir melemparnya ke belakang. Zaganos yang sedikit terkejut tidak mampu memberikan respons atau perlawanan yang berarti. Baju zirah yang digunakan Zaganos secara ironis memperparah dampak dari serangan tersebut. Perlu waktu beberapa detik sebelum zaganos mampu kembali bangkit setelah beberapa kali dibanting oleh Şehzade  . Sedangkan Şehzade   memanfaatkan kondisi lawannya untuk mengambil kembali bilah pedang yang terlempar sebelumnya. 

Dampak bantingan dari Şehzade   mengakibatkan kemampuan dan teknik berpedang Zaganos tidak sebaik sebelumnya. Meskipun mengambil inisiatif menyerang untuk menyembunyikannya, Şehzade   sangat merasakan kemampuan berpedang gurunya turun drastis semenjak membantingnya beberapa kali. Berusaha memanfaatkan momentum tersebut, Şehzade   berbalik mengambil inisiatif serangan. Rentetan serangan yang dilancarkan Şehzade   pada akhirnya berhasil membuka lebar pertahanan rapi yang dipertahankan oleh Zaganos sepanjang duel sebelumnya. Mengingat bahwa Zaganos menggunakan baju zirah Yeŋiçeri, Şehzade   memutuskan mengakhiri duel dengan menikam dada kiri Zaganos. 

Seketika, suasana hiruk-pikuk duel berubah menjadi tenang dan sunyi. Zaganos menjatuhkan bilah pedang yang digenggam dengan mantap sepanjang duel. Şehzade   merasakan darah Zaganos yang mengalir deras membasahi bilah pedang dan tangannya. Perlahan Şehzade   menarik bilah pedangnya, dan mengambil jarak dari Zaganos. Dia melihat luka tikaman yang terus mengeluarkan darah  di dada kiri Zaganos. Tangan kanan Zaganos menahan luka di dadanya, sedangkan tangan kirinya menahan mulutnya yang terus memuntahkan darah. Sedangkan Şehzade   berdiri dihadapannya seraya berusaha mengatur ritme nafasnya. 

Zaganos kemudian roboh berlutut,yang membuat Charlotte dan sebagian pasukan Yeŋiçeri di sekelilingnya berusaha menopang tubuhnya. Semua yang melihat kejadian itu sadar Zaganos yang sekarat itu sudah tidak tertolong lagi. Şehzade  , menahan dan menyembunyikan emosi yang dia rasakan saat itu. Setelah mengibaskan pedangnya, kemudian ia menyarungkan kembali pedang itu di pinggangnya. Şehzade   menghampiri Hanım yang sedang menangis melihat konklusi dari duel yang baru saja berakhir. 

Seolah-olah menepuk pundak Hanım, Şehzade   bertindak seakan-akan hendak menghiburnya. Kemudian Hanım merespons gimmick tersebut dengan memeluk Altaïr, dan menangis dalam pelukannya. sedangkan pasukan Yeŋiçeri di dekatnya membukakan jalan bagi Şehzade   untuk melanjutkan perjalanan. 

“Şehzade   Altaïr! Tunggu!” teriak Zaganos dengan sisa kekuatan yang masih dimilikinya. 

“Dia….gadis nakal itu……bersamamu….., bukan ? Urrgggh! ” Ucap Zaganos yang kembali muntah darah.

Şehzade   akhirnya sadar, selama ini, Zaganos, atau mungkin seluruh pasukannya menyadari gimmick yang selama ini dia lakukan dalam kepada Hanım, atau sikap yang menunjukan bahwa Şehzade   tidak sedang melakukan perjalanan sendirian.

“Sampaikan….urrggghh….salam….maafku…. Hanım….Fatma…. dari Dulkadir…Şeh….zade .” Kata Zaganos.

“Baiklah…guru! Dan…. Terima kasih atas untuk semuanya!” Sahut Şehzade .

Seakan tidak ingin melihat akhir hidup dari Zaganos, Şehzade   segera bergegas meninggalkan lokasi duel sebelumnya, dan melanjutkan perjalannya ke selatan, dengan tujuannya adalah Kuil Hitam Agung. Meskipun demikian, Şehzade   sempat sekali menengok kebelakang, dan mendapati air mata di wajah Charlotte yang sedang membantu menopang tubuh Zaganos. Şehzade   segera memalingkan kembali pandangannya ke depan, tanpa pernah sekalipun kembali menengok kebelakangnya lagi.


Tanah Suci, seperti namanya, merupakan tempat paling suci dalam Kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Sebagai saksi mata perjuangan awal yang beriku dalam penyebaran wahyu dan ajaran Dewa Yang Maha Satu, wilayah ini merupakan destinasi utama untuk ziarah religi. Semua penganut kepercayaan ini datang ke Tanah dari berbagai sudut dunia, untuk menjalani rangkaian ritual dogmatik  yang dipraktekkan dan dipertahankan sejak lebih dari 7 abad yang lalu. 

Pernah menjadi pusat kekuatan spiritual dan politik di masa lalu, kini Tanah Suci hanya menjadi pusat peribadatan dan spiritual para penganut kepercayaan Dewa yang Maha Satu. Kini tanah suci secara bukanlah kekuasaan politik yang kuat apalagi Independen, setidaknya dalam nama. Sejak teokrasi, kekuatan politik yang berpusat di Tanah Suci tumbang, wilayah ini selalu jatuh di bawah perlindungan penguasa kuat dan religius yang terus berganti setiap waktunya. Bagi mereka, menguasai Tanah Suci merupakan suatu pencapaian yang paling prestisius yang mungkin penguasa dunia dapatkan dalam hidup, selain karena beberapa alasan duniawi untuk seperti lokasinya yang strategis sebagai pos perdagangan internasional. 

Meskipun selalu di bawah perlindungan penguasa dari luar, mereka lebih sering menjadi penguasa nominal saja, karena administrasi wilayah ini secara langsung kepada penguasa lokal , yang disebut Sharīf. Kekuasaan dan otonomi yang dimiliki oleh Sharīf Tanah Suci juga sangat dinamis, dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal ini bergantung kepada seberapa kuat kontrol penguasa pusat terhadap Sharīf. 

Penguasa Tanah Suci saat ini, Kesultanan Mamalik, secara administrasi menerapkan kontrol langsung terhadap Tanah Suci. Sharīf Tanah Suci merupakan utusan sekaligus perpanjangan tangan kekuasaan Sultan Mamalik di Tanah Suci. Namun dalam prakteknya, terkadang Sharīf ini memerintah layaknya penguasaan bawah, setara amir atau bey. Hal ini terkadang terjadi karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, dan pergolakan politik yang melemahkan kontrol pusat terhadap Sharīf yang berkuasa di Tanah Suci.

Namun demikian, Ketika Sultan Muzaffar Al-Ikhwan Burj berhasil menuntaskan pergolakan politik di Mamalik, ketika Şehzade  tiba di Tanah Suci, dia mendapati dirinya mampu bergerak lebih leluasa dibandingkan saat wilayah kekuasaan Mamalik lainnya. Sharīf di sana lebih seperti penjaga ketertiban umum daripada pejabat Kesultanan Mamalik. Hal ini diperparah dengan renggangnya hubungan Sharīf dengan Sultan yang berkuasa saat ini . Lemahnya kontrol Mamalik di Tanah Suci juga memungkinkan pasukan asing seperti Yeŋiçeri atau Beksiçeri dari Salajakiyah mampu beroperasi dengan bebas dan bertindak di luar wilayah yuridiksinya. Dan selama mereka tidak menggangu ziarawan dan ketertiban umum di Tanah Suci, Sharīf dan otoritas Tanah Suci tidak akan bertindak.  Hal itu pula yang mungkin menjadi alasan Zaganos baru bisa menyergapnya setelah memasuki wilayah Tanah Suci.

Ziarah ke Tanah Suci sendiri merupakan sebuah ibadah yang wajib dijalankan bagi setiap individu yang beriman kepada Dewa YMS. Dia akan berdosa jika mampu untuk melakukannya, namun memilih untuk mengabaikannya. Banyak rumor dan keajaiban yang dapat terjadi disini, mulai dari mata air suci yang tidak ada habisnya hingga rumor pasangan yang berziarah bersama akan bersama selamanya jika mereka memohon demikian kepada Dewa (Meskipun permohonan kepada Dewa lebih sering terkabul selama menjalani ibadah ziarah).

Pergi untuk berziarah bersama orang-orang yang dia sayangi merupakan hal yang sangat dia inginkan sedari kecil, agar permohonannya untuk bisa hidup bersama Şehzade  selamanya bisa terkabul. Keinginan sederhana yang tidak pernah tercapai, karena banyak hal, hingga kematian menjemputnya. Hal yangg mungkin menyebabkannya enggan untuk meninggalkan dunia dan melanjutkan perjalanan ke kehidupan setelah kematian. Şehzade  menuntunnya ke Tanah Suci dengan tujuan selain untuk mengabulkan keinginannya, juga untuk membuat Hanım bisa melanjutkan perjalan ke kehidupan setelah kematian, menyusul kedua orang tuanya. 

Namun sebenarnya, Şehzade  memiliki harapan tersendiri. Dia ingin memohon kepada dewa untuk dapat kembali lagi hidup bersama dengan Hanım. Şehzade  yakin bahwa permohonan selama ziarah ke Tanah Suci akan terkabul. Entah seberapa tidak masuk akalnya permohonannya itu, seperti menghidupkan orang mati. Untuk memenuhi harapan itu. bahkan Şehzade  rela untuk menentang ayahnya, menyalahgunakan wewenang dan melarikan diri dari tanggung jawab, menjadi buronan, dan pada akhirnya membunuh guru dan bawahan favorit ayahnya, Zaganos Pasha, hanya karena Zaganos berusaha menghalangi  perjalanannya ke Tanah Suci. Meskipun demikian, ia tidak menyesal sama sekali. Şehzade  sangat mencintai Hanım, dan dia akan rela melakukan apapun jika memang ada secercah harapan untuk dapat kembali bersama Hanım.

Akan tetapi, perlahan Şehzade  melihat bahwa dirinya semakin sulit melihat keberadaan Hanım. Arwah Hanım menjadi semakin pudar setelah mereka memasuki tanah suci. Hal ini semakin kentara ketika mereka sudah semakin dekat dengan Kuil Hitam Agung. Selain semakin, sulit untuk dirasakan keberadaannya, Arwah Hanım juga hampir tidak terlihat lagi dalam pandangan nya. Arwahnya semakin transparan, seakan menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini baru terjadi sejak keduanya tiba di Tanah Suci, dan Şehzade  baru saja menyadarinya. Şehzade  mengambil kesimpulan bahwa semakin melemahnya keberadaan Hanım berkorelasi dengan keberadaan mereka di Tanah Suci itu Sendiri.

Sebelum Hanım benar benar lenyap, Şehzade  menghenikan perjalanan mereka ke Kuil, dan meminta pendapat Hanım terkait keanehan yang terjadi. Hanım sedikit tertegun, dan membatu beberapa saat. Kemudian dia menundukkan kepalanya.

“Sepertinya….tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi dari Altaïr” Kata Hanım.

Hanım dengan berat hati mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi ketika kudeta berdarah terjadi di Dulkadir. Kenyataan bahwa bukan keinginan atau harapannya yang sangat kuat untuk berziarah atau menghabiskan waktu lebih lama bersama Şehzade  yang sebenarnya menyebabkannya terjebak dan tidak bisa melanjutkan ke kehidupan setelah kematian. Melainkan apa yang terjadi menjelang kematian Hanımlah yang menyebabkannya tertahan menjadi arwah gentayangan. 

Ketika kudeta berdarah terjadi, penjaga istana pro-Mamalik yang telah bekerja sama dengan konspirator bertarung dan menghabisi penjaga istana yang loyal. Penjaga loyal yang lebih sedikit dengan cepat di babat habis. Bey Muhammad bertarung bersama penjaga-penjaga loyal yang masih tersisah untuk melindungi wanita dan anak-anak yang ada di dalam istana. Setelah bertarung dengan gigih dan heroik, Bey Muhammad terbunuh dengan kepala yang terpenggal serta belasan anak panah tertancap di tubuhnya. Di meninggal bersama orang-orang yang masih loyal padanya hingga akhir. 

Sedangkan wanita dan anak-anak di istana yang dipimpin oleh Hanım Fatma melarikan diri dari Istana Marasha melalui jalan rahasia menuju Kayseıri. Rencananya mereka akan meminta suaka ke Salajakiyah  dengan bantuan langsung dari Şehzade  Altaïr Celebi Salajakoğlu yang kebetulan sedang berada di sana. Namun usaha mereka gagal, karena seorang konspirator mengetahui tentang rencana tersebut, termasuk jalan rahasia yang mereka gunakan. Konspirator Pro-Mamalik itu mencegat mereka di pintu keluar jalan rahasia. Hanım Fatma bersama beberapa pelayan yang mampu bertarung melawan para pencegat tersebut, dan memberikan kesempatan untuk beberapa dari mereka melarikan diri. 

Seperti ayahnya, Muhammad, Hanım Fatma bertarung tidak kalah heroik. Berbekal kemampuan berpedang yang dipelajari selama di Manisa, Hanım bahkan berhasil mengalahkan seorang pencegat tersebut. Namun keadaan tiba-tiba berbalik ketika pasukan pro-mamalik datang membantu para pencegat. Hanım dan sekutunya terdesak. Satu-persatu pelayan dan penjaga setia yang selalu berada di sininya jatuh satu-persatu. Melihat orang-orang yang peduli dengannya terbunuh satu-persatu membuat Hanım tidak mampu menahan emosinya. Dia bertarung tanpa arah dengan serangan yang hanya dipenuhi kemarahan, tanpa arti. 

Gadis tidak berdaya itu dipermainkan oleh para konspirator. Dengan membunuh dan menyiksa orang-orang yang sebelumnya bertarung bersamanya, Hanım semakin jatuh dalam keputusasaan. Hanım masih berusaha bertarung meskipun dia tahu itu sia-sia. Dan serangan balik dari para konspirator tersebut membuatnya semakin tidak berdaya. Dengan luka di sekujur tubuh, pakaian penuh robekan, dan pertarungan tanpa peluang untuk menang bahkan melarikan diri, masih ada asa dan harapan di matanya. Harapan bahwa Şehzade  Altaïr, orang yang paling dia cintai, akan datang dan menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan orang-orang yang peduli padanya. Seperti halnya pangeran berkuda putih, atau pahlawan kesiangan yang datang menyelamatkannya di saat terakhir. Namun keajaiban itu tidak pernah terjadi.

Waktu berlalu, harapan itu semakin meredup. Begitu juga semangatnya untuk terus bertarung. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada keajaiban. Kepala Hanım mulai pusing karena telah kehilangan cukup banyak darah. Keseimbangannya mulai kacau. Hanım mulai kesulitan untuk berdiri, bahkan untuk bertarung. Sedangkan konspirator pro-Mamalik yang menjadi lawannya berusaha untuk melemahkan resolusi bertarungnya, dan menangkapnya hidup-hidup. Mereka masih membutuhkan untuk Hanım Fatma tetap hidup dan menuruti kehendak mereka.

Untuk itu, mereka terus berusaha untuk membuatnya menderita hingga menyerah. Mulai dari membunuh pelayan dan penjaga yang sekarat di depan matanya, mempermainkan jasadnya jika telah terbunuh, bahkan memamerkan kepala anak kecil yang terpenggal (bagian dari kelompok yang mencoba melarikan diri ke   Kayseıri). Namun tindakan kejam tersebut bukannya membuat Hanım menyerah karena putus asa, namun membuatnya semakin marah dan terus mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh konspirator tersebut. Semangat Hanım untuk bertarung semakin tinggi, akan tetapi kondisi fisiknya semakin lemah, hampir tidak mampu bertarung lagi. Meskipun demikian, Hanım sempat melancarkan serangan fatal yang melukai lawannya, membuatnya hampir terbunuh.

Pencegat itu akhirnya sadar bahwa usaha mereka untuk menjinakkan Hanım sia-sia. Meskipun berhasil pada akhirnya, nyawa Hanım sendiri mungkin tidak tertolong lagi. Mereka memutuskan untuk menghabisi nyawa Hanım dan menggunakan kepalanya sebagai peringatan di pintu gerbang Marasha. Dipercayakan beberapa orang untuk tugas ini, sedangkan yang lain beranjak untuk mengurus pemindahan kekuasaan.

Hanım Fatma yang hanya hampir tidak mampu lagi berdiri, hanya mengayun-ayunkan pedangnya tanpa arah. Salah satu eksekutor memotong tangannya, membuat pedang Hanım terlepas. Eksekutor yang lain menebas punggungnya dan membuatnya tidak berdaya. Namun bukannya langsung mengeksekusi Hanım dengan memenggal kepalanya, ketiga eksekutor tersebut justru tega menghancurkan kehormatan gadis yang tidak berdaya tersebut dengan memperkosanya bergiliran. Mereka memotong sisa tangan dan kaki yang gadis tersebut ketika mencoba melawan, hingga dia tidak mampu memberikan perlawanan lagi.

Rasa sakit baik secara fisik maupun mental yang dialami Hanım selama penyiksaan membuat pikirannya melayang. Tanpa sadar, gadis sekarat itu membayangkan orang yang memperkosanya itu sebagai orang yang dicintainya, yaitu Şehzade  Altaïr. Hal itu sedikit mengobati luka psikis yang gadis itu alami sepanjang penyiksaan. Hanım akhirnya bisa bermesraan dengan orang yang dicintainya, meskipun hanya dalam khayalan. Hal ini membuatnya memperoleh sedikit ketenangan batin, hingga pada akhirnya bisa menjemput maut dengan senyuman kebahagian yang terasa sangat tragis. Ketika gadis malang itu sudah tidak bernyawa lagi, eksekutor yang memperkosanya bergiliran itu memenggal kepalanya, dan melapor ke atasan mereka, dengan, perasaan yang sangat puas. 

Mendengar kabar tersebut, Şehzade  jauh berlutut. Matanya berkaca-kaca dan air mata terus mengalir di pipinya. Şehzade  menangis dengan erangan yang sangat menyedihkan. Arwah Hanım berusaha untuk menenangkan, namun usahanya sia-sia karena keberadaan. Karena waktu yang dimilikinya sudah tidak banyak lagi, Hanım memutuskan untuk bertindak seakan-akan memeluk Şehzade  untuk membuatnya sadar akan keberadaannya saat ini. 

“Terimakasih untuk semuanya…..Altaïr!” bisik Fatma. 

Dengan membisikkan terima kasih di telinga  Altaïr sebelum sepenuhnya menghilang, tepat di depan mata Şehzade  sendiri. Altaïr sadar keberadaan Fatma yang tadinya dirasakan, kini menghilang. Merasakan kehilangan sesuatu yang sangat penting baginya, secara tiba-tiba di depan matanya, Altaïr mengalami serangan mental yang hebat. Dia berusaha dengan penuh kesia-siaan meraba sekitar, dan berusaha memanggil-manggil Fatma. Dia terus-menerus melakukannya sehingga dianggap sebagai orang gila dan diamankan oleh otoritas Tanah Suci. Dia menolak dan melawan penangkapan otoritas, sekali lagi karena masih harus mencari keberadaan Hanım. Hal ini membuat otoritas tidak sengaja menggunakan kekerasan untuk membuat Altaïr dapat ditangkap dan ditertibkan oleh otoritas. 

….

Pikirannya kembali ke momen dimana Şehzade  kehilangan sosok yang dia cintai. Beberapa orang yang melarikan diri ke Kayseıri, kebanyakan berhasil ditangkap dan dijadikan budak sebagai balasan akibat perlawanan mereka. Sedangkan sebagian dari mereka yang terus memberontak pada akhirnya dipenggal. Yang berhasil sampai di Kayseıri, hanya sebagian kecil, dan mereka benar-benar sangat beruntung.

Kabar ini dengan cepat sampai di telinga Şehzade . Berita yang direspon dengan sangat cepat. Pasukan yang disediakan dengan cepat dikumpulkan dan bisa berangkat dari Kayseıri dalam hanya dengan semalam persiapan. Pasukan ini bergerak dengan sangat cepat ke Marasha. Sangat cepatnya, hingga para konspirator tersebut bahkan belum sempat mengonsolidasikan kekuasaannya di Dulkadir. Pertempuran singkat di perbatasan berakhir bencana. Dan Kota Marasha ditinggalkan begitu saja tanpa perlawanan. Mereka memutuskan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka di Malayata, seraya memohon bantuan kepada Mamalik melalui seorang utusan. 

Marasha jatuh ke tangan Şehzade  tanpa perlawanan berarti. Namun, dia hadapan pada pemandangan yang sangat menyakitkan. Di Gerbang Depan Marasha, beberapa bendera Dulkadir yang bersanding dengan bendera Mamalik, berkibar dengan kepala yang terpenggal di puncaknya. Mereka adalah kepala Bey dan keluarganya yang dipropagandakan sebagai pengkhianat yang menjual kemerdekaan Dulkadir kepada Salajakiyah. Salah satu kepala di puncak bendera itu, dengan rambut panjang terurai yang menari karena hembusan angin. Wajah dan rambutnya, dihiasi noda darah, yang masih tidak tidak mampu membuat kecantikan alaminya pudar. Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Şehzade  melihat kecantikan yang memikatnya dari kejauhan. Ketika Şehzade  melihat itu, dia merasa semua telah berakhir, dan usahanya yang terlambat sia-sia. Şehzade  kehilangan orang yang dicintainya.

Waktu berlalu. Pemakaman keluarga Bey dilakukan dengan prosesi singkat. Malayata jatuh dengan pengepungan singkat. Pemerintahan pro-Mamalik ini tidak mampu memberikan perlawanan terorganisir, dan desersi pasukan Dulkadir menjadi hal umum. Keruntuhan pemerintahan pro-Mamalik terjadi dalam waktu yang luar biasa singkat. Dan Kesultanan Mamalik tidak bisa membantu banyak akibat terjebak masalah internal. Meskipun meraih kemenangan yang luar biasa, hal itu seakan tidak berarti dan tanpa makna bagi Şehzade . Semua terasa hampa di pusat kekuasaan barunya di Malayata, hingga dia bertemu dengan arwah Hanım yang gentayangan.

….

Perlu waktu beberapa lama hingga kewarasan Şehzade  pulih. Şehzade  mendapatkan langsung bimbingan spiritual khusus dari Sharīf Tanah Suci, hingga pada akhirnya bisa menerima kepergian Hanım Fatma. Dan berdasarkan keterangan dari Sharīf, yang juga kepala kuil utama setara dengan pendeta tertinggi,  jiwa bisa tertahan dan menjadi arwah gentayangan jika melakukan hal yang tidak suci sebelum kematiannya. Dan untuk mensucikan arwahnya, dia perlu pergi ke Tanah Suci dengan permohonan untuk mensucikan diri. Tergantung seberapa kuat dan tulus permohonan dari si arwah terhadap Dewa YMS, bahkan sebelum ritual dan peribatanpun, arwah tersebut akan tersucikan dan dapat melanjutkan perjalanannya ke alam setelah kematiannya. Sharīf memilih waktu yang tepat untuk memberikan informasi ini, sehingga Şehzade  bisa lebih menerima kabar tersebut dengan penuh kesabaran. 

Waktu yang dihabiskan Şehzade untuk pemulihan spiritual hingga kembali stabil mungkin cukup. Ketika Şehzade  bertemu dengan Sharīf di keesokan harinya, beliau bersama pasukan Yeŋiçeri, yang hendak menangkapnya. Meskipun awalnya cukup terkejut, namun Şehzade  segera bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Berdasarkan kedekatan ajaran Bestasiyah di Yeŋiçeri dan  aliran Keimaman lokal, Şehzade  sudah menduga hal ini akan terjadi. Menghargai janjinya setelah duel maut dengan Zaganos, Şehzade  menyerahkan diri tanpa perlawanan lebih lanjut. 


Setelah menyerahkan dirinya kepada pasukan Yeŋiçeri yang kini berada di bawah komando Charlotte, kabar tidak menyenangkan datang dari Kesultanan Mamalik. Sultan Muzaffar Al-Ikhwan Burj, pada akhirnya berhasil mengatasi persoalan internal di Mamalik. Al-Ikhwan kini mengalihkan perhatiannya ke Dulkadir.

Persoalan internal selama ini menjadi hambatan bagi Mamalik dalam merespons perkembangan eksternal, termasuk kudeta pro-Mamalik yang terjadi di Dulkadir. Hal ini menyebabkan Pasukan Salajakiyah dibawah komando Şehzade   bertindak lebih cepat, dan mengambil alih pusat kekuasan. Pasukan ini juga mengisi kekosongan kekuasaan dengan mendirikan pemerintahan militer dengan pusat kekuasaan di Benteng Malayata.

Berdasarkan informasi yang didapat dari Beksiçeri, Al-Ikhwan sedang merencanakan invasi ke Dulkadir dengan target utamanya adalah Benteng Malayata, pusat kekuasaan pasukan Şehzade. Merespons informasi ini, Şehzade   meminta Charlotte untuk mengizinkannya kembali memimpin pasukannya di Dulkadir untuk mempersiapkan kemungkinan Invasi dari Kesultanan Mamluk. Pada awalnya, Charlotte yang tidak mengizinkannya. Namun, Şehzade   berhasil membujuk Charlotte untuk mengizinkannya kembali ke pasukannya di Malayata.

Memanfaatkan kesempatan yang diperolehnya dengan baik, Şehzade dengan cepat memantapkan dirinya sebagai penguasa de facto di Dulkadir, dari pusat kekuasaannya di Malayata. Dengan posisinya saat ini, Şehzade memutuskan untuk menghukum mati semua kolaborator pro-Mamalik , dan melakukan eksekusi publik di Malayata. Mereka semua di eksekusi dengan tuhan berkolaborasi dengan kekuasaan asing,dan menggulingkan penguasa yang sah dengan kekerasan.

Belum cukup puas dengan eksekusi publik, Şehzade juga memanjang kepala dan sisa tubuh dari para konspirator itu di dinding Benteng Malayata. Hal ini direspons langsung oleh Al-Ikhwan dengan membuat pengakuan diplomatik terhadap pemerintahan pro-Mamalik di Dulkadir, meskipun sebenarnya sudah tidak ada lagi. Untuk mendukung pemerintahan yang mereka anggap sah tersebut, Mamalik memutuskan untuk ‘membebaskan’ Dulkadir dari angkatan bersenjata asing yang menumbangkan ‘pemerintahan yang sah’ dengan kekerasan. Dan dengan ini, Kesultanan Mamalik dengan resmi menyatakan perang terhadap Kesultanan Salajakiyah.  

Melihat perkembangan yang tidak terkendali di Dulkadir, Charlotte melaporkan kejadian ini langsung ke Sultan Aḥmed. Pecahnya perang dengan Mamalik, tindakan Şehzade   selama Dulkadir, dan kematian bawahan favoritnya ditangan Şehzade, membuat kesabaran Sultan Aḥmed habis. Sultan menghancurkan gagang tongkatnya hanya dengan kekuatan genggaman tangannya karena menahan amarah ketika mendengar semua perkembangan yang terjadi di Selatan.

Dia memutuskan untuk mengakhiri arogansi putranya dengan konfrontasi langsung. Sultan Aḥmed bergerak ke selatan dengan membawa pasukan besar dari Levanṭīnīye, termasuk sebagian besar pasukan elit Yeŋiçeri yang berada dibawah komando langsung Sultan.  Sementara  Şehzade Altaïr, tetap terlihat tenang menghadapi invasi dari Mamalik dari selatan dan konfrontasi ayahnya yang datang dari utara ketika Charlotte menghampirinya di Malayata.

“Menyerahlah, Şehzade! Hentikan semua kegilaan ini!” Bentak Charlotte.

“Semuanya masih sesuai rencana. Situasi ini masih dalam kendali. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Selain itu, terima kasih karena dengan segera menghubungi ayahku terkait perkembangan yang terjadi di sini.” jawab Şehzade.

“Apakah kamu tidak takut akan terbunuh karena perkembangan ini?” Lanjut Charlotte dengan nada cemas

“Saya hanya mencari cara untuk menyalurkan kemarahanku. Karena, saya tidak tahu kemana harus membalas dendam! Kalaupun harus terbunuh karena ini, saya tidak peduli lagi” Jawab Altaïr. 

Charlotte secara refleks mendekati Altaïr, dan menyentuhnya jika memungkin. Namun Charlotte segera membatalkannya, kemudian memalingkan diri. Tidak ada kesempatan baginya untuk membujuk Şehzade mundur. Sebelum meninggalkan Şehzade   sendirian di tenda kerjanya, Charlotte tiba-tiba berhenti di pintu tenda dan menoleh kebelakang . Şehzade   yang menyadari ini juga menoleh ke belakang, dan secara kebetulan mata bertemu. Waktu yang serasa membeku bagi Charlotte dan Şehzade  . Kenangan masa kecil keduanya terlintas di pikiran masing-masing. Masa lalu yang indah, dan telah mati. 

Secara refleks, Charlotte kembali memalingkan wajahnya. Matanya berkaca-kaca akibat kilasan masa kecilnya bersama Şehzade  . 

“Şehzade  , mungkin Anda tidak menyadarinya. Namun, masih banyak orang yang membutuhkanmu, dan peduli padamu. Jadi, jangan menjual nyawamu terlalu murah!” Kata Charlotte 

Charlotte bergegas meninggalkan tenda kerja Şehzade  . Sedangkan Şehzade   perlahan berhenti menatap Charlotte yang setengah berlari meninggalkan tendanya, seraya menyeka matanya.  Ia kembali menatap peta di meja kerjanya. Redemption

“Jika saja saya dapat bertindak lebih cepat dulu…” gumam Şehzade  .

Pasukan Al-Ikhwan memasuki Dulkadir, bersamaan dengan kedatangan pasukan Sultan Aḥmed. Kabar ini mengejutkan kedua belah pihak. Al-Ikhwan mengira dia hanya akan menghadapi pasukan Şehzade  , dan tidak mengantisipasi bala bantuan yang datang dari Sultan Aḥmed. Menghadapi pasukan Aḥmed yang lebih besar, Al-Ikhwan mundur teratur dari Dulkadir untuk menunggu bala bantuan lebih besar yang belum siap saat. Dan untuk menghambat Aḥmed, Al-Ikhwan melancarkan serangkaian serangan skala kecil 

Sedangkan pasukan Aḥmed yang tidak siap tempur menjadi korban dari serangkaian serangan skala kecil yang dilancarkan Mamalik. Mereka tidak menyangka akan bertemu pasukan Mamalik secepat ini. Akibatnya, banyak pasukannya yang terbunuh. Kekalahan yang terus menerus dialami oleh Sultan Aḥmed, menyebabkan moral pasukannya melemah. Kelemahan yang ditunjukan oleh pasukan Aḥmed ini bahkan menyebabkan Al-ikhwan membatalkan rencananya untuk mundur dari Dulkadir dan memutuskan untuk mengkonfrontasi pasukan Aḥmed yang menurutnya telah cukup dilemahkan.

Pertempuran ini terjadi Barat laut kota Marasha, yang kemudian dinamakan Pertempuran Marasha. Pada awalnya, Mamalik kalah jumlah mampu menekan pasukan Aḥmed sedemikian rupa hingga pasukan tersebut nyaris kolaps. Namun disiplin tinggi yang ditunjukkan korp elit Yeŋiçeri di posisi-posisi vital pasukannya, mencegah Al-Ikhwan mengamankan kemenangan cepat dalam pertempuran ini. Namun, serbuan kavaleri elit Mamalik membuat barisan Salajakiyah kalang kabut dan sebagian besar melarikan diri dari pertempuran. Sedangkan elemen-elemen korp elit Yeŋiçeri dengan gigih bertahan, dan mengalami kerugian yang signifikan. Meskipun  kondisi yang semakin memburuk, Aḥmed menolak untuk melarikan diri dari pertempuran. Kemenangan Mamalik sudah di depan mata, namun tiba-tiba pupus ketika pasukan Şehzade  dari Malayata datang di medan tempur dan menyerang pasukan Mamalik di bagian sayap kanan dan belakang. 

Seketika pasukan Mamalik langsung kolaps. Al-Ikhwan langsung melarikan diri, ketika Şehzade   tiba bersama pasukannya. Dia memasrahkan nasib pasukan kepada Sultan Aḥmed dan Şehzade   Altaïr. 

Pertempuran melawan musuh eksternal berakhir dengan singkat. Namun badai belum berakhir. Perseteruan antara ayah dan anak terkait kekuasaan masih belum mencapai titik terang. Perseteruan, yang bahkan menyebabkan invasi Kesultanan Mamalik, rival utama Salajakiyah terasa bagai angin lalu. 


Penulis: Narusaka